A. Jual Beli Tanpa Ucapan
Suatu yang sudah ma’ruf bahwa setiap orang membutuhkan
sesuatu melalui proses jual beli. Hal ini menunjukkan bahwa urgentnya aktivitas
ini karena setiap hari dibutuhkan. Namun patut diketahui bahwa seorang muslim
punya kewajiban untuk memilih yang halal dan meninggalkan yang haram. Oleh
karenanya, seorang muslim tidak boleh asal-asalan dalam melakukan aktivitas
ibadah dan juga jual beli. Ada aturan dalam jual beli yang mesti diperhatikan,
semacam mengetahui rukun-rukunnya. Jika rukun ini tidak terpenuhi, tentu jual
beli tersebut bermasalah.
Pertama yang perlu kita adalah shighoh (akad) jual beli. Apakah jual beli yang
dilakukan di supermarket tanpa ada ucapan apa-apa, yaitu cukup penyerahan uang
dan penerimaan barang dianggap sah?.
Apa yang Dimaksud Jual Beli?
Al Bai’ atau jual beli terdapat berbagai macam
definisi di kalangan para ulama. Namun definisi yang paling mendekati
sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Qudamah,
مبادلة المال بالمال لغرض التملك
“Menukar harta dengan harta (ada timbal balik) dengan
tujuan kepemilikan” (Al Muqni’, 2: 3)
Dari definisi ini, jual beli berbeda dengan hibah.
Hibah adalah memiliki sesuatu tanpa adanya timbal balik dan hibah diberikan
ketika hidup. Jual beli juga berbeda dengan wasiat. Karena wasiat adalah
memiliki sesuatu tanpa adanya timbal balik dan diberika setelah si pemilik
barang meninggal dunia.
Begitu pula jual beli berbeda dengan ijaroh (sewa atau
pemanfaatan jasa). Ijaroh adalah akad antara pemanfaatan jasa yang sudah jelas
dengan adanya timbal balik berupa bayaran yang juga jelas. Ijaroh dibatasi
dengan waktu tertentu atau dengan patokan selesainya pekerjaan, hal ini bedan
dengan jual beli. Ijaroh adalah pemanfaatan jasa, sedangkan dalam jual beli
dimaksudkan untuk kepemilikan suatu benda secara utuh.
Berilmu Sebelum Melakukan Jual Beli
Pentingnya berilmu terlebih dahulu sebelum melakukan
aktivitas jual beli telah diingatkan oleh para ulama di masa silam. Jika tidak
berilmu, bisa menjerumskan seorang muslim dalam perkara yang haram. ‘Ali bin
Abi Tholib mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ
ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu
agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus
ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”
Lihatlah pula apa kata ‘Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ
فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا
“Janganlah seseorang berdagang
di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.”
(Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310). Perkataan ‘Ali dan ‘Umar di atas berlaku bagi
penjual, begitu pula pembeli.
Hukum Jual Beli
Hukum jual beli asalnya adalah boleh berdasarkan dalil
Al Kitab, As Sunnah, ijma’ serta qiyas.
Kita dapat melihat bagaimanakah dalam Al Qur’an
menyebutkan hal ini, yaitu firman Allah Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
“Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).
Dan firman AllahTa’ala,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا
فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
“Tidak ada dosa bagimu untuk
mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al
Baqarah: 198).
Dari Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ
كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Orang yang bertransaksi jual
beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi)
selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya
akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan
tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang”
(Muttafaqun ‘alaih). Dalil ini pun menunjukkan
halalnya jual beli.
Secara ijma’, para ulama pun sepakat akan halalnya
jual beli. Begitu pula berdasarkan qiyas. Manusia tentu amat butuh dengan jual
beli. Ada ketergantungan antara manusia dan lainnya dalam hal memperoleh uang
dan barang. Tidak mungkin hal itu diberi cuma-cuma melainkan dengan timbal
balik. Oleh karena itu berdasarkan hikmah, jual beli itu dibolehkan untuk
mencapai hal yang dimaksud.
Ijab Qobul dalam Jual Beli
Sebagian ulama yaitu Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali
menyatakan bahwa ada dua bentuk akad jual beli, yaitu perkataan dan perbuatan.
Bentuk perkataan semisal dengan ucapan penjual “saya jual barang ini padamu”, dan
pembeli menerima dengan ucapan “saya beli barang ini darimu atau saya terima”.
Sedangkan bentuk perbuatan dikenal dengan istilah “mu’athoh”. Bentuknya
adalah seperti pembeli cukup meletakkan uang dan penjual menyerahkan barangnya.
Transaksi mu’athoh ini biasa kita temukan dalam transaksi di pasar,
supermarket, dan mall-mall. Transaksi mu’athoh bisa dalam tiga bentuk:
- Si penjual mengatakan “saya jual”, dan si pembeli
cukup mengambil barang dan menyerahkan uang.
- Si pembeli mengatakan “saya beli”, dan si penjual
menyerahkan barang dan menerima uang.
- Si penjual dan pembeli tidak mengatakan ucapan apa-apa, si pembeli cukup menyerahkan uang dan si penjual menyerahkan barang. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2: 8)
Ulama Syafi’iyah melarang bentuk perbuatan dalam ijab
qobul. Mereka beralasan bahwa perbuatan tidak menunjukkan adanya ‘iwadh atau timbal balik. Sehingga jual beli
mu’athoh semacam ini menurut ulama Syafi’iyah tidaklah sah (Lihat Al Majmu’, 9:
170).
Pendapat terkuat dalam hal ini adalah ijab qobul boleh
dan sah dengan perbuatan dengan alasan:
Pertama, Allah membolehkan jual beli dan tidak membatasinya
dengan bentuk akad tertentu.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
“Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).
Kedua, sesuai ‘urf (kebiasaan) dengan si pembeli menerima
barang dan penjual mengambil uang, maka itu sudah menunjukkan ridho keduanya.
Jika dengan perkataan dianggap ridho, maka dengan perbuatan bisa teranggap
pula. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling ridho) di
antara kalian” (QS. An Nisa’: 29). (Lihat An Niyat, 2: 59-60)
Sehingga dari sini mengenai jual beli yang berlaku di
pasar, supermarket, dan mall tanpa adanya ucapan apa-apa, cukup saling ridho
dengan si penjual menyerahkan barang dan si pembeli menyerahkan uang, maka itu
sudah dianggap sah.
Bentuk transaksi mu’athoh di zaman modern:
- Jual beli melalui mesin yang sudah berisi minuman
penyegar, aqua, atau minuman bersoda dengan cukup memasukan sejumlah uang
pecahan ke dalam mesin.
- Transaksi melalui mesin ATM, seperti pembayaran
listrik dan air.
- Pemesanan dan pembelian tiket melalui internet.
- Jual beli saham melalui internet. (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 782)
Semoga dengan memamhami hal ini, kita tidak ragu lagi
akan transaksi yang asalnya halal.
B.
Syarat bagi Orang yang Melakukan Akad Jual Beli
Jual beli sebagaimana dalam masalah amalan lainnya
memiliki syarat yang perlu diperhatikan. Syarat dalam jual beli sendiri
mencakup: (1) syarat pada orang yang melakukan akad dan (2) syarat pada barang
atau alat tukar jual beli. Setiap muslim mesti memperhatikan dengan baik hal
ini agar jual belinya bisa dikatakan sah. Untuk
kesempatan kali ini kita akan melihat syarat yang berkaitan dengan orang yang
melakukan akad jual beli.
Ada tiga syarat yang berkaitan dengan orang yang
melakukan akad jual beli:
Pertama: Ridho antara penjual dan pembeli
Jual beli tidaklah sah jika di dalamnya terdapat
paksaan tanpa jalan yang benar. Jual beli baru sah jika ada saling ridho di
dalamnya sebagaiamana firman Allah Ta’ala,
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
مِنْكُمْ
“kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka (saling ridho) di antara kalian”
(QS. An Nisa’: 29).
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli dituntut
adanya keridhoan” (HR. Ibnu Majah no. 2185. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Namun jika ada pemaksaan dalam jual beli dengan cara
yang benar, semisal seorang hakim memutuskan untuk memaksa menjual barang orang
yang jatuh pailit untuk melunasi utang-utangnya, maka semisal itu dibolehkan.
Kedua: Orang yang melakukan akad jual beli diizinkan untuk
membelanjakan harta.
Mereka yang diizinkan adalah: (1) merdeka, (2)
mukallaf (telah terbebani syari’at), (3) memiliki sifat rusydu(dapat membelanjakan harta dengan baik). Sehingga
anak kecil, orang yang kurang akal (idiot) dan tidak bisa membelanjakan harta
dengan benar, juga orang gila tidak boleh melakukan jual beli, begitu pula
dengan seorang budak kecuali dengan izin tuannya.
Catatan: Rusydu menurut
mayoritas ulama ada ketika telah mencapi masa baligh. Ketika telah mencapai
baligh atau telah tua renta belum memiliki sifat rusydu, maka keadaannya di-hajr, yaitu dilarang untuk melakukan jual beli. Sifat rusydu ini datang bersama masa baligh, namun pada
sebagian orang sifat rusydu ini
datang telat, ada yang sebentar atau lama setelah baligh (Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 22: 212-214).
Ketiga: Orang yang melakukan akad adalah sebagai pemilik
barang atau alat tukar, atau bertindak sebagai wakil.
Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ
فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ
مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Wahai Rasulullah, ada seseorang
yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum
aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya dari pasar?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang
tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud no. 3503, An Nasai no. 4613,
Tirmidzi no. 1232 dan Ibnu Majah no. 2187. Syaikh Al Albani mengatakan hadits
ini shahih).
Di antara salah satu bentuk dari menjual belikan
barang yang belum menjadi milik kita ialah menjual barang yang belum sepenuhnya
diserahterimakan kepada kita, walaupun barang itu telah kita beli, dan mungkin
saja pembayaran telah lunas. Larangan ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ
حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan
makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ مِثْلَهُ
“Aku berpendapat bahwa segala
sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136
dan Muslim no. 1525).
Ibnu ‘Umar mengatakan,
وَكُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ
الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ
نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ.
“Kami biasa membeli bahan
makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut
sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya” (HR. Muslim no.
1527).
Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا
بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ
قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada
kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang
sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali”
(HR. Muslim no. 1527).
Bentuk serah terima di sini tergantung dari jenis
barang yang dijual. Untuk rumah, cukup dengan nota pembelian atau balik nama;
untuk motor adalah dengan balik nama kepada pemilik yang baru; barang lain
mesti dengan dipindahkan dan semisalnya.
Bentuk pelanggaran dalam syarat jual beli ini adalah
seperti yang terjadi dalam jual beli kredit dengan deskripsi sebagai berikut:
Pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli
mobil X dari Anda.” Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu
pihak bank berkata kepada pemohon: “Silakan Anda datang ke showroom tersebut
dan ambil mobilnya.”
Bank pada saat itu menjual barang yang belum
diserahterimakan secara sempurna, belum ada pindah nama atau pemindahan
lainnya. Ini termasuk pelanggaran dalam jual beli seperti yang diterangkan
dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar di atas.
C.
Syarat pada Barang yang Dijual
Di antara syarat barang yang akan dijual adalah bukan
barang yang haram, sehingga dilarang jual beli khomr dan babi. Begitu pula
tidak boleh menjual barang yang mengandung ghoror (ketidak-jelasan), yaitu
untung-untungan, bisa mendapat yang bagus, bisa mendapat yang berkualitas
rendahan.
Berikut rincian syarat yang berkaitan dengan barang
yang akan dijual:
Pertama: Barang yang dijual adalah barang yang mubah
pemanfaatannya
Dari sini, barang yang haram pemanfaatannya seperti
khomr, babi, dan alat musik maka tidak boleh diperdagangkan.
Kedua: Barang yang dijual dan uang yang akan diberi bisa
diserahterimakan
Karena sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan ketika
akad, maka seperti tidak ada sehingga jual belinya tidak sah. Contoh yang
terlarang dalam masalah ini:
– Menjual budak
yang kabur
– Menjual unta
yang kabur
– Menjual burung
yang terbang di udara
– Menjual barang
yang telah dirampas bagi orang yang mampu mengambilnya kembali
– Ikan dalam kolam
Namun jika barang-barang di atas mampu untuk
diserahterimakan semisal kebiasaan burung yang terbang di udara pasti akan
kembali ke sangkarnya, atau ikan yang sudah dijaring sehingga mudah ditangkap,
atau si pembeli mampu menangkap budak atau unta yang kabur, maka sah jual
belinya.
Ketiga: Barang dan uang diketahui dengan jelas dan tidak
boleh ada ghoror (ketidak jelasan)
Dari sini, tidak boleh membeli barang yang tidak bisa
dilihat atau tidak diketahui, seperti membeli janin yang masih dalam kandungan,
atau membeli susu yang masih dalam ambingnya.
Dalam hadits dilarang jual beli mulamasah, yaitu baju
yang telah disentuh, itulah yang diambil. Begitu pula jual beli munabadzah juga
terlarang, yaitu seseorang melemparkan baju pada yang lain, maka itulah yang
diambil. Kedua jual beli ini mengandung ghoror atau spekulasi tinggi, yaitu
adanya ketidak jelasan ketika membeli. Boleh jadi yang didapat bagus dan boleh
jadi yang didapat adalah kualitas rendahan.
Dari Abu Sa’id, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
– نَهَى عَنِ الْمُنَابَذَةِ ، وَهْىَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِالْبَيْعِ
إِلَى الرَّجُلِ ، قَبْلَ أَنْ يُقَلِّبَهُ ، أَوْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ ، وَنَهَى
عَنِ الْمُلاَمَسَةِ ، وَالْمُلاَمَسَةُ لَمْسُ الثَّوْبِ لاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang dari munabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya kepada
yang lain dan itulah yang dibeli tanpa dibolak-balik terlebih dahulu atau tanpa
dilihat keadaan pakaiannya. Begitu pula beliau melarang dari mulamasah, yaitu
pakaian yang disentuh itulah yang dibeli tanpa melihat keadaaannya”
(HR. Bukhari no. 2144).
Begitu pula terlarang juall beli hashoh (lemparan dengan kerikil), yaitu hasil
lemparan kerikil jatuh pada pakaian, itulah yang dibeli. Dari Abu Hurairah, ia
berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang
dibeli) dan melarang dari ghoror” (HR. Muslim no. 1513).
Masalah ghoror (ketidakjelasan), inilah sebab utama
yang membuat mayoritas jual beli menjadi tidak sah. Namun ada ghoror yang
dibolehkan, yaitu:
- Yang mengandung spekulasi kerugian yang sedikit. Sebagaimana Ibnu Rusyd berkata,الفقهاء متّفقون على أنّ الغرر الكثير في المبيعات لا يجوز وأنّ القليل يجوز“Para pakar fikih sepakat bahwa ghoror pada barang dagangan yang mengandung kerugian yang banyak itulah yang tidak boleh. Sedangkan jika hanya sedikit, masih ditolerir (dibolehkan)”.
- Merupakan ikutan dari yang lain, bukan ashl (pokok). Jika kita membeli janin dalam
kandungan hewan ternak, itu tidak boleh. Karena ada ghoror pada barang yang
dibeli. Sedangkan jika yang dibeli adalah yang hewan ternak yang bunting dan
ditambah dengan janinnya, maka itu boleh.
- Dalam keadaan hajat (butuh). Semacam membeli rumah
di bawahnya ada pondasi, tentu kita tidak bisa melihat kondisi pondasi
tersebut, artinya ada ghoror. Namun tetap boleh membeli rumah walau tidak
terlihat pondasinya karena ada hajat ketika itu.
- Pada akad tabarru’at (yang tidak ditarik keuntungan), seperti dalam pemberian hadiah. Kita boleh saja memberi hadiah pada teman dalam keadaan dibungkus sehingga tidak jelas apa isinya. Ini sah-sah saja. Beda halnya jika transaksinya adalah mu’awadhot, ada keuntungan di dalamnya semacam dalam jual beli.
Demikian bahasan kami mengenai syarat jual beli. Moga
kita selalu memperhatikan hal ini saat kita melakukan akad. Semoga Allah selalu
memberkahi jual beli yang kita lakukan.
Wallahu a’lam. Wa billahit taufiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar