Seorang wanita yang
sedang haid ingin memasuki masjid untuk menghadiri majelis ilmu dengan alasan
bahwa dia menghadiri majelis tersebut secara rutin, dan apabila tidak hadir
disebabkan haid maka dia akan tertinggal pelajaran dan tidak dapat mengikuti
pelajaran setelahnya.
Wanita haid
juga butuh akan ibadah. Begitu pula ia butuh akan ilmu. Bagaimanakah jika ia
mengalami haid sedangkan butuh akan siraman rohani atau pelajaran ilmu syar’i
yang cuma ditemukan di masjid.
Bolehkah wanita itu menghadiri
majelis tersebut dengan syarat-syarat tertentu ketika menghadirinya, dan
bagaimanakah pendapat ulama yang rajih tentang hal ini?
@ Jumhur ahli fikih dari keempat madzhab berpendapat
bahwasannya tidak boleh seorang wanita haid untuk berdiam di masjid, dengan
dalil hadist riwayat Bukhari (974)dan Muslim (890),dari Ummu ‘Athiyah dia
berkata:
أمرنا تعني النبي صل الله عليه و سلم أن نخرج في
العيدين العواتق ذوات الخدورو و أمر الخيض أن يعتزلن مصلى المسلمين
“Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami untuk keluar
rumah pada dua hari raya, termasuk remaja putri dan gadis pingitan, dan beliau
memerintahkan wanita yang haid untuk menjauhi tempat shalat”.
Dalam hadist ini, Nabi shalallahu alaihi wasallam melarang wanita yang haid
mendekati tempat shalat ‘id dan memerintahkan mereka untuk menjauhinya,
dikarenakan disana terdapat hukum masjid, dan ini menjadi dalil dilarangnya
wanita haid untuk memasuki masjid. Jumhur juga berdalil dengan hadist yang
lain, akan tetapi hadist tersebut dhaif dan tidak boleh dijadikan hujjah,
diantaranya hadist perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
لا أحل المسجد لحائض ولا جنب
“Tidaklah halal masjid untuk orang yang haid
dan junub”. Hadist ini didhaifkan oleh syekh Albani dalam
kitab Dhaif Abi Daud (232).
@ Ulama Lajnah
Daimah ditanya tentang hal ini dalam fatwa no (6/272):
Bagaimanakah hukum syar’i tentang seorang wanita
yang memasuki masjid padahal dia sedang haid untuk mendengarkan khutbah saja?
Jawaban Lajnah
Daimah:
Tidak boleh bagi seorang wanita yang sedang haid atau nifas untuk memasuki
masjid. Sedangkan bila hanya lewat, maka diperbolehkan apabila ia mempunyai
kepentingan dan yakin bahwa tidak akan mengotori masjid dengan najisnya,
berdasarkan firman Allah Ta’ala:
ولا جنبا الا عابري سبيل حتى تغتسلوا
”Dan (jangan
pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar
berlalu saja, sampai kamu mandi” (Qs An
Nisa’:43)
dan wanita yang haid termasuk dalam makna junub. Dalil selanjutnya adalah
bahwa Nabi pernah memerintahkan Aisyah untuk mengambilkan kebutuhan beliau dari
masjid sedangkan dia sedang haid. Demikian fatwa Lajnah Daimah no 6/272
@ Syekh Utsaimin
rahimahullah juga pernah ditanya: apakah boleh bagi wanita haid menghadiri
halaqah dzikir di masjid?
Beliau
menjawab: wanita yang
haid tidak boleh berdiam di masjid , sedangkan bila hanya lewat maka tidak
mengapa, dengan syarat yakin bahwa tidak akan mengotori masjid dengan darahnya.
Apabila tidak boleh baginya untuk berdiam di masjid, maka tidak boleh juga
baginya untuk masuk mendengarkan pengajian atau bacaan Al Qur’an, kecuali
apabila di sana terdapat tempat di luar masjid yang dia dapat mendengar suara
dengan perantara mikrofon, maka tidak mengapa dia duduk di sana untuk
mendengarkan pengajian. Karena tidak mengapa seorang wanita haid mendengarkan
dzikir dan ayat-ayat Al Qur’an sebagaimana dalam hadist Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam bahwasannya
beliau bersandar di pangkuan Aisyah dan membaca Al Quran sedangkan Aisyah
ketika itu sedang haid.
Sedangkan pergi ke masjid untuk berdiam di dalamnya karena mendengarkan
pengajian atau bacaan Al Quran maka hal ini tidak boleh. Dalilnya adalah hadist
Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam ketika
haji Wada’: ketika sampai berita kepada Nabi shallalhu alaihi wa sallam, bahwa Shofiyyah haid,
maka beliau berkata: Apakah ia menahan kita (dari kembali ke Madinah)? karena
beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengira Shafiyyah belum melaksanakan
thawaf ifadhah. Para shahabat menjawab: dia sudah melaksanakan thawaf ifadhah.
Maka hal ini menjadi dalil tidak bolehnya berdiam di masjid walaupun untuk
ibadah. Dan juga telah tetap dari Nabi bahwasannya beliau memerintahkan para
wanita untuk keluar ke tempat shalat id untuk pelaksanaan shalat dan dzikir dan
memerintahkan wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat shalat. Demikian
nukilan dari Fatawa at Thahirah (273).
Beliau mengambil pendapat para ulama dalam kitab Al Mabshuut (3/153), Hasyiyah Ad
Dasuuqi (1/173), Al Majmu’ (2/388), dan Al Mughni(1/195)
Sedangkan hal ditakutkan
tertinggalnya beberapa pelajaran bagi wanita yang haid apabila dilarang untuk
memasuki masjid, maka dapat dilakukan dengan merekam pelajaran tersebut, atau
mendengarkan pelajaran dari luar masjid, apabila hal tersebut memungkinkan, dan
sebaiknya beberapa tempat di masjid disambungkan dengan tempat khusus yang
tidak dihukumi sebagai masjid, seperti membuat maktabah/perpustakaan atau
ruangan untuk tahfidz Al Qur’an, yang memungkinkan bagi orang yang memiliki
‘udzur untuk duduk di sana tanpa ada larangan.
@ Syaikh
Kholid Mushlih –hafizhohullah–
ditanya, “Apakah boleh wanita haid menghadiri majelis Al Qur’an (di masjid)?”
Jawab beliau,
“Wanita haidh boleh saja masuk masjid jika ada hajat, inilah pendapat yang
lebih tepat. Karena terdapat dalam kitab shahih (yaitu Shahih Muslim)
bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata
pada ‘Aisyah, “Berikan
padaku sajadah kecil di masjid.” Lalu ‘Aisyah berkata, “Saya
sedang haid.” Lantas Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan karena sebabmu.”
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله و عليه و سلم:
نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ.
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda
padanya, “Ambilkan
untukku khumroh (sajadah kecil) di masjid.” “Sesungguhnya aku sedang haid”,
jawab ‘Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
haidmu itu bukan karena sebabmu” (HR. Muslim no. 298).
Hal ini menunjukkan bahwa boleh saja bagi
wanita haid untuk memasuki masjid jika:
(1) ada hajat, dan ...
(2) tidak sampai mengotori masjid.
Demikian dua syarat yang mesti dipenuhi
bagi wanita haid yang ingin masuk masjid.
Adapun hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyatakan,
لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
“Tidak
dihalalkan masjid bagi wanita haid dan orang yang junub.” [HR. Abu Daud no. 232.
Hadits ini dikatakan dha’if oleh
Syaikh Al Albani] Ini hadits yang tidak shahih. Para ulama hadits
menyatakan demikian bahwa hadits tersebut tidaklah shahih. Sehingga hadits
tersebut tidak bisa jadi pendukung untuk melarang wanita haid masuk masjid.
Adapun jika
ada yang mengqiyaskan wanita haid dengan orang junub, ini jelas qiyas (analogi)
yang tidak memiliki kesamaan. Karena junub boleh masuk masjid jika dia berwudhu
untuk memperingan junubnya, ini yang pertama. Yang kedua, junub adalah hadats
karena pilihannya yang sendiri dan ia mungkin saja menghilangkan hadats
tersebut. Hal ini berbeda dengan wanita haid. Wanita yang mengalami haid
bukanlah atas pilihannya sendiri. Jika wanita haid mandi sekali pun selama
darahnya masih mengalir, itu tidak bisa menghentikan darah haidnya. Intinya,
tidak bisa disamakan antara wanita haid dan orang yang junub sehingga qiyasnya
nantinya adalah qiyas yang jelas berbeda (qiyas ma’al faariq).”
@ Syaikh al-Albani pernah ditanya
tentang hukum mengikuti kajian di masjid bagi wanita haid. Jawaban beliau,
نعم يجوز لهن ذلك ، لأن الحيض لا يمنع امرأة من حضور مجالس
العلم ، ولو كانت في المساجد ، لأن دخول المرأة المسجد ، في الوقت الذي لا يوجد
دليل يمنع منه
Ya, mereka boleh kajian di sana.
Karena haid tidak menghalangi wanita untuk menghadiri majlis ilmu, meskipun di
masjid. Karena masuknya wanita ke dalam masjid di satu waktu, tidak ada dalil
yang melarangnya. (Silsilah Huda wa an-Nur, volume: 623).
Mereka yang melarang berdalil juga dengan beberapa atsar dibawah ini.
1.
Perkataan Ibnu Abbas tentang firman Allah surat An-Nisaa
ayat 43.
Berkata Ibnu
Abbas, “Tidak boleh engkau masuk masjid sedangkan engkau dalam keadaan junub
kecuali sekedar lewat dan jangan engkau duduk” [Riwayat Baihaqiy : 2/443]
Sanad
riwayat ini dha’if, karena Abu Ja’far Ar-Raazi yang ada di sanadnya seorang
rawi yang dla’if karena buruk hafalannya dan dia telah dilemahkan oleh para
Imam diantaranya Imam Ahmad bin Hambal, Abu Zur’ah, Nasa’i, Al-Fallas dan
lain-lain. Dan telah datang riwayat dari Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih
yang menyalahi riwayat dla’if di atas.
2.
Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan lagi (2/443) dari
jalan Abu Ubaidah bin Abdullah, dari Ibnu Mas’ud bahwa dia telah memberikan
keringanan bagi orang yang junub untuk sekedar lewat di dalam masjid (yakni
tidak duduk atau tinggal di masjid)
Sanad ini dha’if,
karena Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud tidak pernah berjumpa dengan
bapaknya yaitu Abdullah bin Mas’ud. Dengan demikian maka sanad ini munqathi
(terputus).
3.
Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan lagi (2/443) dari
jalan Hasan bin Abi Ja’far Al-Azdiy, dari Salm Al-Alawiy, dari Anas bin Malik
tentang firman Allah di atas dia berkata, “Sekedar lewat dan tidak duduk (di
masjid)”.
Sanad in pun
dha’if, karena:
Pertama :
Salm bin Qais Al-Alawiy seorang rawi yang dha’if sebagaimana dikatakan oleh
Al-Hafidzh Ibnu Hajar di Taqribnya (1/314).
Kedua ;
Hasan bin Abi Ja’far Al-Jufriy Abu Sa’id Al-Azdiy, telah dilemahkan oleh
Jama’ah ahli hadits. [Taqribut Tahdzib 1/164, Tahdzibit Tahdzib 2/260-261.
Mizanul I’tidal 1/482-483]
Telah sah dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau
menafsirkan ayat An Nisa’:43 diatas dengan
orang musafir, beliau berkata, “Diturunkan ayat ini berkenaan dengan orang
musafir. Dan tidak juga bagi orang yang junub kecuali orang yang mengadakan
perjalanan sehingga dia mandi. Beliau berkata ; Apabila seorang
(musafir) itu junub lalu dia tidak memperoleh air, dia tayamum lalu shalat
sampai dia mendapatkan air. Dan apabila dia telah mendapatkan air (hendaklah)
dia mandi’ [Riwayat Baihaqiy 1/216 dan Ibnu Jarir di kitab Tafsirnya juz 5
hal. 62 dan lain-lain sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Katsir di
Tafsirnya 1/501 dan Imam Suyuthi di tafsirnya Ad-Durul Mantsur 2/165]
Tarjih :
Setelah kita mengetahui bahwa seluruh riwayat yang
melarang orang yang junub dan perempuan haid/nifas berdiam atau tinggal di
masjid semuanya dha’if. Demikian juga tafsir ayat 43 surat An-Nisaa yang
melarang orang yang junub dan perempuan haid berdiam atau tinggal di masjid
semuanya dha’if tidak ada satupun yang sah (shahih atau hasan). Bahkan tafsir
yang shahih dan sesuai dengan maksud ayat ialah tafsir dari Ali bin Abi Thalib
dan Ibnu Abbas di atas. Yaitu, musafir yang terkena janabah dan dia tidak
mendapatkan air lalu dia tayammum sampai dia memperoleh air. Jadi yang dimaksud
dengan firman Allah ‘aabiri sabil ialah musafir. Bukanlah yang dimaksud orang
yang masuk ke dalam masjid sekedar melewatinya tidak diam atau tinggal di
dalamnya. Tafsir yang demikian selain tidak sesuai dengan susunan ayat dan
menyalahi tafsir shahabat dan sejumlah dalil di bawah ini yang menjelaskan
kepada kita bahwa orang yang junub dan perempuan yang haid atau nifas boleh
diam atau tinggal di masjid.
Maka pendapat yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang memperbolehkan
wanita haid masuk masjid. Di antara dalilnya adalah:
Dalil pertama: Disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada
seorang wanita berkulit hitam yang tinggal di masjid.
Dari Aisyah (ia berkata), "Sesungguhnya ada seorang
budak perempuan hitam kepunyaan salah satu suku dari bangsa Arab. Lalu mereka
memerdekakannya, kemudian ia pun tinggal bersama mereka..."
Berkata 'Aisyah, "Lalu perempuan itu datang kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan masuk Islam."
Berkata 'Aisyah,
فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ
فِي المَسْجِدِ – أَوْ حِفْشٌ
"Dan perempuan itu mempunyai kemah kecil di masjid
(yakni sebagai tempat tinggalnya)..."
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini jelas sekali
tentang bolehnya bagi perempuan haidh untuk tinggal lama atau diam di masjid.
Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memberikan
pengecualian kepada perempuan di atas yang tinggal di masjid dan mempunyai kemah
untuk dia tidur dan menurut dalil ini perempuan itu bekerja sebagai pembersih
masjid, bahwa 'kalau datang hari-hari haidhmu hendaklah engkau jangan tinggal
di masjid.' Kalau sekiranya perempuan haidh itu tidak boleh tinggal atau diam
di masjid tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan
pengecualian seperti di atas. Akan tetapi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah menetapkan dan membolehkan perempuan tersebut untuk tinggal di masjid
bahkan mempunyai kemah sendiri secara umum dan mutlak tanpa satupun
pengecualian. Padahal beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui dan kita
pun mengetahui bahwa perempuan setiap bulannya akan melalui hari-hari haidh.
Dalil di atas bersama dalil keempat di bawah ini
merupakan setegas-tegas dalil dan hujjah tentang bolehnya bagi perempuan haidh
dan nifas untuk diam dan tinggal lama di masjid. Dan Imam Bukhari yang
meriwayatkan hadits di atas di kitab shahihnya telah memberikan bab dengan
judul: "Bab: Tidurnya perempuan di masjid"
Al Hafizh Ibnu Hajar di dalam mensyarahkan bab di atas
mengatakan bahwa yang dimaksud ialah, "Tinggal atau diamnya perempuan di
dalam masjid."
.
Dalil kedua: Dari Abu Hurairah (ia berkata):
أَنَّ رَجُلًا أَسْوَدَ أَوْ امْرَأَةً
سَوْدَاءَ كَانَ يَقُمُّ الْمَسْجِدَ فَمَاتَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي
بِهِ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ أَوْ قَالَ قَبْرِهَا فَأَتَى قَبْرَهَا فَصَلَّى
عَلَيْهَا
Bahwasanya ada seorang laki-laki hitam -atau seorang
perempuan hitam- yang biasa membersihkan kotoran di masjid mati. Lalu Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya tentangnya, mereka menjawab, "Ia
telah mati." Beliau bersabda, "Kenapakah kamu tidak memberitahukan
kepadaku tentang (kematian)nya, tunjukkanlah kepadaku kuburnya." Lalu
beliau mendatangi kubur laki-laki itu -atau kubur perempuan itu- kemudian
beliau menshalatinya.
Shahih riwayat Bukhari (no.458, 460 dan 1337).
Pengambilan dalil dari
hadits yang mulia ini sama dengan yang sebelumnya karena orangnya satu, yaitu seorang
perempuan hitam yang masuk Islam kemudian tinggal dan menetap di masjid dan
bekerja sebagai pembersih masjid
Dalil ketiga: Ketika melaksanakan haji,
Aisyah mengalami haid. Kemudian, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan beliau :
اِفْعَلِيْ مَا
يَفْعَلُ الْحَاجُ غَيْرَ أَلاَّ تَطُوْفِيْ بِالْبَيْتِ حَتىَّ تَطْهُرِيْ
“Lakukanlah apa saja yang dilakukan oleh jama’ah haji lainnya selain tawaf
di Ka’bah, hingga engkau suci.”
Sisi pengambilan
dalil: Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hanya
melarang Aisyah untuk tawaf di Ka’bah dan tidak melarang Aisyah untuk masuk
masjid. Riwayat ini disebutkan dalam Shahih Bukhari.
Dalil keempat: Disebutkan dalam Sunan Sa’id bin
Manshur, dengan sanad yang sahih, bahwa seorang tabi’in, Atha bin
Yasar, berkata, “Saya melihat beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk-duduk di masjid, sementara ada
di antara mereka yang junub. Namun, sebelumnya, mereka berwudhu.” Sisi
pemahaman dalil: Ulama meng-qiyas-kan (qiyas:analogi) bahwa
status junub sama dengan status haid; sama-sama hadats besar.
Dalil kelima: Telah
bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang mu’min
itu tidak najis”.
Dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
أن النبي صلى الله
عليه وسلم لقيه في بعض طرق المدينة وهو جنب ، فانخنس منه فذهب فاغتسل ثم جاء فقال
: ( أين كنت يا أبا هريرة ؟ ) فقال : كنت جنبا ، فكرهت أن أجالسك وأنا على غير
طهارة ، فقال : سبحان الله إن المؤمن لا ينجس
“Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang
ada di Madinah, sedangkan aku junub. Lalu aku menyingkir pergi dan segera aku
mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana
engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka
aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”, Maka beliau
bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam
riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis)
[Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad
dan lain-lain]
Dalil Keenam: Dari Abu Hurairah, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mengutus pasukan berkuda kearah Najd, lalu pasukan itu datang
membawa seorang tawanan laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumaamah bin
Utsaal. Kemudian mereka mengikatnya di salah satu dari tiang-tiang masjid, lalu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan beliau bersabda,
“Lepaskan (ikatan) Tsumaamah”. Kemudian ia (yakni Tsumaamah) pergi ke sebuah
pohon kurma yang berada di dekat masjid, lalu dia mandi kemudian masuk ke dalam
masjid dan mengucapkan, “Syhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadar
rasulullah”
Shahih riwayat Bukhari (no. 462, 469, 2422, 2423 dan 4372)
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini ialah, kalau
orang kafir saja yang tidak pernah mandi janabah dibolehkan masuk ke dalam
masjid apalagi seorang muslim, tentunya lebih utama dan lebih berhak masuk ke
dalam masjid meskipun dalam keadaan junub atau dia seorang perempuan yang
sedang haid atau nifas (yakni mimbaabil aula). Yang mana Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menegaskan, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak
najis”.
Dalil ketujuh: Diriwayatkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله و عليه و سلم: نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ
حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ
فِى يَدِكِ.
Dari Aisyah radhiallahu
‘anha bahwa
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya, “Ambilkan sajadah
untukku di masjid!” Aisyah mengatakan, “Saya sedang haid.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, haidmu tidak berada
di tanganmu.” (HR. Muslim). Sebagian ulama menjadikan hadis ini
sebagai dalil tentang bolehnya wanita haid masuk masjid.
Dalil kedelapan: Tidak terdapat larangan tegas agar wanita haid tidak masuk masjid. Dalil
yang dijadikan alasan untuk melarang wanita masuk masjid tidak lepas dari dua
keadaan:
1. Tidak tegas
menunjukkan larangan tersebut.
2. Sanadnya
lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar