Permasalahan tentang sampainya pahala yang dilakukan
orang yang masih hidup kepada mayit telah menjadi satu bahasan yang mu’tabar
sejak berabad-abad silam. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa
mereka (para ulama) sepakat akan sampainya pahala yang dilakukan oleh orang
yang masih hidup kepada si mayit sebatas yang disebutkan secara khusus oleh
dalil. Yang menjadi khilaf di antara mereka adalah amal-amal selain yang
disebutkan khusus oleh dalil. Apakah amal-amal tersebut bisa diqiyaskan secara
mutlak atau tidak sehingga memberikan konsekuensi sampainya pahala kepada si
mayit ? Sebagian ulama berpendapat bisa diqiyaskan, sebagian lain berpendapat
tidak bisa diqiyaskan. Dari sinilah kemudian khilaf muncul.
Adapun khilaf tersebut bisa diterangkan sebagai berikut :
1. Bahwasannya setiap amal ibadah yang dilakukan oleh
manusia yang diperuntukkan pahalanya kepada seorang muslim yang telah meninggal
dunia adalah boleh secara mutlak dan pahalanya akan bermanfaat bagi orang yang
telah meninggal tersebut. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Abu Hanifah,
Imam Ahmad, dan sebagian shahabat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang menyebutkan bahwa
ini merupakan pendapat jumhur.
2. Bahwasannya tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang
diterangkan oleh dalil tentang pengesahan (untuk) memberikan amalan/pahala
kepada mayit, yaitu doa, shadaqah, haji, dan ’umrah. Adapun di luar hal
tersebut, maka tidak disyari’atkan dan amalan/pahala yang diniatkan oleh orang
yang masih hidup tidak akan sampai pada orang yang telah meninggal dunia. Ini
adalah pendapat masyhur dari Imam Malik dan Imam Syafi’i.]
Lihat selengkapnya di Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab oleh
An-Nawawi 15/522 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyaholeh Ibnu Abil-‘Izz
Al-Hanafy (tahqiq At-Turky dan takhrij Al-Arna’uth) hal. 664
Dalil yang Dipergunakan oleh
Kelompok Pertama
1. Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa bahwasannya ada
seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan
berkata :
يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها
ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
”Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal
dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya kira, jika ia sempat
berbicara niscaya ia akan bershadaqah. Adakah baginya pahala jika saya
bershadaqah untuknya ?”. Maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab :
”Ya” [HR. Bukhari
no. 1322 dan Muslim no. 1004].
2. Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda :
من مات وعليه صيام صام عنه وليه
”Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih memiliki
kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” [HR. Bukhari no. 1851, Muslim no.
1147, Abu Dawud no. 2400, dan yang lainnya].
3. Hadits Abu Qatadah radliyallaahu ‘anhu dimana ia pernah
menanggung (melunasi) hutang sebesar dua dinar dari si mayit yang kemudian
dengan itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الآن حين بردت عليه جلده
“Sekarang, menjadi dinginlah kulitnya” [HR. Al-Hakim 2/74 bersama
At-Tattabu’ no. 2401. Ia berkata : “Isnadnya shahih namun tidak dikeluarkan oleh
Bukhari dan Muslim].
4.
Dan lain-lain.
Dalil-dalil di atas dan yang semisal diqiyaskan secara
mutlak terhadap amal-amal lain yang dengan itu dapat bermanfaat bagi si mayit.
Contoh dalam hal ini adalah kirim pahala amalan dzikir dan bacaan Al-Qur’an.
Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang pembacaan Al-Qur’an
dan beberapa dzikir yang dilakukan oleh ahli mayit yang kemudian dihadiahkan
kepada si mayit, maka beliau menjawab :
يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم،
وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه. والله أعلم.
”Sampai kepada mayit (pahala) bacaan-bacaan dari
keluarganya dan tasbih-tasbihnya, takbir-takbirnya, serta dzikirnya kepada
Allah ta’ala; apabila ia berniat untuk menghadiahkan pahalanya (kepada si
mayit), maka sampai kepadanya. Wallaahu a’lam” [Majmu’ Fataawaa 24/324].
Dalil-Dalil yang Dipakai oleh
Kelompok Kedua
Pada dasarnya dalil yang dipakai oleh kelompok pertama
dipakai pula oleh kelompok kedua. Namun, kelompok kedua ini hanya mengkhususkan
amalan-amalan yang sampai adalah sebatas yang disebutkan oleh dalil saja. Tidak
diqiyaskan kepada yang lain. Dalil yang dipergunakan untuk membangun pendapat
tersebut antara lain :
1.
Firman Allah ta’ala :
وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ
مَا سَعَى
“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang diusahakannya” [QS. An-Najm : 39].
Ayat ini mengandung pengertian : ”Dan tidaklah seseorang
yang berbuat itu dibalas melainkan dari perbuatannya itu sendiri”.
2. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله
إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
”Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah
amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan,
atau anak shalih yang mendoakannya” [HR. Muslim no. 1631].
An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan :
”Adapun bacaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirmkan kepada
si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa perbuatan
tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang dikirimi...... Adapun
dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya)
:”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan”
(QS. An-Najm : 39); dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (yang
artinya) : ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya
kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak
shalih yang mendoakannya” [Lihat Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi
1/90].
Al-Haitsami dalam Al-Fatawaa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah telah
berkata :
“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun berdasarkan
keterangan yang mutlak dari ulama’mutaqaddimiin (terdahulu); bahwa bacaan (yang
pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab pahala
bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak bisa
dipindahkan dari ’aamil (orang yang mengamalkan) perbuatan tersebut,
berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu
memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39) [Lihat Al-Fatawaa
Al-Kubraa Al-Fiqhiyyah oleh Al-Haitsami 2/9].
Ibnu Katsiir dalam Tafsir-nya ketika menafsirkan Surat
An-Najm ayat 39 berkata :
”Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa
kepada orang lain. Demikian juga manusia tidak memperoleh pahala melainkan dari
hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 QS. An-Najm), Imam
Asy-Syafi’i dan ulama-ulama lain yang mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa
bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai, karena
bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya
(pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan
nash maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang shahabat pun yang pernah
mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun amalan semacam itu memang baik, tentu
mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan pendekatan diri kepada Allah
tersebut hanya terbatas pada nash-nash (yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah)
dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat” [Lihat Tafsir
Al-Qur’aanil-’Adhiim li-Bni Katsiir].
Tarjih
Melihat keseluruhan dalil yang disebutkan (baik yang
tertulis ataupun yang tidak tertulis dalam artikel ini), maka pendapat yang
paling kuat adalah pendapat yang menyatakan tidak sampainya pahala yang
dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada si mayit kecuali yang disebutkan
secara khusus oleh dalil. QS. An-Najm ayat 39 merupakan nash yang sangat tegas
bahwa seseorang itu hanyalah akan mendapat balasan (baik pahala ataupun siksa)
dari apa yang ia perbuat sendiri. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu juga
menjelaskan bahwa setelah seseorang itu meninggal, maka terputuslah segala amal
yang dapat bermanfaat baginya. Adapun beberapa dalil yang menjelaskan tentang
sampainya amal dan pahala – yang sama-sama disebutkan oleh kelompok pertama maupun
kedua – merupakan kasus-kasus tertentu sebagai pengkhususan (takhshish) atas
keumuman ayat. Oleh karena itu, tidak bisa ia diqiyaskan dengan kasus-kasus
(amal-amal) lain secara mutlak. Apalagi telah shahih perkataan Ibnu ’Abbas
radliyallaahu ’anhuma yang menguatkan tarjih ini :
لا يصلي أحد عن أحد ولا يصوم
أحد عن أحد ولكن يطعم عنه مكان كل يوم مدا من حنطة
”Seseorang tidak boleh shalat untuk
menggantikan shalat orang lain, dan tidak pula puasa untuk menggantikan puasa
orang lain. Akan tetapi memberikan makanan darinya setiap hari sebanyak satu
mud biji gandum” [HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 2918 dan Ath-Thahawi dalam
Musykilul-Aatsaar 3/141; shahih].
Pemahamannya adalah, kita tidak diperkenankan untuk
melakukan shalat (baik shalat wajib atau sunnah) bagi orang lain (baik yang
masih hidup, apalagi yang telah meninggal). Begitu pula dengan amalan puasa.
Yaitu hadits : ”Barangsiapa yang meninggal dunia dan
ia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya”
; terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis puasa yang dimaksud. Apakah ia
merupakan jenis puasa Ramadlan, puasa qadla’, puasa nadzar, atau puasa yang
lainnya ? Yang rajih, puasa yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah puasa
nadzar. Penunjukan tersebut dijelaskan dalam hadits yang lain :
عن بن عباس : أن امرأة ركبت البحر
فنذرت إن نجاها الله أن تصوم شهرا فنجاها الله فلم تصم حتى ماتت فجاءت ابنتها أو أختها
إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرها أن تصوم عنها
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya
ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika Allah menyelematkan
ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun kemudian
menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya) hingga ia
meninggal dunia. Maka datanglah anak perempuannya atau saudara perempuannya
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkannya
untuk berpuasa untuknya” [HR. Abu Dawud no. 3308; shahih].
Selain itu alasan yang menjadi latar belakang tarjih ini
adalah :
· Prinsip dasar dalam ibadah yaitu tawaquf (diam) sampai
terdapat dalil yang menunjukkan disyari’atkannya. Sedangkan di sini hanya
terdapat dalil yang menunjukkan pensyariatan sebagian saja, sehingga diharuskan
meninggalkan selain itu.
· Tidak pernah terdengar pada masa Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam dan juga masa para shahabatnya bahwa ada seseorang yang
membaca Al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahalanya kepada si mayit. Kalaupun
itu merupakan kebaikan, pastilah mereka telah mendahului kita untuk
mengerjakannya, karena mereka adalah orang yang paling mengetahui agama Allah
dan Rasul-Nya.
· Pemberlakuan qiyas terhadap ibadah-ibadah yang
diterangkan oleh dalil dapat membukakan pintu buat ahli bid’ah untuk memasukkan
apa saja yang mereka sukai ke dalam agama Allah.
· Bahwa para ahli bid’ah di masa sekarang telah
mengada-adakan hal-hal yang bathil, seperti mengupah para qaari’ untuk membaca
Al-Qur’an dan sebagainya, yang seringkali dilakukan terhadap jenazah beberapa
waktu setelah kematiannya. Oleh karena itu, menutup pintu ini berarti tidak
memberikan peluang kepada mereka untuk berbuat sesukanya.
· Kebanyakan manusia pada masa sekarang (kecuali
orang-orang yang dirahmati oleh Allah) telah melupakan ibadah-ibadah yang
disyariatkan, yang terdapat dalil shahih tentang bolehnya menghadiahkan pahala
kepada mayit; sebaliknya, mereka berpegang kepada apa-apa yang tidak terdapat
dalil padanya.
Semoga tulisan ringkas ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi kita semua. Amien.
allaahu a’lam bish-shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar