MUQODDIMAH
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ
النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka.” (QS. al-Baqoroh [2]:120)
Apa hubungan
ayat yang mulia ini dengan pembahasan figih kita kali ini. Jawabnya sangat
erat. Entertainment & amusement (hiburan dan pelesir)
adalah salah satu pintu musuh-musuh Islam dalam menghancurkan Islam. Mereka
tahu, selama umat Islam berpegang kuat dengan agamanya, mereka tidak bisa
berbuat apa-apa. Mereka pun menyusun strategi bagaimana umat Islam tidak
memperhatikan agamanya, di antaranya dengan memperbanyak sarana hiburan
(televisi, game, sport, musik) dan membangun tempat-tempat hiburan.
Tidak
dipungkiri bahwa kita membutuhkan kebugaran dan kesegaran dalam menunaikan
ibadah. Berwisata sering menjadi pilihan saudara-saudara kita. Sebagian mereka
pergi ke pantai atau pegunungan untuk bersahabat dengan alam. Sebagian lagi
mengadakan perjalanan dakwah, mengunjungi pondok-pondok pesantren, panti asuhan
atau bercengkrama dengan para petani dan kaum buruh. Dengan demikian kita
ingat kembali, bahwa kita tidak sendirian. Banyak saudara-saudara kita yang
membutuhkan perhatian kita, agar mereka pun hidup dalam bimbingan Islam. Allohul-mustaan.
Berikut ini
kita kaji bersama, ‘fiqih wisata’. Semoga kita tetap menuai pahala walaupun
sedang berwisata.
DEFINISI
TAMASYA/ REKREASI
Rekreasi
dalam bahasa Arab biasa disebut (siyahah) yaitu bepergian
ke suatu tempat untuk suatu tujuan (Seperti untuk bersantai, bersenang
– senang, menikmati indahnya alam, mengetahui tempat – tempat bersejarah dan
lain sebagainya), bukan untuk berpindah tempat dan bukan untuk melakukan
suatu pekerjaan. [Al-Mu’jam al-Washith 915-916.
Demikian definisi rekreasi yang lainnya dalam “Ahkam as-Siyahah Dirosah
Syar’iyah Muqoronah” oleh Hasyim bin Muhammad bin Husain Naqur]
HUKUM
BERTAMASYA
Rekreasi
dengan tujuan bersantai, bersenang-senang, menikmati indahnya alam, mengetahui
tempat-tempat bersejarah dan lain sebagainya, hukum asalnya dibolehkan jika
tidak terdapat kemungkaran di dalamnya. Jika tujuannya untuk berdakwah dan amar
ma’ruf nahi mungkar, maka hal itu dianjurkan. Tetapi jika sekadar rekreasi
kemudian menyaksikan kemungkaran dan tidak mengingkarinya, maka hukumnya haram.
[Fatawa wa tisy’arotil Islam, Fatwa Prof. Dr. Su’ud bin Abdulloh
al-Fanisan 13/315]
IBADAH LEBIH
DIUTAMAKAN DARI SEKADAR REKREASI
Tujuan hidup
kita adalah kebahagiaan akhirat. Alloh telah menunjukkan jalan menuju ke sana,
di antaranya dengan menunaikan ibadah. Alloh Ta’ala tetap
mewajibkan sholat lima waktu walaupun seseorang sedang dalam perjalanan jauh (safar).
Namun Alloh Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk
menggoshor sholatnya. Demikian pula Alloh Ta’ala memberi
keringanan tidak berpuasa wajib ketika safar dan menggodho’nya di hari lain.
Ummul
Mu’minin A’isyah radhiyallahu ‘anhuma berkata :
“Awal mula
sholat diwajibkan adalah dua roka’at, maka ditetapkan bagi musafir dua roka’at,
dan bagi orang yang mukim (tidak safar) sholat (4 roka’at)” (HR. Bukhori 1090 dan
Muslim 685)
Saat safar
boleh menjama’/menggabung antara sholat Dzuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan
Isya’. Hal ini berdasarkan hadits :
“Nabi
menjamak sholat Dzuhur dengan Ashar, dan menjama’ sholat Maghrib dengan Isya’
tatkala sedang melakukan perjalanan jauh.” (HR. Bukhori 1107, dan
Muslim 704).
Sekalipun dalam keadaan safar maka sholat berjama’ah tetap dilakukan
karena sholat berjama’ah tidak hanya ketika mukim. Bahkan dalam kondisi apapun
Alloh Ta’ala tetap memerintahkan kaum muslimin untuk sholat
berjama’ah walaupun ketika sedang berperang dan khawatir diserang musuh.
Alloh Ta’ala berfirman :“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah
mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka,
maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan menyandang
senjata.” (QS. an-Nisa [4]:102)
REKREASI KE TIGA MASJID YANG DIBERKAHI
Mengadakan
perjalanan jauh ke masjidil Harom, masjid Nabawi dan masjidil Aqsho dianjurkan
dalam Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Tidak boleh
mengadakan perjalanan jauh (untuk ibadah) kecuali menuju 3 masjid, masjidil
haram, masjid Nabawi, dan masjidil Aqsho.” (HR. Bukhori 1189).
Sekalipun
perjalanan menuju masjid-masjid tersebut untuk sholat atau untuk haji dan umroh
atau tujuan yang lain, selama tujuannya baik maka akan membuahkan pahala. (Ahkam
as-Siyahah wa Atsaruha Dirosah Syar’iyah Muqoronah karya Hasyim bin
Muhammad bin Husain Naqur, hlm. 279)
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sholat di masjidil Haram lebih
baik 100.000 kali lipat, sholat di masjid Nabawi lebih baik 1.000 kali lipat
dan sholat di masjidil Aqsho lebih baik 500 kali lipat jika dibandingkan
dengan sholat di masjid-masjid lain. [HR. Ahmad 3/343, Ibnu Majah 1406,
dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’
al-Gholil 4/341-343]
REKREASI DI
TEMPAT KAUM MUSLIMIN
Hukum
asalnya diperbolehkan, bahkan jika tujuannya untuk mengambil ibroh atau mencari
rezeki yang halal, atau melihat dan memperhatikan kekuasaan Alloh Ta’ala sang
Pencipta atau untuk menuntut ilmu maka dianjurkan. Syaratnya adalah tidak
terdapat kemungkaran di dalamnya. (lihat QS. Muhammad: 10, al-Ankabut:20,
al-Mulk:15, dan an-Nur:122). Lihat Ahkam as-Siyahah wa Atsaruha Dirosah
Syar’iyah Muqoronah hlm. 173-174.
REKREASI KE
NEGERI KAFIR
Rekreasi dengan
tujuan bersenang-sedang menuju negara kafir termasuk perkara yang tidak pernah
dilakukan oleh para salafus sholih. Oleh karena itu para ulama masa kini
sebelum menghukuminya, mereka membahas masalah yang semisal yaitu hukum seorang
muslim tinggal di negeri kafir.
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa seorang muslim tinggal di negeri kafir hukumnya haram.
Bahkan seorang muslim wajib hijrah jika tidak dapat melaksanakan agamanya di
negeri kafir tersebut.
[Ini adalah pendapat Ibnu Rusyd, Ibnul Arobi dalam
madzhab Malik dan para ulama madzhab Syafi’i, dan madzhab Hambali. Sedangkan
pendapat tidak wajib hijrah dari negeri kafir adalah pendapat para ulama
madzhab Hanafi, Ibnu Abdil Bar, al-Khotobi, dan Imam Nawawi (al-Inshof 4/121, Kasyaful
Qona’ 3/43, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 18/281, Musykilul
Atsar 7/31, al-Mabsuth 10/6, Umdatul Qori’ 1/29.
Lihat juga Ahkam as-Siyahah Dirosah Syar’iyah Muqoronah hlm.174-175).]
§
Alloh Ta’ala memerintahkan
hijrah bagi seorang muslim yang berada di negeri kafir yang tidak dapat
melaksanakan agamanya. Lihat surat an-Nisa [4] : 97 – 99.
§
Dalam sebuah hadist, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menegaskan :
“Barangsiapa berkumpul dengan
orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia serupa dengannya.” (HR. Abu Dawud 2787,
dihasankan oleh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah
Shohihah 2330)
Masih banyak hadits-hadits
yang serupa, seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas
diri dari orang muslim yang tinggal di negeri kafir (HR. Tirmidzi 1654, dan
dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’
al-Gholil 5/29)
§
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil
ijma’ ulama tentang haramnya seorang muslim yang tinggalnya di negeri kafir.
(QS. an-Nisa’ [4] : 97 – 99) Beliau –semoga Allah ‘Azza wa
jalla merahmatinya– mengatakan : “Ayat ini menjelaskan bahwa
setiap muslim yang tinggal di negeri kafir padahal mampu untuk hijrah (tetapi
tidak melakukan), sedangkan dia tidak dapat melaksanakan agamanya, maka orang
ini telah melakukan hal yang haram menurut kesepakatan ulama.” (Tafsir
al-Qur’anil ‘Adhim 1/555)
KAPAN
SEORANG MUSLIM BOLEH PERGI KE NEGERI KAFIR
Syaikh
Sholih al-Fauzan hafidhahullah juga menjelaskan : “Haram
hukumnya bepergian ke negeri kafir, dan dibolehkan ketika kondisi darurat
dengan syarat seorang muslim dapat menampakkan agamanya, menjadi mulia (tidak
semakin hina) dengan agama Islamnya, jauh dari tempat kerusakan, waspada
terhadap makar. Begitu pula hukumnya menjadi boleh bahkan wajib jika bepergian
ke sana untuk mendakwahi agar penduduk negeri kafir tersebut masuk (agama)
Alloh Ta’ala dan menyebarkan Islam.” (al-Wala’ wal
Baro’ hlm.9)
Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah mengatakan : “Tidak boleh seorang muslim
bepergian ke negeri kafir kecuali dengan 3 syarat :
1. Memiliki
ilmu syar’i sehingga dapat menolak syubhat/ kerancuan.
2. Memiliki
agama/ ketakwaan sehingga dapat mencegah dirinya dari (fitnah) syahwat.
3. Ada
kebutuhan (mendesak) untuk pergi ke negeri kafir.”
Kemudian
beliau rahimahullah melanjutkan, “jika tidak terpenuhi syarat-syarat
ini, maka tidak boleh bepergian ke negeri kafir, sebab akibatnya (seorang
muslim) terkena fitnah atau dikhawatirkan terkena fitnah (syubhat dan
syahwat), mengeluarkan dan menyia-nyiakan harta yang banyak. Adapun bepergian
untuk maksud rekreasi, maka bukanlah suatu kebutuhan yang membolehkan seorang
muslim untuk pergi ke negeri kafir. Karena seorang muslim masih bisa berekreasi
ke negeri kaum muslimin sehingga dia dapat menjaga diri dan keluarganya untuk
melaksanakan syari’at Islam.” [Syarh Tsalatsatil Ushul hlm.131-132]
REKREASI KE
MAKAM WALI ATAU KUBURAN KERAMAT
Mengadakan
perjalanan jauh/safar yang bertujuan untuk mencari tempat-tempat ibadah yang
lebih mulia dan lebih berkah telah dilarang dalam Islam, kecuali menuju tiga
tempat yang memang memiliki kemulian dan berkah yaitu Masjidil Harom, Masjid
Nabawi dan Masjid al-Agsho.
Larangan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencakup larangan bepergian
jauh untuk ziarah kuburan siapapun, baik kuburan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam atau para wali apabila dilakukan dengan menempuh
perjalanan jauh. Karena semua tempat tidak mempunyai keistimewaan kecuali tiga
masjid yang memiliki berkah dan keutamaan tersebut.
REKREASI/BERLIBUR
UNTUK MENIKAH SESAAT
Masalah ini
di kenal dengan istilah nikah dengan niat talak, yaitu seseorang sengaja pergi
ke suatu tempat dengan maksud menikah untuk sementara, jika tiba saatnya
kembali ia menceraikannya wanita yang dia nikahi.
Ada sebagian
ulama memberi rukhsoh/membolehkan menikah dengan niat talak,[13] tetapi
sebagian lainnya mengharamkannya. Pendapat yang mengharamkan adalah yang lebih
benar dengan beberapa alasan :
§
Di antara maksud pernikahan
adalah supaya terjalin hubungan suami istri yang berkesinambungan untuk
selamanya, timbul kasih sayang, mendapatkan ketenangan dan rohmat Alloh Ta’ala dan
memperoleh keturunan. [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/60]
§
Nikah dengan niat talak,
apabila niat itu diucapkan dan diketahui oleh pasangannya berarti nikah
mut’ah. Tetapi jika tidak diketahui oleh pasangannya berarti laki-laki tersebut
menipu pasangan dan walinya. Telah dimaklumi bersama bahwa tidak seorang pun
bersedia dinikahi untuk sesaat kecuali wanita yang rusak akhlak dan agamanya.
[Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/60, dan az-Zawaj bi Niyatit
Tholaq hlm. 69 – 70]
§
Nikah dengan niat talak
terdapat kesamaan dengan nikah mut’ah dan nikah tahlil yang telah disepakati
keharamannya karena di dalamnya terdapat niat untuk sementara. [Fatwa Lajnah
Da’imah 18/449, no.21140]
Adapun
sebagian ulama yang membolehkan beralasan harus dilakukan dengan syarat yakni
oleh orang asing yang sedang menyelesaikan tugas di suatu tempat, bukan
seorang yang sengaja pergi ke suatu tempat dengan tujuan menikah dengan niat
talak. Walaupun demikian, tetap disarankan tidak melakukan hal ini. [Majmu’
Fatawa wa Magolat Mutanawwi’ah oleh Syaikh Ibnu Baz]
Setelah
diketahui menikah seperti ini menimbulkan madhorot yang lebih besar, maka
nikah ini wajib dilarang. Di antara akibat buruk yang ditimbulkan adalah :
§
Menjadi jalan untuk hanya
memuaskan hawa nafsu dan menuju zina yang sebenarnya.
§
Menyelisihi maksud nikah yang
syar’i, yaitu kelanggengan, kebersamaan, keharmonisan, saling mencintai dan
mendapat rahmat Alloh Ta’ala serta mendapat keturunan.
§
Menelantarkan kaum wanita dan
anak-anak dengan tidak memberi nafkah.
§
Menjadikan nasab tercerai
berai.
§
Berakibat kedzoliman terhadap
satu sama lain.
DILARANG
BEPERGIAN TANPA TUJUAN
Di musim
liburan sering kita menjumpai para pemuda berkelana tanpa tujuan yang jelas.
Mereka berkelana, baik berjalan kaki, bersepeda, atau berkendaraan lainnya.
Banyak kita jumpai mereka meminta-minta di jalan karena tidak membawa bekal
yang cukup. Adapun berkelana atau bepergian semacam ini telah diingatkan oleh
para ulama.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Adapun berkelana
tanpa tujuan tertentu, maka hal itu bukanlah amalan umat ini. Oleh karenanya,
Imam Ahmad rahimahullah berkata: ‘Berkelana (tanpa tujuan)
sedikitpun bukan termasuk ajaran agama Islam dan bukan amalan para Nabi ‘alaihis
sholatu was salam dan orang-orang sholih.” [Masa’il Imam Ahmad 2/176
an-Naisaburi] Sekalipun ada di antara saudara-saudara kita yang berkelana
terlarang ini, entah karena salah paham, atau tidak tahu akan larangan.” [Igtidho’Shirotil
Mustaqim 1/327]
Al-Hafidz
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bukanlah maksud dari
berkelana adalah seperti pemahaman sebagian orang ahli ibadah yang hanya
sekadar berkelana di bumi dan menyendiri di gunung, padang pasir dan goa.
Berkelana semacam itu tidak disyari’atkan kecuali pada zaman fitnah dan
kegoncangan agama.” [Tafsir al-Qur’anil ‘Adzim 2/220, surat
at-Taubah:112]
Syaikh
al-Albani rahimahullah juga berkata pada saat mengomentari
hadits larangan safar sendirian, “Di dalam hadits ini terdapat bantahan yang
amat jelas tentang keluarnya sebagian orang sufi ke jalanan secara sendirian
dengan tujuan berkelana dan penyucian jiwa!. Bahkan kerap kali mereka mati
karena kelaparan dan kehausan sebagaimana diceritakan dalam hikayat-hikayat
mereka. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam. [HR. al-Bukhori 1862, Muslim 1341]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar