Pendapat Ulama Madzhab
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah –kitab
Ensiklopedia Fiqih- disebutkan,
Orang yang berhadats (hadats besar atau
hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah
pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah firman Allah
Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا
الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah:
79)
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ
وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Tidak
boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” [HR.
Al Hakim]
Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para
ulama empat madzhab sepakat bolehnya
membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar
maupun kecil selama tidak
menyentuhnya.
Yang dimaksud menyentuh mushaf menurut
mayoritas ulama adalah menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangan maupun
bagian tubuh lainnya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
menyentuh mushaf Al Qur’an tidak dibolehkan oleh para ulama madzhab.
Menyentuh Mushaf bagi Orang
yang Berhadat Besar dan Kecil
Larangan menyentuh mushaf di sini
berlaku bagi orang yang berhadats besar seperti wanita yang sedang haidh, nifas
dan orang yang junub. Mengenai larangan menyentuh mushaf bagi yang berhadats
besar terdapat riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, Al Qosim bin Muhammad, Al Hasan Al Bahsri, ‘Atho’, dan Asy
Sya’bi. Bahkan sampai-sampai Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak mengetahui
ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud (salah satu ulama Zhohiriyah).”
Begitu pula larangan menyentuh mushaf di
sini berlaku bagi orang yang berhadats kecil seperti orang yang sehabis kentut
atau kencing dan belum bersuci. Inilah mayoritas pendapat pakar fiqih. Bahkan
Ibnu Qudamah sampai-sampai mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada ulama yang
menyelisihi pendapat ini kecuali Daud Azh Zhohiri.”
Al Qurthubi mengatakan bahwa ada
sebagian ulama yang membolehkan menyentuh mushaf tanpa berwudhu.
Al Qolyubi, salah seorang ulama
Syafi’iyah mengatakan, “Ibnu Sholah menceritakan ada pendapat yang aneh dalam
masalah ini yang menyebutkan tidak terlarang menyentuh mushaf sama sekali
(meskipun keadaan hadats kecil maupun hadats besar)”
Orang yang berhadats di sini
diperbolehkan menyentuh Al Qur’an setelah mereka bersuci, untuk hadats besar
dengan mandi wajib sedangkan hadats kecil dengan berwudhu.
Menyentuh Mushaf Al Qur’an
dengan Pembatas Ketika Berhadats
Tentang menyentuh mushaf Al Qur’an
dengan pembatas ketika berhadats, maka terdapat perselisihan di antara para
ulama. Ada ulama yang membolehkan dan ada yang tidak.
Namun yang tepat dalam masalah ini
adalah dibolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan
pembatas selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf (artinya: tidak
dibeli beserta mushaf seperti sampul). Seperti yang digunakan sebagai pembatas
di sini adalah sarung tangan. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan
menyentuh mushaf secara langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas, maka
yang disentuh adalah pembatasnya dan bukan mushafnya. Demikian pendapat yang
dipilih oleh ulama Hambali.
Membawa Mushaf Al Qur’an
Ketika Berhadats Tanpa Menyentuh
Misalnya, saja seorang yang dalam
keadaan berhadats membawa mushaf Al Qur’an di tasnya, tanpa menyentuhnya secara
langsung. Apakah seperti ini dibolehkan?
Pendapat yang tepat dalam masalah ini
adalah dibolehkan. Yaitu dibolehkan bagi yang berhadats (seperti orang yang
junub) untuk membawa mushaf tanpa menyentuhnya secara langsung, dengan
menggunakan pembatas yang bukan bagian dari Al Qur’an. Karena seperti ini
bukanlah disebut menyentuh. Sedangkan larangan yang disebutkan dalam hadits
adalah menyentuh mushaf dalam keadaan tidak suci. Sedangkan di sini sama sekali
tidak menyentuh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, ulama Hanabilah dan menjadi
pendapat Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Asy Sya’bi, Al Qosim, Al Hakam dan Hammad.
Yang Dibolehkan Menyentuh
Mushaf Meskipun dalam Keadaan Berhadats
Pertama: Anak kecil.
Ulama Syafi’iyah mengatakan, “Tidak
terlarang bagi anak kecil yang sudah tamyiz untuk menyentuh mushaf walaupun dia
dalam keadaan hadats besar. Dia dibolehkan untuk menyentuh, membawa dan untuk
mempelajarinya. Yaitu tidak wajib melarang anak kecil semacam itu karena ia
sangat butuh untuk mempelajari Al Qur’an dan sangat sulit jika terus-terusan
diperintahkan untuk bersuci. Namun ia disunnahkan saja untuk bersuci.”
Yang dimaksud tamyiz adalah sudah bisa
membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang manfaat dan manakah yang bahaya.
Kedua: Bagi guru dan murid yang butuh untuk mempelajari Al Qur’an.
Dibolehkan bagi wanita haidh yang ingin
mempelajari atau mengajarkan Al Qur’an di saat jam mengajar untuk menyentuh
mushaf baik menyentuh seluruh mushaf atau sebagiannya atau cuma satu lembaran
yang tertulis Al Qur’an. Namun hal ini tidak dibolehkan pada orang yang junub.
Karena orang yang junub ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya dengan mandi
sebagaimana ia mudah untukk berwudhu. Beda halnya dengan wanita haidh, ia
tidak bisa menghilangkan hadatsnya begitu saja karena yang ia alami adalah
ketetapan Allah. Demikian pendapat dari ulama Malikiyah.
Akan tetapi yang jadi pegangan ulama
Malikiyah, boleh bagi orang yang junub (laki-laki atau perempuan, kecil atau
dewasa) untuk membawa Al Qur’an ketika mereka hendak belajar karena keadaan
yang sulit untuk bersuci ketika itu. Ia dibolehkan untuk menelaah atau
menghafal Al Qur’an ketika itu.
Yang lebih tepat, untuk laki-laki yang
junub karena ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya, maka lebih baik ia bersuci
terlebih dulu, setelah itu ia mengkaji Al Qur’an. Adapun untuk wanita haidh
yang inginn mengkaji Al Qur’an, sikap yang lebih hati-hati adalah ia menyentuh
Al Qur’an dengan pembatas sebagaimana diterangkan pada pembahasan yang telah
lewat. Wallahu a’lam.
Menyentuh Kitab-kitab Tafsir
dalam Keadaan Berhadats
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
diharamkan menyentuh mushaf jika isinya lebih banyak Al Qur’an daripada kajian
tafsir, begitu pula jika isinya sama banyaknya antara Al Qur’an dan kajian
tafsir, menurut pendapat yang lebih kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak
kajian tafsir daripada Al Qur’an, maka dibolehkan untuk menyentuhnya.
An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika
kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an
sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa
pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa
disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Menyentuh Kitab Fiqh dan Kitab
Hadits dalam Keadaan Berhadats
Menyentuh kitab fiqh dibolehkan dalam
keadaan berhadats karena kitab tersebut tidaklah disebut mushaf dan umumnya,
isinya lebih banyak selain ayat Al Qur’an. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Begitu pula dengan kitab hadits
diperbolehkan untuk menyentuhnya walaupun dalam keadaan berhadats. Demikian
pendapat mayoritas ulama.
Intinya, jika suatu kitab atau buku
tidak disebut mushaf dan isinya lebih banyak tulisan selain ayat Al Qur’an,
maka tidak mengapa orang yang berhadats menyentuhnya.
Menyentuh Al Qur’an Terjemahan
dalam Keadaan Berhadats
Jika yang disentuh adalah terjemahan Al
Qur’an dalam bahasa non Arab, maka itu tidak disebut Al Qur’an. Namun kitab
atau buku seperti ini disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama
Malikiyah. Oleh karena itu tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti
ini karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi
Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka
seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats sebagaimana keterangan yang
telah lewat.
Menyentuh Sampul Mushaf dan
Bagian Lainnya
Mayoritas ulama menyatakan bahwa
termasuk yang terlarang ketika berhadats di sini adalah menyentuh sampul mushaf
yang bersambung langsung dengan mushaf, halaman pinggirannya yang tidak ada
tulisan ayat di sana, celah-celah ayat yang tidak terdapat tulisan dan bagian
lainnya dari mushaf secara keseluruhan. Karena bagian-bagian tadi semuanya
termasuk mushaf dan ikut serta ketika dibeli, sehingga dikenai hukum yang sama.
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Pendapat yang
menyatakan tidak terlarang menyentuh sampul mushaf ketika hadats lebih dekat
pada qiyas (analogi). Sedangkan pendapat yang menyatakan terlarang, alasannya
adalah untuk mengagungkan mushaf Al Qur’an. Pendapat yang menyatakan terlarang,
itulah yang lebih tepat.”
Dalil Pendukung Larangan
Menyentuh Mushaf Al Qur’an Ketika Berhadats
Sebagaimana telah diisyaratkan diatas,
bahwa larangan menyentuh mushaf ketika berhadats menjadi pendapat ulama empat
madzhab. Sedangkan yang menyelisihi adalah ulama Zhohiriyah (Daud Azh Zhohiri,
Ibnu Hazm, dkk) sebagaimana telah disinggung sekilas oleh Ibnu Qudamah. Ulama
belakangan yang mengikuti pendapat ini adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani rahimahullah.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa
menyentuh Al Qur’an terlarang dalam kondisi berhadats:
Pertama: Pendapat para sahabat dan tidak ada yang menyelisihinya.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Pendapat
imam mazhab yang empat, mushaf al Qur’an tidak boleh disentuh melainkan oleh
orang yang suci sebagaimana dalam surat yang dikirimkan oleh Rasulullah kepada
‘Amr bin Hazm,
أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ
إلَّا طَاهِرٌ
“Tidak
boleh menyentuh mushaf melainkan orang yang suci”. Imam Ahmad
mengatakan, “Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menuliskan surat tersebut kepada ‘Amr bin
Hazm.” Inilah pendapat Salman al Farisi, Abdullah bin Umar dan yang lainnya.
Tidak diketahui adanya sahabat lain yang menyelisihi pendapat dua sahabat ini”.
(Majmu’ Al Fatawa, 21/266)
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun
menyentuh mushaf maka pendapat yang benar wajib berwudhu sebelum menyentuh
mushaf sebagaimana pendapat jumhur fuqaha. Inilah pendapat yang diketahui dari
para sahabat, seperti Sa’ad, Salman dan Ibnu Umar” (Majmu’ Al Fatawa, 21/288)
Dalam Syarh al Umdah, Ibnu Taimiyyah
berkata, “Hal itu juga merupakan pendapat sejumlah tabiin tanpa diketahui
adanya perselisihan di antara para shahabat dan tabiin. Ini menunjukkan bahwa
pendapat ini telah dikenal di antara mereka”. (Syarh Al ‘Umdah, 1/383)
Di antara pendapat para sahabat dalam
masalah ini adalah sebagai berikut.
1. Sa’ad bin Abi Waqash
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدِ بْنِ
أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ أُمْسِكُ الْمُصْحَفَ عَلَى سَعْدِ بْنِ
أَبِي وَقَّاصٍ فَاحْتَكَكْتُ فَقَالَ سَعْدٌ لَعَلَّكَ مَسِسْتَ ذَكَرَكَ قَالَ
فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ قُمْ فَتَوَضَّأْ فَقُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ
Dari Mush’ab bin Saad bin Abi Waqash,
“Aku memegang mushfah di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash lalu aku menggaruk-garuk
kemaluanku”. Beliau lantas berkata, “Engkau menyentuh kemaluanmu?”. “Benar”,
jawabku. Beliau berkata, “Berdirilah lalu berwudhulah”. Aku lantas bangkit
berdiri dan berwudhu lalu aku kembali. (HR Malik dalam Muwatha no 128)
Al Baihaqi dalam al Khilafiyat 1/516
mengatakan, “Riwayat ini shahih, diriwayatkan oleh Malik dalam al Muwatha’.
Riwayat di atas juga dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 1/161
no. 122.
2. Salman al Farisi
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ كُنَّا مَعَهُ فِى سَفَرٍ فَانْطَلَقَ فَقَضَى
حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ فَقُلْتُ أَىْ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ تَوَضَّأْ لَعَلَّنَا
نَسْأَلُكَ عَنْ آىٍ مِنَ الْقُرْآنِ فَقَالَ سَلُونِى فَإِنِّى لاَ أَمَسُّهُ
إِنَّهُ لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ فَسَأَلْنَاهُ فَقَرَأَ عَلَيْنَا
قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ.
Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman,
Kami bepergian bersama Salman. Suatu ketika beliau pergi untuk buang hajat
setelah kembali aku berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, berwudhulah
agar kami bisa bertanya kepadamu tentang ayat-ayat al Qur’an”. Beliau berkata,
“Silahkan bertanya namun aku tidak akan menyentuhnya. ‘Sesungguhnya tidaklah
menyentuhnya melainkan orang-orang yang disucikan’ (QS al Waqiah:77)”. Kami pun
mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau dan beliau bacakan beberapa ayat
kepada kami sebelum beliau berwudhu. (HR al Hakim no 3782 dan dinilai shahih
oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi, Daruquthni no 454)
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa riwayat
dari Salman itu shahih. (Majmu’ Al Fatawa 21/200)
3. ‘Abdullah bin Umar
عن نافع عن بن عمر أنه كان لا يمس
المصحف إلا وهو طاهر
Dari Nafi, “Tidaklah Ibnu Umar menyentuh mushaf melainkan dalam keadaan
suci” (Ibnu Abi Syaibah no 4728)
Kedua: Pemahaman ayat Al Qur’an
Dalil Al Qur’an yang dimaksud adalah
firman Allah Ta’ala,
إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77)
فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) تَنْزِيلٌ
مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80
“Sesungguhnya
Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara,
tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan, diturunkan dari Rabbil
‘alamiin” (QS Al Waqiah 77-80).
Sisi pendalilan dari ayat ini menurut
ulama yang berdalil dengannya adalah firman Allah yang artinya, ‘tidak
menyentuhnya’ adalah kalimat berita namun maknanya adalah larangan. Sehingga
maknanya adalah ‘janganlah
menyentuhnya’, dan bukan semata-mata kalimat berita karena berita
yang Allah sampaikan pasti tidak meleset. Sedangkan kenyataannya mushaf al
Qur’an disentuh oleh muslim, munafik dan orang kafir.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan kitab
dalam ayat tersebut adalah Al Qur’an yang ada di tengah-tengah kita. Alasannya,
karena dalam ayat tersebut disebut “tanzil“,
artinya turun. Demikian alasan An Nawawi dalam Al Majmu’. (Al Majmu’, 2/72)
Ibnul Jauzi mengatakan, “Para ulama yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al Qur’an dalam ayat di atas adalah
mushaf Al Qur’an berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan orang-orang yang
disucikan menjadi empat pendapat.
·
Pertama,
mereka adalah orang-orang yang bersih dari hadats. Inilah pendapat mayoritas
ulama. Sehingga ayat di atas adalah kalimat berita namun maknanya adalah
larangan.
·
Kedua,
orang yang bersih dari syirik. Inilah pendapat ibnu As Sa-ib.
·
Ketiga,
orang yang bersih dari dosa dan kesalahan. Inilah pendapat Ar Robi’ bin Anas.
·
Keempat,
makna ayat adalah tidak ada yang bisa merasakan nikmatnya Al Qur’an dan
manfaatnya melainkan orang yang mengimani al Qur’an. Adanya pendapat ini
diceritakan oleh al Faro’. (Zaadul Masiir, 8/152)
Di antara hal yang menguatkan bahwa
orang-orang yang suci dari hadats tercakup dalam ayat ini adalah inilah
pemahaman Salman al Farisi terhadap ayat di atas sebagaimana telah kami
kemukakan. Salman al Farisi berdalil dengan ayat di atas bahwa mushaf al Qur’an
itu tidak disentuh oleh orang yang dalam kondisi berhadats. Salman adalah salah
seorang sahabat Nabi. Sedangkan para sahabat adalah orang-orang yang
menyaksikan turunnya al Qur’an, memahaminya, menghafalnya, mengenalnya,
mengetahui kandungan lafazhnya serta tafsirnya. Merekalah orang yang paling
mengetahui al Qur’an.
Ketiga: Pemahaman hadits.
عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ
بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ « لاَ
يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
Dari Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin
Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh
al Quran melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni no. 449, dinilai shahih
oleh al Albani dalam al Irwa no 122)
Banyak ulama salaf yang berdalil dengan
hadits ini terkait masalah ini. Di antaranya adalah Malik, Ahmad dan Ishaq.
Kerancuan dari Pemahaman
Hadits
Jika ada orang yang mengatakan bahwa
hadits di atas mengandung dua kemungkinan makna yaitu suci yang abstrak, itulah
iman dan suci yang konkret, itulah hadats. Karena ada beberapa kemungkinan maka
hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
Kita katakan bahwa bukanlah kebiasaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebut mukmin dengan istilah orang yang suci karena itulah
mukmin itu lebih agung.
Hadits di atas tidaklah bermasalah
karena istilah ‘suci’ adalah satu kata yang mengandung banyak kemungkinan makna
dan tidaklah terlarang memaknai istilah ‘suci’ dalam hadits ini dengan semua
maknanya. Sehingga mushaf Al Qur’an itu tidak boleh disentuh oleh orang musyrik
sebagaimana tidak boleh disentuh oleh seorang muslim yang berhadats besar
ataupun berhadats kecil.
Mengenai kata yang mengandung
kemungkinan makna, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kata
yang bersifat musytarok
(satu kata yang memuat banyak kemungkinan makna) bisa dimaknai dengan semua
maknanya. Hal ini dibolehkan oleh mayoritas pakar fiqih dari mazhab Maliki,
Syafii dan Hanbali serta banyak pakar ilmu kalam” (Majmu’ Al Fatawa, 13/341)
Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Memaknai kata yang bersifat musytarok
dengan semua maknanya adalah pendapat yang kuat”. (Nailul Author 3/8, Syamilah)
Perlu ditambahkan bahwa para ulama salaf
berdalil dengan hadits di atas untuk membahas bersuci yang bersifat konkret
yaitu hadats. Orang yang paling terkenal memaknai suci dalam hadits di atas
dengan suci yang abstrak adalah Daud azh Zhahiri dan orang-orang yang
mengikutinya.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Daud (Azh
Zhohiri) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan dalam
firman Allah ‘tidaklah
menyentuhnya melainkan orang-orang yang disucikan’ (QS al
Waqiah:79) adalah para malaikat. Daud juga menolak hadits ‘Amr bin Hazm yang
berisikan bahwa tidak boleh menyentuh al Qur’an melainkan orang yang suci
dengan mengatakan bahwa hadits tersebut mursal dan tidak bersambung. Dia juga
membantah hadits tersebut dengan menggunakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Seorang mukmin itu tidak najis’.
Telah kami jelaskan pembelaan untuk
hadits Amr bin Hazm dari sisi periwayatan. Mayoritas ulama pun berpendapat
dengan kandungan hadits ‘Amr bin Hazm dan tidak mungkin mereka melakukan
penyelewengan makna atau menerima dalil yang tidak layak untuk diterima.
Pendapat mayoritas ulama-lah yang aku pilih”. (Al Istidzkar, 2/473, terbitan
Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.)
Yang menguatkan bahwa yang dimaksud
dengan suci dalam hadits di atas yaitu suci dari hadats adalah beberapa riwayat
dari para shahabat yang telah kita sebutkan di pembahasan yang telah lewat.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Untuk menyentuh
mushaf Al Qur’an disyaratkan harus bersih dari hadats besar dan hadats kecil
menurut mayoritas ulama. Inilah pendapat yang sejalan dengan Al Qur’an, sunnah
dan pendapat Salman (Al Farisi), Saad bin Abi Waqqash dan shahabat yang lain”.
(Majmu Fatawa 26/200)
Ibnu Taimiyyah berkata, “Pendapat yang
benar dalam masalah ini adalah pendapat para shahabat dan itulah pendapat yang
sejalan dengan al Qur’an dan sunnah yaitu menyentuh mushaf tidak diperbolehkan
bagi orang yang berhadats” (Majmu Fatawa 21/270)
Demikianlah pendapat yang lebih
menenangkan hati penulis bahwa menyentuh Al Qur’an terlarang dalam keadaan
berhadats. Silakan setiap orang memilih pendapat yang ia rasa lebih kuat, namun
tentu saja yang mendekati Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang patut diikuti.
Itulah mengapa kami pun lebih tenang dengan pendapat mayoritas ulama madzhab
yang melarang menyentuh Al Qur’an ketika berhadats karena didukung oleh Al
Qur’an, As Sunnah dan pemahaman para sahabat. Pendapat ini pun lebih hati-hati
agar tidak terjerumus pada perselisihan ulama yang ada.
Solusi
bagi Wanita Haidh Supaya Bisa Membaca Al Quran
Bulan Ramadhan adalah kesempatan yang
baik untuk membaca Al Quran. Namun setiap wanita pasti tidak penuh menjalankan
puasa. Ada satu waktu ia mengalami haidh. Ketika mengalami haidh tersebut, ia
tentu terhalang untuk membaca Al Quran sehingga waktunya berkurang untuk
mengkhatamkan Al Quran sebulan Ramadhan.
Berikut ada solusi yang baik untuk para
wanita ketika menghadapi masalah ini.
1- Membaca mushaf saat haidh namun tidak
menyentuh secara langsung
Membaca masih dibolehkan bagi wanita
yang berhadats. Yang tidak dibolehkan adalah menyentuh langsung saat berhadats.
Dalil yang menunjukkan larangan untuk
menyentuhnya adalah ayat,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah:
79)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Tidak
boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR.
Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih). Dalam keadaan suci di sini bisa berarti suci dari hadats besar dan
hadats kecil. Haidh dan nifas termasuk dalam hadats besar.
Jika dilarang menyentuh Al Quran dalam
keadaan haidh, lalu bagaimana dengan membaca?
Solusinya dijelaskan oleh Syaikh Ibnu
Baz rahimahullah di mana beliau berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan
nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat.
Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya
membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau
memang mau menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas
seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen).
Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka
diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa
Ibnu Baz, 10: 209-210)
Adapun hadits yang menyebutkan,
لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن
“Tidak
boleh membaca Al Qur’an sedikit pun juga bagi wanita haidh dan orang yang junub.”
Imam Ahmad telah membicarakan hadits ini sebagaimana anaknya menanyakannya pada
beliau lalu dinukil oleh Al ‘Aqili dalam Adh Dhu’afa’ (90), “Hadits ini batil.
Isma’il bin ‘Iyas mengingkarinya.” Abu Hatim juga telah menyatakan hal yang
sama sebagaimana dinukil oleh anaknya dalam Al ‘Ilal (1/49). Begitu pula
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya (21/460), “Hadits ini adalah
hadits dho’if sebagaimana kesepakatan para ulama pakar hadits.”
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hadits di
atas tidak diketahui sanadnya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits
ini sama sekali tidak disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, tidak pula Nafi’, tidak pula
dari Musa bin ‘Uqbah, yang di mana sudah sangat ma’ruf banyak hadits dinukil
dari mereka. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudang
seringkali mengalami haidh, seandainya terlarangnya membaca Al Qur’an bagi
wanita haidh atau nifas sebagaimana larangan shalat dan puasa bagi mereka, maka
tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerangkan hal ini pada
umatnya. Begitu pula para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengetahuinya dari beliau. Tentu saja hal ini akan dinukil di tengah-tengah manusia
(para sahabat). Ketika tidak ada satu pun yang menukil larangan ini dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentu saja membaca Al Qur’an bagi mereka
tidak bisa dikatakan haram. Karena senyatanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak melarang hal ini. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
tidak melarangnya padahal begitu sering ada kasus haidh di masa itu, maka tentu
saja hal ini tidaklah diharamkan.” (Majmu’ Al Fatawa, 26: 191)
2- Membaca Al Quran terjemahan
Kalau di atas disebut mushaf berarti
seluruhnya berisi ayat Al Quran tanpa ada terjemahan. Namun kalau yang dibaca
adalah Al Quran terjemahan, itu tidak termasuk mushaf.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut
lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab
tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih
tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut
mushaf.”
Jika yang disentuh adalah Al Qur’an terjemahan
dalam bahasa non Arab, maka itu tidak disebut mushaf yang disyaratkan dalam
hadits mesti menyentuhnya dalam keadaan suci. Namun kitab atau buku seperti itu
disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu
tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti itu karena hukumnya sama
dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak
atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh
dalam keadaan berhadats.
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar