Sebelum membahas tentang kaidah-kaidah dalam riba,
kita perlu memahami terlebih dahulu sebuah masalah penting, yakni apa
sebenarnya yang dimaksud barang-barang ribawi itu?
Kita katakan, bahwasanya sebagian dari barang-barang
ribawi telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan sebagian yang lain telah ditambahkan oleh para ulama’ karena kesamaan ilat/sebab dengan barang-barang riba yang nabi
sebutkan, seperti Emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, garam dan
anggur.
Dalam hadits Ma’mar dalam riwayat Muslim disebutkan
bahwa nabi bersabda, “Makanan ditukar dengan makanan
harus sama.” Apakah barang-barang ribawiyah itu hanya terdiri
dari nama-nama yang nabi sebutkan atau setiap barang yang memiliki sifat
seperti barang yang nabi sebutkan?
Pendapat pertama: Kaum Dzahiriyah mengatakan
bahwasanya barang ribawiyah itu hanya nama-nama yang Nabi sudah sebutkan saja.
Adapun selainnya maka tidak termasuk barang ribawiyah. Ini adalah pendapat Ibnu
Uqail dari madzhab Hambali.
Pendapat kedua: Bahwasanya barang-barang
ribawiyah itu tidak hanya terbatas pada barang-barang yang disebutkan oleh nabi
saja, namun juga tercakup setiap barang yang memiliki kesamaan sifat dengan
barang-barang yang disebutkan nabi itu. Dari pendapat ini, para ulama kemudian
berbeda pendapat tentang ilat (sebab/alasan)
barang-barang yang disebutkan nabi sehingga disebut sebagai barang-barang
ribawi. Sebagaimana yang kita sebutkan sebelumnya bahwa nabi menyebutkan
barang-barang ribawiyah berupa emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma
dan garam.
Perbedaan pendapat yang dimaksudkan adalah sebagai
berikut:
– Pendapat pertama: Bahwa ilat dari emas dan perak adalah ukuran timbangan.
Adapun barang-barang selainnya yang empat (yang tersebut dalam nash) adalah
ukuran takaran. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Atas dasar pendapat
inilah maka hukum riba berlaku pada setiap barang-barang yang dapat
ditimbang-baik itu makanan atau selainnya- dan setiap barang-barang yang dapat
di takar- baik itu makanan atau selainnya-. Atas dasar pendapat ini pula hukum
riba berlaku untuk besi. Barangsiapa yang menukar besi dengan besi haruslah
seukuran dan tunai, karena memiliki jenis yang sama (nanti akan dijelaskan
dalam kaidah bahwa apabila barang yang ditukar itu adalah barang yang sejenis,
maka haruslah seukuran dan tunai). Menurut pendapat ini maka hukum riba berlaku
pada emas, besi, tembaga, kuningan, timah dll. Begitu pula berlaku pada
barang-barang lain yang dapat ditimbang seperti kain, sutera, wol, kapas dan
semua barang yang dapat ditimbang. Begitu pula hukum ini berlaku untuk
barang-barang yang dapat ditakar seperti gandum halus, gandum kasar, kurma,
beras dan semua benda cair, seperti minyak dan susu.Inilah pendapat pertama
yaitu timbangan dan takaran. Dengan ilat ini
berlakulah hukum riba untuk setiap barang yang dapat ditimbang dan ditakar baik
berupa makanan atau selainnya.
– Pendapat kedua: Imam Syafii rahimahullah berpendapat bahwa ilat (alasan) dari emas dan perak adalah karena
keduanya merupakan standard harga untuk barang-barang lainnya (alat tukar).
Adapun ke empat barang yang lainnya, maka ilatnya adalah jenis
makanan.
Atas dasar pendapat ini maka hukum riba berlaku untuk:
aEmas dan perak saja. Adapun timah, besi, tembaga dsb,
tidak berlaku hukum ribawi.
bJenis makanan. Maka setiap makanan termasuk barang
ribawi, tidak terkait dengan kondisinya yang biasa ditimbang atau ditakar.
– Pendapat ke tiga: Imam Malik berpendapat
bahwa ilat dari emas dan perak adalah alat tukar. Adapun
empat barang lainnya maka ilatnya karena
barang-barang tersebut merupakan makanan pokok dan makanan simpanan. Yaitu
makanan sehari-hari dan makanan yang dapat disimpan dalam jangka waktu yang
lama. Seperti gandum, maka ia adalah makanan pokok dan biasa disimpan dalam
waktu lama. Begitu pula gandum, syair, jagung dan jewawut.
– Pendapat keempat: Syaikul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa ilat dari emas
dan perak adalah alat tukar yaitu barang yang bisa digunakaan untuk pembayaran
bagi barang selainnya. Adapun empat barang lainnya ilatnya adalah makanan yang biasa ditakar atau
ditimbang.
Sebagai contoh:
1. Pertukaran antara satu Apel dengan dua
Apel. Apakah berlaku hukum riba?
Menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali: Tidak berlaku
hukum riba. Karena keduanya bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan
takaran atau timbangan, namun dengan jumlah atau bilangan. Menurut Madzhab
Syafii: Berlaku hukum riba, karena apel adalah makanan. Menurut Madzhab Imam
Malik: Tidak berlaku hukum riba, karena apel bukanlah emas, perak maupun
makanan pokok yang biasa disimpan.
2. Satu sho’ gandum halus ditukar dengan
dua sho’ gandum halus. Apakah berlaku hukum riba?
Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali: Berlaku hukum riba,
karena pertukaran terjadi pada barang yang biasa diukur dengan takaran. Menurut
madzhab Syafii: Berlaku juga, karena pertukaran terjadi pada makanan.Menurut
madzhab Maliki: Berlaku, karena pertukaran terjadi pada makanan pokok yang
biasa disimpan. Menurut Syaikhul Islam: Berlaku, karena pertukaran terjadi pada
makanan yang biasa diukur dengan takaran.
3. Satu kilogram besi ditukar dengan dua
kilogram besi.
Menurut madzhab Hanafi dan Hanbali: Berlaku karena
besi termasuk barang yang biasa diukur dengan timbangan. Menurut madzhab
Syafii: tidak berlaku, karena bukan emas atau perak. Bukan pula makanan pokok
yang disimpan. Menurut syaikhul Islam: tidak berlaku, karena ilat menurut beliau adalah alat tukar, makanan
yang ditakar atau ditimbang.
4. Satu pena ditukar dengan dua pena
Menurut madzhab Hanafi dan Hambali: Tidak berlaku.
Karena bukan termasuk barang yang biasa diukur dengan takaran maupun timbangan
akan tetapi bilangan. Menurut Madzhab Syafii: Tidak berlaku. Karena bukan emas
atau perak. Bukan pula makanan. ilat yang
digunakan pada madzhab ini adalah statusnya sebagai makanan atau alat tukar.
Menurut Syaikul Islam: Tidak berlaku. Karena ilat menurut
beliau adalah alat tukar, makanan yang dapat ditimbang atau ditakar.
Kita mengetahui barang ribawiyah menurut Syaikul Islam
adalah:
- Barang yang menjadi alat tukar seperti Riyal, Dinar
dan Pounds, serta apa saja yang menjadi alat tukar manusia.
- Barang-barang yang menjadi makanan yang ditakar atau makanan yang ditimbang dan inilah pendapat yang rojih dalam masalah ini.
Inilah kaidah-kaidah yang harus dipahami dalam
permasalahan riba:
KAIDAH PERTAMA
أن كل ربويين
اتحدا في الجنس والعلة ( علة ربا الفضل ) ، فإنه يشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر
شرطان : التماثل ، والحلول والتقابض
Setiap barang yang jenis dan ilatnya
sama maka boleh ditukarkan dengan berdasar pada dua syarat; yaitu sama
banyaknya dan tunai.
Berdasarkan perkataan Syaikhul Islam, uang riyal
termasuk barang Ribawi. Apabila riyal ditukar dengan riyal (keduanya sama jenis
dan ilatnya) maka harus terpenuhi dua syarat: Sama banyak
dan tunai.
Contoh:
- 10 riyal ditukar dengan 10 riyal, 50 riyal ditukar
dengan 50 riyal, dan harus tunai dan barangnya ada ditempat (serah terima
barang ditempat transaksi). Karena terkadang transaksi secara tunai akan tetapi
barangnya tidak ada di tempat. Hal ini terjadi dengan kesepakatan antara
keduanya bahwa transaksi tunai tetapi tidak boleh langsung diambil. Seperti
perkataan, “Kamu datang 2 jam lagi baru kamu ambil
barangnya.” Terkadang juga ada yang penyerahannya ditunda atau
tunai akan tetapi barang tidak langsung diambil. Yang benar adalah tunai dan
barang langsung diambil.
- Tukar menukar daging. Berdasarkan pendapat Syaikul
Islam Ibn Taimiyah maka daging termasuk barang ribawi, karena daging adalah
makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Maka tatkala saling menukar daging
onta harus terpenuhi dua syarat; sama banyaknya dan langsung diserah terimakan.
- Gula termasuk barang ribawi karena termasuk makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Tatkala hendak tukar menukar gula maka wajib terpenuhi kedua syarat di atas.
KAIDAH KEDUA
كل ربويين
اتحدا في علة ربا الفضل واختلفا في الجنس ، فيشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر شرط
واحد ، وهو : الحلول والتقابض
Setiap barang ribawi yang ilatnya
sama namun berbeda jenis barangnya apabila hendak ditukar maka disyaratkan
harus tunai atau langsung diserah terimakan.
Contoh:
- Riyal ditukar dengan Pounds. ilatnya sama yaitu alat tukar. Maka syarat
pertukarannya adalah tunai atau serah terima secara langsung. Adapun kesamaan
jumlah maka ini bukan syarat.
- Daging onta dengan daging kambing. ilat dari kedua barang ini adalah makanan yang
lazimnya diukur dengan timbangan. Jenis dari kedua barang ini berbeda. Maka
disyaratkan tunai dan diperbolehkan untuk melebihkan salah satu barang. Karena
nabi bersabda, “Apabila jenis barang berbeda, maka juallah
sekehendak kalian asalkan tunai.”
- Gandum kasar (Sya’ir) dengan gandum halus (Birr). ilatnya sama yaitu makanan yang lazim diukur dengan takaran. Apabila keduanya hendak ditukar maka disyaratkan untuk tunai. Adapun harus sama banyaknya, maka ini bukanlah syarat. Kita diperbolehkan menjualnya sekehendak kita.
KAIDAH KETIGA
كل ربويين
اتحدا في علة ربا الفضل واختلفا في الجنس ، وكان أحدهما نقداً ، فإنه لا يشترط شيء
Setiap barang ribawi yang ilatnya
sama akan tetapi jenis barangnya berbeda dan salah satunya adalah emas atau
perak maka tidak ada syarat apapun jika hendak ditukarkan.
Kaidah ini berlaku menurut madzhab Abu Hanifah dan
Ahmad. Telah kita ketahui sebelumnya bahwa pendapat madzhab ini marjuh (lemah).
Contoh:
- Perak ditukar dengan tembaga. ilat dari keduanya adalah timbangan. Perak dn
tembaga keduanya lazim diukur dengan timbangan. Maka seperti ini boleh dijual
dengan sekehendak hati, dan tidak disyaratkan harus tunai. Juga tidak
disyaratkan harus sama ukurannya. Seandainya kita menjual 2 kg tembaga dengan 1
kg perak dengan tempo tertentu maka ini diperbolehkan.
- Emas dengan besi. Madzhab ini mengatakan bahwa ilatnya adalah timbangan. Oleh kerenanya tidak mengapa kita menjualnya sesuai dengan keinginan kita.
KAIDAH KEEMPAT
عن مبادلة نقد
بنقد ، أو أوراق نقدية بأوراق نقدية ، أو عملات معدنية بأخرى ، فإذا اتحد الجنس ،
فإنه يشترط شرطان : 1- التماثل والتساوي . 2- الحلول والتقابض .وأما إذا اختلف
الجنس ، فإنه يشترط شرط واحد فقط ، وهو الحلول والتقابض
Tukar menukar An-Naqd (mata uang logam)
atau antara uang kertas dengan uang kertas (atau barang logam dengan yang
lainnya), jika sama jenisnya maka harus memenuhi dua persyaratan, yaitu (1)
sama ukurannya dan (2) serah terima secara tunai. Adapun apabila berbeda
jenisnya maka syaratnya hanya satu, yaitu serah terima secara tunai.
- Contoh barang yang sejenis: Riyal saudi ditukar
dengan riyal saudi. Contoh an Naqd dengan an Naqd ( para ulama apabila
menyebutkan an Naqd maka yang dimaksudkan adalah emas dan perak ). Emas dengan
emas.
- Contoh yang berbeda jenis: Emas dengan perak. Maka dipersyaratkan harus tunai. Contoh lainnya adalah jika kita menjual emas dan uang lembaran. Keduanya berbeda jenis dengan ilat yang sama yaitu alat tukar. Maka disyaratkan harus tunai. Atau jika kita menjual perak dengan uang lembaran maka syaratnya adalah tunai.
KAIDAH KELIMA
كل ربويين
اختلفا في العلة ، فلا يشترط عند مبادلة أحدهما بالآخر لا الحلول والتقابض ، ولا
التساوي والتماثل
Setiap barang ribawi yang
berbeda ilatnya, maka tidak disyaratkan tunai, juga tidak disyaratkan sama
ukurannya.
Jika kita menukar barang ribawi satu dengan yang
lainnya padahal ilatnya berbeda maka tidak ada
syarat apapun yang harus dipenuhi.
- Riyal dengan kurma. Ilat dari riyal
adalah alat tukar. Adapun kurma maka ilatnya adalah makanan yang lazim diukur
dengan timbangan. Maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk saling
menukarnya.
- Gandum halus dengan emas. Gandum halus ilatnya adalah
makanan yang lazim diukur dengan takaran. Adapun emas ilatnya adalah alat
tukar.
- Sya’ir (Gandum kasar) dengan perak. Maka tidak ada syarat untuk keduanya.
KAIDAH KEENAM
عند مبادلة
ربوي بغير ربوي ، أو مبادلة عوضين غير ربويين ، فإنه لا يشترط الحلول والتقابض ولا
التساوي والتماثل
Tukar menukar barang ribawi dengan barang bukan
ribawi, atau saling menukar antara barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat
yang harus dipenuhi.
Dalam kaidah ini ada 2 bentuk transaksi:
1. Tukar menukar antara barang ribawi dengan barang
bukan ribawi, maka tidak ada syarat untuk keduanya.
Contoh:
- Emas dengan pakaian.
- Emas dengan buah jeruk,
- Riyal dengan pakaian.
Tidak ada syarat dalam pertukaran ini. Kita boleh
menjual sekehendak kita. Tidak harus sama, tidak pula harus tunai.
2. Tukar menukar barang bukan ribawi. Tidak
dipersyaratkan apa-apa dan tidak ada ilat pada kedua
barang tsb.
Contoh:
- Pakaian dengan kitab –keduanya bukan barang ribawi-,
- Mobil dengan buku,
- Pakaian dengan rumah.
Ini semua bukan barang ribawi. Tatkala kita hendak
menukar barang –ribawi dengan barang bukan ribawi atau dua-duanya bukan barang
ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.
KAIDAH KETUJUH
لا أثر
لاختلاف النوع أو الجودة والرداءة عند اتحاد الجنس الربوي ، ففي هذه الحال يشترط
التساوي والتماثل ، وكذلك الحلول والتقابض
Perbedaan jenis atau kualitas bukan faktor
yang diperhitungkan pada barang ribawi sejenis. Yang dipersyaratkan adalah
persamaan ukuran dan harus tunai.
Tatkala hendak tukar menukar barang ribawi yang
sejenis maka harus sama jumlah ukurannya dan tunai, meskipun terdapat perbedaan
kualitas.
Contoh: Pertukaran antara kurma dengan kurma. Keduanya
memiliki jenis yang sama. Maka wajib dilakukan secara tunai dan sama ukurannya.
Jika satu sho’ maka ditukar dengan satu sho’. Meskipun salah satu kurma dengan
kualitas bagus dan yang lainnya jelek, tetap tidak boleh kita mengatakan kita
tukar 1 sho’ kurma macam yang ini dengan 2 sho macam yang itu. Perbedaan macam
kurma tidaklah berpengaruh karena perbedaan macam pada jenis yang sama tidaklah
berpengaruh.
Demikian pula kualitas. Ini kualitas bagus dan ini
kualitas buruk. Ini kurma merek A berkualitas bagus dan ini kurma merek B
berkualitas buruk. Meskipun ada perbedaan, yang satu kurma baru dan yang
lainnya kurma lama, tetap harus sama ukurannya.
Keterangan ini berdasar pada hadits Abu Said tatkala mendatangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khaibar. Iapun
datang dengan membawa kurma janiiib (kualitas baik ) yang masih baru. Nabipun
bertanya,“Apakah semua kurma Khaibar seperti ini ?” para
sahabat menjawab, “Tidak wahai Rasulullah. Kami mengambil satu
sho kurma janiib dengan dua sho’ kurma al jam’u (kualitas buruk).” Nabi
bersabda,“Jauhkan dia. Ini adalah salah satu jenis riba.”
Hadits ini menunjukkan bahwa perbedaan macam atau
kualitas barang tidak berpengaruh selama masih dalam jenis yang sama.
Contoh:
- Gandum. Gandum memiliki macam yang beragam. (al khintoh, al laqiimi, dan al Miayyah). Maka tatkala al khintoh ditukar dengan al khintoh harus secara tunai dan sama jumlahnya.
- Daging. Apabila berbeda macamnya (sapi misalnya ) daging sapi irab dengan sapi jamuus, Apabila hendak ditukar antara ini dan itu selama keduanya masih sama-sama daging sapi maka harus secara tunai dan sama banyaknya.
- Susu.
- Daging kambing. Apabila ditukar daging domba dengan daging kambing namun dengan penambahan maka ini termasuk riba. Perbedaan macam kambing ini tidak dilihat dan hanyalah harus terpenuhi syarat tunai dan sama ukurannya.
KAIDAH KEDELAPAN
ما اشترط فيه
التماثل والتساوي ، فلا بُدَّ أن يكون التساوي والتماثل بمعياره الشرعي: كيلاً في
المكيلات ، ووزناً في الموزونات
Setiap kondisi yang disyaratkan harus sama
jumlah ukurannya maka harus benar-benar sama menurut ukuran standard yang
diakui oleh syariat. Dengan takaran yang standard jika barang takaran dan
dengan timbangan standard jika barang timbangan.
Kapan disyaratkan harus sama ukurannya? Yakni apabila
pertukaran terjadi pada barang ribawi yang sama jenisnya. Apabila disyaratkan
harus sama maka harus disamakan menurut ukuran standard syar’i. Tidak boleh
dengan ukuran sembarangan. Karena barang-barang ribawi ini memiliki ukuran
standard secara syar’i. Nabi bersabda, “Emas dengan Emas, seukuran
dengan ukuran yang sama. Perak dengan perak, seukuran dengan ukuran yang sama.” Oleh
karenanya apabila seseorang menukar 1 sho’ emas dengan 1 sho’ emas, hal ini
termasuk riba meskipun kelihatannya sama. Mengapa demikian? karena tidak
menggunakan ukuran standard yang diakui oleh syariat.
Seandainya kita ambil emas pertama yang diukur dengan
sho’ (satuan volume) dan kita timbang dengan timbangan standardnya. Kemudian
kita ambil emas kedua dan kita timbang dengan timbangan standardnya, tentu kita
akan mendapatkan perbedaan.
Demikian halnya dengan barang lain. Apabila kita
menimbang barang yang lazimnya ditakar (berdasar satuan volume) atau menakar
barang yang lazimnya ditimbang (berdasar satuan berat) maka hal ini termasuk
dalam praktek riba. Contohnya perak. Ukuran standard menurut syariat adalah
dengan timbangan. Akan dijelaskan tentang kaidah ukuran standard. Insya Allah.
Tatkala 10 kg gandum ditukar dengan 10 kg gandum maka
ini termasuk riba. Karena kita menggunakan ukuran timbangan (satuan berat).
Padahal gandum ukuran standardnya adalah takaran (berdasar satuan volume).
Adapun kg atau gram adalah ukuran timbangan (berat). Pertukaran ini harus
diukur dengan standard syar’i. Gandum adalah barang yang lazim ditakar. Maka
kita mengukurnya dengan alat ukur seperti sho’, wasq, mud dsb.
Adapun barang-barang timbangan diukur dengan alat
timbangan seperti kg, gram, pound dll.
KAIDAH KESEMBILAN
عند مبادلة
ربوي بربوي آخر، لا يُشترط المعيار الشرعي عند عدم اشتراط التساوي
Para pertukaran barang-barang ribawi,
tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard apabila tidak ada syarat harus
sama ukuran jumlahnya.
Demikian pula pada pertukaran barang ribawi dengan
barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard syar’i.
Pada pertukaran barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya, tidak
dipersyaratkan harus dengan ukuran standard. Mengapa? karena beda jenis maka
tidak dipersyaratkan harus sama jumlahnya.
Dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard
syar’i apabila terjadi pada barang-barang yang dipersyaratkan harus sama
ukurannya karena sama jenisnya. Adapun jika kita tukarkan barang ribawi dengan
barang ribawi jenis lainnya maka kita boleh mengukurnya sesuai dengan kehendak
kita. Baik pada barang-barang takaran maupun timbangan.
Contoh barang ribawi dengan barang ribawi jenis lain:
- Pertukaran emas dengan kurma. Sama saja apakah dengan
timbangan, takaran atau tidak diukur sama sekali. Kurma lazimnya diukur dengan
takaran. Akan tetapi apabila hendak kita tukar dengan emas atau riyal maka
tidak mengapa kita mengukurnya dengan timbangan. Begitu pula emas.
- Gandum halus dengan gandum kasar. Keduanya lazim diukur dengan takaran. Selama tidak dipersyaratkan harus sama ukurannya maka tidak disyaratkan pula harus diukur dengan ukuran standard. Juallah 1 sho’ gandum kasar dengan 2 sho ‘ gandum halus. Atau 10 kg gandum kasar dengan 20 kg gandum halus. Atau juga 1 sho’ gandum kasar dengan 10 kg gandum halus. Diukur dengan timbangan atau takaran, semua boleh. Akan tetapi harus tunai.
Contoh pertukaran barang yang berbeda dan tidak sama
jenisnya:
- Kurma dengan riyal, maka hal ini tidak mengapa.
Misalnya apabila kita membelinya dari pedagang kurma. Bukannya menakar,
pedagang itu malah menimbangnya. Ini boleh. Mengapa demikian? Karena kita tidak
diharuskan untuk menyamakan ukuran. Antara kurma dan riyal berbeda jenisnya.
- Demikian pula contohnya apabila kita membeli beras. Kemudian diberikan 2 kg beras (bukan dengan ukurun sho’).Ini tidak mengapa. Kita tidak membeli barang ribawi yang sejenis, akan tetapi beda jenis. Dalam konteks ini, kita tidak dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i kerena kita tidak disyaratkan untuk menyamakan ukuran.
Begitu pula jika kita mengganti atau menukar barang
ribawi dengan barang bukan ribawi. Atau tukar menukar barang yang bukan ribawi,
maka tidak ada syarat menggunakan ukuran standard. Seperti kita menukar baju
dengan baju.
Mengapakah para ulama mensyaratkan untuk menggunakan
alat ukur yang standard? Tidak lain supaya terwujud kesamaan dengan sebenarnya.
Nabi bersabda:
مثلاً بمثل سواءً بسواء
“Misal dengan semisalnya dan sama dengan
persamaannya.”
Tidaklah terwujud persamaan ini kecuali dengan ukuran
yang standard.
KAIDAH KESEPULUH
ما كان في عهد
النبي صلى الله عليه وسلم عند أهل المدينة مكيلاً فهو مكيل ، وما كان في عهد النبي
صلى الله عليه وسلم عند أهل مكة موزوناً فهو موزون إلى يوم القيامة
Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk
Madinah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan takaran maka ia
diukur dengan takaran. Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Makkah pada
zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan timbangan maka dia diukur
dengan timbangan selamanya hingga hari kiamat.
Kaidah inilah yang ingin kita jelaskan terkait dengan
landasan penggolongan barang yang ditimbang atau barang yang ditakar. Persisnya
tatkala kita hendak menukar barang ribawi yang sejenis sehingga dipersyarakan
untuk sama berdasar ukuran standard syariat. Dari sini timbul pertanyaan,
barang apa saja yang ukuran standarnya adalah timbangan? barang apa saja yang
ukuran standardnya takaran? maka kita jelaskan, bahwasanya dalam kaidah ini
terdapat patokan-patokan sbb:
- Seluruh biji-bijian termasuk barang yang ditakar. Hal
ini mencakup banyak barang seperti gandum halus, gandum kasar, jewawut, kacang,
dsb.
- Seluruh benda cair adalah barang yang ditakar (susu,
yogurt, minyak, madu dsb.) maka tatkala hendak bertukar antara madu dengan
madu, harus diukur dengan takaran. Begitu pula gandum dengan gandum, harus
diukur dengan takaran pula.
- Seluruh benda logam adalah barang yang diukur dengan
timbangan seperti besi, tembaga, kuningan dsb. Ini adalah pendapat madzhab
Hanafi dan Hanbali. Yang benar, tidaklah berlaku hukum riba kecuali pada emas
dan perak. Sedangkan menurut pendapat Syaikhul Islam, maka emas dan perak dan
apa-apa yang termasuk alat tukar atau alat pembayaran.
- Bulu dan sejenisnya termasuk barang-barang yang
diukur dengan timbangan seperti wool, sutera, kapas dll. Segala hal yang
menjadi bahan baku pakaian termasuk barang yang diukur dengan takaran.
- Kurma dan sejenisnya termasuk barang yang diukur dengan takaran.
Kaidah mengatakan bahwa barang apa saja yang dikenal
di kalangan penduduk Madinah pada zaman nabi sebagai barang takaran, maka
barang itu dianggap barang yang diukur dengan takaran. Hal ini berlaku
selamanya. Seperti biji-bijian dan benda-benda cair. Demikian pula setiap
barang yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang
timbangan maka dianggap sebagai barang yang diukur dengan timbangan selamanya.
Seperti benda logam, emas, dan perak. Hal ini ditunjukkan oleh hadits nabi yang
berbunyi, “Takaran itu dengan takarannya penduduk
madinah dan timbangan itu dengan timbangannya penduduk Makkah.”
Sebagian ulama berkata, “Emas dan perak diukur dengan
timbangan, adapun empat barang ribawi lainnya diukur dengan takaran. Adapun
selainnya maka dikembalikan menurut kebiasaan masyarakat setempat.” Contoh,
menukar sekantong beras dengan sekantong beras. Hal ini tidak boleh. Karena
beras termasuk barang ribawi. Tidak boleh ditukar dalam keadaan belum diukur
dengan ukuran standard syariat.
KAIDAH KESEBELAS
كلُّ ما حرم
فيه التفاضل حرم فيه النسأ ، لا العكس
Setiap barang yang haram untuk dilebihkan
haram pula untuk ditunda pembayarannya. Dan tidak berlaku sebaliknya.
Kapan barang diharamkan untuk dilebihkan? Yaitu
tatkala sama jenisnya. Maka haram pula untuk ditunda pembayarannya.
Contoh, emas dengan emas. Haram untuk dilebihkan. Kita
tidak boleh menjual 100 kg emas dengan 120 kg emas. Maka haram pula untuk
ditunda pembayarannya. Kita tidak boleh menukar emas dan emas dengan tempo.
Kaidah ini tidak berlaku untuk kasus sebaliknya. Terkadang haram untuk ditunda
pembayarannya akan tetapi tidak diharamkan untuk dilebihkan. Seperti emas dan
perak. Haram untuk menunda pembayaran, harus tunai, akan tetapi tidak haram
untuk melebihkan salah satunya. Jadi boleh kita menjual 100 gr emas dengan 200
gr perak.
KAIDAH KEDUA BELAS
الزيادة في
الدين مقابل الأجل ربا
Bertambahnya hutang untuk menunda
pembayaran (hutang berbunga) adalah riba.
Ini adalah praktek riba jahiliyyah. Sebagai gambaran,
seseorang memberi hutang kepada orang lain. Saatnya tiba waktu pembayaran, ia
mengatakan, “Pilih engkau lunasi hutangnya atau engkau
tambah bunganya.” Seseorang menghutangi 100 gr emas. Saatnya
pembayaran tiba, ia mengatakan, “Kamu lunasi atau engkau
tambahi.” Penambahan jumlah ini dikerenakan penambahan tempo pembayaran.
KAIDAH KETIGA BELAS
إذا تعذّر
التساوي في الربوي من جنس واحد لسببٍ في الجنس أو لسببٍ خارج لم تصحّ المعاوضة
Apabila terdapat keadaan yang membuat
tidak sempurnanya sifat sama pada salah satu jenis barang ribawi disebabkan
oleh jenis atau sebab lain maka tidak sah penggantinya.
Apabila pertukaran terjadi pada barang ribawi sejenis
maka disyaratkan adanya persamaan atau serah terima secara kontan. Oleh
karenanya apabila tidak sempurna persamaan jumlah barang disebabkan jenis
barang itu sendiri atau sebab lain maka tidak sah pertukarannya.
Misalnya, tatkala kita menjual roti yang terbuat dari
gandum dengan gandum. Disini terdapat cacat persamaan jumlah barang. Karena
gandum diukur dengan takaran (ukuran volume) sedangkan roti tidak mungkin diukur
dengan takaran. Akan datang penjelasan tentang hukum apabila barang-barang
ribawi yang tidak lagi dapat diukur dengan timbangan atau takaran lantaran
telah diproses menjadi produk lain. Apakah barang tersebut masih tetap termasuk
barang ribawi atau telah berubah? disini terdapat perbedaan pendapat. Yang
terpenting apabila kita menukar roti yang terbuat dari gandum dengan gandum,
kita katakan bahwa persamaan jumlah disini tidak sempurna. Karena gandum diukur
dengan takaran adapun roti tidak lazim diukur dengan takaran.
KAIDAH KEEMPAT BELAS
كل شيئين
جمعهما اسم واحد من أصل الخلقة فهما جنس واحد ، فالجنس : ماله اسم خاص يشمل
أنواعاً ، والنوع : هو الشامل لأشياء مختلفة بأشخاصها
Dua barang yang terbuat dari satu bahan
yang sama, maka keduanya adalah sejenis. Jenis adalah sesuatu yang memiliki
nama khusus, mencakup berbagai macam/tipe. Adapun yang dimaksud Tipe/Macam
mencakup semua item dengan karakter yang berbeda-beda.
Kaidah ini menerangkan pengertian jenis dan macam:
- Gandum adalah jenis yang mencakup berbagai macam yang berbeda. Gandum ada beberapa macam. Seperti khintoh, laqimi, maiyah, dsb.
- Kurma adalah jenis yang mencakup kurma ajwah, kurma sukari, kurma barkhi dsb.
- Daging adalah jenis yang mencakup daging onta, daging kambing, daging sapi dsb.
- Kambing adalah jenis yang mencakup domba, kibasy dsb.
Contoh kasus: al khintoh adalah macam dari jenis
gandum. Jenisnya gandum, sedangkan macam/tipenya khintoh. Apabila kita memiliki
sekantong gandum al khintoh, dan sekantong lagi gandum al khintoh. Kedua
kantung ini macamnya sama, namun bisa berbeda pada dzatnya atau sifatnya. Maka
macam barang mencakup atas item-item yang berbeda. Apabila memliki perbedaaan
tipe/maca maka ini disebut jenis barang.
Contoh lain: Kurma as sukary. Kita punya 3 kantong
kurma as sukary. Tiga kantong ini dinamakan macam. Mengapa? Karena sudah
terpecah menjadi item-item yang berbeda.
Telah kita bahas bahwa pertukaran barang yang sejenis
tidak melihat kepada perbedaan macam. Tatkala kita hendak menukar gandum dengan
gandum, kita tidak melihat perbedaan macamnya. Jika kita menukar gandum khintoh
dengan gandum laqiim atau maiyah maka tetap diharuskan tunai dan dalam jumlah
yang sama. Apalagi jika barangnya semacam seperti khintoh dengan khintoh.
KAIDAH KELIMABELAS
فروع الأجناس
إذا بيعت بجنسها اشترط فيها التساوي في الصفة المقصودة بالعقد
Jenis barang yang bermacam-macam apabila
dijual dengan jenisnya disyaratkan adanya kesamaan sifat yang dimaksudkan dalam
akad.
Gandum halus jenis daqiiq apabila ditukar dengan
gandum halus jenis daqiiq maka disyaratkan harus sama dalam tingkat
kehalusannya. Tidak boleh menjual 1 sho’ gandum halus jenis daqiiq dengan 1
sho’ gandum halus jenis jurais – beda tingkat kehalusan-, karena tidak sama.
Tatkala kita membeli khintoh dengan khintoh atau
maiyah dengan maiyah –macam gandum-, maka tidak ada pengaruh perbedaan macam
selama masih dalam jenis yang sama. Atau tatkala kita membeli daging domba
dengan daging kambing, maka ini tidak ada perbedaan, diharuskan sama dan tunai.
KAIDAH KEENAM BELAS
ما خرج عن
القوت بالصنعة فليس بربوي ، بل هو جنس قائم بنفسه
Bahan makanan yang sudah diubah menjadi
produk lain bukan lagi termasuk barang ribawi. Akan tetapi sudah menjadi jenis
barang tersendiri.
Kaidah ini berdasar pada pendapat Syaikul Islam.
Adapun pendapat yang mashur dari madzhab Hanbali dan Hanafi bahwa hal itu tidak
bersifat mutlaq. Ada dua keadaan:
- Pertukarannya dengan jenis lain (meskipun bahan
aslinya satu) maka ini boleh. Seperti pertukaran roti dengan bubur.
- Pertukarannya dengan jenis yang sama. Seperti roti dengan roti, bubur dengan bubur. Maka dalam hal ini diharuskan sama.
Yang paling penting diperhatikan dari kaidah ini
adalah: Apabila barang yang lazim ditakar atau ditimbang sudah berubah lantaran
diolah menjadi produk baru, apakah masih tetap termasuk barang ribawi?
Menurut Syaikhul Islam: Barang timbangan atau takaran
yang berubah lantaran diolah menjadi produk baru maka sudah bukan lagi barang
ribawi meskipun dijual dengan yang sejenisnya.
- Seandainya kita tukarkan 1 sho’ gandum yang sudah
diubah menjadi roti dengan 2 sho’ gandum yang masih asli, maka hal ini boleh
menurut Syaikhul Islam. Karena beliau mengatakan bahwa gandum yang sudah diolah
menjadi roti bukan lagi termasuk barang ribawi meskipun kita jual dengan yang
sejenisnya. Setiap yang diolah maka ia sudah tidak lagi termasuk barang ribawi.
- Contoh lagi pada barang yang ditimbang -Syaikul islam tidak memandang adanya ilat pada barang yang ditimbang, beliau tidak memandang bahwa sebab barang masuk dalam kategori ribawi itu karena barang yang ditimbang. Seperti jika kita menjual bejana dari besi dengan besi. Maka besi yang sudah diolah menjadi bejana bukan lagi masuk barang ribawi. Sehingga boleh kita menjual ketel dari besi dengan besi mentah. Sama saja apakah dengan ukuran sama atau dilebihkan, tunai atau tempo, semuanya boleh dilakukan. Syaikhul Islam berpendapat, apabila barang sudah bukan lagi barang ribawi lantaran telah diolah menjadi produk lain maka tidak lagi berlaku hukum-hukum ribawi.
Pendapat yang masyhur dari madzhab Hanbali dan Hanafi
adalah barang-barang ribawi yang ditakar apabila telah diolah menjadi produk
lain maka tetap dalam statusnya barang ribawi. Tidak boleh tukar-menukar gandum
dengan roti juga tidak boleh roti dengan roti kecuali dengan syarat harus sama
jumlahnya. Roti ditukar dengan roti sah jika sama keringnya. Adapun roti dengan
gandum hal ini tidak sah menurut madzhab ini.
Dalam hal barang-barang yang ditimbang, mereka
memandang bahwa barang-barang yang sudah diolah menjadi produk lain bukan lagi
barang ribawi. Maka boleh menukarkan 1 ketel dari besi dengan 2 ketel. Meskipun
keduanya berasal dari besi. Mereka membedakan antara barang timbangan dan
barang takaran. Adapun syaikul islam memandang bahwa setelah barang ribawi itu
berubah menjadi barang bukan ribawi lantaran sudah diolah menjadi produk
lain-baik yang ditimbang maupun yang ditakar- maka tidak lagi berlaku hukum
ribawi.
KAIDAH KETUJUH BELAS
لا أثر
للصياغة المباحة عند المبادلة
Tidak berlaku ongkos tambahan pembuatan
dalam tukar menukar barang.
Kaidah ini berbeda dengan pendapat Syaikul Islam.
Beliau berpendapat bahwa ongkos pembuatan berpengaruh. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat bahwa biaya tambahan untuk ongkos pembuatan tidak berpengaruh dalam
pertukaran. Maka tatkala kita menukar emas yang telah dibentuk dengan emas yang
belum dibentuk, kemudian diberikan tambahan biaya pembuatan maka hal ini
termasuk dalam riba. Hal ini didasari oleh hadits Fudholah bin Ubaid bahwa dia
membeli cincin dengan dinar yang ada mutiaranya. Maka tatkala hendak dilepaskan
ada biaya tambahan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan, hingga kamu melepaskannya.” Selain itu
nabi juga bersabda, “Emas dengan emas yang setara.
Perak dengan perak yang setara.”
Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat
jumhur ulama yaitu pembuatan tidaklah berpengaruh. Ini merupakan kebalikan dari
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jika kita menginginkan adanya tambahan
dari ongkos pembuatan maka kita katakan bahwa ini tidak boleh dan jatuh kepada
riba. Haditsnya jelas, “Emas dengan emas, perak dengan
perak, yang sama dan semisal.”
KAIDAH KEDELAPAN BELAS
مبادلة الربوي
بجنسه ومعهما أو مع أحدهما من غير جنسهما
Menukar barang ribawi dengan sejenisnya
yang terdapat pada salah satu atau keduanya barang lain yang tidak sejenis.
Para ulama menamainya sebagai (مسألة مدّ عجوة ودرهم) masalah “mud kurma ajwah dan
dirham.” Ajwah merupakan salah satu jenis kurma madinah. Permasalahan yang
dikenal dengan “mud kurma ajwah dan dirham” ini ada 2 gambaran:
- Pertukaran barang ribawi dengan sejenisnya yang pada
keduanya ada barang lain yang tidak sejenis.
- Pertukaran barang ribawi dengan sejenisnya, pada salah satunya terdapat barang lain yang tidak sejenis.
Contoh gambaran 1:
Menukar 1 mud kurma ajwah dengan 1 mud kurma ajwah. Pada keduanya terdapat barang lain yang tidak sejenis. Yang pertama ada dirhamnya yang kedua juga ada dirhamnya. Jumhur ulama mengatakan bahwa kasus seperti ini tidak boleh. Karena ada unsur tipu muslihat pada barang ribawi yang sejenis dengan penambahan. Syaikul Islam berpendapat boleh jika jumlah mud keduanya sama dan jumlah dirhamnya juga sama.
Contoh gambaran 2:
Satu mud kurma ajwah yang disertai dirham dengan 2 mud kurma ajwah. Jumhur berpendapat tidak boleh. Adapun pendapat kedua mengatakan jika mud ditukar mud dan dirhamnya sebagai pembayaran atas kelebihannya, maka ini boleh.
Tatkala kita membeli perhiasan intan dari pembuatnya.
Kita memberinya perhiasan lama, kemudian kita mengambil perhiasan baru. Pembuat
perhiasan meminta kita harus menambah, apakah ini boleh? atau kita memberi 20
gr perhiasan lama dan mengambil 15 gr perhiasan baru yang sudah dibentu, apakah
ini boleh?
Ini masuk dalam masalah “mud kurma ajwah dan dirham”.
Karena kita telah menukar barang ribawi dengan sejenisnya, pada salah satunya
terdapat uang dirham yang bukan dari jenisnya, menurut jumhur ulama ini boleh.
Menurut Syaikhul Islam apabila tambahannya sebagai biaya pembuatan barang maka
hal ini boleh. Akan tetapi pendapat yang benar adalah tidak boleh menukar
karena hadits telah jelas menerangkan,“Emas dengan emas…” demikian
pula kisah Fudholah ketika membeli cincin yang ada mutiaranya dengan dinar maka
Nabi bersabda, “Jangan, sampai kamu lepaskan mutiaranya.” maka
yang benar menukar barang ribawi dengan jenisnya tidak dibenarkan adanya
tambahan. Harus sama antara keduanya dalam timbangan. Tidak berpengaruh ongkos
pembuatan. Sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, bahwa macam barang itu tidak
berpengaruh apa-apa. Solusinya, kita jual perhiasan lama kita dan kita tahan
dirhamnya, baru kemudian uangnya kita gunakan untuk membeli yang baru. Akan
tetapi yang menjadi masalah, sebagian pembuat perhiasan itu mengatakan, “Aku akan membeli darimu dengan syarat kamu nanti harus membeli
dariku.” Maka kita katakan, disini kita terjatuh dalam riba,
yaitu emas ditukar emas dengan tambahan. Karena syaratnya adalah kita menjual
kepadanya dan kitapun harus membeli darinya. Ini seolah-olah kita menukar emas
dengan emas dengan harga tambahan. Imam Ahmad mengatakan, “Engkau jual barangmu dan ambil harganya. Lalu cari tempat lain.
Ini dilakukan untuk menghindari syubhat riba. Jika ternyata tidak menemukan
tempat lain yang bisa memenuhi kebutuhan kita maka tidak mengapa kembali ke
tempat semula.”
KAIDAH KESEMBILAN BELAS
الشكّ في
المماثلة كتحقّق المفاضلة
Keraguan terhadap kesamaan ukuran dihukumi
seperti adanya penambahan.
Jika terjadi keraguan apakah ukuran barang sudah sama
atau belum, maka dianggap adanya penambahan. Dengan demikian wajib bagi kita
memastikannya dengan menggunakan ukuran standard syariat. Tidak mengetahui
bahwa barang itu seukuran sama saja artinya dengan mengetahui bahwa barang itu
ada kelebihan.
KAIDAH KEDUAPULUH
قبض الشيك أو
السند عند صرف العملات ، هل يقوم مقام العملة ؟
Apakah cek atau giro dapat mengantikan
uang dalam pembayaran?
Ini adalah permasalahan modern yang terjadi tatkala
menukar barang yang mengharuskan pembayaran tunai. Contoh emas dengan riyal.
Ketika hendak membeli emas, kita diharuskan untuk membayar tunai karena
bertemunya 2 barang ribawi. Kitapun lantas memberikan cek sebagai ganti uang
riyal. Apakah cek ini bisa menggantikan posisi uang secara syariat? Para ulama
kontemporer berbeda pendapat.
Sebagian mereka berpendapat bahwa cek bisa
menggantikan uang. Penggunaan cek untuk jual beli telah menjadi kebiasaan
manusia zaman ini. Maka cek menggantikan dirham. Maka tatkala kita membeli emas
dan kita menyerahkan cek, hukumnya boleh.
Pendapat sebagian yang lainnya adalah bahwa cek tidak
dapat menggantikan dirham. Tatkala kita membeli emas atau perak atau pounds
dengan riyal Saudi, tidak cukup dengan memberikan cek. Karena pemberian cek
tidak dianggap sebagai pembayaran tunai. Alasannya yaitu apabila cek ini hilang
atau terbakar apakah akan kembali kepada yang memberi cek atau tidak? jawabnya
adalah kembali. Ini menunjukkan bahwa cek tidaklah tunai. Berbeda keadaannya
apabila dalam posisi dirham. Jika kita mengambil emas dan kita beri 1000 riyal
dan ternyata hilang atau terbakar riyal itu, apakah dianggap tunai? jawabnya
iya. Apakah akan kembali kepada yang punya? jawabnya tidak. Adapun cek akan
kembali. Ini menunjukkan cek tidak dianggap kontan.
Pendapat ketiga mengatakan hal ini perlu perincian.
Jika ceknya asli maka boleh. Jika ceknya kosong maka tidak boleh. Karena cek
asli senilai dengan harga yang tercantum. Dan pendapat ketiga inilah yang lebih
dekat kepada kebenaran. Allahu a’lam.
***
Sumber:
Situs Syaikh Kholid bin Ali Al Musyaiqih
Situs Syaikh Kholid bin Ali Al Musyaiqih
(http://www.almoshaiqeh.com/index.php?option=content&task=view&id=10711&Itemid=8)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar