Bagi wanita yang telah ditalak, ia harus mengetahui
perihal ini. Karena wanita yang ditalak baru bisa menikah lagi dengan pria
setelah ia selesai dari masa ‘iddahnya. Jika masih dalam masa ‘iddah, suaminya
masih bisa rujuk tanpa mesti dengan akad baru. Namun kalau sudah melewati masa
‘iddah, lantas suami ingin kembali lagi pada istri, maka harus dengan akad yang
baru.
Pengertian ‘Iddah
Dalam Kifayatul Akhyar (hal. 391), yang dimaksud ‘iddah
adalah masa waktu terhitung di mana wanita menunggu untuk mengetahui kosongnya
rahim, di mana pengetahuan ini diperoleh dengan kelahiran, atau dengan hitungan
bulan atau dengan perhitungan quru’.
Pembagian Masa ‘Iddah
Al Qodhi’ Abu Syuja’ dalam matannya membagi ‘iddah pada
wanita dilihat dari sisi wanita yang diceraikan menjadi: (1) wanita yang
ditinggal mati suami, (2) wanita yang tidak ditinggal mati suami.
1-
Wanita yang ditinggal mati suami
Wanita yang ditinggal mati suami ada dua macam: (a) ditinggalkan mati
dalam keadaan hamil, (b) ditinggalkan mati dalam keadaan tidak hamil.
(a) Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil, masa ‘iddahnya
adalah dengan melahirkan, baik masa kelahiran dekat atau jauh. Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
Begitu juga dalil mengenai Sabi’ah Al Aslamiyah, ia melahirkan sepeninggal
suaminya wafat setelah setengah bulan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun bersabda,
قَدْ حَلَلْتِ فَانْكِحِى
مَنْ شِئْتِ
“Engkau telah halal, silakan menikah dengan siapa yang engkau suka” (HR. An Nasai no. 3510. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
(b) Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan tidak hamil, masa ‘iddahnya
adalah 4 bulan 10 hari, baik sesudah disetubuhi ataukah tidak. Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)
Ditambah dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ
تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ
ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari,
kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.”
(HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491). Sedangkan wanita hamil yang ditinggal
mati suami tidak termasuk dalam dua dalil ini karena dikhususkan dengan dalil
yang disebutkan sebelumnya.
2-
Wanita yang tidak ditinggal mati suami
Yang dimaksud wanita jenis adalah wanita yang diceraikan,
wanita yang berpisah dengan li’an atau faskh, atau setelah disetubuhi. Untuk
wanita jenis ini ada tiga macam: (a) diceraikan dalam keadaan hamil, (b)
diceraikan dengan ‘iddah hitungan quru’, (c) diceraikan dengan ‘iddah hitungan
bulan
(a) Wanita yang diceraikan dalam keadaan
hamil, masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Dalilnya adalah firman Allah
Ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
(b)Wanita yang memiliki quru’ bagi
wanita yang masih mengalami haidh, yaitu ia menunggu sampai tiga kali quru’.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا
يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ
كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al
Baqarah: 228).
Yang dimaksud quru’ di sini diperselisihkan oleh para ulama karena
makna quru’ yang dapat dipahami dengan dua makna (makna musytarok).
Ada yang berpendapat makna quru’ adalah suci, seperti pendapat dalam madzhab
Syafi’i. Ada yang berpendapat, maknanya adalah haidh.
Contoh: Wanita ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa ‘iddahnya
jika memakai tiga kali haidh atau tiga kali suci? Coba perhatikan tabel berikut
ini.
01/09 à Talak ketika Suci
05/09 - 11/09 à Haidh
11/09 - 05/10 à Suci
05/10 - 11/10 à Haidh
11/10 - 05/11 à Suci
05/11 - 11/11 à Haidh
11/11 à Suci
Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa ‘iddah dimulai
dihitung ketika masa suci saat dijatuhkan talak dan berakhir pada tanggal 5/11
(5 Dzulqo’dah) saat muncul darah haidh ketiga. Di sini masa ‘iddah akan
melewati dua kali haidh.
Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali haidh: masa ‘iddah dimulai
dihitung dari haidh tanggal 5/9 (5 Ramadhan) dan berakhir pada tanggal 11/11
(11 Dzulqo’dah) setelah haidh ketiga selesai secara sempurna. Di sini masa
‘iddah akan melewati tiga kali haidh secara sempurna.
Jika kita perhatikan, hitungan dengan tiga kali haidh ternyata lebih lama
dari tiga kali suci.
Manakah di antara dua pendapat di atas yang lebih kuat? Tiga
kali suci ataukah tiga kali haidh?
Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada,
yaitu makna tiga quru’ adalah tiga kali haidh. Pengertian quru’ dengan haidh
telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh,
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ
فَانْظُرِى إِذَا أَتَى قُرْؤُكِ فَلاَ تُصَلِّى فَإِذَا مَرَّ قُرْؤُكِ
فَتَطَهَّرِى ثُمَّ صَلِّى مَا بَيْنَ الْقُرْءِ إِلَى الْقُرْءِ
“Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah,
jika datang quru’, janganlah shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah
kemudian shalatlah di antara masa quru’ dan quru’.” (HR. Abu Daud no. 280,
An Nasai no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’ adalah haidh. Pendapat
ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu
Mas’ud, sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama hadits, ulama Hanafiyah dan
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad berkata, “Dahulu aku
berpendapat bahwa quru’ bermakna suci. Saat ini aku berpendapat bahwa quru’
adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308)
Catatan:
• Hitungan ‘iddah menggunakan kalender Hijriyah, bukan kalender
Masehi.
• Talak yang syar’i jika dilakukan ketika: (1) suci dan (2) belum
disetubuhi.
(c) Wanita yang tidak memiliki masa haidh
yaitu anak kecil yang belum datang bulan dan wanita yang monopause (berhenti
dari haidh), maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Dalilnya adalah firman
Allah Ta’ala,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ
فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
(d)Wanita yang dicerai sebelum disetubuhi,
maka ia tidak memiliki masa ‘iddah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ
عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (hadiah untuk membuat
mereka senang) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”
(QS. Al Ahzab: 49).
Hak Wanita Dalam Masa Iddah
Setelah kita mengetahui pengertian ‘iddah dan berapa lama
masa ‘iddah pada beberapa wanita, maka perlu juga diketahui beberapa hak yang
tetap diperoleh wanita ketika masa ‘iddahnya. Juga apa saja yang mesti
dilakukan oleh wanita yang mengalami masa ‘iddah.
1-
Untuk wanita yang mengalami masa ‘iddah karena talak
roj’iy (talak yang masih bisa dirujuki), maka ia masih memiliki hak mendapatkan
tempat tinggal dan nafkah.
Hal ini dikarenakan wanita yang ditalak roj’iy (yang masih bisa dirujuki),
masih berstatus sebagai istri. Suami bisa saja rujuk kapan pun selama masa
‘iddah, tanpa melalui akad baru dan tanpa pula melalui ridho istri.
2- Untuk wanita yang ditalak ba-in (yang
tidak bisa kembali kecuali dengan akad baru), maka ia masih mendapatkan hak
rumah selama masa ‘iddah, namun tidak mendapatkan nafkah kecuali jika dalam
keadaan hamil, maka tetap masih diberikan nafkah sampai melahirkan bahkan
ketika mengasuh anak-anak tetap diberikan upah. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ
لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ
حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka
upahnya” (QS. Ath Tholaq: 6). Ayat ini menunjukkan kewajiban memberikan
tempat tinggal bagi setiap wanita yang masih dalam masa ‘iddah. Dan juga
menunjukkan pengecualian bagi wanita hamil yaitu masih mendapatkan nafkah
selain tempat tinggal. Sebagaimana didukung pula dalam hadits lainnya mengenai
kisah Fathimah binti Qois radhiyallahu ‘anha ketika ia diceraikan oleh
suaminya, lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
لاَ نَفَقَةَ لَكِ إِلاَّ
أَنْ تَكُونِى حَامِلاً
“Tidak ada nafkah untukmu kecuali jika engkau dalam keadaan hamil”
(HR. Abu Daud no. 2290. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Berlaku pula bagi wanita dalam masa ‘iddah yang ditinggal mati suaminya,
yaitu ia masih mendapatkan hak tempat tinggal. Ada dalil khusus yang
menerangkan hal ini. Dari Al Furai’ah binti Malik bin Sinan yang merupakan saudari
Abu Sa’id Al Kudri, dia berkata,
أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَسْأَلُهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِي بَنِي خُدْرَةَ فَإِنَّ زَوْجَهَا
خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ
الْقَدُومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي فَإِنِّي لَمْ يَتْرُكْنِي فِي
مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةٍ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ قَالَتْ فَخَرَجْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي
الْحُجْرَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ دَعَانِي أَوْ أَمَرَ بِي فَدُعِيتُ لَهُ
فَقَالَ كَيْفَ قُلْتِ فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِي ذَكَرْتُ مِنْ
شَأْنِ زَوْجِي قَالَتْ فَقَالَ امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ
أَجَلَهُ قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta
izin kepada beliau untuk kembali kepada keluarganya di Bani Khudrah karena
suaminya keluar mencari beberapa budaknya yang melarikan diri hingga setelah
mereka berada di Tharaf Al Qadum ia bertemu dengan mereka lalu mereka
membunuhnya. Dia berkata, “Aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk kembali kepada keluargaku karena suamiku tidak
meninggalkan rumah dan harta untukku.” Ia berkata, “Kemudian aku keluar hingga
setelah sampai di sebuah ruangan atau di masjid, beliau memanggilku dan
memerintahkan agar aku datang. Kemudian beliau berkata, “Apa yang tadi engkau
katakan?” Kemudian aku kembali menyebutkan kisah yang telah saya sebutkan,
mengenai keadaan suamiku. Kemudian beliau bersabda, “Tinggallah di rumahmu
hingga selesai masa ‘iddahmu.” Ia berkata, “Aku melewati masa ‘iddah di
tempat tersebut selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Abu Daud no. 2300,
At Tirmidzi no. 1204. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
3- Bagi wanita yang ditinggal mati
suaminya, maka ia wajib menjalani masa ihdaad (berkabung), di mana
ketika itu ia tidak boleh berhias diri dan tidak boleh memakai harum-haruman.
Mengenai masa ihdaad disebutkan dalam hadits,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ
تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ
ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan
hari akhir untuk berkabung (menjalani masa ihdaad) atas kematian seseorang
lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat
bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491).
Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى
زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلَا نَكْتَحِلَ وَلَا نَتَطَيَّبَ وَلَا
نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ
الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ
أَظْفَارٍ وَكُنَّا نُنْهَى عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ
“Kami dilarang ihdaad (berkabung) atas kematian seseorang di atas tiga
hari kecuali atas kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Selama
masa itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian, tidak boleh
memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian ashab. Dan kami diberi keringanan
bila hendak mandi seusai haid untuk menggunakan sebatang kayu wangi. Dan kami
juga dilarang mengantar jenazah.” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no.
2739). Yang dimaksud dengan pakaian dalam hadits tersebut, yang tidak boleh
dipakai dalam masa ihdaad (berkabung) adalah pakaian yang bukan
perhiasan diri.
4-
Untuk wanita yang ditinggal mati suaminya dan wanita yang
telah ditalak ba-in (yang mesti kembali dengan akad baru) di mana wanita talak
ba-in di sini tidak harus melakukan ihdaad (berkabung), maka ia tetap di rumah
suami selama masa ‘iddah kecuali ada hajat.
Hikmah
Wanita Dalam Masa Iddah Masih Dirumah Suami
Kekeliruan selama terjadi perceraian atau talak adalah
istri langsung diusir suami dari rumah atau istri yang berinisiatif keluar dari
rumah suami. Padahal yang benar, selama masa ‘iddah, istri harus tetap berada
di rumah suami sampai masa ‘iddah selesai. Syari’at Islam memerintahkan
demikian karena ada maksud baik di balik itu, supaya bisa terpupuk kembali
cinta kasih dan sayang. Begitu pula istri selama masa ‘iddah setelah ditalak
masih berstatus milik suami, belum jadi milik laki-laki lain.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا
الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ
وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي
لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada
Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru” (QS. Ath Tholaq: 1)
Beberapa pelajaran bisa kita petik dari ayat di atas:
1-
Walau konteks pembicaraan ditujukan pada Nabi kita -shallallahu
‘alaihi wa sallam- tetapi pembahasan talak dan ‘iddah dalam ayat di atas
berlaku juga untuk umatnya.
2-
Mentalak istri di waktu ‘iddah maksudnya adalah mentalaknya
di waktu suci dan sebelum disetubuhi. Ibnu ‘Abbas mengatakan,
لا يطلقها وهي حائض ولا في
طهر قد جامعها فيه، ولكن: تتركها حتى إذا حاضت وطهرت طلقها تطليقة
“Janganlah mentalak istri dalam keadaan haidh dan jangan pula dalam
keadaan suci setelah disetubuhi dahulu. Akan tetapi biarkanlah hingga ia suci,
lalu talaklah sekali.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 27)
3-
Ada perintah menghitung masa ‘iddah. Ini menunjukkan bahwa
masa ‘iddah ada awal dan akhirnya. Selama masa ‘iddah tersebut, wanita tidak
diperkenankan untuk menikah.
4-
Ibnu Katsir berkata, “Selama masa ‘iddah, istri masih
memiliki hak tempat tinggal di rumah suami. Sehingga tidak boleh bagi suami
mengusir istri dari rumahnya. Begitu pula istri tidak boleh keluar dari
rumah karena statusnya masih sebagai istri untuk memenuhi hak suami.” (Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 28)
5-
Istri masih tetap di rumah sampai masa ‘iddah selesai
kecuali jika ia melakukan perbuatan fahisyah (perbuatan keji) yang
jelas. Di antara makna fahisyah adalah zina. Demikian makna fahisyah
dalam ayat ini menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan dalam
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 28.
6-
Allah memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.
7-
Apa hikmah di balik wanita tetap di rumah selama masa
‘iddah? Kata Ibnu Katsir rahimahullah, “Wanita yang telah ditalak tetap
di rumah suami selama masa ‘iddah agar bisa muncul penyesalan pada diri suami
karena telah mentalak istrinya sehingga ia pun rujuk pada istrinya jika Allah
telah menentukannya. Inilah alasan mudah dan gampangnya suami bisa rujuk
kembali pada istri.” Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 14:
28.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
berkata, “Allah menetapkan masa ‘iddah bagi wanita yang ditalak karena adanya
hikmah yang besar. Di antara hikmahnya adalah supaya Allah menjadikan pada hati
suami yang mentalak rasa kasih dan sayang sehingga ia pun bisa rujuk kembali
pada istrinya. Mereka bisa membina rumah tangganya kembali selama masa ‘iddah
tersebut. Atau mungkin ada sebab lain sehingga bisa terjadi talak, lalu hilang
sebab tersebut selama masa ‘iddah, dan suami pun merujuk pada istri karena
telah hilangnya sebab tersebut.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 869).
Namun sekali lagi, talak yang bisa dirujuki adalah talak
pertama dan kedua.
Wallahul muwaffiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar