Istri Menolak Berhubungan Ketika Hamil
Istri menolak ajakan suaminya, karena ada hadits yang mengatakan, tidak
boleh hubungan intim dengan istri yang sedang hamil sampai dia melahirkan.
Dibolehkan bagi seorang suami untuk
melakukan hubungan intim dengan istrinya yang sedang hamil kapanpun, sesuai
keinginannya. Kecuali jika hal itu bisa membahayakan dirinya atau janinnya maka
haram bagi suami untuk melakukan sesuatu yang membahayakan istrinya. Kemudian,
jika dalam kondisi tidak membahayakan, hanya saja sangat memberatkan istrinya
maka yang lebih baik adalah tidak melakukan hubungan intim. Karena tidak
melakukan sesuatu yang memberatkan sang istri, merupakan bentuk pergaulan yang
baik kepada istri. Allah berfirman:
وَعَاشِرُوْهُنَّ
بِالمَعْرُوْفِ
“Pergaulilah istrimu dengan baik.” (QS. An-Nisa’ : 19)
Adapun hadits yang dipermasalahkan, teksnya adalah
لَا توطأ
حامل حتى تضع
“Wanita hamil tidak boleh diajak
berhubungan intim sampai dia melahirkan.”
Hadis ini shahih, diriwayatkan Abu Daud,
Ad-Darimi, dan disahihkan Al-Albani.
Tapi yang dimaksud wanita hamil pada
hadis ini bukan istri, tapi wanita tawanan perang atau budak yang hamil dari
suami pertama . Ar-Rabi’ bin Habib dalam Musnadnya mengatakan,
مَعْنَى
الْحَدِيثِ فِي الإِمَاءِ ، أَيْ لا يَطَؤُهُنَّ أَحَدٌ مِنْ سَادَاتِهِنَّ حَتَّى
يُسْتَبْرَيْنَ ، وَأَمَّا الزَّوْجُ فَحَلالٌ لَهُ الْوَطْءُ لامْرَأَتِهِ
الْحَامِلِ
“Kandungan hadis ini terkait budak,
artinya tuan si budak tidak boleh menyetubuhi budak yang hamil sampai rahimnya
bersih. Adapun suami, dia dihalalkan untuk menyetubuhi istrinya ketika sedang
hamil.” (Musnad Ar-Rabi’ bin Habib, keterangan hadis no. 528).
Jadi jelaslah bahwa kekhawatiran tentang
larangan Jima’ suami istri ketika istri sedang hamil tidaklah benar, sehingga
tidak boleh seorang istri yang hamil menolak ajakan suaminya untuk jima’ dengan
alasan hadits tersebut.
Bagaimana dengan seorang wanita yang menolak ajakan suaminya, karena menghawatirkan janinnya?
Pertama: Diwajibkan bagi seorang istri untuk
mentaati ajakan suaminya untuk berjima’, kalau dia tidak mau maka dia adalah
istri yang durhaka dan melakukan nusyuz (membangkang).
Namun Seorang suami tidak boleh
membebani istrinya di atas kemampuannya dalam hal jima’, jika dia sedang udzur
karena sakit atau tidak mampu melayani maka dia tidak berdosa karena menolak
ajakannya.
Kedua: Berjima’ dengan istri yang sedang hamil
tidak masalah, kecuali jika dihawatirkan akan membahayakan janinnya atau dia
sedang lemas atau karena sakit, semua itu harus berdasarkan atas pemeriksaan
dokter.
Ketiga: Seorang suami hendaknya memperhatikan
kejiwaan istrinya yang sedang hamil, kondisi kesehatannya, maka proses jima’
dengannya tidak sampai membahayakannya dan janinnya.
Sebagaimana halnya penolakan seorang
istri, padahal suaminya sangat membutuhkan dan selalu memintanya untuk berjima’
adalah haram, bahkan termasuk dosa besar. Pada dasarnya jima’ tidak
membahayakan janin, hanya perasaan hawatir yang berlebihan akan keselamatan janin
tidak bisa menjadi alasan.
Seorang suami wajib memperhatikan
kondisi istrinya, di sisi lain wajib bagi seorang istri untuk mentaati suaminya
jika diajak untuk berjima’, kecuali jika dihawatirkan akan membahayakannya dan
janinnya, kehawatiran itu hendaknya dipastikan melalui dokter spesialis
kandungan (yang perempuan).
Keempat: Telah diriwayatkan dari Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- ancaman babi seorang wanita yang enggan
menjawab ajakan suaminya dalam sabdanya:
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ
عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang laki-laki mengajak
istrinya untuk berjima’ namun dia menolaknya, hingga semalaman dia marah pada
istrinya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi hari”. (HR. Bukhari: 3237 dan Muslim: 1436)
Imam Nawawi –rahimahullah- berkata:
“Makna hadits di atas adalah: “Bahwa
laknat itu akan terus dilakukan sampai penolakan istri tersebut berakhir dengan
terbitnya fajar dan suaminya sudah tidak menginginkannya lagi atau berakhir
dengan taubatnya atau sampai dia mau berjima’ lagi dengan suaminya”. (Syarah
Nawawi ‘alah Muslim: 10/8)
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-
berkata:
“Bentuk laknat Malaikat adalah bahwa
malaikat tersebut mendoakan seorang istri tersebut dengan laknat, laknat
tersebut adalah dijauhkan dari rahmat Allah –Ta’ala-. Jika seorang suami
mengajaknya untuk berjima’ untuk bersenang-senang dengannya yang hal itu
dibolehkan oleh Allah, lalu dia menolaknya, maka malaikat akan melaknatnya
–na’udzubillah- yaitu; dengan mendoakannya mendapat laknat sampai pagi hari”.
Syarah Riyadhus Shalihin: 3/141)
Aman atau tidak secara medis jika berjima’ saat
hamil?
Jawabannya
aman, baik itu pada awal-awal kehamilan maupun ketika hamil besar. Asalkan
memperhatikan posisi, gerakan dan kekuatan yang sesuai (tidak kasar) serta
tidak berlebihan intensitas dan lamanya dimana istri sampai merasa kelelahan.
Memang
ada beberapa keadaan yang tidak dianjurkan atau berhati-hati ketika berhubungan
intim, yaitu pada keadaan abnormal seperti:
–
Plasenta previa (plasenta terletak di dekat atau di atas leher rahim)
–
Berisiko keguguran atau ada riwayat
-pecah ketuban
-Pendarahan vagina.
-Sering kram perut
-kelemahan servik/rahim
Berikut
posisi-posisi yang aman khusunya ketika sudah hamil besar, tetapi kami tidak
merincinya karena artikel ini untuk bacaan umum dan kami yakin suami-istri
sudah mengetahuinya karena ini adalah fitrah manusia,
-suami
di atas. Bisa meletakkan bantal di belakang
punggung istri sehingga suami tidak menekan perut.
-istri
di atas
-dari
belakang
-dari
samping sambil berbaring
Adapun
ketika berhubungan kemudian istri mencapai klimaks, kemudian perut terasa
kejang karena kontraksi, maka tidak masalah. Karena ini semacam pijatan ringan,
tidak mempengaruhi janin di dalam rahim.
Boleh Menolak Ajakan Suami Karena Tidak
Dinafkahi?
Suami maupun istri, masing-masing
memiliki hak dan kewajiban yang sebanding dengan posisinya. Karena itu, bentuk
hak dan tanggung jawab masing-masing berbeda. Kaidah baku ini Allah nyatakan
dengan tegas dalam al-Quran,
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Para istri memiliki hak yang sepadan
dengan kewajibannya, sesuai ukuran yang wajar.” (QS. al-Baqarah: 228).
Diantara tanggung jawab terbesar suami
adalah memberi nafkah istri. Allah berfirman,
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas
sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’: 34).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
berpesan,
فاتَّقوا
الله في النِّساء؛ فإنَّكم أخذتموهنَّ بأمانة الله، واستحْلَلْتم فروجَهنَّ بكلمة
الله، ولهُنَّ عليكم رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف
“Bertaqwalah kepada Allah dalam
menghadapi istri. Kalian menjadikannya sebagai istri dengan amanah Allah,
kalian dihalalkan hubungan dengan kalimat Allah. Hak mereka yang menjadi
kewajiban kalian, memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang
sewajarnya.” (HR. Muslim No.3009).
Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi ancaman keras bagi suami yang tidak memperhatikan nafkah
istrinya. Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كفى
بالمرْء إثمًا أن يضيِّع مَن يقوت
“Seseorang dikatakan berbuat dosa,
ketika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi.” (HR. Abu Daud No.1694, Ibnu Hibban
No.4240 dan dishahihkan oleh Syuaib al-Arnauth).
Ibnu Qudamah menyebutkan, “Ulama sepakat suami wajib memberi
nafkah istri, jika suami telah berusia baligh. Kecuali untuk istri yang nusyuz
(membangkang). Demikian yang disebutkan Ibnul Mundzir dan yang lainnya.”
(al-Mughni, 9/230).
Ketika Kewajiban Tidak Ditunaikan
Ketika salah satu tidak memenuhi
kewajiban, maka yang terjadi adalah kedzaliman. Suami yang tidak memenuhi
kewajibannya, dia mendzalimi istrinya dan sebaliknya. Hanya saja, dalam keluarga,
Islam tidak mengajarkan membalas pengkhianatan dengan pengkhianatan. Karena
masing-masing akan mempertanggung jawabkan tugasnya di hadapan Allah kelak di
hari kiamat.
Sehingga, ketika suami tidak
melaksanakan kewajibannya untuk istrinya, Islam tidak mengajarkan agar tindakan
itu dibalas dengan meninggalkan kewajibannya. Karena yang terjadi, justru
timbul masalah baru.
Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im ar-Rifa’i
mengatakan, “Jika salah satu pasangan tidak menunaikan kewajibannya kepada yang
lain, bukan berarti dia harus membalasnya dengan tidak menunaikan kewajibannya
kepada pasangannya. Karena masing-masing akan dimintai pertanggung jawaban disebabkan
keteledorannya, pada hari kiamat.”
Pelanggaran yang dilakukan oleh suami,
tidak boleh dibalas dengan pelanggaran dari istri. Sehingga dua-duanya
melanggar. Karena itu, solusi yang diberikan pelanggaran balas pelanggaran,
tapi diselesaikan dengan cara yang baik, antara bersabar atau pernikahan
dihentikan.
Lalu apa yang harus dilakukan wanita?
Syaikh ar-Rifa’i melanjutkan, “Ketika suami tidak menafkahi istrinya,
ada dua pilihan untuk si wanita, antara bersabar atau melakukan gugat cerai.
Jika dia pilih bersabar, maka istri wajib untuk memenuhi kewajibannya kepada
suaminya. Termasuk hak untuk melayani di ranjang. Dan jika istri memilih talak,
dia tidak berdosa.”
Sumber:
http://ar.islamway.net/fatwa/42859/حكم-امتناع-المرأة-عن-فراش-زوجها-إذا-قصر-في-واجباته
Al-Qurthubi mengatakan,
فهِم
العُلماء من قوله تعالى: {وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ} أنَّه متى عجَز
عن نفقتها لم يكن قوَّامًا عليها، وإذا لم يكن قوَّامًا عليها، كان لها فسخ العقد
لزوال المقْصود الذي شرع لأجْلِه النكاح
“Para ulama memahami dari firman Allah,
‘Disebabkan mereka menginfakkan harta mereka.’ bahwa ketika seorang suami tidak
mampu memberikan nafkah istrinya, dia tidak disebut pemimpin bagi istrinya.
Jika suami tidak lagi menjadi pemimpin bagi istrinya, maka istri berhak untuk
melakukan gugat cerai. Karena tujuan nikah dalam kasus ini telah hilang.”
(Tafsir al-Qurthubi, 5/168).
Ibnul Mundzir mengatakan,
ثبت أنَّ
عمر كتبَ إلى أُمراء الأجناد أن ينفقوا أو يطلِّقوا
“Terdapat riwayat shahih bahwa Umar
menulis surat untuk para panglima perang, agar para suami memberikan nafkah
istrinya atau mentalak mereka.” (Dinukil dari Subul as-Salam, 3/224).
Memaksa Istri untuk Melakukan Hubungan
Intim
Bolehkah seorang suami memaksa istrinya
untuk melakukan hubungan intim, jika dia menolak?
Wanita tidak boleh menolak permintaan
suaminya untuk melakukan hubungan intim. Bahkan, wajib bagi sang istri untuk
memenuhi keinginan suami ketika mengajak untuk jima’ selama tidak membahayakan
dirinya dan menyebabkan dia meninggalkan amalan yang wajib.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang suami mengajak
istrinya (untuk hubungan intim), kemudian si istri menolak, lalu si suami marah
kepadanya, maka para malaikat melaknatnya sampai Subuh.” (HR. al-Bukhari
dan Muslim).
Oleh karena itu, wanita yang menolak
ajakan suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka dia telah berbuat maksiat
dan melawan suami. Suami tidak wajib lagi untuk memberikan nafkah dan pakaian
kepadanya. Bagi suami, hendaknya dia menasihati dan menakut-nakuti si istri
dengan ancaman Allah, memisahkan ranjang dengan istri, dan suami boleh memukul
istrinya dengan pukulan yang tidak menyakitkan.
Allah berfirman,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا
تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Alloh
Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS
An-Nisa’ 34).
(Fatwa al-Islam: Tanya-Jawab, no. 33597)
Sikap istri yang tidak lagi menjalankan
kewajibannya atau tidak lagi memenuhi hak suami disebut Nusyuz.
Nusyuz ini ditinjau dari penunaian hak
Alloh dan hak suami. Istri yang membangkang dari perintah Alloh seperti tidak
sholat, tidak menutup aurot, dan lain-lain. Juga istri yang membangkang dari
perintah suami untuk tidak keluar rumah, untuk melayani kebutuhan ranjang, dan
semisalnya, semua itu masuk dalam kategori Nusyuz.
Ibnu Katsir rohimahulloh berkata,
“Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim 4/24).
Para ‘ulama sepakat bahwa hukum Nusyuz
adalah haram, dan suami dibolehkan untuk memberikan hukuman atas hal tersebut.