Pembahasan ini kita mulai dengan firman Allah Ta’ala,
وَأَنْ
لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(QS.
An Najm: 39).
Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha
orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan
bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat
kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak
ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan
orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan
untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini.
Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain
melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya. (Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di)
Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi
orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan
kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.
Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa
bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa
dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A
atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari
Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.
Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah
sebagai berikut.
Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan
bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ
آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al
Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat
diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia
adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun
yang sudah meninggal dunia.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a
dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu
dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu
setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat
saling mendoakan.” (Taisir Al
Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan)
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ
مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ
بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya
tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang
akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya.
Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan
berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.” [HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’.]
Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia
adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.
Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang
mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini
memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa
melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun
memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa
peperangan, beliau bersabda,
أَنَا
أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ
فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari
diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang,
maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan
harta, maka itu untuk ahli warisnya.” [HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619] Hadits ini menunjukkan bahwa
pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib
ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian
ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal.
Sebagian lagi mengatakan tidak wajib. (Syarh
Muslim, An Nawawi)
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit
Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat
bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat
yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ
وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih
memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”
[HR. Bukhari no. 1952 dan
Muslim no. 1147] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris. (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525)
Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau
amalan lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta
nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dia mengatakan,
إِنَّ
أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia
namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ
عَنْهَا
“Tunaikanlah nadzar ibumu.” [HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no.
1638]
Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak
yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ
لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39).
Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ
أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan
seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih
payah orang tua.” [HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451]
Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap
bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak
adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang
satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi
–sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi
seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah
agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari
Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya
padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun
sudah di liang lahat.
Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang
bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka akan putus
amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil
manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.” [HR. Muslim no. 1631]
Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan
kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. (Majmu’ Al
Fatawa, 24/314) Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ
سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ
عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ
عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » .
قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu
‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di
sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku
telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah
bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya,
bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku
sedekahkan untuknya’.” [HR. Bukhari no. 2756]
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar