Antara Berbakti kepada Orang Tua
dan Taat kepada Suami
Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah
orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana
Islam mendudukkan perkara ini?
Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap
dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا
حَفِظَ اللهُ
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah
memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ
الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا
أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita
yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu.
Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya,
ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu.”
HR.
Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai
pada lafadz:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ
الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia
adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
قِيْلَ: يَا
رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ،
وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ
بِمَا يَكْرَهُ
Ditanyakan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita (istri) yang
bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan
suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya
memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan
tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.”
(Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ul Ghalil
no. 1786)
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا،
وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan
puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan
masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” [Shahih Al-Jami’
Ash-Shaghir, no. 660.]
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا
دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha
kepadanya niscaya ia akan masuk surga.” At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini
hasan.” [HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ
لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang
lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan.”
[HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853]
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ،
لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka
dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”
[HR. Abu Dawud no. 2140]
Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ
صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ
لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ
كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ
وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang
lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang
lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan
besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya,
seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang
mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu
menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”
[HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu
Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137).]
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ
الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ
أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ
أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang
yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.
Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah
menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri
harus melakukannya.” [HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu]
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban
dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ
فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي
نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا
أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا،
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا
حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى
قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa
yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau
lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk
sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada
suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri
tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya
suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan)
maka ia tidak boleh menolaknya.” [HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no.
1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah,
“Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203]
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ
وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya (jima’)
maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia
sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata,
“Hadits ini hasan.” [HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295]
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ
فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ
حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si
istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah
kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia
berada di pagi hari.” [HR. Al-Bukhari no. 5193]
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi
istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf:
25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu
adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian
melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ
عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu
hanyalah tawanan di sisi kalian.” [HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah
no. 1851]
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan
tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya
baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain
kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana
sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si
istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat
lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua
orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya
keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si
wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu’
kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya
menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan
pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan (misalnya
maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang,
dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan), dengan tujuan agar
si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu
dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata
suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
urusan istrinya. Dalam kitab Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan
An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ
غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka
haram baginya mencium wanginya surga.” [HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud
no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320]
Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya
tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi,
kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
Dalam hadits yang lain:
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Istri-istri yang minta khulu’ (tanpa ada alasan yang menyempitkannya)
dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.” [HR.
Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no.
3290.]
Mereka
adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir
menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah
(berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi,
kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya
dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan
amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang
semisalnya dari perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara
tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan
kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua
orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat
kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ
الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”
[HR. Ahmad 1/131]
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun
rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara
maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya
atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan
itu seluruhnya dalam menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar