Syekh Shalih
Alu Syaikh, Menteri Agama KSA saat ini, mengatakan, “Di antara permasalahan
yang disinggung oleh para ulama ketika membahas hadits keenam dalam kitab
Arbain An-Nawawiyyah:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ
بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ
بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ
النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ
وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي
يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ
لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي
الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا
فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat
perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang
banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan
agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka
akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang
menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk
memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap
raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.
Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka
baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh;
ketahuilah bahwa dia adalah hati “. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
adalah
permasalahan memakan harta orang yang pendapatannya bercampur antara sumber
yang halal dengan sumber yang haram.
Misalnya:
Tetangga yang kita ketahui memiliki sumber pendapatan yang haram, berupa
menerima uang suap, memakan riba, atau semisalnya, namun di sisi lain dia
memiliki sumber pendapatan yang halal. Apa hukum harta orang semisal ini?
Dalam masalah
ini, ada beberapa pendapat ulama:
Pertama: Ada ulama yang memasukkan kasus di atas ke dalam hadits
keenam Arbain
An-Nawawiyyah. Sehingga, bentuk sikap wara’ (hati-hati)
untuk masalah ini adalah menjauhi harta (misalnya: hadiah, jamuan ketika
bertamu ke rumahnya, dan sebagainya) orang tersebut. Namun, hukum sikap ini
adalah dianjurkan, tidak wajib, karena dengan sikap ini, kita menjadi lebih
bersih dari kemungkinan yang tidak diharapkan.
Kedua: Sejumlah (ulama lain) berpendapat bahwa yang menjadi tolak ukur adalah jenis harta yang paling dominan. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang haram maka kita jauhi harta tersebut. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang halal maka kita boleh memakannya, selama kita tidak mengetahui secara pasti bahwa harta yang dia suguhkan atau dia hadiahkan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram.
Kedua: Sejumlah (ulama lain) berpendapat bahwa yang menjadi tolak ukur adalah jenis harta yang paling dominan. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang haram maka kita jauhi harta tersebut. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang halal maka kita boleh memakannya, selama kita tidak mengetahui secara pasti bahwa harta yang dia suguhkan atau dia hadiahkan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram.
Ketiga: Ulama yang lain, semisal Ibnu Mas’ud, mengatakan bahwa
kita boleh memakan harta orang tersebut, sedangkan tentang jalan haram --yang
ditempuh orang tersebut dalam memperoleh hartanya-- itu menjadi tanggung
jawabnya, karena cara mendapatkan harta itu antara kita dengan dia berbeda.
Orang tersebut mendapatkan harta itu melalui profesi yang haram, namun ketika
dia memberikan harta tersebut kepada kita, dia memberikannya sebagai hadiah,
hibah, jamuan tamu, atau semisalnya kepada kita.
Perbedaan cara
mendapatkan harta menyebabkan berbedanya status hukum harta tersebut.
Sebagaimana dalam kisah Barirah. Barirah mendapatkan sedekah berupa daging,
lalu daging tersebut dia hadiahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
tidaklah diperkenankan untuk memakan harta sedekah. Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, 'Daging tersebut adalah sedekah untuk
Barirah, namun hadiah untuk kami.' (HR. Bukhari dan Muslim, dari
Aisyah)
Meski daging
yang dihadiahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu
adalah daging yang disedekahkan kepada Barirah, tetapi status hukumnya berbeda
karena terdapat perbedaan cara mendapatkannya. Berdasarkan pertimbangan ini,
sejumlah shahabat dan ulama mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang
tersebut, sedangkan tentang adanya dosa, maka itu menjadi tanggungan orang yang
memberikan harta tersebut kepada kita. Alasannya, kita mendapatkan harta
tersebut dengan status hadiah, sehingga tidak ada masalah jika kita memakannya.
Keempat: Sejumlah ulama yang lain mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut selama kita tidak mengetahui bahwa harta tertentu yang dia berikan kepada kita adalah harta yang haram. Jika kita mengetahui bahwa harta yang dia berikan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram, kita tidak boleh memakan harta tersebut saja, sedangkan hartanya yang lain tetap boleh kita makan. Dalilnya adalah orang-orang Yahudi yang memberi makanan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal mereka adalah para rentenir. Meski demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memakan makanan yang diberi oleh orang-orang Yahudi itu.
Inti kasus ini
adalah: apakah contoh masalah yang diperselisihkan para ulama termasuk dalam
hadits keenam Arbain Nawawiyyah ataukah tidak? Sebagian
ulama mengatakan bahwa kasus di atas termasuk dalam hadits keenam Arbain
Nawawiyyah, sebagai bentuk kehati-hatian, bukan karena orang yang
memakan harta orang yang sumber pendapatannya bercampur itu berarti telah
memakan harta yang haram. Meski demikian, sejumlah ulama peneliti menguatkan
pendapat Ibnu Mas’ud.
Dari sisi
dalil, pendapat Ibnu Mas’ud adalah pilihan yang tepat. Di antara ulama yang
menguatkan pendapat Ibnu Mas’ud adalah Ibnu Abdil Bar Al-Maliki, dalam kitabnya
'At-Tamhid'.”
(Syarah
Arbain Nawawiyyah karya Syekh Shalih Alu Syekh, hlm. 153--155,
terbitan Dar Al-‘Ashimah, Riyadh, cetakan pertama, 1431 H)
عن ذر بن عبد الله عن ابن مسعود قال : جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل
الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ، فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه
Dari Dzar bin
Abdullah, dia berkata, “Ada seseorang yang menemui Ibnu Mas’ud lalu orang
tersebut mengatakan, 'Sesungguhnya, aku memiliki tetangga yang membungakan
utang, namun dia sering mengundangku untuk makan di rumahnya.' Ibnu Mas’ud
mengatakan, 'Untukmu enaknya (makanannya) sedangkan dosa adalah tanggungannya.'” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf,
no. 14675)
عن سلمان الفارسي قال: إذا كان لك صديق عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل،
فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه.
Dari Salman
Al-Farisi, beliau mengatakan, “Jika Anda memiliki kawan, tetangga, atau kerabat
yang profesinya haram, lalu dia memberi hadiah kepada Anda atau mengajak Anda
makan di rumahnya, terimalah! Sesungguhnya, rasa enaknya adalah hak Anda,
sedangkan dosanya adalah tanggung jawabnya.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf,
no. 14677)
Ringkasnya,
harta haram itu ada dua macam:
Pertama: Haram karena bendanya. Misalnya: Babi dan khamar;
mengonsumsinya adalah haram atas orang yang mendapatkannya maupun atas orang
lain yang diberi hadiah oleh orang yang mendapatkannya.
Kedua: Haram karena cara mendapatkannya. Misalnya: Uang suap,
gaji pegawai bank, dan penghasilan pelacur; harta tersebut hanyalah haram bagi
orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Akan tetapi, jika orang yang
mendapatkannya dengan cara haram tersebut menghadiahkan uang yang dia dapatkan
kepada orang lain, atau dia gunakan uang tersebut untuk membeli makanan lalu
makanan tadi dia sajikan kepada orang lain yang bertamu ke rumahnya, maka harta
tadi berubah menjadi halal untuk orang lain tadi, karena adanya perbedaan cara
mendapatkannya antara orang yang memberi dengan orang yang diberi. Inilah
pendapat ulama yang paling kuat dalam masalah ini, sebagaimana pendapat ini
adalah pendapat dua shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
yaitu Ibnu Mas’ud dan Salman Al-Farisi.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar