A. Apabila Seorang Suami Atau Istri
Murtad
Apabila suami atau istri murtad dari Islam, maka keduanya
harus dipisahkan (diceraikan). Karena murtad adalah salah satu sebab keduanya
harus dipisahkan berdasarkan kesepakatan para ahli fikih.
Akan tetapi, para ahli fikih berbeda pendapat dalam hal
waktu, kapan dia harus dicerai, dan hukum batalnya akad nikah keduanya. Ada
tiga pendapat yang populer dalam hal ini, yaitu.
Pendapat Pertama
Akad nikah menjadi batal seketika itu juga, baik sebelum
atau sesudah bersetubuh. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah, [Lihat Bada’i
Ash-Shana’i II/337] Malikiyah [Lihat Al-Fawakih Ad-Diwani II/26] dan salah satu
dari dua riwayat yang ada dari Ahmad. Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Hasan
Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri, Abu Nur dan Ibnu Al-Mundzir. [Al-Mughni
VI/639]
Pendapat Kedua.
Apabila murtadnya sebelum melakukan persetubuhan, maka
pernikahan tersebut batal seketika itu juga. Namun apabila murtadnya setelah
melakukan persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya ditangguhkan hingga masa
iddahnya habis. Jika orang yang murtad itu kembali masuk Islam sebelum masa
iddahnya habis, maka dia tetap pada status pernikahannya. Dan jika dia masuk
Islam setelah masa iddahnya habis, maka antara keduanya telah dinyatakan cerai
sejak dia murtad. Pendapat ini dianut oleh madzhab Syafi’iyah [Lihat Mughni
Al-Muhtaj III/190] dan Hanabaliyah dalam sebuah riwayat yang masyhur dari mereka
[Al-Mughni VI/639 dan Al-Kafi III/80].
Pendapat Ketiga
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya,Ibnul
Qayyim, apabila salah seorang dari pasangan suami-istri murtad, maka
pernikahannya harus dibekukan. Apabila dia kembali masuk Islam, maka
pernikahannya sah lagi, baik dia masuk Islam sebelum bersetubuh atau
setelahnya, baik dia masuk Islam sebelum masa iddahnya habis atau sesudah masa
iddahnya habis [Ahkamu Ahli Dzimmah I/344]
Dalil-Dalil Dari Masing-Masing Pendapat.
Dalil Pendapat Pertama.
Orang yang murtad diqiyaskan kepada orang yang mati,
karena murtad merupakan sebab buruk yang ada pada dirinya, sedangkan orang yang
mati bukanlah obyek untuk dinikahi. Oleh karena itu, tidak boleh menikahi orang
yang murtad sejak zaman dahulu, dan selanjutnya ketentuan tersebut akan tetap demikian.
Dalil Pendapat Kedua
Untuk menguatkan pendapat mereka, bahwa apabila seseorang
yang murtad sebelum melakukan persetubuhan, maka pernikahannya batal. Mereka
berdalil dengan dalil-dalil berikut.
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60: 10]
2. Sebab, murtad merupakan perbedaan agama, yang dapat
menghalangi untuk mendapatkan dirinya, sehingga pernikahan pun menjadi batal.
Hal ini sebagaimana jika seorang istri masuk Islam, sementara dirinya berstatus
sebagai istri dari suami yang kafi. [Al-Mughni 6/639]
Adapun jika murtadnya setelah melakukan persetubuhan,
maka pembatalan pernikahannya kita tangguhkan sampai masa iddahnya habis. Dalam
menentukan yang demikian itu, mereka beralil dengan qiyas.
Mereka berkata : Sesungguhnya salah seorang dari pasangan
suami-istri yang murtad atau berbeda agama setelah melakukan persetubuhan, maka
pernikahannya tidak harus menjadi batal pada saat itu juga. Hal ini sebagaimana
jika salah seorang dari suami-istri yang sah masuk Islam. [Mughni Al-Muhtaj
III/190]
Dalil Pendapat Ketiga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam rangka
mejelaskan bahwa hukum Islam apabila salah seorang dari suami-istri murtad,
maka pernikahan keduanya harus dibekukan : “Demikian pula masalah murtad,
pendapat yang menyatakan harus segera diceraikan adalah menyelisihi sunnah yang
telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab pada masa
beliau, banyak pula manusia yang murtad. Di antara mereka ada yang istrinya
tidak ikut murtad. Kemudian, mereka kembali masuk Islam lagi, dan istri-istri
mereka pun kembali lagi kepada mereka. Tidak pernah diketahui bahwa ada
seorangpun dari mereka yang disuruh memperbaharui pernikahannya. Padahal, sudah
pasti bahwa di antara mereka ada yang masuk Islam setelah sekian lama, melebihi
masa iddah. Demikian pula, sudah pasti bahwa mayoritas dari istri-istri mereka
yang tidak murtad tersebut, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah menanyakan secara mendetail kepada seorang pun dari suami-suami
yang murtad, apakah ia masuk Islam setelah masa iddah istrinya habis atau
sebelumnya [Ahkam Ali Dzimmah I/344,345]
Pendapat Yang Lebih Rajih (Unggul)
Setelah saya mengungkapkan pendapat-pendapat para ulama
berserta dalil-dalil mereka, maka jelaslah bagi saya bahwa pendapat yang lebih
rajih (unggul) adalah pendapat yang ketiga, dengan beberapa alasan.
1. Dalil-dali tersebut adalah dalil naqli (Al-Qur’an dan
Sunnah) yang jelas sesuai dengan tema yang dimaksudkan.
2. Kemudian sesungguhnya pendapat ini sangat selaras dengan
ruh Islam dan ajaran-ajarannya dalam meluluhkan hati menusia untuk menerima
Islam
3. Mengqiyaskan kembalinya kepada Islam salah seorang dari
suami-istri atas pasangannya merupakan qiyas yang kuat, karena dapat menyatukan
keduanya lagi, dimana (sebelumnya) akad pernikahan keduanya telah dilanda
perbedaan agama.
B. Apabila Suami-Istri Atau Salah
Satunya Masuk Islam
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Apabila suami-istri
masuk Islam secara bersamaan, maka pernikahan mereka dinyatakan sah. Tidak
perlu ditanyakan perihal bagaimana sebelum masuk Islam, apakah pernikahannya
sah atau tidak? Selama tidak ada sebab yang membatalkan pernikahan tersebut.
Misalnya, jika keduanya masuk Islam, sementara dia menikahi istrinya masih pada
masa iddah orang lain, atau istrinya sebagai orang haram dinikahi, baik haram
dinikahi untuk sementara waktu atau selama-lamanya. Sebagaimana juga, jika
istrinya sebagai orang yang haram dinikahi karena adanya hubungan nasab atau
saudara sesusuan, atau istrinya sebagai orang yang tidak boleh disatukan dengan
istrinya yang lain, seperti dua wanita yang bersaudara dan yang semisalnya…
Apabila keduanya masuk Islam, sedangkan keduanya adalah orang yang haram
menikah karena ada hubungan nasab atau saudara sesusuan … maka keduanya harus
diceraikan berdasarkan kesepakatan para ahli ilmu (ulama)” [Zaadul Ma’ad oleh
Ibnul Qayyim : V/135]
Adapun jika salah satu dari suami istri tersebut masuk
Islam, kemudian yang lain juga masuk Islam setelahnya, maka para ulama masih
berbeda pendapat menjadi lima pendapat.
Pendapat Pertama
Menurut sekelompok madzhab Zhahiriyah : “… Kapan saja
seorang wanita masuk Islam, seketika itu juga pernikahan dengan suaminya batal.
Sama saja, baik dia seorang wanita Ahli Kitab atau bukan dari Ahli Kitab, baik
sang suami kemudian menyusul masuk Islam setelah dirinya meskipun hanya sekejab
mata atau ada jarak waktu. Tidak ada jalan lagi bagi sang suami atas istrinya
kecuali jika keduanya masuk Islam secara bersama-sama dalam satu waktu. Begitu
pula, jika sang suami masuk Islam sebelum istrinya, maka pernikahan dengan
istrinya juga batal pada waktu dia masuk Islam, meskipun hanya sekejab mata
kemudian sang istri menyusul masuk Islam” [Lihat Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm :
IV/314]
Pendapat Kedua
Menurut madzhab Hanafiyah : “Apabila seorang wanita masuk
Islam sementara suaminya masih kafir, hendaklah ditawarkan kepada si suami agar
masuk Islam jika keduanya berada di Darul Islam (Negara Islam). Jika si suami
masuk Islam, maka wanita tersebut masih menjadi istrinya, dan jika dia menolak,
maka seorang hakim berhak menceraikan keduanya. Sedangkan jika (keduanya)
berada di Darul Harb (Negeri kafir yang berhak diperangi), hal itu cukup
didiamkan sampai masa iddah si wanita habis. Apabila si suami tidak juga masuk
Islam, maka dia diceraikan. Jika penolakan dari pihak suami, itu berarti talak,
karena pernyataan cerai berasal dari pihaknya, sehingga hal itu disebut dengan
talak, sebagaimana halnya jika dia melafalkan kalimat talak. Namun, jika
penolakan dari pihak istri, hal itu batal, karena wanita tidak memiliki hak
talak” [Hasyiah Ibnu Abidin III/188 dan Syarh Fath Al-Qadir III/418, 419. Ibnu
Qudamah mencantumkan semua itu dalam Al-Mughni yang dinisbatkan kepada Abu
Hanifah VI/614]
Pendapat Ketiga
Menurut Imam Malik : “Apabila istri masuk Islam,
hendaklah ditawarkan kepada suaminya agar masuk Islam. Jika suami masuk Islam,
(pernikahannya tetap sah), dan jika menolak, dia harus diceraikan. Adapun jika
si suami yang masuk Islam, maka harus segera diceraikan”. Ibnu Abdil Barr
menyebutkan : “Apabila suami dari Ahli Kitab masuk Islam sebelum istrinya yang
juga beragama Ahli Kitab, maka pernikahan keduanya tetap sah, karena agama
Islam membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab. Namun, jika wanita tersebut bukan
dari Ahli Kitab, maka keduanya harus segera diceraikan, kecuali wanita tersebut
masuk Islam tidak lama kemudian setelah suaminya. Dan apabila sang istri masuk
Islam lebih dulu sebelum suaminya yang juga beragama Ahli Kitab atau bukan dari
Ahli Kitab, kemudian sang suami menyusul masuk Islam masih pada masa iddah
istrinya, maka dia berhak atas istrinya tanpa harus rujuk atau membayar mahar
kembali. Adapun wanita yang belum disetubuhi, maka dia tidak mempunyai masa
iddah. Oleh karenanya, apabila wanita tersebut masuk Islam, maka keduanya harus
diceraikan dengan perceraian tanpa ada kalimat talak dan tidak pula mahar,
karena si suami belum menyetubuhinya” [Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/549, 550]
Pendapat Keempat
Menurut madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah : ‘Pernikahan
itu batal apabila salah satu dari suami istri lebih dahulu masuk Islam dengan
syarat belum melakukan persetubuhan, … maka menurut madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah
yang masyhur dari mereka bahwa perceraiannya ditangguhkan sampai habis masa
iddah. Jika suami atau istri tersebut masuk Islam masih pada masa iddah, maka
pernikahannya tetap sah. Dan jika dia masuk Islam setelah habis masa iddah maka
pernikahannya batal. Pendapat ini juga diambil oleh Al-Auza’i, Az-Zuhri,
Al-Laits dan Ishaq” [Lihat Mughni Al-Muhtaj III/191]
Pendapat Kelima
Seorang istri apabila masuk Islam sebelum suaminya, maka
pernikahannya dibekukan. Jika dia menginginkan perceraiann maka akan diceraikan
dengan suaminya, dan jika menginginkan tetap bersamanya –maksudnya tetap
menunggu dan menanti suaminya-, maka kapan saja si suami masuk Islam, maka dia
tetap menjadi istrinya, selama wanita tersebut belum menikah dengan laki-laki
lain, meskipun telah berlalu sekian tahun. Persoalan ini diserahkan kepada
wanita tersebut. Tidak ada hak bagi suaminya untuk bersikap tegas kepada
istrinya, begitu pula sebaliknya, si istri tidak mempunyai hak untuk bersikap
tegas kepada suaminya. Ketentuan hukum ini juga berlaku jika sang suami yang
lebih dulu masuk Islam.
Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan
muridnya, Ibnul Qayyim, Hammad bin Abi Sulaiman juga menfatwakan dengannya.
Sebagian ulama ada yang menukil bahwa Imam Malik juga memilih pendapat ini.
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin
Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. [Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah oleh Ibnul Qayyim I/320]
Dalil-Dalil Pendapat Diatas
Dalil-Dalil Pendapat Pertama –Madzhab
Zhahiriyah-:
1.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ
فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ
بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ
مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka ; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah
kepada mereka (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada
dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir ; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar ; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu” [al-Mumtahanah/60 : 10] [Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm
IV/316]
Ini adalah
ketentuan hukum Allah yang tidak ada seorangpun boleh melanggarnya. Sungguh
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan seorang wanita kembali kepada
laki-laki (suami) yang kafir.
2. Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bahwasanya beliau bersabda.
اَلْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ
مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Seorang
muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang menjauhi segala apa ang
dilarang oleh Allah” [HR
Al-Bukhari]
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘ahu dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah bersabda :
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُونَ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى
اللَّهُ عَنْهُ
“Seorang muslim
adalah orang yang lisan dan tangannya selamat dari menyakiti kaum muslimin yang
lain, dan seorang muhajir adalah orang yang menjauhi segala apa yang dilarang
oleh Allah”. (Lihat Fath
Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari I/53, Kitab Al-Iman Bab Al-Muslimu man Salima
Al-Muslimun min Lisanihi wa Yadihi.)
Setiap orang
yang masuk Islam berarti telah menjauhi kekafiran yang telah dilarang, sehingga
dia disebut sebagai muhajir (orang yang hijarah).
Dalil-Dalil Pendapat Kedua –Madzhab Hanafiyah-.
1. Ijma’ (kesepakatan) para shahabat Radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki dari Bani Tsa’lab yang istrinya masuk
Islam. Kemudian Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menawarkan Islam
kepadanya, namun dia menolak, sehingga Umar menceraikan keduanya [Laki-laki ini
bernama Abdullah bin Nu’man bin Zar’ah, dia seorang yang beragama Nasrani dan
istrinya masuk Islam. Lihat Mushannif ibnu Abi Syaibah, kitab Ath-Thalaq
V/90-91]. Persitiwa tersebut disaksikan oleh para shahabat yang lain dan mereka
tidak mengingkarinya, sehingga ini menjadi ijma.
2. Karena dengan masuk Islam, tidak ada lagi tujuan-tujuan
pernikahan antara keduanya, yaitu tujuan memiliki, menggauli, tempat
menyalurkan kebutuhan biologis, menyambung keturunan dan lainnya. Sehingga
harus ada sebab yang akan membangun kembali tujuan kepemilikan yang telah
hilang tersebut. Sementara, Islam adalah agama ketaatan yang menetapkan jaminan
keamanan, bukan memutusnya. Demikian pula, orang yang terus menerus dalam
kekafiran, tidak akan dapat menafikannya, baik dalam keadaan permulaan maupun
keadaan selanjutnya sebelum masuk Islam. [Tabyin Al-Haqaiq II/174]
Dalil-Dalil Pendapat Ketiga –Madzhab Malikiyah-
Dalam menyatakan pendapat tersebut. Madzhab Malikiyah
berhujah dengan dalil-dalil berikut.
1. Ketika suami atau istri masuk Islam sebelum melakukan
persetubuhan, mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir”
[al-Mumtahanah /60: 10]
Wanita tersebut
tidak mempunyai masa iddah, sehingga pernikahan keduanya akan terputus (batal)
seketika itu juga saat salah satu dari suami istri masuk Islam. [Al-Mughni oleh
Ibnu Qudamah VI/614]
2. Adapun ketika sang istri masuk Islam setelah melakukan
persetubuhan, mereka berdalil dengan dalil-dalil berikut.
- Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dengan sanad darinya sendiri : Bahwasanya Ummu Hakim binti Al-Harits bin Hisyam adalah istri Ikrimah bin Abu Jahal. Dia masuk Islam pada hari penaklukan Makkah, sedangkan suaminya, Ikrimah, lari enggan masuk Islam hingga sampai ke negeri Yaman. Lantas Ummu Hakim berangkat menyusul suaminya hingga dapat menemuinya di Yaman. Dia pun mengajak suaminya masuk Islam. Akhirnya suaminya (Ikrimah) masuk Islam, lalu datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih pada tahun penaklukan Makkah. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, maka beliau menyambutnya dengan suka cita dan ia tetap mengenakan selendangnya hingga dibaiat, beliau pun tetap mengesahkan pernikahan keduanya” [Tanwir Al-Hawalik Syarh ‘ala Muwaththa Malik]
- Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad dari Ibnu Syihab : “Ia menyampaikan bawa pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam para istri kalian masuk Islam di negeri mereka dan mereka tidak berhijrah. Ketika mereka masuk Islam, suami mereka masih kafir. Di antara mereka adalah anak perempuan Al-Walid bin Al-Mughirah, dia adalah istri Shafwan bin Umayyah. Dia masuk Islam pada hari penaklukan Makkah, sedangkan suaminya lari enggan masuk Islam. Rasulullah pun mengirim utusan kepadanya… Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menceraikannya (Shafwan) dengan istrinya, padahal dia masih kafir. Ketika dia masuk Islam, istrinya tetap bersamanya, tidak dicerai’ [Tanwir Al-Hawalik Syarh ‘ala Muwaththa Malik]
Dalil-Dalil Pendapat Keempat –Madzhab Syafi’iyah
dan Hanbaliyah-
Dalil yang digunakan oleh madzhab Syafi’iyah dan
Hanbaliyah yang berpendapat bahwa telah jatuh cerai seketika itu juga saat dia
masuk Islam sebelum melakukan persetubuhan dengan dalil-dalil sebagai berikut.
1. Perbedaan agama adalah faktor yang menghalangi pernikahan
tetap sah. Apabila terjadi sebelum melakukan persetubuhan, maka dia harus
segera diceraikan, karena hak kuasa pernikahan tidak dikuatkan dengan
persetubuhan, sehingga hak tersebut terputus dengan dia masuk Islam.
2. Apabila yang masuk Islam adalah suami, maka dia tidak
boleh berpegang teguh kepada tali perkawinan dengan wanita kafir, berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60 :10] [Al-Mughni VI/614 dan Kasysyaf
Al-Qana V/119]
Adapun
dalil-dalil mereka yang menyatakan bahwa perceraiannya ditangguhkan setelah
melakukan persetubuhan hingga masa iddah habis adalah sebagai berikut.
- Imam Malik meriwayatkan dalam Muwaththa’ dari Ibnu Syihab : “Bahwa ia telah menyampaikan kabar bahwa istri-istri kalian masih dalam ikatan perjanjian”
- Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa ia pernah berkata : “rentang waktu ke-islaman antara Shafwan dan istrinya adalah sekitar dua bulan”. Lalu Ibnu Syihab berkata : “Belum ada riwayat yang sampai kepada kami bahwa seorang wanita yang hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan suaminya masih kafir dan menetap di Darul Kufr melainkan hijrahnya berarti telah menceraikan ikatan pernikahan antara dia dengan suaminya, kecuali jika sang suami kemudian hijrah sebelum masa iddahnya habis” [Tanwir Al-Hawalik Syarh Muwaththa Malik II/76]
Dalil-Dalil Pendapat Kelima –Madzhab Ibnu
Taimiyyah dan Ibnul Qayyim-
1. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan putrinya, Zainab kepada
suaminya Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’ dengan akad nikah yang pertama (ketika masih
kafir), dan tidak ada sesuatu pun yang baru”
Dalam redaksi
yang lain, beliau mengembalikan putrinya Zainab kepada Abu Al-‘Ash bin
Ar-Rabi’, padahal Zainab telah masuk Islam enam tahun sebelum ke-islaman
suaminya dengan akad nikah yang pertama, dan tidak ada pengajuan saksi lagi dan
tidak pula mahar” [Sunan Abu Dawud –kitabu Ath-Thalaq- Bab Ila Mataa Turaddu
Alaihi Imratuhu Idza Aslama Ba’daha, hadits no. 2240, II/675 dan Musnad Ahmad
I/217, 261, 351]
2. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan
Makkah, banyak istri dari orang-orang yang mendapatkan jaminan keamanan telah
masuk Islam, sedangkan suami mereka, seperti Shafwan bin Umayyah, Ikrimah bin
Abu Jahal dan lainnya agak belakangan masuk Islam, baik dua bulan, tiga bulan
ataupun lebih setelahnya. Namun, tidak didapatkan ada satu riwayat pun yang
menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikan mereka sebelum
dan sesudah masa iddahnya habis. Demikian pula, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
‘anhu telah berfatwa : “Bahwa sang istri akan dikembalikan kepada suaminya,
meskipun telah berselang lama…Ikrimah datang menemui Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam di Madinah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pulang dari pengepungan Thaif dan pembagian harta ghanimah perang Hunain, yaitu
pada bulan Dzul Qa’dah, sementara penaklukan Makkah terjadi pada bulan
Ramadhan, ini berarti ikrimah datang sekitar tiga bulan setelahnya yang
memungkinkan masa iddah istrinya maupun selainnya telah habis, namun beliau
tetap mengesahkan pernikahannya dan beliau tidak pernah menanyakan kepada
istrinya ; apakah iddahnya telah habis atau belum? Begitu juga, beliau tidak
pernah menanyakan tentang yang demikian itu kepada seorang wanita pun, padahal
pada saat itu banyak sekali suami mereka yang masuk Islam setelah beberapa
waktu lamanya yang melebihi masa iddah seorang wanita” [Ahkam Ahli Dzimmah oleh
Ibnul Qayyim I/325]
Pembahasan Seputar Dalil-Dalil Yang Tersebut Diatas
Diskusi Dalil-Dalil Pendapat Pertama
1.
Dapat kita diskusikan dalil yang mereka gunakan dengan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, apabila
datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman …”, bahwa dalam ayat
tersebut tidak ada yang menunjukkan keharusan untuk “segera menceraikan’
apabila salah satu dari suami-istri lebih dahulu masuk Islam. Tidak ada seorang
pun dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memahami
demikian, dan tidak pula dari generasi tabi’in, serta tidak ada dalil yang
menunjukkan kepada pendapat mereka tersebut sama sekali.
2. Adapun dalil kedua, maka dapat dijawab : “Bahwa
atsar-atsar yang disebutkan oleh Ibnu Hazm tersebut bersifat mutlak” [Ahkamu
Ahli Adz-Dzimah I/339-340, 341,322]
Diskusi Dalil-Dalil Pendapat Kedua
Adapun dalil yang mereka gunakan dengan ijma’
(kesepakatan) para shahabat, yaitu dengan hadits yang diriwayatkan dari Umar
Radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa harus ditawarkan agar masuk Islam
kepada yang belakangan dari suami istri yang belum masuk Islam adalah sebagai
berikut.
1. Dalam riwayat yang pertama terdapat Yazid bin Alqamah,
dia adalah seorang perawi yang majhul (tidak diketahui identitasnya), dan di
dalamnya juga terdapat As-Safah Dawud bin Kardaros, keduanya pun perawi yang majhul.
2. Dalam riwayat yang kedua terdapat Ishaq Asy-Syaibani, dia
tidak pernah bertemu dengan Umar Radhiyallahu ‘anhu, sehingga riwayatnya dari
Umar tidak shahih.
3. Riwayat tersebut menyelisihi riwayat lain yang shahih
dari Umar Radhiyallahu ‘anhu. [Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm IV/314]
Diskusi Dalil-Dalil Pendapat Ketiga
1. Dalil yang mereka gunakan dari ayat yang mulia : “Dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60 : 10] [Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah
I/229]. Jelas sekali, memang benar bahwa seorang muslim diperintahkan untuk
tidak berpegang dengan tali perkawinan dengan perempuan kafir apaila perempuan
ini tidak mau masuk Islam, dan bahwa ketika sang suami masuk Islam, maka
terputuslah ikatan perkawinan dengan perempuan kafir tersebut … Di dalamnya
mengandung makna penegasan akan haramnya pernikahan antara orang-orang muslim
dengan orang-orang kafir… Namun di dalamnya tidak menyebutkan bahwa salah satu
dari suami-istri tidak boleh menunggu pasangannya masuk Islam, sehingga dia
menjadi halal lagi jika keduanya telah masuk Islam.
2. Adapun atsar yang diriwayatkan Imam Malik dari Ibnu
Syihab tentang kisah masuk Islamnya Ikrimah bin Abu Jahal, maka dapat di jawab
bahwa atsar tersebut adalah mursal (dalam sanadnya tidak ada shahabat, sehingga
dari generasi tabi’in langsung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
padahal atsar mursal tidak dapat dijadikan hujjah. [Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm
IV/315]
Diskusi Dalil-Dalil Pendapat Keempat
1.
Pendapat mereka yang mengatakan bahwa telah jatuh cerai
seketika itu juga, sesungguhnya dalil yang mereka gunakan bukan bermakna “
segera diceraikan” ketika salah satu dari suami-sitri lebih dahulu masuk Islam.
Tidak ada seorang-pun dari para shahabat yang memahami demikian, dan tidak pula
generasi tabi’in, serta tidak ada dalil yang menunjukkan kepada pendapat mereka
tersebut sama sekali.
2. Dalil yang mereka gunakan dari ayat yang mulia : “Dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir” [al-Mumtahanah/60 : 10], telah dijawab dalam diskusi dalil-dalil
pendapat ketiga.
Adapun dalil-dalil yang mereka gunakan bahwa perceraian
ditangguhkan setelah melakukan persetubuhan sampai masaa iddahnya habis, juga
telah kami diskusikan, yang kesimpulannya sebagai berikut:
Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Ibnu Syihab
tentang kisah masuk Islamnya Shafwan dan Ikrimah telah kami diskusikan dalam
dalil-dalil pendapat ketiga.
Pendapat Yang Lebih Rajih (Unggul)
Selama pemparan pendapat-pendapat para ulama dan
penyebutan dalil-dalil dari setiap pendapat serta pendiskusian semua dalil
tersebut, maka jelas bagi saya bahwa pendapat yang lebih rajih (unggul) adalah
pendapat kelima (yaitu pendapatnya Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim)… Alasannya
adalah sebagai berikut.
1.
Dalil-dalil yang mereka gunakan sangat kuat.
2. Pendapat ini mengandung kemaslahatan bagi kedua belah
pihak (suami-istri)… Kemaslahatan tersebut akan semakin jelas dengan keterangan
di bawah ini.
- Menurut sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tetap menyatukan suami-istri apabila salah satunya lebih dahulu masuk Islam sebelum pasangannya, dan keduanya sama-sama ridha jika pernikahannya tetap dipertahankan, keduanya tidak diceraikan dan tidak perlu dilakukan akad baru. Apabila istri lebih dahulu masuk Islam, maka dia punya hak untuk menunggu suaminya hingga mau masuk Islam. Kapan saja saumi masuk Islam, maka dia tetap menjadi istrinya. Sedangkan apabila suami lebih dahulu masuk Islam, maka dia tidak punya hak untuk menahan istrinya bersedia menjadi istrinya lagi dan tetap berpegang teguh dengan tali perkawinannya. Jadi, dia tidak boleh memaksa istrinya masuk Islam dan tidak boleh pula menahannya menjadi istrinya lagi.
- Pendapat yang menyatakan “harus diceraikan” hanya semata-mata karena masuk Islam adalah pendapat yang akan menyebabkan orang-orang justru lari dari Islam [Ahkaam Ahli Adz-Dzimmah I/343-344]
[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa
Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad
Al-Humaidhi, Murajaah DR. Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Ali Asy-Syaikh]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar