Talak Dan Rujuk Kembali
Suami kadang terlalu terburu-buru dalam memutuskan cerai.
Padahal masih cinta dan ingin kembali atau rujuk. Lalu bagaimana cara untuk
rujuk, apakah mesti dengan ucapan atau bisa dengan cuma berhubungan intim
dengan istri? Dan perlu diketahui bahwa talak itu ada dua macam yaitu talak
roj'iy, talak yang bisa kembali rujuk ketika masa 'iddah dan talak
ba-in, talak yang tidak bisa kembali rujuk kecuali dengan akad yang
baru atau setelah menikah dahulu dengan laki-laki lain pada wanita yang ditalak
tiga. Kesempatan kali ini kita akan mengulas masalah rujuk dan talak yang bisa
kembali rujuk.
Pengertian Talak Roj’iy
Talak roj’iy adalah talak yang membolehkan suami untuk rujuk ketika masih dalam masa
‘iddah tanpa didahului dengan akad nikah yang baru, walau istri tidak ridho
kala itu. Talak roj’i ada ketika talak pertama dan talak kedua. Jika ‘iddah
telah selesai pada talak pertama dan kedua, maka jadilah talak ba-in
(talak yang tidak bisa kembali rujuk). Jika masih talak pertama dan kedua kala
itu suami masih ingin kembali pada istri yang dicerai, maka harus dengan akad
nikah baru.
Disyari’atkannya Rujuk
Dalil-dalil yang menyatakan bolehnya rujuk:
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”
(QS. Al Baqarah: 229). Yang dimaksud “imsak dengan cara yang ma’ruf”
dalam ayat tersebut adalah rujuk dan kembali menjalin pernikahan serta
mempergauli istri dengan cara yang baik.
Begitu juga dalam ayat,
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru' (masa ‘iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa
‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah:
228).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa suami yang mentalak
istrinya berhak untuk rujuk kepada istrinya selama masa ‘iddahnya dengan syarat
ia benar-benar memaksudkan untuk rujuk dan tidak memberi dhoror (bahaya)
kepada istri. (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 262)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa talak dibolehkan
untuk rujuk. Sedangkan untuk talak ketiga (talak ba-in) tidak ada rujuk
sebagaimana diterangkan dalam ayat lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya” (QS. Al Ahzab: 49). Talak sebelum disetubuhi
dianggap talak ba-in dan tidak ada masa ‘iddah bagi laki-laki kala itu. Rujuk
hanya berlaku jika masa ‘iddah itu ada. (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 262)
Dalil hadits yang menunjukkan boleh adanya rujuk
sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar ketika ia mentalak istrinya dalam
keadaan haidh. Kala itu ‘Umar mengadukan kasus anaknya lantas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
“Hendaklah ia meruju' istrinya kembali” [HR.
Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 1471]
Begitu pula ada ijma’ (kata sepakat) dari para ulama bahwa
seorang pria merdeka ketika ia mentalak istrinya kurang dari tiga kali talak
dan seorang budak pria kurang dari dua talak, maka mereka boleh rujuk selama
masa ‘iddah. (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 262)
Hikmah di Balik Disyari’atkannya Rujuk
Rujuk sangat dibutuhkan karena barangkali suami menyesal
telah mentalak istrinya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ
يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru” (QS. Ath Tholaq: 1). Yang dimaksud dalam
ayat ini adalah rujuk. Sebagaimana pendapat Fathimah binti Qois, begitu pula
pendapat Asy Sya’bi, ‘Atho’, Qotadah, Adh Dhohak, Maqotil bin Hayan, dan Ats
Tsauri. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Istri yang
dicerai tetap diperintahkan untuk tinggal di rumah suami selama masa ‘iddahnya.
Karena bisa jadi suami itu menyesali talak pada istrinya. Lalu Allah membuat
hatinya untuk kembali rujuk. Jadilah hal itu mudah”. (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, Ibnu Katsir)
Ketika Istri Sudah Ditalak Tiga Kali
Ketika istri sudah ditalak tiga kali, maka haram bagi
suaminya untuk rujuk kembali sampai mantan istrinya menikah dengan pria lain
dengan nikah yang sah. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا
تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia nikah dengan
suami yang lain” (QS. Al Baqarah: 230).
Pernikahan yang kedua disyaratkan agar suami kedua
menyetubuhi istrinya sehingga dikatakan sah. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah
disebutkan,
أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ
الْقُرَظِىِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى ، وَإِنِّى نَكَحْتُ
بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ الْقُرَظِىَّ ، وَإِنَّمَا مَعَهُ
مِثْلُ الْهُدْبَةِ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « لَعَلَّكِ
تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ ، لاَ ، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
وَتَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ »
“Suatu ketika istri Rifaa'ah Al Qurozhiy menemui Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku adalah istri Rifaa'ah,
kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan
‘Abdurrahman bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi sesuatu yang ada padanya
seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)”. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin
kembali kepada Rifaa'ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun
merasakan madumu.” [HR. Bukhari no. 5260 dan Muslim no. 1433] Hudbatuts-tsaub
maknanya adalah kemaluan suami lembek/lunak seperti ujung kain, sehingga tidak
bisa memuaskan [An-Nihaayah].
Hukum Seputar Rujuk dan Talak Roj’iy
1.
Rujuk ada pada talak roj’iy (setelah talak pertama dan
talak kedua), baik talak ini keluar dari ucapan suami atau keputusan qodhi
(hakim).
2.
Rujuk itu ada jika suami telah menyetubuhi istrinya. Jika
talak itu diucap sebelum menyetubuhi istri, maka tidak boleh rujuk berdasarkan
kesepakatan para ulama. Alasannya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ
عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka
itu dengan cara yang sebaik- baiknya” (QS. Al Ahzab: 49). Yang dimaksud
mut’ah adalah pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum
dicampuri.
3.
Rujuk dilakukan selama masih dalam masa ‘iddah. Jika
‘iddah sudah habis, maka tidak ada istilah rujuk –berdasarkan kesepakatan
ulama- kecuali dengan akad baru. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru' (masa ‘iddah)” (QS. Al Baqarah: 228).
Kemudian Allah Ta’ala berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa
‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah:
228).
Yang namanya rujuk adalah ingin meneruskan kepemilikan (istri).
Kepemilikan di sini putus setelah berlalunya masa ‘iddah dan ketika itu tidak
ada lagi keberlangsungan pernikahan.
4.
Perpisahan yang terjadi sebelum rujuk bukanlah karena nikah
yang batal karena faskh. Seperti nikah tersebut batal karena suami murtad.
5.
Perpisahan yang terjadi bukan karena hasil dari membayar
kompensasi seperti dalam khulu’ (istri menuntut cerai di pengadilan dan
diharuskan membayar kompensasi).
6.
Rujuk tidak bisa dibatasi dengan waktu tertentu sesuai
kesepakatan suami-istri, semisal rujuk nantinya setelah 8 tahun. Sebagaimana
nikah tidak bisa dengan syarat waktu sampai sekian bulan, begitu pula rujuk.
Tidak Disyaratkan Ridho Istri Ketika
Suami akan Rujuk
Perlu dipahami bahwa rujuk menjadi hak suami selama masih
dalam masa ‘iddah, baik istri itu ridho maupun tidak. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”
(QS. Al Baqarah: 228).
Dan hak rujuk pada suami ini tidak bisa ia gugurkan
sendiri. Semisal suami berkata, “Saya mentalakmu, namun saya tidak akan pernah
rujuk kembali”. Atau ia berkata, “Saya menggugurkan hakku untuk rujuk”. Seperti
ini tidak teranggap karena penggugurannya berarti telah merubah syari’at Allah.
Padahal tidak boleh seorang pun mengubah syari’at Allah. Padahal Allah Ta’ala
telah menyebutkan,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”
(QS. Al Baqarah: 229).
Dalam rujuk tidak disyaratkan ridho istri. Karena dalam
ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمْسِكُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ
“Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath
Tholaq: 2). Dalam ayat ini hak rujuk dijadikan milik suami. Dan Allah
menjadikan rujuk tersebut sebagai perintah untuk suami dan tidak menjadikan
pilihan bagi istri.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.
Wajib rujuk jika suami mentalak istrinya ketika haidh
sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat dan akan
dijelaskan detail pada masalah talak bid’iy.
2.
Rujuk tidak disyaratkan ada wali dan tidak disyaratkan
mahar. Rujuk itu masih menahan istri sehingga masih dalam kondisi ikatan
suami-istri.
3.
Menurut mayoritas ulama, memberi tahu istri bahwa suami
telah kembali rujuk hanyalah mustahab (sunnah). Seandainya tidak ada pernyataan
sekali pun, rujuk tersebut tetap sah. Namun pendapat yang hati-hati dalam hal
ini adalah tetap memberitahu istri bahwa suami akan rujuk. Karena inilah
realisasi dari firman Allah,
فَأَمْسِكُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ
“Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2). Yang
dikatakan rujuk dengan cara yang ma’ruf adalah memberitahukan si istri. Tujuan
dari pemberitahuan pada istri adalah jika si istri telah lewat ‘iddah, ia bisa
saja menikah dengan pria lain karena tidak mengetahui telah dirujuk oleh suami.
4.
Ketika telah ditalak roj’iy, istri tetap berdandan dan
berhias diri di hadapan suami sebagaimana kewajiban seorang istri. Karena
ketika ditalak roj’iy, masih berada dalam masa ‘iddah, istri masih tetap istri
suami. Allah Ta’ala berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa
‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah:
228). Dandan dan berhias diri seperti ini tentu akan membuat suami untuk
berpikiran untuk rujuk pada istri.
Cara Rujuk
1.
Rujuk dengan ucapan
Tidak ada beda pendapat di antara para ulama bahwa rujuk itu sah dengan
ucapan. Seperti suami mengatakan, “Saya rujuk padamu” atau yang semakna
dengan itu. Atau suami mengucapkan ketika tidak di hadapan istri dan ia
berkata, “Saya rujuk pada istriku”.
Lafazh rujuk ada dua macam: (1) shorih (tegas), (2) kinayah
(kalimat samaran).
Jika lafazh rujuk itu shorih (tegas) seperti kedua contoh di atas,
maka dianggap telah rujuk walau tidak dengan niat. Namun jika lafazh kinayah
(samaran) yang digunakan ketika rujuk seperti, “Kita sekarang seperti dulu
lagi”, maka tergantung niatan. Jika diniatkan rujuk, maka teranggap rujuk.
2.
Rujuk dengan perbuatan
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan
bahwa dengan melakukan jima’ (hubungan intim) dan melakukan muqoddimahnya
(pengantarnya) seperti mencium dengan syahwat baik diniatkan rujuk atau tidak,
maka rujuknya teranggap. Ada juga ulama yang mensyaratkan harus disertai niat
dalam jima’ dan muqoddimah tadi. Ada yang berpendapat pula bahwa rujuk adalah
dengan jimak saja baik disertai niat atau tidak. Dalam pendapat yang lain,
rujuk itu hanya teranggap dengan ucapan, tidak dengan jima’ dan selainnya.
Pendapat yang pertengahan dalam masalah ini adalah rujuk
itu teranggap cukup dengan jima’ namun dengan disertai niat. Inilah pendapat
Imam Malik, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Alasannya karena setiap amalan tergantung pada niatnya.
Apakah Rujuk Butuh Saksi?
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (QS. Ath
Tholaq: 2).
Yang rojih –pendapat terkuat- dalam hal ini adalah rujuk
tetap butuh saksi bahkan diwajibkan berdasarkan makna tekstual dari ayat.
Inilah yang menjadi pendapat Imam Syafi’i yang lama, salah satu pendapat dari
Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Shahih Fiqh
Sunnah, 3: 271-272)
Talak Roj’iy Mengurangi Jatah Talak
Sudah kita ketahui bahwa batasan talak adalah tiga kali.
Jika seseorang telah mentalak istri sekali, maka masih tersisa kesempatan dua
kali talak. Jika suami itu rujuk, maka tidak menghapus talak yang terdahulu.
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.” (QS. Al Baqarah: 229) (Shahih Fiqh Sunnah, 3: 273-274)
Talak dan Kembali dengan Akad Baru
Seperti kita ketahui talak
roj’iy masih bisa kembali ketika masa ‘iddah. Namun ada talak yang
tidak bisa rujuk / kembali kecuali dengan akad baru. Dan ada talak yang tidak
bisa kembali melainkan si istri harus menikah dulu dengan pria lain. Kedua
talak yang terakhir ini dikenal dengan talak ba-in.
Mengenal Talak Ba-in
Talak bai-in adalah talak di mana suami tidak punya hak
lagi untuk rujuk pada istri yang telah ditalak.
Talak ba-in dibagi dua: (1) talak ba-in shugro (kecil)
dan (2) talak ba-in kubro (besar).
Pertama: Talak ba-in shugro (kecil)
Talak ba-in shugro adalah talak di mana suami tidak
memiliki hak untuk rujuk pada istri kecuali dengan akad yang baru.
Ketika itu ikatan suami istri terputus dan istri menjadi
wanita asing, bukan lagi milik suami. Talak ba-in shugro ini tidak mengharuskan
istri menikah dengan pria lain lalu halal bagi suami yang dulu. Jika ingin
menyambung ikatan pernikahan, cukup dengan akad dan mahar yang baru.
Talak jenis ini akan mengurangi jumlah talak suami.
Misalnya ini adalah talak pertama, maka suami masih punya dua kesempatan talak
lagi.
Jika istri menikah lagi dengan pria lain setelah talak
ba-in shugro dan telah selesai masa ‘iddah, lalu menikah lagi dengan suami
terdahulu (artinya, ada selang dengan pria lain), apakah talak yang terdahulu
dari suami pertama jadi terhapus?
Jawabnya, tidak terhapus. Karena ada qoul (perkataan) dari salah
seorang khulafaur rosyidin, ‘Umar bin Khottob mengenai hal ini. Dari Abu
Hurairah, ia berkata bahwa ia bertanya pada ‘Umar bin Khottob mengenai
seseorang dari ahlul Bahrain yang telah mentalak istrinya sekali atau dua kali
kemudian telah lewat masa ‘iddahnya. Lalu mantan istrinya menikah lagi dengan
pria lain. Suami kedua lantas menceraikan wanita tersebut atau ditinggal mati
suaminya. Lantas wanita itu menikah lagi dengan suaminya yang dahulu. ‘Umar
lantas berkata,
هِيَ عِنْدَهُ عَلَى مَا بَقَى
“Suami
tersebut hanya punya kesempatan talak sebagaimana tersisa (dari yang dulu).”
(Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i
dalam musnadnya dan juga terdapat jalur dalam Al Baihaqi (7: 364). Syaikh Abu
Malik mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.)
Kapan jatuh talak ba-in shugro?
1.
Talak sebelum disetubuhi.
Ini
berarti jika saat malam pertama, suami belum sempat menyetubuhi istrinya,
lantas ia ceraikan, maka jatuhlah talak yang disebut talak ba-in sughro. Saat
ini tidak ada lagi istilah talak. Jika ia ingin kembali pada mantan istrinya,
maka harus dengan mahar dan akad yang baru. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya” (QS. Al Ahzab: 49).
2.
Perceraian dengan
jalan khulu’.
Di
mana istri menyerahkan harta sebagai kompensasi atas gugatan cerai yang ia
lakukan, maka terhitung talak ba-in shugro menurut jumhur (mayoritas ulama).
Artinya, jika suami ingin kembali pada istri yang dulu, maka harus dengan ridho
istri, lalu dengan akad dan mahar yang baru.
3.
Berbagai bentuk
perceraian yaitu dengan jalan iila’, cerai karena ‘aib atau dhohor (bahaya).
Masing-masing bentuk perceraian semacam ini akan dibicarakan pada bahasan
mendatang.
Intinya, bentuk talak ba-in sughro masih boleh suami
menjalin hubungan rumah tangga dengan mantan istrinya, namun tidak lagi dengan
rujuk ketika masa ‘iddah. Akan tetapi, harus dengan akad dan mahar yang baru.
Kedua: Talak ba-in kubro (besar)
Talak ba-in kubro adalah talak di mana suami tidak bisa
kembali kepada istri baik pada masa ‘iddahnya begitu pula setelah masa ‘iddah
kecuali dengan akad dan mahar baru, dan setelah mantan istri menikah dengan
laki-laki lain.
Ada dua syarat agar suami pertama bisa kembali pada mantan
istrinya:
1. Mantan istri harus menikah dengan
laki-laki lain dengan pernikahan yang sah, bukan pernikahan yang dibuat-buat
atau dengan nikah muhallil, yaitu suami kedua sengaja menikahi mantan istri
tadi supaya ia halal kembali pada suami pertama.
2. Mantan istri sudah disetubuhi oleh suami
kedua sebelum berpisah dan kembali pada suami pertama.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah,
أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ
الْقُرَظِىِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلاَقِى ، وَإِنِّى نَكَحْتُ
بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ الْقُرَظِىَّ ، وَإِنَّمَا مَعَهُ
مِثْلُ الْهُدْبَةِ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « لَعَلَّكِ
تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ ، لاَ ، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
وَتَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ »
“Suatu ketika istri Rifaa'ah Al Qurozhiy menemui Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku adalah istri Rifaa'ah,
kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan
‘Abdurrahman bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi sesuatu yang ada padanya
seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)”. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin
kembali kepada Rifaa'ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun
merasakan madumu.” [HR. Bukhari no. 5260 dan Muslim no. 1433]
‘Usailah
(madu) yang dimaksud dalam hadits di atas menurut jumhur (mayoritas ulama)
adalah kelezatan ketika hubungan intim, yaitu ketika ujung kemaluan suami telah
tenggelam pada kemaluan istri walau tidak keluar mani nantinya.
Catatan: Ketika mantan istri telah menikah dengan pria
lain dan terjadi perceraian lalu kembali pada suami yang dulu, maka talak tiga
yang dulu sudah kembali nihil. Jika terjadi talak, maka dihitung mulai dari nol
lagi. Demikian ijma’ para ulama.
Kapan talak ba-in kubro terjadi?
Talak ba-in kubro terjadi pada satu jenis perpisahan,
yaitu ketika istri telah ditalak sebanyak tiga kali. Dalilnya adalah firman
Allah Ta’ala,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ … فَإِنْ طَلَّقَهَا
فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 229-230).
Bagaimana jika mentalak istri dalam
sekali ucap langsung dengan tiga kali talak?
Ini kasus yang mungkin pernah kita jumpai yaitu ada
seorang suami yang langsung mentalak istrinya dengan ucapan, “Saya talak
kamu tiga kali.” Atau ia berkata, “Saya talak kamu, saya talak kamu,
saya talak kamu.”
Masalah ini terdapat perselisihan pendapat yang masyhur di
kalangan para ulama.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa talak seperti ini hukumnya
mubah dan dianggap talak tiga.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan pendapat terakhir
dari Imam Ahmad menyatakan bahwa talak ini dihukumi haram dan tetap dianggap
talak tiga.
Sedangkan ulama Zhohiri, Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul
Qayyim berpendapat bahwa talak tiga dalam sekali ucap dihukumi haram dan
dianggap hanya satu talak (bukan tiga kali talak). Pendapat ini juga menjadi
pendapat kebanyakan tabi’in. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat dengan
alasan sebagai berikut:
1. Kita dapat berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
“Talak (yang dapat kembali rujuk) dua kali” (QS. Al
Baqarah: 229).
Yang dimaksud di sini adalah talak itu ada dua, artinya
talak itu tidak sekali ucap. Jika jatuh talak, lalu dirujuk, setelah itu
ditalak lagi, ini baru disebut dua kali. Artinya ada kesempatan untuk rujuk.
Sedangkan talak tiga dalam sekali ucap tidak berlaku demikian dan berseberangan
dengan aturan yang telah Allah tetapkan.
Kita dapat ambil permisalah dengan seseorang berdzikir “subhanallah”.
Jika diperintahkan bertasbih sebanyak 100 kali, maka kita ucapkan subhanallah
berulang sampai 100 kali. Jika hanya disebut, “Subhanallah 100x”, maka ini sama
saja dengan sekali ucap dan belum dianggap 100 kali ucapan yang berulang.
2. Ada riwayat yang mendukung bahwa talak tiga sekali ucap
dianggap satu. Dari Thowus, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
كَانَ الطَّلاَقُ عَلَى
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ
خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
إِنَّ النَّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِى أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ
فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ. فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ.
“Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Bakr, lalu dua tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam
sekali ucap. ‘Umar pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa
dalam mengucapkan talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah
berlaku, yaitu talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan
ini, aku berharap bisa mensahkan talak tiga sekali ucap.” Akhirnya ‘Umar pun
mensahkan talak tiga sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali talak. [HR.
Muslim no. 1472]
Hadits ini menunjukkan bahwa talak itu masih ada
kesempatan untuk rujuk, tidak bisa langsung menjatuhkan tiga kali talak dan
tidak ada rujuk sama sekali. Dan karena merajalelanya kebiasaan mentalak tiga
sekaligus dalam sekali ucap, maka ‘Umar memutuskan dianggap tiga kali talak.
Hal ini dilakukan ‘Umar agar orang tidak bermudah-mudahan dalam menjatuhkan
talak tiga sekaligus. Namun sekali lagi, talak tetap masih ada kesempatan untuk
rujuk.
Sekali lagi masalah ini adalah masalah ijtihadiyah
(masih ada ruang ijtihad). Dari hadits Ibnu ‘Abbas di atas menunjukkan bahwa
talak tiga dalam sekali ucap dianggap hanya jatuh satu dan dianggap talak
roj’iy. Kita katakana, asalnya demikian. Namun seandainya hakim melihat
maslahat yaitu agar orang tidak mudah-mudahan menjatuhkan talak tiga sekaligus
dalam sekali ucap, maka bisa dianggap talak tersebut talak tiga sebagaimana
yang terjadi di masa khalifah ‘Umar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar