Matan hadits
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىالله عَلَيْهِ وَسَلّم: إِذَاكَانَ المْاَءُ قُلَّتَيْنِ لَمْيَحْمِلِ الخَبَثَ وَفِيْلَفْظٍ:لمَ ْيَنْجُسْ
أَخْرَجَهُالأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُخُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وابنُحِبّانَ.
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila air itu berukuran dua
qullah maka air itu tidak kotor (najis).” Dan dalam salah satu
riwayat dengan lafazh: “Tidak dapat ternajiskan.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidziy, Nasaa-i, dan Ibnu
Majah dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan Al Hakim dan Ibnu Hibban.
Penjelasan hadits ini dalam beberapa pembahasan:
Biografi Perawi Hadits
Beliau adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin
al-Khathaab bin Nufail al-Qurasyi al-‘Adawi al-Madani salah seorang sahabat
yang memiliki keistimewaan dalam ilmu dan amal. Sejak masih kecil, ia sudah
masuk Islam bersama Ayahnya, Umar bin Khattab. Ia ikut hijrah (pindah) ke Kota
Madinah bersama ayahnya ketika usianya baru menginjak sepuluh tahun. Peperangan
pertama yang beliau ikuti adalah perang Khandaq, karena beliau sebelum perang
Khondaq masih kecil.
Imam Maalik rahimahullah berkata: Abdullah bin Umar masih
hidup setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat enampuluh tahun lamanya.
Orang-orang mendatanginya untuk menerima ilmu. Beliau sangat berhati-hati dalam
berfatwa dan semua yang beliau kerjakan.
Abdullah bin Umar sering bergaul dan selalu dekat dengan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kecintaannya kepada Rasulullah sangat
mengagumkan. Kemana pun Rasulullah pergi, ia sering turut menyertainya. Ia
memang tercatat masih ipar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena
saudari kandungnya yang bernama Hafsah binti Umar menjadi istri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia senantiasa berusaha mencontoh sifat, kebiasaan
harian dan meniru segala gerak-gerik Rasulullah, seperti cara memakai pakaian,
makan, minum, bergaul, dan hal lainnya. Atas dasar inilah, ia disegani dan
dihormati banyak orang. Bahkan, ia pernah menjadi guru yang mengajari
murid-muridnya yang datang dari berbagai tempat, meski tidak lama.
Satu waktu, Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari
Abdullah bin Umar untuk menjabat sebagai hakim. Tetapi ia tidak mau
menerimanya. Ia lebih memilih menjadi warga biasa. Memasuki masa tua, Abdullah
bin Umar mendapat cobaan dari Allah subhanahu wata’ala, yakni kehilangan pengelihatannya.
Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis –sejumlah 2.630 hadis setelah Abu
Hurairah—ini kemudian wafat pada tahun 73 hijriyah dalam usia 87 tahun. Ia
merupakan salah satu sahabat Rasulullah yang paling akhir yang meninggal di dzi
Thuwa, Mekkah.
(lihat biografi beliau di al-Istii’aab 6/308, Tadzkiratul
Hufaazh 1/37 dan al-Ishaabah 6/167 dan lihat keterangan wafat Ibnu Umar di
Fathul Jalal wal Ikraam 1/67).
Takhrijul Hadits
Hadits Qullatain (hadits
dua Qullah) ini memiliki 3 jalan periwayatan:
Jalan pertama:
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no: 63), Nasaa-i (1/46),
Daarimi (1/187), Ibnu Khuzaimah (no: 92), Ibnu Hibban (no: 1237, 1241 –di
shahihnya-), Daruquthni (1/14-17), Hakim (1/132,133), Baihaqiy (1/260) dan
lain-lain banyak sekali. Hadits di atas diriwayatkan dari jalan yang begitu
banyak dari Abu Usamah Hamad bin Usamah, dari Walid bin Katsir, dari Muhammad
bin Ja’far bin Zubair dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari bapaknya yaitu
Abdullah bin Umar, beliau berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَنِ الْمَاءِ وَمَا يَنُوْبُهُ مِنَ الدَّوَابِّ وَالسِّبَاعِ؟ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَ الْمَاءُقُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya
tentang air yang silih berganti binatang dan binatang buas berdatangan
meminumnya? Jawab beliau: “Apabila air itu sebanyak dua
qullah dia tidak najis.”
Al-Walid juga meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin
Ja’far dari Ubaidillah bin Abdillah bin Umar seperti dalam riwayat an-Nasaa’i
(1/175). Demikian juga meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far dari
Ubaidillah bin Abdillah bin Umar seperti dalam riwayat Ibnu Hibban dalam
shahihnya (4/64).
Sanad hadits ini shahih atas syarat Bukhari dan Muslim
dan rawi-rawinya semuanya tsiqat. Abu Usamah namanya Hammad bin Usamah.
Berkata Imam Hakim rahimahullah: “Hadits ini shahih atas
syarat Bukhari dan Muslim” Dan Imam Adz Dzahabi telah menyetujuinya. Juga telah
di-shahih-kan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, ad-Daruquthni dan Baihaqiy dan
lain-lainnya sebagaimana akan datang penjelasannya di akhir takhrij hadits dua
Qullah.
Adapun jalannya sanad di atas sebagai berikut:
1.
Abu
Usamah meriwayatkan dari Walid bin Katsir, kemudian:
2.
Walid
bin Katsir meriwayatkan dari Muhammad bin Ja’far bin Zubair dan dari Muhammad
bin Abbad bin Ja’far, keduanya telah meriwayatkan dari:
3.
Abdullah
bin Abdullah bin Umar dan ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Umar dari bapak
keduanya, yaitu Abdullah bin umar. (Syarah Tirmidziy oleh Ahmad Syakir juz 1
hal.99).
Jalan kedua:
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud (no: 64), Tirmidziy
(no: 67), Ibnu Majah (no: 517), Ahmad (2/12, 27,38), Daruquthni (1/19,20),
Hakim (1/133), Baihaqiy (1/261) dan lain-lain banyak sekali, yang semuanya dari
jalan yang banyak dari Muhammad bin Ishaq, dari Muhammad bin Ja’far bin Zubair
dari ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya (yaitu Abdullah bin Umar),
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya… (seperti di
atas).
Sanad hadits ini hasan, karena muhammad bin Ishaq bin
Yasar seorang rawi yang haditsnya hasan dan dia juga seorang mudallis, akan
tetapi di dalam sanad hadits ini yaitu di dalam salah satu riwayat Daruquthni
(1/21) ia telah mempergunakan lafazh yang tegas, yaitu ia berkata: “Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Ja’far.” Dengan demikian telah hilanglah
syubhat tadlis-nya dan naiklah riwayatnya menjadi hasan, sebagaimana perkataan
saya di atas bahwa sanad hadits ini hasan. Akan tetapi hadits di atas telah
naik menjadi shahih lighairihi karena telah dikuatkan oleh jalan yang pertama
dan ketiga di bawah ini:
Jalan ketiga:
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud (no: 65), Ibnu Majah
no: 518), Ahmad (2/23,107), Daruquthni (1/22-23), Hakim (1/34), Baihaqiy
(1/261-262) dan lain-lain semuanya dari jalan Hammad bin Salamah (ia berkata):
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ashim bin Mundzir, dari ‘Ubaidullah bin
Abdullah bin Umar, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku bapakku (Abdullah
bin Umar):
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ فَإِنَّهُ لاَيَنْجُس.
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda: “Apabila air itu ukurannya sebanyak dua
qullah, maka sesungguhnya ia tidak najis.”
Sanad hadits ini shahih dan rawi-rawinya tsiqat, berkata
syaikh Ahmad Syakir di takhrij Musnad Ahmad (no: 4753): “Isnadnya shahih”
Para ulama berselisih dalam menghukumi hadits ini.
Sebagian mereka menshahihkan hadits ini, di antaranya : Imam Syafi’i,Iimam
Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Tirmidziy, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya
(no. 92), Ibnu Hibban (no. 1249), al-Haakim (al-Mustadrak 1/132), Abu Ubaid
al-Qaasim bin Sallaam (Kitab ath-Thahur hlm 235), ath-Thahawiy, ad-Daruquthni,
al-Baihaqiy, al-Khathabi (Ma’alim as-Sunan 1/58), Ibnu Mandah (Talkhish
al-habir 1/17), an-Nawawi (al-Majmu’ 1/162), Ibnu Taimiyyah (Majmu’ al-Fatawa
21/41-42), Ibnu Qayyim, Adz Dzahabi, Ibnu Daqiqil’ied, al-‘Alaa’i, Abdulhaq
al-Isybiliy, Al ‘Iraqiy, Ibnu Hajar (Fathul Baari 1/408), Ibnu Hazm (al-Muhalla
1/151), asy-Syaukani (Nail al-Authaar 1/30-31), Ahmad Syakir (dalam Tahqiq
Sunan at-tirmidzi 1/98), Al Albani dan lain-lain.
Al-Khathaabi berkata: Cukuplah sebagai bukti
keshahihannya bahwa pakar ahli hadits yang tenar telah menshahihkannya dan
mereka berpendapat dengan argumen hadits ini. Mereka adalah contoh teladan dan
semua kembali pada mereka dalam hal ini. (Ma’alim as-Sunan 1/58)
Sebagian lainnya masih mendhaifkannya, di antaranya Ibnu
Abdilbarr (lihat at-Tamhid 1/329) dan Ibnul ‘Arabi (lihat Ahkaam al-Qur`an
3/1425 dan ‘Aridhatul Ahwadzi 1/84). Sebab yang menjadikan mereka melemahkan
hadits ini adalah adanya kegoncangan (al-Idh-thiraab) dalam sanad dan matannya.
Idhthirab di sanad karena adanya al-Walied bin Katsier
al-Makhzumi seorang perowi shaduq (perawi hadits hasan), yang meriwayatkan
hadits ini kadang dari Muhammad bin Ja’far bin az-Zubeir dan kadang dari
Muhammad bin ‘Abaad bin Ja’far. Kadang dari Abdullah bin Abdillah bin Umar dan
kadang dari Ubaidillah bin Abdillah bin Umar dan kadang dari keduanya.
Mereka menyatakan: Ketika terjadi perbedaan pada
sanadnya, apakah ia dari Muhammad bin ‘Abaad atau dari Muhammad bin Ja’far?
Maka kita tahu hadits tersebut mudh-tharib tidak mahfuzh. Pentarjihan salah
satu dari keduanya tidak mungkin; karena pentarjihan tersebut adakalanya dengan
sebab banyaknya jalan periwayatan dan adakalanya dengan hafalan dan ketepatan
hafalan. Semua itu ada pada riwayat dua jalan periwayatan tersebut. Riwayat
Al-Walied sendiri dikuatkan oleh riwayat Muhammad bin Ishaaq dari Muhammad bin
Ja’far bin az-Zubeir dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dalam riwayat Ahmad
dalam musnadnya (2/27), Abu Daud (no.64), at-Tirmidzi (no. 67), Ibnu Majah (no.
517) dan ad-Daraquthni (1/19). Dalam riwayat ad-Daraquthni ini Muhammad bin
Ishaq menyampaikan lafal mendengar langsung dengan jelas (صَرَّحَ بِالتَّحْدِيْثِ )
sehingga hilanglah syubhat tadliesnya. Sedangkan Hammad bin Salamah
meriwayatkan hadits ini dari ‘Ashim bin al-Mundzir dari Abdullah. Ini ada dalam
Musnad Ahmad 2/3, Abu Dawud (no. 65), Ibnu Majah (no. 518). Sanadnya ini para
perawinya tsiqah (kredibel) sebagaimana dijelaskan al-Bushairi (Mishbaah
az-Zujaajah 1/206).
Adapun al-Idh-thirab dalam matannya, ada riwayat :
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ
“Apabila air sampai dua qullah” dan juga diriwayatkan :
إِذَا كَانَ الْمَاءُ قَدْرَ قُلَّتَيْنِ أَوْ
ثَلاَثٍ لَمْ يُنْجِسْهُ شَيْءٌ
“Apabila air ada seukuran dua qullah atau tiga maka tidak
ada satupun yang menajiskannya”. Dalam riwayat Ibnu ‘Adi, al-‘Uqaili dan
ad-Daraquthni :
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ أَرْبَعِيْنَ قُلَّةً
فَإِنَّهُ لاَ يَحْمِلُ الْخَبَثَ
“Apabila air mencapai empat puluh qulah maka ia tidak
memabawa najis”.
Para ulama menjawab sebab pelemahan hadits ini dengan
idhthirab dengan dua cara:
Pertama: Cara tarjih. Di antaranya yang
mengambil cara ini adalah Abu Hatim (lihat al-Ilal 1/244) dan Ibnu Mandah
(lihat Nashbur Raayah 1/16) serta al-Khathabi yang merojihkan riwayat
Muhammad bin Ja’far bin az-Zubeir. Sedang Abu Dawud merojihkan riwayat Muhammad
bin ‘Abaad bin ja’far, sebagaimana dinashkan dalam sunannya.
Kedua : Cara kompromi (Maslak
al-Jam’) –inilah yang shahih-. Para ulama yang mengambil cara ini menyatakan
bahwa setiap dari kedua perawi tersebut tsiqah dan dijadikan hujjah dalam
Shahihain. Demikian juga perawi dari keduanya yaitu al-Walied bin Katsier.
Sehingga hadits ini bagaimanapun juga berkisar pada perawi tsiqah sehingga bisa
dijadikan hujjah. Dalam hadits ini Abu Usamah kadang meriwayatkan dari
al-Walied dari Muhammad bin Ja’far dan kadang dari al-Walied dari Muhammad bin
Abaad dan Muhammad bin Ja’far bin az-Zubeir yang meriwayatkan dari Abdullah dan
Ubaidillah bin Abdillah bin Umar. Sedangkan Muhammad bin Abaad meriwayatkannya
dari Abdullah bin Abdillah bin Umar. Inilah pendapat al-Baihaqi, al-Haakim,
ad-Daraquthni, al-‘Alai dan al-Haafizh Ibnu Hajar.
Sedangkan tentang idhthirab matan dengan lafazh (قُلَّتَيْنِ
أَوْ ثَلاَثاً) adalah riwayat
Hammad bin Salamah dari ‘Ashim bin al-Mundzir. Hammad ini walaupun tsiqah namun
ia mengalami perubahan (kemampuan hafalannya) di akhir usianya (usia tuanya).
Perbedaan ini bersumber darinya; karena yang meriwayatkan darinya sejumlah perowi
di antaranya ada yang hufaazh atsbaat. Mereka
meriwayatkan dengan dua lafazh sekaligus – lafazh ragu (قُلَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثاًً)
dan lafazh pasti (قُلَّتَيْنِ).
Hal ini menunjukkan perbedaan terjadi dari beliau bukan yang lainnya. Namun
riwayat yang tidak ada tambahan (أَوْ ثَلاَثاً) lebih benar;
karena riwayat dari orang yang lebih baik hafalannya dan karena sesuai dengan
riwayat Abu Usamah dari al-Walied bin Katsier.
Adapun riwayat (إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ أَرْبَعِيْنَ قُلَّةً
فَإِنَّهُ لاَ يَحْمِلُ الْخَبَثَ) bukanlah dari hadits qullatain sama
sekali.
Adapun ulama yang membela hadits ini dan mengamalkannya
seperti Imam Asy Syaukani, beliau berkata, “Telah dijawab tuduhan idhtirob
(simpang siur) dari segi sanad bahwa selagi terjaga di seluruh jalur periwayatannya,
maka tidak bisa dianggap idhtirob (simpang siur), karena hadits tersebut
dinukil oleh yang terpercaya kepada yang terpercaya. Al Hafidz berkata, “Hadits
ini memiliki jalur periwayatan dari Al Hakim dan sanadnya dikatakan baik oleh
Ibnu Ma’in.” Adapun tuduhan idhtirob dari segi matan, maka sesungguhnya riwayat
“tiga” itu syadz, riwayat “empat puluh kullah”
itu mudhtorib, bahkan dikatakan bahwa kedua riwayat tersebut maudhu’, dan
riwayat “empat puluh” di-dho’ifkan oleh Ad Daruqutni.
Ibnu Taimiyah berkata, “Kebanyakan ulama menghasankan hadits ini dan menjadikannya sebagai hujjah (dalil), mereka telah membantah perkataan yang mencela hadits ini”
Di antara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dan Syeikh al-Albani.
Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini shahih”,
diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad Daruquthni, Al
Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih. Ath Thohawi, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan
hadits ini, dan sikap sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob
(simpang siur) tidaklah dapat diterima, sebagaimana telah saya jelaskan dalam
Shahih Abi Daud (56-58). (Irwa’ al-Gholil 1/60 hadits no. 23).
Dari sini jelaslah kebenaran pendapat yang mensahahihkan
hadits dua qullah di atas, bahkan salah satu jalannya (jalan yang pertama) atas
syarat Bukhari dan Muslim, maka tidak ada jalan bagi sebagian ulama untuk
melemahkannya dengan mengatakan bahwa hadits dua qullah itu mudltharib
(goncang) sanad dan matannya
Penjelasan Kosa kata:
Kata قُلَّتَيْنِ (qullataini) dengan di dhommahkan huruf Qaafnya berarti
dua kullah. Kullah sendiri adalah kantong air yang besar dari tanah yang
dinamakan juga dengan al-Hubb (الْحُبّ). Qullah
disini adalah Qullah Hajar yang sudah dikenal di kalangan sahabat dan bangsa
Arab. Adapun riwayat yang menentukan kullahnya dengan lafazh (قِلاَلُ هَجَر) maka
itu tidak shahih, karena termasuk riwayat Mughirah bin Saqlaab dari Muhammad
bin Ishaaq.
Mughiroh ini seorang mungkar hadits dan umumnya
riwayatnya tanpa penguat. Ditambah lagi ia menyelisihi para perawi tsiqah dari
para murid Ibnu Ishaaq. Yang dimaksud dengan kullah dalam hadits adalah kullah
yang besar. Nampaknya sengaja nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
menentukan ukurannya untuk kemudahan manusia; karena beliau tidak menyampaikan
sesuatu kepada para sahabatnya kecuali yang mereka fahami, sehingga hilanglah
ketidak jelasan tersebut. Namun karena tidak ada penentuannya maka terjadi
khilaf dalam ukurannya. Tampaknya yang rojih adalah pendapat yang menyatakan
dua kullah sama dengan 500 ritl baghdadi, dan 1 ritl Irak sama dengan 90
mitsqol. Dengan takaran kilo, dua kullah sama dengan 200 kg dan setara dengan
307 liter.
Kata لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ (lam yahmil khobats), yaitu tidak dicemari oleh kotoran
(najis), maknanya adalah air tidak ternajisi dengan masuknya najis ke dalamnya,
jika air tersebut mencapai dua kullah. Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah
air tersebut dapat melarutkan (menghilangkan) najis yang masuk ke dalamnya,
sehingga air tersebut tidak ternajisi.
Kata الْخَبَثَ (khobats) adalah najis.
Pengertian Hadits secara Umum
Hadits ini memberikan pengertian bahwa air yang banyak
–yang mencapai dua kullah atau lebih- apabila terkena najis maka ia tidak
berubah menjadi najis baik berubah sifatnya atau tidak. Namun pengertian
seperti ini tidak benar karena adanya ijma’ bahwa air yang terkena najis dan
berubah salah satu sifatnya maka menjadi najis baik sedikit maupun banyak,
seperti yang telah dijelaskan dalam penjelasan hadits Abu Saaid al-Khudri pada
hadits no. 2.
Pengertian sebaliknya dari hadits ini bahwa air yang
sedikit yang tidak mencapai dua kullah dengan sekedar terkena najis saja sudah
menjadi najis, baik berubah atau tidak berubah salah satu sifatnya. Pengertian
ini menyelisih hukum al-manthuq (pengertian umum), karena tidak diambil
keumumannya; sebabnya tidak disyaratkan hukum pengertian sebaliknya (mafhuum)
menyelisihi pengertian umum (al-manthuq) dari semua sisi, bahkan cukup
penyelisihannya walaupun hanya dalam satu bentuk dari bentuk keumumannya.
Inilah pengertian kaedah (الْمَفْهُوْمُ لاَ عُمُوْمَ لَهُ) Pengertian
sebaliknya tidak digunakan keumumannya.
Berdasarkan hal ini tidak mesti setiap yang tidak
mencapai dua kullah menjadi najis. Apabila terkena najis dan berubah sifatnya
maka ia menjadi najis dan bila tidak ada perubahan sifat maka tetap dalam
keadaan suci. Namun air yang di bawah dua kullah menjadi pusat perhatian agar
orang tidak semau-maunya atau meremehkannya. Hal ini karena ukuran tersebut
menjadi sesuatu yang mudah terpengaruh najis. Inilah pendapat Imam Malik dan
Ahmad serta Zhohiriyah dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim
merojihkannya.
Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
وَأَمَّا حَدِيْثُ الْقُلَّتَيْنِ فَغَايَةُ
مَا فِيْهِ أَنَّ مَا بَلَغَ مِقْدَارَ الْقُلَّتَيْنِ لاَ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
فَكَانَ هَذَا الْمِقْدَارُ لاَ يُؤَثِّرُ فِيْهِ الْخَبَثُ فِي غَالِبِ
الْحَالاَتِ فَإِنْ تَغَيَّرَ بَعْضُ أَوْصَافِهِ كَانَ نَجِسًا بِاْلإِجْمَاعِ
الثَّابِتِ مِنْ طُرُقٍ مُتَعَدِّدَةٍ…. وَأَمَّا مَا كَانَ دُوْنَ
الْقُلَّتَيْنِ فَلَمْ يَقُلِ الشَّارِعُ إِنَّهُ يَحْمِلُ الْخَبَثَ قَطْعًا
وَبَتًّا بَلْ مَفْهُوْمُ حَدِيْثِ الْقُلَّتَيْنِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا
دُوْنَهُمَا قَدْ يَحْمِلُ الْخَبَثَ وَقَدْ لاَ يَحْمِلُهُ فَإِذَا حَمَلَهُ
فَلاَ يَكُوْنُ ذَلِكَ إِلاَّ بِتَغَيُّرِ بَعْضِ أَوْصَافِهِ فَيُقَيَّدُ
مَفْهُوْمُ حَدِيْثِ الْقُلَّتَيْنِ بِحَدِيْثِ التَّغَيُّرِ الْمُجْمَعِ عَلَى
قَبُوْلِهِ وَالْعَمَلِ بِهِ كَمَا قُيِّدَ مَنْطُوْقُهُ بِذَلِكَ
“Kandungan utama hadits qullatain adalah air yang telah
mencapai kadar sebanyak dua qullah, tidaklah membawa/mengandung najis,
dikarenakan umumnya kadar air yang demikian tidaklah dipengaruhi oleh najis.
(Namun), apabila ternyata sebagian karakter air berubah, maka statusnya menjadi
najis berdasarkan ijma’ ulama yang ditetapkan dari beberapa periwayatan” Beliau
melanjutkan: “Adapun air yang jumlahnya di bawah dua qullah, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memastikan bahwa air dengan
kadar tersebut mengandung najis. Bahkan konteks hadits menunjukkan bahwa air
dengan kadar di bawah dua qullah, terkadang membawa najis dan juga terkadang
tidak membawa najis. Apabila air tersebut mengandung najis, maka statusnya
tidaklah berubah menjadi najis kecuali salah satu karakternya berubah.
Sehingga, konteks hadits qullatain ditaqyid (dikaitkan) dengan hadits yang
telah disepakati untuk diterima dan diamalkan, yang menyatakan bahwa air yang
bercampur dengan najis, statusnya menjadi najis apabila terjadi perubahan pada
salah satu karakternya (Sail al Jarar 1/55.).
Wallahu a’lam
Faedah hadits:
a. Hadits dua qullah di atas meskipun telah sah sanadnya,
harus difahami bersama dengan hadits-hadits yang lain, karena hadits
sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain. Dan tidak bisa difahami menurut
zhahir-nya hadits sebagaimana yang difahami oleh mazhab Syafi’iy dan lain-lain.
Karena kalau demikian akan bertentangan dengan sejumlah hadits shahih, seperti
hadits Abu Sa’id Al Khudriy (no: 2) dan hadits Abu Hurairah yang akan datang
(no: 6,7, 8). Ambil misal kalau difahami secara zhahir-nya “Apabila air itu sebanyak
dua qullah tidak najis”, kemudian mazhab dua qullah ini ditanya: “Boleh atau
tidak kalau seorang kencing di air yang banyaknya dua qullah?” Kalau mereka
menjawab “boleh”, maka akan bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang melarang kencing di air yang tergenang yang tidak mengalir, (no:
7 hadits Abu Hurairah) Kalau mereka menjawab “Tidak boleh”, maka akan
bertentangan dengan zhahir-nya hadits dua qullah yang menjadi mazhab mereka,
maka dengan sendirinya batal lah dalil dan hujjah mereka. Jawaban mereka “tidak
boleh” menunjukkan bahwa mereka tidak memahami hadits dua qullah secara
zhahir-nya, akan tetapi mereka memahaminya bersama hadits-hadits yang lain.
Oleh karena itu mazhab yang paling berbahagia dalam masalah ini ialah mazhabnya
Imam Malik dan Ahmad. Bahwa air itu sedikit banyaknya tetap suci dan mensucikan
selama belum berubah salah satu sifatnya yaitu baunya atau rasanya atau
warnanya dengan sebab kemasukan najis, sebagaimana telah saya jelaskan sebelum
ini (no: 2). Dan hadits dua qullah tidak dapat tidak harus dibawa seperti
ketentuan dan ketetapan di atas, bahwa air dua qullah apabila telah berubah
salah satu sifatnya dengan sebab kemasukan najis, maka dia tidak lagi suci dan
mensucikan. Wallahu a’lam.
b. Jika air mencapai dua kullah, maka air tersebut dapat
menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis tidak memberi pengaruh,
dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut.
c. Dipahami dari hadits tersebut bahwa air yang kurang dari
dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis dengan masuknya najis sehingga
air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang tidak menjadi ternajisi
dengannya.
d. Ternajisi atau tidaknya air bergantung pada ada atau
tidaknya zat najis di dalamnya, jikanajis tersebut telah hancur dan larut, maka
air tersebut tetap pada kesuciannya.
e. Air sedikit sekali terpegaruh oleh najis secara umum,
sehingga seyogyanya dibuang dan berhati-hati dengan tidak menggunakannya.
Masaail:
Ada beberapa masalah berkenaan dengan hadits ini:
A. Hukum air bila tidak mencapai 2 qullah dan terkena
najis apakah bisa menjadi najis atau tidak?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini dalam dua
pendapat:
1. Imam
Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad, serta pengikut madzhab mereka
berpendapat bahwa air yang sedikit menjadi ternajisi dengan masuknya
najis, walaupun najisnya tidak mengubah sifat air. Para ulama yang mengatakan
bahwa air dapat ternajisi dengan sekedar masuknya najis berdalil dengan
pemahaman hadits Ibnu Umar ini. Pemahamannya menurut mereka bahwa air yang
kurang dari dua kullah akan mengandung kotoran [najis]. Di dalam satu riwayat,
Jika (air) mencapai dua kullah, maka tidak ada sesuatupun yang dapat
menajiskannya”. Maka pemahamannya bahwa air yang kurang dari dua kullah menjadi
ternajisi dengan sekedar masuknya najis, sebagaimana mereka berdalil dengan
hadits tentang perintah menumpahkan air pada wadah yang dijilati oleh anjing
tanpa memperdulikan tentang perubahan sifat air nya.
Hadits qullatain (dua kullah) tidak bertentangan dengan
pendapat Abu Hanifah, sebab air seukuran dua kulah jika diisi dalam suatu
wadah, maka air di salah satu ujung wadah tidak bergerak dengan bergeraknya
ujung lainnya.
2. Imam
Malik, Az Zhohiriyyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab, ulama-ulama salafiyah di Nejd, dan para muhaqqiqin berpendapat bahwa
air tidak menjadi ternajisi dengan masuknya najis selama salah satu dari tiga
sifat air (rasa, warna, dan bau) tidak berubah.
Adapun dalil-dalil para ulama yang tidak memandang
sebagai air yang ternajisi kecuali dengan perubahan sifat, di antaranya hadits
qullataini ini, sesungguhnya makna hadits tersebut adalah air yang mencapai dua
kullah tidak ternajisi dengan sekedar masuknya najis, karena air yang mencapai
dua kullah tersebut tidak mengandung kotorang [najis] dan dapat menghilangkan
najis-najis di dalamnya.
Adapun pemahaman hadits tersebut, tidak lazim demikian,
sebab terkadang air menjadi ternajisi jika najis mengubah salah satu sifat air,
dan terkadang air tidak ternajisi. Sebagaimana mereka juga berdalil dengan
hadits tentang menuangkan seember air pada air kencing Arab Badui dan dalil
lainnya.
Ibnul Qoyyim berkata, “Yang dituntut oleh prinsip dasar syariat adalah : Jika air tidak berubah sifatnya oleh najis maka air tersebut tidak menjadi ternajisi, hal itu karena air tetap dalam sifat alaminya, dan air yang seperti ini termasuk yang thoyyib (baik) dalam firman Allah subhanahu wata’ala, yang artinya ((dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik)). Ini dapat diqiyaskan terhadap seluruh benda cair, jika terkena najis dan tidak mengubah warna, rasa, dan bau. (Taudhih al-Ahkaam 1/124-125)
Pendapat kedua ini yang rojih. Syeikh Abdulaziz bin Baaz
merojihkan pendapat ini dengan menyatakan: “Yang benar air yang tidak mencapai
dua kullah tidak menjadi najis kecuali bila ada perubahan sifat seperti juga
yang mencapai dua kullah. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam:
إنَّ المَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَي
Sesungguhnya air adalah thahur tidaklah sesuatu
menjadikan air tersebut najis.
Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud,
at-Tirmidzi dan an-Nasaa’i dengan sanad yang shahih dari hadits Abu Sa’id
al-Khudri. Disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua kullah untuk
menunjukkan bahwa air yang lebih sedikit dari dua kullah butuh kepada
klarifikasi, penelitian dan perhatian (majmu’ fatawa wa Rasaail wa maqalaat
mutanawwi’at 10/16-17). Demikian juga pendapat Syeikh al-Albani
rahimahullah sebagaimana disampaikan penulis kitab Nashihatul Anaam bi Fawaaid
Bulughul Maram (hlm 18). Wallahu a’lam
B. Batas banyak dan sedikitnya air.
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
1. Sedikitnya
air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya,
maka ujung lainnya juga ikut bergerak.
2. Adapun
sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang
kurang dua kullah. Inilah yang shahih dengan adanya hadits Qullataian.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar