Jual
beli yang penuh berkah adalah jual beli yang di dalamnya memperhatikan aturan
Islam. Inilah jual beli yang akan mendatangkan barokah dan kemudahan rizki dari
Allah. Sebaliknya jual beli yang terlarang hanya akan mendatangkan bencana demi
bencana. Setelah kita mengetahui beberapa barang
yang haram diperdagangkan dan beberapa aturan dalam jual beli, selanjutnya
kita patut mengenal bentuk transaksi jual beli yang Islam larang. Di antaranya
dalam tulisan kali ini akan disinggung mengenai hukum asuransi, disebutkan
mengenai alasan pelarangannya karena mengandung unsur ghoror (ketidak jelasan). Semoga bermanfaat.
Pertama: Jual beli ghoror (mengandung ketidak jelasan)
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan
kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung
unsure ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).
Al Jarjani berkata bahwa ghoror
adalah sesuatu yang mengandung unsur ketidakjelasan, dari sisi ada atau
tidaknya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Adapun larangan mengenai jual beli ghoror, maka ia termasuk dalam bahasan
utama dalam kitab buyu’ (jual beli). Oleh karenanya, Imam Muslim memasukkan masalah
ini di awal-awal bahasan jual beli. Masalah ghoror mencakup permasalahan yang
amat banyak, tak terbatas. Yang termasuk jual beli ghoror mulai dari jual beli
budak yang kabur atau tidak ada atau tidak jelas, jual beli barang yang tidak
mampu diserahterimakan, jual beli sesuatu yang belum sempurna dimiliki oleh
penjual, jual beli ikan dalam kolam yang memiliki banyak air, jual beli susu
dalam kambing betina, jual beli janin dalam perut, jual beli seonggok makanan
yang tidak jelas timbangannya, jual beli baju yang tidak jelas dari tumpukan
pakaian, jual beli kambing dari segerombolan kambing dan contoh-contoh semisal
itu. Semua bentuk jual beli ini termasuk dalam jual beli yang batil karena
mengandung ghoror tanpa ada hajat (kebutuhan).” (Syarh Muslim, 10: 156).
Kali ini kita akan melihat beberapa
macam bentuk ghoror khusus dalam transaksi jual beli dan beberapa contohnya:
1.
Ghoror dalam akad
Beberapa
contoh jual beli yang terdapat ghoror dalam akad:
– Dua bentuk transaksi dalam satu
akad. Misalnya tunai dengan harga sekian dan kredit dengan harga lebih mahal
dan tidak ada kejelasan manakah akad yang dipilih. Dari Abu Hurairah, ia
berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu akad”
(HR. An Nasai no. 4632, Tirmidzi no. 1231 dan Ahmad 2: 174. Syaikh Al Albani
mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Jaami’ Ash Shohih no. 6943).
Sedangkan jika sudah ada kejelasan, misalnya membeli secara kredit –walau
harganya lebih tinggi dari harga tunai-, maka tidak termasuk dalam larangan
hadits di atas. Karena saat ini sudah jelas transaksi yang dipilih dan tidak
ada lagi dua bentuk transaksi dalam satu akad. Sehingga dalil di atas bukanlah
dalil untuk melarang jual beli kredit. Jual beli secara kredit itu boleh selama
tidak ada riba di dalamnya.
– Jual beli hashoh,
yaitu keputusan membeli sesuai dengan lemparan kerikil. Dari Abu Hurairah, ia
berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan
kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari ghoror” (HR. Muslim
no. 1513).
2. Ghoror dalam barang yang dijual
Ghoror dalam barang bisa jadi pada
jenis, sifat, ukuran, atau pada waktu penyerahan. Ghoror bisa terjadi pula
karena barang tersebut tidak bisa diserahterimakan, menjual sesuatu yang tidak
ada atau tidak dapat dilihat.
Contoh:
– Jual beli munabadzah dan mulamasah. Dari Abu
Sa’id, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الْمُنَابَذَةِ ، وَهْىَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ
بِالْبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ ، قَبْلَ أَنْ يُقَلِّبَهُ ، أَوْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ
، وَنَهَى عَنِ الْمُلاَمَسَةِ ، وَالْمُلاَمَسَةُ لَمْسُ الثَّوْبِ لاَ يَنْظُرُ
إِلَيْهِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari munabadzah, yaitu seseorang
melempar pakaiannya kepada yang lain dan itulah yang dibeli tanpa dibolak-balik
terlebih dahulu atau tanpa dilihat keadaan pakaiannya. Begitu pula beliau
melarang dari mulamasah, yaitu pakaian yang disentuh itulah yang dibeli tanpa
melihat keadaaannya” (HR. Bukhari no. 2144).
Jual beli ini terdapat
jahalah (ketidakjelasan) dari barang yang dijual dan terdapat unsur qimar
(spekulasi tinggi) dan keadaan barang tidak jelas manakah yang dibeli.
– Jual beli hashoh sebagaimana dijelaskan di atas,
terdapat sisi jahalah (ketidakjelasan) dari barang yang akan dijual.
– Jual beli dengan sistem ijon. Dari
sahabat Anas bin Malik radhiyalahu ‘anhu, ia
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله
عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تُزْهِىَ قَالُوا وَمَا تُزْهِىَ
قَالَ تَحْمَرُّ. فَقَالَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ فَبِمَ تَسْتَحِلُّ
مَالَ أَخِيكَ؟. متفق عليه
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan buah-buahan (hasil tanaman)
hingga menua?” Para sahabat bertanya, “Apa
maksudnya telah menua?” Beliau menjawab, “Bila
telah berwarna merah.” Kemudian beliau bersabda, “Bila
Allah menghalangi masa penen buah-buahan tersebut (gagal panen), maka dengan
sebab apa engkau memakan harta saudaramu (uang pembeli)?” (HR.
Bukhari no. 2198 dan Muslim no. 1555).
Dan pada riwayat lain sahabat Anas
bin Malik juga meriwayatkan,
أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه
و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ
حَتَّى يَشْتَدَّ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan anggur hingga berubah menjadi
kehitam-hitaman, dan penjualan biji-bijian hingga mengeras” (HR.
Abu Daud no. 3371, no. Tirmidzi no. 1228, Ibnu Majah no. 2217 dan Ahmad 3: 250.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dengan
demikian, jelaslah bahwa sistem ijon adalah penjualan yang terlarang dalam
syari’at islam, baik sistem ijon yang hanya untuk sekali panen atau untuk
berkali-kali hingga beberapa tahun lamanya.
Beda halnya jika buah yang dibeli
dipetik langsung ketika muda, semisal jual beli nangka muda yang nantinya akan
digunakan untuk sayuran, maka saat ini tidak ada ghoror dan spekulasi.
– Di taman bermain biasa dijajakan
mainan berupa panah yang nantinya diarahkan pada lingkaran di dinding. Di papan
tersebut terdapat nomor. Nomor ini menunjukkan barang yang akan diperoleh. Jual
beli semacam ini pun mengandung ghoror karena jenis barang yang akan kita peroleh
bersifat spekulatif atau untung-untungan.
3.
Ghoror dalam bayaran (uang)
Ghoror dalam masalah bayaran boleh
jadi terjadi pada jumlah bayaran yang akan diperoleh, atau pada waktu
penerimaan bayaran, bisa jadi pula dalam bentuk bayaran yang tidak jelas.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat tidak
bolehnya menjual sesuatu dengan waktu penerimaan upah yang tidak jelas” (Al
Majmu’ 9: 339).
Contoh:
– Jual beli habalul habalah. Dari
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا
يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ
إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan
“habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat
jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah:
seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo
pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual
lahir” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883). Cucu dari unta
tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan
diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula
unta tersebut tidak memiliki cucu.
– Asuransi karena di dalamnya mengandung
ghoror dari sisi waktu penerimaan klaim kapan ia bisa memperolehnya, karena
boleh jadi ia tidak mendapatkan karena tidak mengalami accident. Kita pun
mengetahui bahwa sifat accident adalah waktunya tak tentu kapan. Kemudian premi
yang diserahkan dan klaim yang diperoleh pun mengandung ghoror, unsur
ketidakjelasan karena tidak jelas besaran yang akan diperoleh. Jadi asuransi
mengandung sisi ghoror pada waktu dan besaran yang diperoleh. Dari salah satu
alasan ini asuransi menjadi terlarang dan masih ada beberapa alasan lainnya.
Dan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallammelarang dengan jelas jual beli ghoror. Asuransi
termasuk transaksi jual beli karena ada premi sebagai setoran awal dan klaim
yang akan diperoleh sebagai timbal baliknya.
Ghoror
yang Dibolehkan
Walaupun ghoror asalnya terlarang, namun ada beberapa
jual beli bentuk ghoror yang dibolehkan asalkan memenuhi beberapa syarat
berikut ini:
1. Yang mengandung spekulasi
kerugian yang sedikit. Sebagaimana Ibnu Rusyd berkata,
الفقهاء متّفقون على أنّ الغرر
الكثير في المبيعات لا يجوز وأنّ القليل يجوز
“Para pakar fikih sepakat bahwa
ghoror pada barang dagangan yang mengandung kerugian yang banyak itulah yang
tidak boleh. Sedangkan jika hanya sedikit, masih ditolerir (dibolehkan)”.
2.
Merupakan ikutan dari yang lain, bukan ashl (pokok). Jika kita membeli janin dalam
kandungan hewan ternak, itu tidak boleh. Karena ada ghoror pada barang yang
dibeli. Sedangkan jika yang dibeli adalah yang hewan ternak yang bunting dan
ditambah dengan janinnya, maka itu boleh.
3. Dalam keadaan hajat (butuh).
Semacam membeli rumah di bawahnya ada pondasi, tentu kita tidak bisa melihat
kondisi pondasi tersebut, artinya ada ghoror. Namun tetap boleh membeli rumah
walau tidak terlihat pondasinya karena ada hajat ketika itu.
4. Pada akad tabarru’at (yang tidak ditarik keuntungan),
seperti dalam pemberian hadiah. Kita boleh saja memberi hadiah pada teman dalam
keadaan dibungkus sehingga tidak jelas apa isinya. Ini sah-sah saja. Beda
halnya jika transaksinya adalah mu’awadhot, ada
keuntungan di dalamnya semacam dalam jual beli.
Kedua: Jual beli yang mengandung riba
Riba
seperti telah kita ketahui bersama berarti tambahan, sebagaimana makna secara
bahasa. Sedangkan secara istilah berarti tambahan pada sesuatu yang khusus.
Barang Ribawi
Tadi
disebutkan mengenai riba adalah tambahan pada barang yang khusus. Ini
menunjukkan bahwa riba tidaklah berlaku pada setiap tambahan. Dalam jual beli
misalnya, kita menukar satu mobil dengan dua mobil, maka tidak ada masalah
karena mobil bukan barang ribawi. Jika kita menukar kitab dengan dua kitab,
juga tidak masalah. Namun dikatakan riba ketika ada tambahan dan terjadi pada
barang yang diharamkan adanya sesuatu tambahan. Barang semacam ini dikenal
dengan barang
atau komoditi ribawi. Ada enam komoditi ribawi yang disebutkan
dalam hadits adalah:
1.
Emas
2.
Perak
3.
Gandum halus
4.
Gandum kasar
5.
Kurma
6.
Garam
Dari
Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ
أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika
emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual
dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau
timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau
meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan
tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa”
(HR. Muslim no. 1584).
Dalam
hadits di atas, kita bisa memahami dua hal:
1. Jika barang sejenis ditukar,
semisal emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka ada dua syarat yang
mesti dipenuhi yaitu: tunai dan semisal dalam takaran atau timbangan.
2. Jika barang masih satu ‘illah atau satu kelompok ditukar, maka satu
syarat yang harus dipenuhi yaitu: tunai, walau dalam takaran atau timbangan
salah satunya berlebih.
Apakah barang ribawi hanya terbatas
pada enam komoditi di atas? Para ulama mengqiyaskannya dengan barang lain yang
semisal. Namun mereka berselisih mengenai ‘illah atau sebab mengapa barang
tersebut digolongkan sebagai barang ribawi.
Menurut
ulama Hanafiyah dan Hambali,
‘illahnya pada emas dan perak karena keduanya adalah barang yangditimbang,
sedangkan empat komoditi lainnya adalah barang yang ditakar.
Menurut
ulama Malikiyah, ‘illahnya pada emas dan perak
karena keduanya sebagai alat tukar
secara umumatau sebagai
barang berharga untuk alat tukar, dan sebab ini hanya berlaku
pada emas dan perak. Sedangkan untuk empat komoditi lainnya karena sebagai makanan pokok yang dapat disimpan.
Menurut
ulama Syafi’iyah, ‘illah pada empat komoditi yaitu
karena mereka sebagai makanan. Ini qoul jadid(perkataan
terbaru ketika di Mesir) dari Imam Syafi’i. Sedangkan menurut qoul
qodiim (perkataan
yang lama ketika di Baghdad) dari Imam Syafi’i, beliau berpendapat bahwa
keempat komoditi tersebut memiliki ‘illah yaitu sebagai makanan yang dapat
ditakar atau ditimbang. Ulama Syafi’iyah lebih menguatkan qoul
jadid dari Imam
Syafi’i. Sedangkan untuk emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar atau sebagai barang berharga untuk
alat tukar.
Menurut
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ‘illah
pada empat komoditi adalah sebagai makanan
yang dapat ditakar atau ditimbang. Sedangkan pada emas dan
perak adalah sebagai alat tukar secara mutlak. Sehingga semisal emas
dan perak karena memiliki ‘illah yang sama adalah mata uang logam atau pun
kertas.
Pendapat
terkuat dalam
masalah ini –sebagaimana faedah dari guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy
Syatsrihafizhohullah– adalah dengan
menggabungkan ‘illah yang ada. Kita dapat menyimpulkan bahwa untuk emas dan
perak karena sebagai alat tukar. Oleh karena itu, mata uang dimisalkan dengan
emas dan perak. Sedangkan untuk empat komoditi lain, ‘illahnya karena mereka
adalah makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Oleh karena itu, berlaku riba
dalam beras dan daging karena keduanya adalah makanan yang dapat ditakar atau
ditimbang. Sebagai contoh, jika kita menukar beras jelek dengan beras bagus,
maka harus tunai dan salah satu tidak boleh berlebih dalam hal timbangan.
Macam-macam Riba
Adapun
riba ada tiga macam:
1. Riba
fadhel, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis karena
adanya tambahan.
Contoh:
Menukar emas 24 karat dengan emas 18 karat dengan salah satu dilebihkan dalam
hal timbangan. Atau menukar uang Rp 10 ribu dengan pecahan seribu rupiah namun
hanya 9 lembar.
2.
Riba nasi-ah,
yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis atau beda jenis namun masih
dalam satu sebab (‘illah)
dan terdapat tambahan dalam takaran atau timbangan dikarenakan waktu penyerahan
yan tertunda.
Contoh:
Membeli emas yaitu menukar uang dengan emas, namun uangnya tertunda, alias
dibeli secara kredit atau utang.
3.
Riba qordh,
yaitu riba dalam utang piutangan dan disyaratkan adanya keuntungan atau timbal
balik berupa pemanfaatan. Seperti, berutang namun dipersyaratkan dengan
pemanfaatan rumah dari orang yang berutang.
Contoh:
Si B meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu disyaratkan
mengembalikan Rp 1,2 juta rupiah, atau disyaratkan selama peminjaman, rumah si
A digunakan oleh si B (pemberi utang). Hal ini berlaku riba qordh karena
para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah
riba”.
Jual Beli yang Mengandung Riba
Setelah
kita memahami hal di atas, selanjutnya kita akan melihat beberapa contoh jual
beli yang mengandung riba yaitu sebagai berikut:
1. Jual beli ‘inah
Ada
beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama.
Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai
kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara
tunai dengan harga lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk
mengakal-akali supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.
Semisal, pemilik tanah ingin
dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang tunai, si
empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu secara
kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua tahun ke depan”.
Sebulan setelah itu, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya
membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.”
Artinya di sini, si pemilik tanah
sebenarnya melakukan akal-akalan. Ia ingin meminjamkan uang 170 juta dengan
pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara. Namun
keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut
transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena “setiap piutang yang
mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”
Mengenai hukum jual beli ‘inah, para
fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut yang
berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan
jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i
rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat dari akad
secara lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak
memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah
dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di
antara alasannya:
Pertama:
Untuk menutup rapat jalan menuju transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan,
sama saja membolehkan kita menukarkan uang 200 juta dengan 170 juta namun yang
salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua:
Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ
وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ
الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا
إِلَى دِينِكُمْ
“Jika
kalian berjual beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk
dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan
pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan
menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian
hingga kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Daud no. 3462.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih.
Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9: 242).
2. Jual beli muzabanah dan muhaqolah
Muzabanah adalah
setiap jual beli pada barang yang tidak diketahui takaran, timbangan atau
jumlahnya ditukar dengan barang lain yang sudah jelas takarannya, timbangan
atau jumlahya. Contohnya adalah menukar kurma yang sudah dikilo dengan kurma
yang masih di pohon. Di sini terdapat riba karena tidak jelasnya takaran kedua
kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika menukar barang ribawi yang
sejenis harus tunai dan takarannya harus sama.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ . وَالْمُزَابَنَةُ اشْتِرَاءُ الثَّمَرِ
بِالتَّمْرِ كَيْلاً ، وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muzabanah. Yang dimaksud
muzabanah adalah seseorang membeli buah (yang masih di pohon) ditukar dengan
kurma yang sudah dikilo atau membeli anggur yang masih di pohon ditukar dengan
anggur yang sudah dikilo” (HR. Bukhari no. 2185 dan Muslim no.
1542).
Muhaqolah adalah
jual beli dengan menukar gandum yang ada pada mayang (bulir) dengan gandum yang
bersih hanya dengan mentaksir. Jika hal ini terjadi pada gandum, maka terdapat
riba karena dalam tukar menukar gandum dengan gandum harus diketahui takaran
yang sama.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –
عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muhaqolah dan muzabanah”
(HR. Bukhari no. 2187 dan Muslim no. 1536).
Namun ada bentuk jual beli yang
dibolehkan padahal semisal dengan muzabanah dan muhaqolah yaitu yang dikenal dengan jual beli ‘aroya. ‘Aroya
adalah menukar kurma basah dengan kurma kering di saat ada hajat (butuh). Ibnu
Hajar berkata,
لَا تَجُوزُ الْعَرِيَّة إِلَّا لِحَاجَةِ
صَاحِبِ الْحَائِطِ إِلَى الْبَيْعِ أَوْ لِحَاجَةِ الْمُشْتَرِي إِلَى الرُّطَبِ
“Tidak
boleh melakukan transaksi ‘aroya kecuali dalam keadaan hajat yaitu si penjual
sangat butuh untuk menjual atau si pembeli sangat butuh untuk mendapatkan kurma
basah” (Fathul Bari, 4: 393).
Para ulama menjelaskan bahwa jual
jual beli aroyah diberi keringanan dengan beberapa syarat:
– Bisa ditaksir berapa kurma basah
ketika akan menjadi kering.
– Yang ditukar tidak lebih dari lima
wasaq (1 wasaq = 60 sho’, 1 sho’ = 4 mud, 1 sho’ = 2,176 kg, 1 wasaq = 130.56
kg).
– Dilakukan oleh orang yang butuh
pada kurma basah.
– Orang yang menginginkan kurma
basah tidaklah memiliki uang, hanya memiliki kurma kering dan ia bisa
mentaksir. (Manhajus Salikin, 142).
3. Jual beli daging dengan hewan
Tidak
boleh melakukan jual beli semacam ini. Yang mesti dilakukan, terlebih dahulu
hewan tersebut bersih dari tulang, setelah itu boleh ditukar dengan daging.
Jika terjadi kelebihan takaran atau timbangan, maka terjadilahriba fadhel.
Contohnya adalah jual beli kambing yang masih hidup ditukar dengan daging
kambing.
Dari Sa’id bin Al Musayyib, ia
berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
نَهَى عَنْ بَيْعِ اللَّحْمِ بِالْحَيَوَانِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli daging dan hewan”
(HR. Malik dalam muwatho’nya 2: 655, Al Baihaqi 5: 296, Hakim dalam
mustadroknya 5: 357. Al Baghowi mengatakan bahwa hadits Ibnul Musayyib meskipun
mursal, namun dikuatkan dengan amalan sahabat. Imam Syafi’i sendiri menganggap hasan
hadits mursal dari Sa’id bin Al Musayyib. Lihat Syarh As Sunnah 8: 77).
4. Jual beli kredit
lewat pihak ketiga (leasing)
Jual
beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang.
Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit harus melihat
beberapa kriteria. Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam
jurang riba.
Kriteria
pertama, barang yang dikreditkan sudah
menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan kredit mobil. Dalam kondisi
semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga
yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara
pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan
atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan di
belakang.
Kriteria
kedua, barang tersebut bukan menjadi
milik si penjual (bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta
bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan
dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan
syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak
ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi
pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang tersebut
dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual beli bentuk ini
harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada
tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, (2) tidak ada denda jika ada
keterlambatan angsuran.
Jika salah satu dari dua syarat di
atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh
jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum
menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ
حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa
yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia
selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat
bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136
dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma berkata,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا
بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ
قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami
dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan.
Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar
memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum
kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
Atau bisa jadi terjerumus dalam riba
karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk
keuntungan dari utang. Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya
keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.
5. Jual beli utang dengan utang
Bentuknya
adalah seseorang membeli sesuatu pada yang lain dengan tempo, namun barang
tersebut belum diserahkan. Ketika jatuh tempo, barang yang dipesan pun belum
jadi. Ketika itu si pembeli berkata, “Jualkan
barang tersebut padaku hingga waktu tertentu dan aku akan memberikan tambahan”.
Jual beli pun terjadi, namun belum ada taqobudh (serah terima barang). Bentuk jual
beli adalah menjual sesuatu yang belum ada dengan sesuatu yang belum ada. Dan
di sana ada riba karena adanya tambahan.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli utang dengan utang”
(HR. Ad Daruquthni 3: 71, 72. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if sebagaimana dalam Dho’iful Jaami’
6061). Namun makna hadits ini benar dan disepakati oleh para ulama, yaitu
terlarang jual beli utang dengan utang.
Karena sebab inilah dalam jual beli salam (uang dahulu, barang belakangan),
berlaku aturan uang secara utuh diserahkan di muka, tidak boleh ada yang
tertunda.
Demikian ulasan mengenai jual beli
yang mengandung riba.
Wallahu
waliyyut taufiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar