Apakah suami menanggung dosa istri ketika istri tidak
berjilbab atau membuka aurat di depan orang lain?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa
ba’du,
Kaidah secara umum yang disebutkan Allah dalam al-Quran,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain.
Pernyataan ini Allah sebutkan 4 kali dalam al-Quran, di surat al-An’am:
164, al-Isra: 15, Fathir: 18, dan az-Zumar: 7.
Karena setiap jiwa menanggung amalnya sendiri-sendiri.
Allah berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Setiap jiwa tergadaikan dengan amalnya.” (QS. al-Muddatsir: 38).
Termasuk maksiat yang dilakukan seseorang, dia sendiri yang akan menanggungnya.
Bukan orang lain.
Mendapat Cipratan Dosa
Hanya saja, bisa saja orang mendapatkan cipratan dosa, karena maksiat yang
dilakukan orang lain.
Dan itu terjadi karena beberapa sebab. Diantaranya,
Pertama, Menjadi pelopor maksiat
Gara-gara keberadaan orang ini, masyarakat menjadi kenal maksiat. Atau
semakin berani melakukan maksiat. Sehingga dia turut mendapatkan saham dosa
dari semua orang yang terpengaruh dengannya dalam melakukan maksiat.
Karena yang Allah catat dari kehidupan kita, tidak hanya aktivitas dan
amalan yang kita lakukan, namun juga dampak dan pengaruh dari aktivitas dan
amalan itu.
Allah berfirman di surat Yasin,
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى
وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ
مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan
Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan. dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata
(Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Dalam hadis dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan nilai dosa
akibat menjadi pelopor maksiat,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ،
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْء
“Siapa yang mempelopori satu kebiasaan yang buruk
dalam islam, maka dia mendapatkan dosa keburukan itu, dan dosa setiap orang
yang melakukan keburukan itu karena ulahnya, tanpa dikurangi sedikitpun dosa
mereka.” (HR. Muslim 2398).
Orang ini tidak mengajak lingkungan sekitarnya untuk melakukan maksiat yang
sama. Orang ini juga tidak memotivasi orang lain untuk melakukan perbuatan dosa
seperti yang dia lakukan. Namun orang ini melakukan maksiat itu di hadapan
banyak orang, sehingga ada yang menirunya atau menyebarkannya.
Karena itulah, anak adam yang pertama kali membunuh, dia dilimpahi tanggung
jawab atas semua kasus pembunuhan karena kedzaliman di alam ini. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ
عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا
“Tidak ada satu jiwa yang terbunuh secara dzalim,
melainkan anak adam yang pertama kali membunuh akan mendapatkan dosa karena
pertumpahan darah itu.” (HR. Bukhari 3157, Muslim 4473 dan
yang lainnya).
Kedua, mengajak orang lain melakukan maksiat
Dia mengajak masyarakat untuk bermaksiat, meskipun bisa jadi dia sendiri
tidak melakukannya. Merekalah para juru dakwah kesesatan, atau mereka yang
mempropagandakan kemaksiatan.
Allah berfirman, menceritakan keadaan orang kafir kelak di akhirat, bahwa
mereka akan menanggung dosa kekufurannya, ditambah dosa setiap orang yang
mereka sesatkan,
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
Mereka akan memikul dosa-dosanya dengan penuh pada
hari kiamat, dan berikut dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak
mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan).(QS. an-Nahl: 25)
Imam Mujahid mengatakan,
يحملون أثقالهم: ذنوبهم وذنوب من أطاعهم،
ولا يخفف عمن أطاعهم من العذاب شيئًا
Mereka menanggung dosa mereka sendiri dan dosa orang lain yang
mengikutinya. Dan mereka sama sekali tidak diberi keringanan adzab karena dosa
orang yang mengikutinya. (Tafsir Ibn Katsir, 4/566).
Ayat ini, semakna dengan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ
عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan
dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR. Ahmad 9398, Muslim 6980, dan yang lainnya).
Ketiga, Membiarkan kemunkaran terjadi di
tengah keluarganya, padahal dia mampu mengingatkannya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kita untuk
mengingkari kemungkaran yang ada di hadapan kita. Baik dengan tangan, lisan,
atau minimal hatinya membenci.
Dalam hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah
meluruskannya dengan tangannya, maka jika tidak sanggup (hendaklah meluruskan)
dengan lisannya, jika tidak sanggup (hendaklah dia meluruskan) dengan hatinya
dan ini adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim
49).
Bagian dari pengingkaran terhadap kemungkaran itu adalah menjauhinya dan
bergabung dengan pelaku kemungkaran. Allah ingatkan para hamba-Nya untuk tidak
kumpul dengan orang munafiq,
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ
أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا
تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا
مِثْلُهُمْ
“Sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu
di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta
mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sungguh (jika
kalian tidak menyingkir), berarti kalian serupa dengan mereka.” (QS. an-Nisa: 140)
Allah sebut, orang yang ikut nimbrung bersama orang kafir atau orang
munafiq dalam melakukan kekufuran dengan “jika kalian tidak menyingkir, berarti
kalian serupa dengan mereka.”
Al-Qurthubi mengatakan,
فَدَلَّ بِهَذَا عَلَى وُجُوبِ اجْتِنَابِ
أَصْحَابِ الْمَعَاصِي إِذَا ظَهَرَ مِنْهُمْ مُنْكَرٌ ؛ لِأَنَّ مَنْ لَمْ
يَجْتَنِبْهُمْ فَقَدْ رَضِيَ فِعْلَهُمْ ، وَالرِّضَا بِالْكُفْرِ كُفْرٌ ، قَالَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلّ : (إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ) . فَكُلُّ مَنْ جَلَسَ فِي
مَجْلِسِ مَعْصِيَةٍ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ يَكُونُ مَعَهُمْ فِي الْوِزْرِ
سَوَاءً
Ayat ini menunjukkan wajibnya menjauhi pelaku maksiat ketika mereka
menampakkan kemungkaran. Karena orang yang tidak menjauhi kemungkaran mereka,
berarti ridha dengan perbuatan mereka. Dan ridha dengan perbuatan kekufuran
adalah kekufuran. Allah menegaskan, “Berarti kalian seperti mereka.” Sehingga
semua yang duduk bersama di majlis maksiat, dan tidak menghingkarinya, maka
dosa mereka sama. (Tafsir al-Qurthubi, 5/418).
Hubungan Suami, Istri & Anak
Ketika suami sebagai kepala rumah tangga, membiarkan istrinya atau putrinya
bermaksiat, menampakkan aurat, maka kepala keluarga turut mendapatkan dosanya.
Karena berarti dia menyetujui kemaksiatan yang dilakukan keluarganya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan memberikan ancaman
keras bagi suami semacam ini, dan beliau sebut dengan gelar dayuts (lelaki
tanpa cmburu).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ
الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ
Ada tiga orang yang tidak akan Allah lihat pada hari
kiamat: orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang meniru gaya
lelaki, dan dayuts. (HR. Ahmad 6180, Nasai 2562, dan
dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Mengenai pengertian dayuts, dalam kamus al-Misbah dinyatakan,
أن الديوث هو الرجل الذي لا غيرة له على
أهله
Dayuts adalah lelaki yang tidak memiliki rasa cemburu
terhadap istrinya. (al-Mishbah al-Munir, madah: da –
ya – tsa).
Berbeda ketika suami telah mengingatkan istrinya atau putrinya untuk
meninggalkan yang terlarang, sudah diberi peringatan, bahkan ancaman dan
hukuman, namun mereka tetap melanggar, dan suami tidak bisa mengambil tindakan
apapun, maka suami tidak menanggung dosa mereka.
Sebagaimana ini yang terjadi pada Nabi Nuh dan Nabi Luth. Istri kedua orang
soleh ini mengkhianati suaminya. Mereka turut dihukum oleh Allah, setelah Allah
menyelamatkan kedua nabi-Nya – alaihis shalatu was salam –.
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar