Syiah memiliki hari raya paling
besar, melebihi keagungan hari
raya Idul Fithri dan Idul Adha.
Hari raya itu mereka sebut dengan Idul Ghadir (hari raya ghadir). Peristiwa
ghadir menjadi momentum bersejarah yang paling berharga bagi syiah. Menurut
Ulama Syiah, Idul
Ghadir adalah hari ketika Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai
Khalifah pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka mengklaim
bahwa Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menunjuk Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah.
Apa itu Ghadir Khum?
Selanjutnya kita akan menyimak lebih dekat apa itu
peristiwa ghadir khum dan ada apa dengan hari ghadir khum?
Ghadir [arab: غدير] secara bahasa artinya sungai kecil yang
dialiri air. (Mu’jam al-Wasith, 2/200).
Sementara Khum [arab: خم] adalah nama sebuah lembah yang banyak
pepohonannya jaraknya 3 mil dari arah Juhfah, atau sekitar 250 km di sebelah
utara Mekah. Artinya, jarak Khum dengan madinah sekitar 150 km.
Gabungan dua kata ini berarti, lembah yang banyak
pepohonannya, ada sungai kecil, yang bernama Khum. (Ta’liq shahih Muslim
Muhammad Fuad Abdul Baqi, hadis no. 2408).
Disebut hadis Ghadir Khum, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyampaikan hadis ini di sebuah ghadir yang bernama
Khum. Peristiwa tersebut terjadi pada haji, di sela-sela perjalanan pulang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji
wada’. Atau kurang lebih tiga bulan sebelum beliau meninggal dunia.
Tinjauan Hadis Ghadir Khum
Tentang peristiwa ghadir khum disebutkan dalam hadis dari
Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu. Beliau bercerita,
Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkhutbah di hadapan para sahabat, di pinggir sungai kecil
yang bernama Khum. Lembah antara Mekah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan
memberikan nasehat kepada para sahabat. Kemudian beliau bersabda,
أَمَّا بَعْدُ، أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ
ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا
بِكِتَابِ اللهِ، وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ” فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ
فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: «وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي،
أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي»
فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ: وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ؟ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ
مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟ قَالَ: نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَلَكِنْ أَهْلُ
بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ، قَالَ: وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ آلُ
عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ، وَآلُ جَعْفَرٍ، وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ: كُلُّ هَؤُلَاءِ
حُرِمَ الصَّدَقَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ
”Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia
biasa. Utusan Rabbku segera datang memanggilku sehingga aku harus memenuhinya.
Kutinggalkan pada kalian dua hal yang berharga: pertama adalah kitab Allah, di
dalamnya terkandung petunjuk dan cahaya, maka berpegang teguhlah pada kitab
Allah sekuat tenaga kalian.”
Zaid melanjutkan, “Lantas beliau menganjurkan agar
mempelajari kitab Allah dan mencintainya. Kemudian beliau melanjutkan
khutbahnya,
”Dan juga keluargaku. Aku ingatkan kalian untuk takut
kepada Allah perihal keluargaku. Aku ingatkan kalian untuk takut kepada Allah
perihal keluargaku. (beliau ulangi 3 kali).”
Hushoin bertanya kepada Zaid, bertanya, “Siapakah
keluarga Nabi itu, wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau juga termasuk
keluarga beliau?” Zaid menjawab, ”Benar. Tetapi keluarga beliau adalah
orang-orang yang haram menerima sedekah sepeninggal beliau.”
Ia kembali bertanya, ”Siapakah mereka?” Zaid pun
menjawab, ”Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan
keluarga Abbas.”
Hushoin bertanya lagi, “Apakah mereka semua tidak boleh
menerima sedekah?” Zaid menjawab,”Ya.” (HR. Muslim no 2408).
Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya,
dan kita sepakat untuk menerima dan mengakui hadis ini. Karena itu, ketika
syiah mengatakan bahwa kelompok Sunni tidak mengakui hadis ghadir khum, ini
jelas tuduhan dusta.
Disamping hadis riwayat Muslim di atas, ada beberapa
kalimat tambahan yang disebutkan dalam riwayat lain, diantaranya,
Tambahan pada riwayat Ahmad, Nasai dan Tirmidzi serta
lainnya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyatakan dalam
peristiwa itu,
من كنت مولاه فعلي مولاه
“Siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah
pemimpinnya.” (HR. At-Tirmidzi 3713, Ahmad, 5/374, dan Mustadrak
Hakim, 3/110).
Ada juga tambahan lain, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyatakan,
اللهم والي من ولاه وعاد من عاداه
”Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya (Ali),
musuhilah orang yang memusuhinya.”
Ada juga tambahan.”
وانصر من نصره وأخذل من خذله وأدر الحق معه حيث دار
“Bela orang yang membelanya, rendahkanlah orang yang
merendahkannya, dan sertakanlah kebenaran bersamanya di manapun dia berada.”
Dari berbagai riwayat hadis tentang ghadir Khum, Dr.
Utsman al-Khamis mengklasifikasi hadis ini menjadi empat tingkatan:
- Hadis riwayat Muslim, yang TIDAK ada kalimat, “Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”
- Tambahan yang terdapat pada riwayat Tirmidzi, Ahmad, Nasai dan lainnya, yaitu kalimat, “Barang siapa yang aku menjadi kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.”
- Tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad, “Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya.”;
- Tambahan yang diriwayatkan oleh Thabrani dan lainnya, ”Bela orang yang membelanya, rendahkanlah orang yang merendahkannya, dan sertakanlah kebenaran bersamanya di manapun dia berada.”
Kesimpulan untuk hadis Ghadir Khum dan tambahan
riwayatnya,
- Riwayat yang tercantum dalam Shahih Muslim, kita menerima semua riwayat yang ada dalam Shahih Muslim.
- Untuk tambahan kedua, hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad serta lainnya. Pendapat yang kuat bahwa hadits kedua ini shahih. Meskipun ada sebagian ulama yang mendhaifkannya, diantaranya Ishaq al-Harbi, Syaikhul Islam, Ibnu Hazm, dan yang lainnya.
- Sementara tambahan yang ketiga, diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menilainya shahih dan sebagian menilainya dhaif.
- Sedangkan untuk tambahan yang keempat, itu merupakan kedustaan murni yang dibuat atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syubuhat Syi’iyah, hlm. 53).
Kesimpulan Syiah dari Hadis Ghadir Khum
Hadis ghadir khum di atas, digunakan orang Syiah
sebagai dalih untuk menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
adalah orang yang paling berhak menjadi khilafah sepeninggal Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam secara langsung. Mereka beralasan, bahwa maksud
sabda Nabi “Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah
pemimpinnya” adalah kekasih yang berarti hakim (penguasa) atau khilafah.
Akan tetapi penduduk Madinah yang mendengar hadis ini
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua berkhianat. Sepeninggal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diangkat menjadi Khalifah adalah
Abu Bakr, kemudian Umar, kemudian Utsman, dan baru yang keempat, Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhum.
Karena alasan ini, mereka mengkafirkan sahabat Abu Bakr,
Umar, Utsman, dan beberapa sahabat senior di Madinah. Mereka dituduh oleh
syiah, telah merebut kekuasaan Ali bin Abi Thalib.
Laa haula wa laa quwwata illa billah… sejak
kapan sahabat sampai rebutan kekuasaan? Padahal mereka berusaha menolak ketika
ditunjuk sebagai khalifah. Lalu dengan logika apa, pernyataan ’Barang siapa
yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya’ bisa disimpulkan
bahwa itu adalah penobatan Ali sebagai khalifah?
Bukankah ini kesimpulan yang terlalu dipaksakan?
Syiah dan Hadis Ghadir Khum
Dalam hadis Ghadir khum,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang aku menjadi
pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”
Pernyataan ini
selanjutnya dijadikan dasar oleh syiah bahwa Ali telah diangkat sebagai
Khalifah di Khum.
Namun para penduduk madinah tidak amanah, dan mengkhianati pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khum. Sehingga yang ditunjuk
sebagai khalifah sepeninggal Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bukan
Ali tapi Abu Bakr.
Ada beberapa
catatan untuk menyatakan bahwa kesimpulan syiah tentang hadis ghadir khum
adalah kesimpulan yang ngawur,
Pertama, Catatan Sisi Geografis
Bagi syiah,
masalah kepemimpinan merupakan masalah paling penting. Sampai mereka berani
mengkafirkan Abu Bakr, Umar, Utsman, dan beberapa sahabat lainnya, sebabnya
kembali pada masalah kepemimpinan.
Karena ini
masalah sangat penting, seharusnya Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam akan
menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sebelum beliau meninggal. Bagi
Syiah, di Ghadir
Khum, Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam menyampaikan
khutbah tentang Ali, dengan maksud kekhalifahan, yang berarti Rasulullah
menginginkan agar Ali menjadi khalifah sepeninggal beliau.
Sanggahan Untuk Syiah
Jika
kepemimpinan Ali adalah satu hal yang sangat penting sekali, bukankah
seharusnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan ini kepada seluruh
jamaah haji ketika di arafah? Karena ketika di Arafah, semua jamaah haji dari
berbagai negeri berkumpul. Tidak hanya penduduk madinah, tapi seluruh penjuru
jazirah arab. Sehingga apabila penduduk Madinah berkhianat, dan mereka lebih
memilih Abu Bakr sebagai khalifah, maka umat muslim yang lainnya dari luar
Madinah bisa menjadi saksi akan hal itu.
Sementara
jarak lembah Khum dengan Mekah sekitar 250 km. Dan jarak antara Mekah dan
Madinah adalah 400 km. Artinya, beliau telah melakukan separuh perjalanan,
lebih dekat dengan kota Madinah. Sehingga bisa dipastikan, jamaah haji dari
Mekah, atau pelosok daerah lainnya, tidak mengetahui kejadian di ghadir khum.
Sebagaian
tokoh Syiah menyanggah, bahwa ketika itu (di hari Arafah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam takut menyampaikan masalah khilafah
ini kepada seluruh jamaah haji. Beliau takut sabdanya ditolak, dan beliau takut
pada jamaah haji yang jumlahnya ribuan, sehingga tidak beliau sampaikan, dan
hanya menyampaikannya kepada penduduk Madinah.
Anda yang
mendengar, tentu akan berkomentar, Pantaskah seorang Nabi takut pada para sahabat?
Kedua, Catatan Sisi Moral
Mereka yang
mendengar khutbah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika
di Khum adalah masyarakat Madinah. Sehingga pesan ini didengar oleh Abu Bakr,
Umar, Utsman, Ali sendiri, dan para sahabat senior lainnya.
Menurut syiah,
ada dua kemungkinan mengapa Ali bin Abi Thalib tidak diangkat sebagai khalifah
pertama oleh para penduduk Madinah, (1) Para sahabat tidak paham dengan pesan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam
khutbah tersebut. (2) Para sahabat berkhianat terhadap pesan tersebut, sehingga
mereka tidak mengangkat Ali sebagai khalifah pertama.
Dan dua
kemungkinan ini jelas tidak bisa diterima.
Apakah mungkin
semua sahabat yang tinggal bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di
Madinah tidak memahami maksud pesan beliau di Khum? Para sahabat tidak paham,
sementara syiah paham? Berarti para sahabat yang berada di sekitar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang bodoh, sampai pesan yang demikian
penting mereka tidak pahami.
Kata syiah,
mereka paham, tapi mereka berkhianat. Allahu akbar…
Berarti
manusia yang berada di sekitar Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah
para pengkhianat. Yang itu berarti Allah membiarkan nabi-Nya bersama para
pengkhianat.??
Para sahabat
adalah para pengkhianat, dan syiah manusia paling amanah??!!
Ketiga, Catatan Latar Belakang Khutbah Ghadir Khum
Berikutnya
kita perlu mengetahui latar belakang mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa yanga aku menjadi
kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.” Karena salah satu cara
untuk memahami maksud Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah
memahami sababul wurud hadis. Dengan demikian, kita bisa memahami hadis lebih
komprehensif.
Ada dua
analisis yang dijelaskan para ulama menganai latar belakang khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum.
Analisis pertama, disimpulkan dari dua hadis berikut,
Hadis pertama,
Dari Imran bin Hushoin radhiyallahu
‘anhu, beliau bercerita,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan. Dan beliau meminta
Ali untuk mengambil harta rampasan perangnya. Beliaupun menemui pasukan perang
itu, dan mengambil seorang tawana (budak) wanita, kemudian beliau
menyetubuhinya. Para sahabatpun mengingkari sikap Ali bin Abi Thalib. Dan ada 4
sahabat yang berjanji, ’Jika kita telah sampai Madinah, akan kita sampaikan apa
yang dilakukan Ali.’ Kebiasaan kaum muslimin, sepulang mereka dari safar,
mereka mulai dengan menemui Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, memberi salam beliau, kemudian baru kembali ke
rumahnya masing-masing.
Ketika pasukan
perang ini sampai di Madinah, mereka memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah satu dari 4 sahabat tadi
melaporkan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ صَنَعَ
كَذَا وَكَذَا
”Wahai
Rasulullah, tahukan anda bahwa Ali telah melakukan tindakan demikian dan
demikian”
Namun
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berpaling
dan tidak mengindahkan laporan mereka. Orang kedua gantian melaporkan yang
sama, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempedulikannya. Orang ketiga
juga demikian, dan terakhir orang keempat. Semuanya diacuhkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangi mereka dan nampak ada
suasana marah di wajah beliau,
مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيدُونَ
مِنْ عَلِيٍّ؟ إِنَّ عَلِيًّا مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ، وَهُوَ وَلِيُّ كُلِّ
مُؤْمِنٍ مِنْ بَعْدِي
”Apa yang
kalian inginkan terhadap Ali? Apa yang kalian inginkan terhadap Ali? Apa yang kalian
inginkan terhadap Ali? Sesungguhnya Ali bagian dariku dan aku bagian darinya.
Dia menjadi kekasih setiap mukmin sepeninggalku.” (HR. Turmudzi 3712 dan dishahihkan al-Albani).
Hadis kedua,
kasus sama dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu agar mendatangi
Khalid, untuk mengambil seperlima. Dan aku menjadi benci dengan Ali, karena dia
telah mandi junub (karena menyetubuhi tawanan/budak). Akupun menyampaikannya
kepada Khalid, ’Lihat apa yang dilakukan Ali.’
Sesampainya
kami kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, akupun ceritakan kejadian itu kepada Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda,
«يَا بُرَيْدَةُ أَتُبْغِضُ عَلِيًّا؟» فَقُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ:
«لاَ تُبْغِضْهُ فَإِنَّ لَهُ فِي الخُمُسِ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ»
”Hai Buraidah,
apakah kamu membenci Ali.” Aku jawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda, “Janganlah kamu
membencinya, karena dia berhak mendapatkan seperlima yang lebih banyak dari
pada seorang budak itu.” (HR. Bukhari
4350).
Cerita Selengkapnya
Sebelum
berangkat haji, dan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam masih
berada di Madinah, beliau telah mengirim Khalid bin walid ke Yaman untuk suatu
pertempuran. Setelah Khalid bin Walid menang dalam tugas jihadnya, dia mengirim
berita kepada Nabi, “Sesungguhnya kami menang dan mendapatkan harta rampasan.
Maka kirimkanlah orang kepada kami untuk mengambil seperlima dari harta
rampasan perang ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi
Thalib ke Yaman untuk mengambil seperlima ghanimah itu dan memerintahkannya
agar segera kembali untuk bisa bersama beliau ke mekah melaksanakan haji.
Dalam aturan
jihad, ghanimah tersebut, dibagi menjadi lima: 4/5nya untuk para pejuang,
sedangkan 1/5nya untuk dibawa Ali. Harta ghanimah yang dibawa Ali itupun akan
dibagi menjadi lim lagi: 1/5 untuk Allah dan Rasul, 1/5 untuk kerabat Rasul,
1/5 untuk anak-anak yatim, 1/5 untuk kaum miskin dan 1/5 untuk Ibnu Sabil.
Ali mengambil
bagian yang menjadi hak kerabat Nabi, karena dia pemimpin kerabat beliau.
Wujudnya adalah hewan seperti kuda, bighal, onta, sapi, kambing dan juga
tawanan (budak) wanita, anak-anak, atau laki-laki dewasa. Ali mengambil seorang
tawanan wanita lalu menggaulinya.
Sebagian
sahabat, termasuk Buraidah, menjadi marah dengan sikap Ali. Bagaimana bisa Ali
melakukan hal tersebut? Dia mengambil seorang tawanan wanita dari bagian
kerabat Rasulullah. Harusnya di Madinah dia mengambil tawanan itu, bukan di
sini.
Berita tentang
Ali ini sangat memungkinkan tersebar di seluruh penjuru Madinah. Sehingga untuk
mengembalikan nama baik Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membenarkan sikap beliau, dan menyatakan, ”Dia menjadi kekasih setiap
mukmin sepeninggalku” (Syubuhat Syi’iyah, hlm. 49 – 50)
Analisis kedua, disimpulkan dari riwayat al-Baihaqi dari hadis Abu Said
al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa setelah Ali pulang dari Yaman, beliau
langsung menuju Mekah. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertolak
dari Madinah menuju Mekah untuk berhaji. Ali membawa beberapa onta zakat dan
pakaian.
Di perjalanan,
Ali menunjuk salah satu sahabat untuk menggantikan posisi beliau dan Ali
menyuruh rombongan untuk mendahului beliau. Beliau melarang semua sahabat
menaiki onta-onta tersebut dan melarang memakai pakain yang dibawa rombongan.
Setelah Ali
menyusul, ternyata beberapa onta telah dinaiki dan beberapa kain telah dipakai
para sahabat. Alipun memarahi mereka dengan keras, sehingga membuat beberapa sahabat
merasa tidak nyaman dengan sikap Ali. Diantaranya Abu Said al-Khudri. Setelah
mereka ketemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekapun menyampaikan sikap
Ali ini. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan sikap Ali, dan
bersabda kepada mereka,
فإني علمت أن عليا قد أحسن فلا تبغضوا عليا
“Saya tahu
sikap Ali, dia benar dalam bersikap, karena itu, janganlah kalian marah kepada
Ali.”
Al-Hafidz Ibnu
Katsir menilai riwayat Baihaqi ini sanadnya shahih. Kemudian beliau
menjelaskan,
أنه عليه السلام خطب بمكان بين مكة والمدينة مرجعه من حجة الوداع قريب من
الجحفة يقال له غدير خم فبين فيها فضل علي بن أبي طالب وبراءة عرضه مما كان تكلم
فيه بعض من كان معه بأرض اليمن بسبب ما كان صدر منه اليهم من المعدلة التي ظنها
بعضهم جورا وتضييقا وبخلا والصواب كان معه في ذلك
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di lembah antara Mekah dan
Madinah, sepulang dari haji Wada’, dekat dengan daerah juhfah, namanya Ghadir
Khum. Di sana, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan Ali bin
Abi Thalib dan beliau membersihakn nama Ali, dari setiap komentar beberapa
sahabat yang bersama beliau dari Yaman, karena kebijakan Ali terhadap mereka,
yang mereka anggap sebagai tindakan kedzaliman dan sikap bakhil. Padahal yang
benar adalah sikap Ali.
Kemudian Ibnu
Katsir kembali menegaskan,
ولهذا لما تفرغ عليه السلام من بيان المناسك ورجع الى المدينة بين ذلك في
أثناء الطريق فخطب خطبة عظيمة في اليوم الثامن عشر من ذي الحجة عامئذ وكان يوم
الأحد بغدير خم تحت شجرة هناك فبين فيها أشياء وذكر من فضل علي وأمانته وعدله
وقربه اليه ما أزاح به ما كان في نفوس كثير من الناس منه
Karena itu,
setelah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam selesai
manasik, dan kembali ke Madinah, di tengah jalan pada tanggal 18 Dzulhijjah di
tahun yang sama, bertepatan dengan hari Ahad di Ghadir Khum, di bawah pepohon,
beliau menyampaikan khutbah yang sangat menyentuh. Beliau jelaskan beberapa
hal, dan menyebutkan keutamaan Ali, bagaimana amanahnya Ali, keadilannya, dan
kedekatannya dengan beliau. Yang ini akan menghilangkan ketidak-nyamanan di
hati banyak sahabat terhadap Ali radhiyallahu
‘anhum. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 5/208).
Berdasarkan
keterangan ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di ghadir Khum, bukan dalam rangka
menobatkan Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau. Jelas ini kesimpulan yang
salah. Tapi dalam rangka membersihkan nama baik Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu.
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar