Pengertian
Jabat Tangan
Al
Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: “Para ulama kami (Malikiyah)
mengatakan: Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada telapak tangan
orang lain dan ditahan beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk
menyampaikan salam.” (Hasyiyah Al Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy
Syariji, hal. 426)
Ibn
Hajar mengatakan: “Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak
tangan yang lain.” (Fathul Bari, 11/54)
Hukum
An
Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya jabat tangan adalah satu hal yang
disepakati sunnahnya (untuk dilakukan) ketika bertemu.”
Ibn
Batthal mengatakan: “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut
umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal, 71/50)
Namun
penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama
laki-laki atau sesama wanita.
Berikut
adalah dalil-dalil dianjurkannya jabat tangan:
·
Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah jabat
tangan itu dilakukan diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ?” Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al Bukhari, 5908)
·
Abdullah bin Hisyam mengatakan: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al Khattab.”
(HR. Al Bukhari 5909)
·
Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba
di dalam masjid ada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah
bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan
selamat kepadaku.” (HR. Al Bukhari 4156)
Dan
beberapa hadis lainnya yang akan disebutkan dalam pembahasan keutamaan berjabat
tangan.
Akan
tetapi dikatakan bahwasanya Imam Malik membenci jabat tangan. Dan ini merupakan
pendapat Syahnun dan beberapa ulama Malikiyah. Pendapat ini berdalil dengan
firman Allahta’ala ketika menceritakan salamnya Malaikat kepada
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya: “(Ingatlah)
ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: ‘Salaamun’ Ibrahim menjawab:
“Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.”(QS. Ad Dzariyat:
25)
Pada
ayat di atas, malaikat hanya menyampaikan salam kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis
salamdan mereka tidak bersalaman. Sehingga Malikiyah berkesimpulan bahwa di
antara kebiasaan orang saleh (nabi Ibrahim & para Malaikat) adalah tidak
berjabat tangan ketika ketemu, tetapi hanya mengucapkan salam.
Namun,
yang lebih tepat, pendapat Imam Malik yang terkenal adalah beliau menganjurkan
jabat tangan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat, di mana Sufyan bin
‘Uyainah pernah menemui beliau dan Imam Malik bersalaman dengan Sufyan.
Kemudian Imam Malik mengatakan: “Andaikan bukan karena bid’ah, niscaya aku akan
memelukmu.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Orang yang lebih baik dari pada aku
dan kamu yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
memeluk Ja’far ketika pulang dari negeri Habasyah. Kata Malik: “Itu khusus
(untuk Ja’far).” Komentar Sufyan: “Tidak, itu umum. Apa yang berlaku untuk
Ja’far juga berlaku untuk kita, jika kita termasuk orang saleh (mukmin).”
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/13949)
Kesimpulannya, bahwasanya pendapat yang paling tepat adalah
dianjurkannya berjabat tangan antar sesama. Mengingat
banyak dalil yang menegaskan hal tersebut. Sedangkan adanya pendapat yang
menyelisihi hal ini terlalu lemah ditinjau dari banyak sisi.
Keutamaan
Berjabat Tangan
1.
Terampuninya dosa
·
Dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ
يَلْتَقِيَانِ، فَيَتَصَافَحَانِ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا، قَبْلَ أَنْ
يَتَفَرَّقَا
“Tidaklah
dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa
keduanya selama belum berpisah.” (Shahih
Abu Daud, 4343)
·
Dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمٍّومِنَ إِذَاْ
لَقِيَ الْمٍّومِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ
خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
“Sesungguhnya
seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam
dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran
sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At
Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah,
525)
2.
Menimbulkan rasa cinta antara orang yang saling
bersalaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah
kalian aku tunjukkan suatu perbuatan yang jika kalian lakukan maka kalian akan
saling mencintai?” yaitu: “Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR.
Muslim 93)
Jika semata-mata mengucapkan salam bisa
menimbulkan rasa cinta maka lebih lagi jika salam tersebut diiringi dengan
jabat tangan.
3.
Menimbulkan ketenangan jiwa
4.
Menghilangkan kebencian dalam hati
·
“Lakukanlah jabat tangan, karena jabat tangan bisa
menghilangkan permusuhan.” Tetapi
hadis ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (Ad Dha’ifah, 1766)
·
“Lakukanlah jabat tangan, itu akan menghilangkan
kedengkian dalam hati kalian.”
(HR. Imam Malik dalam Al Muwatha’ dan didhaifkan oleh Syaikh
Al Albani)
Terdapat beberapa hadis dalam masalah ini,
namun semuanya tidak lepas dari cacat. Di antaranya adalah:
Terlepas dari hadis di atas, telah terbukti
dalam realita bahwa berjabat tangan memiliki pengaruh dalam menghilangkan
kedengkian hati dan permusuhan.
5.
Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya
lembut
Ketika penduduk Yaman datang, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
أَهْلُ الْيَمَنِ أَرَقُّ
قُلُوبَاً وَأَلْيَنُ أَفْئِدَةً وَأَسْمَعُ طَاعَةً
“Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah
orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.”
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkomentar
tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama kali mengajak untuk
berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212 & dishahihkan Syaikh Al Albani, As
Shahihah, 527)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan
bahwa penduduk Yaman adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada para
sahabat. Di antara ciri khas mereka adalah bersegera untuk mengajak jabat
tangan.
Mencium Tangan Ketika Jabat Tangan
Ibn Batthal mengatakan: “Ulama berbeda pendapat dalam
menghukumi mencium tangan ketika bersalaman. Imam Malik melarangnya, sementara
yang lain membolehkannya.” (Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Batthal 17/50)
Di antara dalil yang digunakan oleh ulama yang
membolehkan adalah:
·
Abu Lubabah & Ka’ab bin Malik,
serta dua sahabat lainnya (yang diboikot karena tidak mengikuti perang tabuk)
mencium tangan Nabi Shallallhu ‘alaihi wa Sallam ketika taubat
mereka diterima oleh Allah. (HR. Al Baihaqi dalam Ad Dalail & Ibn Al Maqri.
Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
·
Abu Ubaidah mencium tangan Umar
ketika datang dari Syam (HR. Sufyan dalam Al Jami’ & disebutkan oleh Al
Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
·
Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibn
Abbas ketika Ibn Abbas menyiapkan tunggangannya Zaid. (HR. At Thabari & Ibn
Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
·
Usamah bin Syarik mengatakan: “Kami
menyambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdan kami mencium
tangannya.” (HR. Ibn Al Maqri, Kata Al Hafizh: Sanadnya kuat.”)
Dan masih banyak beberapa riwayat lainnya yang
menunjukkan bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan. Bahkan Ibn Al Maqri
menulis buku khusus yang mengumpulkan beberapa riwayat tentang bolehnya mencium
tangan ketika berjabat tangan.
Satu hal yang perlu diingat bahwasanya mencium tangan ini
diperbolehkan jika tidak sampai menimbulkan perasaan mengagungkan kepada orang
yang dicium tangannya dan merasa rendah diri di hadapannya. Karena hal ini
telah masuk dalam batas kesyirikan. (lih. Al Iman wa Ar Rad ‘ala Ahlil
Bida’, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaikh)
An Nawawi mengatakan: “Mencium tangan seseorang karena
sifat zuhudnya, salehnya, amalnya, mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari
dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu hal yang tidak makruh.
Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena kayanya, kekuatannya,
atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang makruh dan sangat di benci. Bahkan
Abu Sa’id Al Mutawalli mengatakan: “Tidak boleh” (Fathul Bari, Al Hafizh
Ibn Hajar 11/57)
Syaikh Abdullah Al-Jibrin mengatakan, “Kami berpendapat
bahwa cium tangan itu dibolehkan jika dengan maksud menghormati orang tua,
ulama, orang shaleh, kerabat yang berusia lanjut dan semisalnya. Cium tangan
terhadap kerabat yang sudah berusia lanjut dan orang shaleh adalah bentuk
penghormatan bukan pengagungan dan sikap merendahkan diri (tadzallul).
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,
“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits
dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits
tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium
tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai) jika memenuhi beberapa syarat
berikut ini.
1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai
kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada
murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan
gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium
oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai
kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam
pembahasan kaedah-kaedah fiqh.
2. Cium tangan tersebut tidaklah menyebabkan ulama
tersebut merasa sombong dan lebih baik dari pada yang lain serta menganggap
dirinyalah yang paling hebat sebagai realita yang ada pada sebagai kyai.
3. Cium tangan tersebut tidak menyebabkan hilangnya
sunnah Nabi yang sudah diketahui semisal jabat tangan. Jabat tangan adalah
suatu amal yang dianjurkan berdasarkan perbuatan dan sabda Nabi. Jabat tangan
adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana terdapat
dalam beberapa hadits. Oleh karena itu, tidaklah diperbolehkan menghilangkan
sunnah jabat tangan karena mengejar suatu amalan yang status maksimalnya adalah
amalan yang dibolehkan (Silsilah Shahihah 1/159, Maktabah Syamilah).
Akan tetapi perlu kita tambahkan syarat keempat yaitu
ulama yang dicium tangannya tersebut adalah ulama ahli sunnah bukan ulama
pembela amalan-amalan bid’ah.
Berdasarkan beberapa keterangan ulama di atas dan dengan
mengambil keterangan ulama yang lain, disimpulkan bahwa mencium tangan
diperbolehkan dengan beberapa persyaratan:
·
Tidak sampai menimbulkan sikap
mengagungkan orang yang dicium
·
Tidak menimbulkan sikap merendahkan
diri di hadapan orang yang dicium
·
Karena kemuliaan dan kedudukan dalam
agama dan bukan karena dunianya
·
Tidak dijadikan kebiasaan, sehingga
mengubah sunnah jabat tangan biasa
·
Orang yang dicium tidak menjulurkan
tangannya kepada orang yang mencium (keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah)
Jabat Tangan Setelah Shalat
Sebagian
kaum Muslimin setelah selesai shalat melakukan ritual salam-salaman antara
sesama jama’ah shalat. Bahkan dengan tata cara khusus yang berbeda-beda di
masing-masing daerah. Bagaimana hukum melakukan perbuatan ini?
Fatwa Para Ulama Tentang Salam-Salaman Setelah Shalat
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya mengenai hal ini, beliau
menjawab: “salam-salaman yang demikian (rutin setelah shalat) tidak kami
ketahui asalnya dari As Sunnah atau pun dari praktek para sahabat Nabi radhiallahu’anhum. Namun seseorang jika bersalaman
setelah shalat bukan dalam rangka menganggap hal itu disyariatkan (setelah
shalat), yaitu dalam rangka mempererat persaudaraan atau menumbuhkan rasa
cinta, maka saya harap itu tidak mengapa. Karena memang orang-orang sudah biasa
bersalaman untuk tujuan itu. Adapun melakukannya karena anggapan bahwa hal itu
dianjurkan (setelah shalat) maka hendaknya tidak dilakukan, dan tidak boleh
dilakukan sampai terdapat dalil yang mengesahkan bahwa hal itu sunnah. Dan saya
tidak mengetahui bahwa hal itu disunnahkan” (Majmu’ Fatawa
War Rasa-il).
Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan: “pada asalnya bersalam-salaman itu
disyariatkan ketika bertemu antar sesama muslim. Dan Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam biasa
menyalami para sahabat nya jika bertemu dan para sahabat juga jika saling
bertemu mereka bersalaman. Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan Asy Sya’bi
mengatakan:
كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا
تلاقوا تصافحوا وإذا قدموا من سفر تعانقوا
“para
sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika
saling bertemu mereka bersalaman, dan jika mereka datang dari safar mereka
saling berpelukan”
Dan
terdapat hadits shahih dalam Shahihain, bahwa Thalhah bin ‘Ubaidillah (salah
satu dari 10 sahabat yang dijamin surga) datang dari pengajian
bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menuju
Ka’ab bin Malik radhiallahu’anhu yaitu ketika Ka’ab bertaubat
kepada Allah (atas kesalahannya tidak ikut jihad, pent.). Thalhah pun
bersalaman dengannya dan memberinya selamat atas taubatnya tersebut. Ini
(budaya salaman) adalah perkara yang masyhur diantara kaum Muslimin di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ataupun sepeninggal beliau.
Dan
terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bahwa
beliau bersabda:
ما من مسلمين يتلاقيان فيتصافحان إلا تحاتت
عنهما ذنوبهما كما يتحات عن الشجرة ورقها
“Tidaklah dua orang muslim
yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan berguguranlah
dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon”
Maka
dianjurkan bersalam-salaman ketika bertemu di masjid atau di shaf. Jika belum sempat
bersalaman sebelum shalat, maka hendaknya setelahnya sebagai bentuk keseriusan
mengamalkan sunnah yang agung ini. Diantara hikmahnya juga ia dapat menguatkan
ikatan cinta dan melunturkan kebencian. Namun, jika belum sempat
bersalaman sebelum shalat, disyariatkan untuk bersalaman setelah shalat yaitu
setelah membaca dzikir-dzikir setelah shalat (yang disyariatkan).
Adapun
yang dilakukan sebagian orang yang segera bersalam-salaman setelah selesai
shalat fardhu yaitu setelah salam yang kedua, maka saya tidak mengetahui asal
dari perbuatan ini. Bahkan yang tepat, ini hukumnya makruh karena tidak ada
dalilnya. Karena yang disyariatkan bagi orang yang shalat dalam kondisi ini
adalah segera membaca dzikir-dzikir sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam setiap selesai
shalat fardhu.
Adapun
shalat sunnah, juga disyariatkan untuk bersalaman setelah salam, jika memang
belum sempat bersalam ketika sebelum shalat. Jika sudah salaman sebelum shalat
maka sudah cukup (tidak perlu salaman lagi).” (Majmu’ Fatawa wa
Maqalat Mutanawwi’ah).
Sebagian Ulama Membolehkan?
Memang
benar sebagian ulama membolehkan ritual bersalam-salaman setelah shalat. Namun
perlu kami ingatkan, bahwa perkataan ulama bukanlah dalil dan dalam menetapkan
suatu tata cara ibadah itu membutuhkan dalil. Para ulama berkata:
أقوال أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها
“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”
Imam Asy
Syafi’i berkata:
أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول
الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس
“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan
padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia
meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan
oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361.
Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )
Dan
dalam menyikapi pendapat-pendapat para ulama yang berbeda, kita wajib kembali
pada Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).
Diantara
ulama yang membolehkan hal ini adalah Imam An Nawawi rahimahullah,
beliau berkata, “ketahuilah bahwa bersalam-salam adalah sunnah dalam setiap
kali pertemuan. Dan apa yang dibiasakan orang setelah shalat subuh dan shalat
ashar itu tidak ada asalnya dari syariat, dari satu sisi. Namun perbuatan ini
tidak mengapa dilakukan. Karena asalnya bersalam-salaman itu sunnah dan keadaan
mereka yang merutinkan salam-salaman pada sebagian waktu dan menambahnya pada
kesempatan-kesempatan tertentu, ini tidak keluar dari hukum sunnahnya
bersalam-salaman yang disyariatkan secara asalnya. Ia merupakan bid’ah mubahah”
(dinukil dari Mirqatul Mafatih, 7/2963).
Al Mula
Ali Al Qari rahimahullah (wafat
1014H ) menjawab pendapat An Nawawi ini, “tidak ragu lagi bahwa perkataan Al
Imam An Nawawi ini mengandung unsur-unsur yang saling bertentangan. Karena melakukan
sunnah pada sebagian waktu tidak dinamakan bid’ah. Sedangkan kebiasaan
orang-orang melakukan salam-salaman pada dua waktu yang disebutkan (setelah
subuh dan ashar) bukanlah dalam bentuk yang disunnahkan oleh syariat. Oleh
karena itu sebagian ulama kita telah menegaskan bahwa perbuatan ini makruh jika
dilukan pada waktu tersebut. Nah, jika seseorang masuk masjid dan orang-orang
sudah shalat atau sudah akan segera dimulai, maka setelah shalat selesai
andaikan mau bersalaman itu dibolehkan. Namun dengan syarat, memberikan salam
terlebih dahulu sebelum salaman. Maka yang seperti ini barulah termasuk bentuk
salaman yang disunnahkan tanpa keraguan” (Mirqatul Mafatih,
7/2963).
Sehingga
jelaslah bahwa dalam hal ini, pendapat Imam An Nawawi rahimahullah tidak lah tepat.
Jika Ada Yang Menyodorkan Tangan Untuk Salaman Setelah Shalat
Di atas
telah dijelaskan bahwa salam-salaman setelah shalat jika dilakukan dengan
anggapan itu ritual yang dianjurkan ini adalah perbuatan yang tidak ada asalnya
dari syariat, dan semestinya ditinggalkan. Namun, jika ada jama’ah yang
menyodorkan tangan untuk bersalam-salaman setelah shalat hendaknya tidak
ditolak atau didiamkan. Al Mula Ali Al Qari rahimahullah berkata,
“walaupun demikian, jika seorang ada Muslim menyodorkan tangannya untuk
bersalaman (setelah shalat), maka jangan ditolak dengan menarik tangan. Karena
hal ini akan menimbulkan gangguan yang lebih besar dari pada maslahah
menjalankan adab (sunnah). Intinya, orang yang memulai salaman
dengan anggapan itu disyariatkan, baginya makruh, namun tidak makruh bagi yang
terpaksa menerima salamnya. Walaupun yang demikian ini terkadang ada unsur
tolong-menolong dalam perkara bid’ah,wallahu a’lam.” (Mirqatul Mafatih, 7/2963).
Dan
dalam keadaan tersebut hendaknya kita juga bersemangat untuk menasehati orang
yang mengajak kita salaman tersebut dengan cara yang hikmah dan santun, jika
memang memungkinkan. Nasehat dengan tangan, jika tidak mungkin, maka dengan
lisan, jika tidak mungkin, minimal dengan hati.
Adapun
jika seseorang menyodorkan tangan untuk salaman karena memang belum sempat
salaman sebelum shalat, bukan dengan anggapan perbuatan ini disyariatkan, maka
sepatutnya sodoran tangan tadi disambut tanpa perlu ragu.
Semoga
bermanfaat, wabillahi at
taufiq was sadaad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar