Berhias disukai dan diminati
oleh manusia karena berhias berarti keindahan dan jiwa manusia cenderung kepada
keindahan, kecenderungan kepada keindahan ini dimiliki oleh laki-laki, di
samping ia juga dimiliki oleh wanita. Suami berharap istrinya tetap menarik,
membahagiakan jika dipandang, istri berharap suaminya berpenampilan baik sesuai
dengan kelaki-lakiannya, hanya saja kecenderungan wanita lebih kepada menghiasi
diri, sementara kecenderungan laki-laki lebih kepada menikmati perhiasan, dari
sini maka tulisan ini lebih fokus kepada berhias dari sisi wanita atau istri.
Dalam lingkup rumah tangga
berhiasnya seorang istri untuk suami merupakan perkara yang tidak patut
disepelekan, hal ini karena tabiat suami sebagai laki-laki menyukai kecantikan
dan keindahan, kalau dia tidak mendapatkan ini dari istri, lalu dari mana dia
mendapatkannya. Dalam konteks membahagiakan suami dengan cara-cara yang tidak
melanggar batas-batas agama bisa bernilai sebagai sebuah ibadah yang mulia,
karena hal tersebut sebagai wujud kecintaan dan kataatan istri kepada suami.
Hukum berhias
Pada dasarnya berhias atau
perhiasan dibolehkan, tidak dilarang kecuali apa yang dilarang oleh dalil, ia
termasuk salah satu nikmat Allah kepada hamba-hambaNya, Allah telah mengingkari
siapa pun yang mengharamkan perhiasan yang Dia sediakan untuk hamba-hambaNya.
Firman Allah, “Katakanlah,
‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk
hamba-hambaNya dan (siapa pula yang mengharamkan) rizki yang baik?’ Katakanlah,
‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,
khusus (untuk mereka saja) di Hari Kiamat." (Al-A’raf: 32).
Imam al-Bukhari meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, “Aku menyaksikan shalat Id bersama Nabi saw, beliau shalat sebelum
khutbah… lalu Nabi saw mendatangi para wanita, beliau memerintahkan mereka
bersedekah, maka mereka melemparkan cincin dan kalung dan Bilal menadahinya
dengan kainnya.”
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul
Bari 10/330 menyebutkan bahwa al-Bukhari meriwayatkan secara muallaq
bahwa Aisyah mempunyai beberapa cincin emas, Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa
riwayat ini diriwayatkan secara maushul oleh Ibnu Saad.
Demi siapa seorang istri
berhias
Ladang ibadah seorang istri
adalah suami, dari sini maka hendaknya apa yang dia lakukan pada dirinya adalah
semata-mata demi suami termasuk berhias dan mempercantik diri, jika niat istri
dalam berhias adalah demi suami maka hal tersebut bernilai ibadah, di samping
itu istri tidak akan memperlihatkan perhiasan dirinya kepada orang lain, karena
dia memang berhias hanya untuk suami semata bukan untuk orang lain.
Imam Abu Dawud meriwayatkan
dari Aisyah berkata, Rasulullah saw datang kepadaku sementara di tanganku
terpasang gelang dari perak, beliau bertanya kepadaku, “Ini apa wahai Aisyah?”
Aku menjawab, “Aku melakukannya dengan maksud berhias untukmu.” Nabi saw
bertanya, “Kamu menzakatinya?” Aku berkata, “Tidak, masya Allah.” Nabi saw
bersabda, “Ia adalah bagianmu dari neraka.”
Kita melihat dalam hadits ini
apa yang dilakukan oleh Aisyah dengan memakai gelang dari perak dalam rangka
berhias demi suaminya yaitu Rasulullah saw dan beliau tidak mengingkarinya,
yang beliau persoalkan dalam hadits di atas adalah sisi yang tidak berkait
dengan pembicaraan kita yaitu zakat perhiasan.
Yang terjadi saat ini dan
pada zaman ini adalah kebalikannya, seorang istri tidak hanya berhias untuk
suaminya semata, akan tetapi di samping untuk suaminya, dia juga berhias untuk
selain suami, bahkan sebagian istri tidak berhias untuk suami, tetapi justru
berhias untuk orang lain, bukti dari hal ini adalah berhiasnya sebagian istri
pada saat dia keluar rumah, sementara di dalam rumah, istri tidak memperhatikan
dirinya, pakaiannya ala kadarnya dan rambutnya tidak tertata rapi, tidak
masalah kalau suami sedang tidak di rumah, tetapi yang sering hal itu terjadi
pada saat suami sedang berada di rumah, namun begitu ada acara di luar rumah,
maka dia akan berdandan habis, untuk siapa? Jadi suami tidak meraih yang khusus
dari istrinya, sebagian jatahnya diberikan kepada orang lain.
Kepada siapa wanita
menampakkan perhiasannya
Kepada orang-orang yang
disebutkan oleh Allah dalam firmanNya, “Dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami
mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau
saudara-saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara lelaki mereka atau
putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam atau budak-budak
yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan.” (An-Nur: 31).
Dalam ayat ini Allah
menjelaskan siapa-siapa yang boleh melihat perhiasan seorang wanita, di samping
suami yang memang berhak mendapatkan bagian terbesar dan terkhusus, ada pula
para mahram dan orang-orang di mana terlihatnya perhiasan wanita kepada mereka
tidak menimbulkan fitnah dan kerusakan.
Macam-macam perhiasan
Pada dasarnya berhias dan
perhiasan terbagi menjadi dua; perhiasaan bawaan atau pemberian dan perhiasan
buatan. Yang pertama berarti perhiasan yang sudah dibawa atau dimiliki oleh
seorang wanita sebagai pemberian dari Allah seperti kecantikan wajah dan
keindahan tubuh. Yang kedua berarti perhiasan yang dihasilkan dan dilakukan
oleh seorang wanita dalam upaya menjaga dan menambah perhiasan yang pertama
seperti pakaian, make up, perlengkapan perhiasan, emas, perak dan sebagainya.
Perhiasan pertama yang
merupakan karunia ilahi, seorang wanita tidak memiliki upaya dalam bagian ini,
karena ia merupakan jatah dari ‘sana’, maka dia harus menerimanya dengan rela,
tidak perlu menggerutu dan meratapi jatah, lebih-lebih melakukan usaha-usaha merubah
ciptaan Allah, tidak perlu, karena pada dasarnya Allah menciptakan kaum hawa
ini dengan kecantikan dan keindahan, masing-masing memiliki porsi darinya yang
sudah ditakar oleh sang Pemberi, di lain pihak penilaian terhadap kecantikan
bersifat relatif dan yang penting bagi seorang wanita adalah suami, jika suami
sendiri ma fi musykilah dan menerima bahkan memandangnya yang terbaik
dan tercantik, maka hendaknya dia bersyukur, karena dia memang demikian
walaupun hanya di mata suami, tetapi itu lebih dari cukup. Mau penilaian dari
siapa? Orang lain? Tidak perlu, memang dia itu siapa?
Barangkali yang perlu dan
bisa dilakukan adalah menjaga, banyak hal yang bisa dilakukan demi menjaga ini,
misalnya menjaga makanan, makan makanan yang berimbang sehingga tubuh tetap
langsing dan tidak melebar, makan sayur dan buah-buahan sehingga tubuh terlihat
segar, minum jamu atau ramuan-ramuan tertentu, beristirahat yang cukup sehingga
kesehatan terjaga, berolah raga sebatas yang diizinkan dan mungkin dilakukan,
dan masih banyak lagi perkara-perkara yang bisa dilakukan demi menjaga
perhiasan bawaan dan pemberian ilahi ini, tidak masalah selama motivasi istri
dalam melakukannya adalah hanya untuk suami seorang.
Dari sisi penciptaan wanita
sudah merupakan perhiasan, karena Allah menciptakan kaum Hawa dengan ciptaan
yang berbeda dengan kaum Adam, jika kaum Adam diciptakan dengan kecenderungan
kepada kekuatan dan kejantanan, maka kaum Hawa diciptakan dengan kelembutan dan
kecantikan, perhiasan berarti keindahan dan kecantikan, jadi dari sisi
penciptaan kaum Hawa sudah merupakan perhiasan. Namum demikian seorang wanita
bisa dan boleh mempercantik dan memperindah diri dengan menggunakan
sarana-sarana yang diizinkan secara syar’i dan dorongan melakukannya hanya demi
suami seorang tidak lain.
Beberapa hal yang bisa
dijadikan oleh seorang wanita untuk berhias
1- Kecerdikan dan kepintaran, manusia bukan sekedar tongkrongan atau
penampilan jasmani semata, tanpa akal yang cerdik, manusia hanyalah kumpulan
dari daging, darah dan tulang, tidak berharga, kecerdikan dan kepintaran
menghiasi diri manusia, mengangkat derajatnya, meningkatkan daya tawarnya,
demikian pula dengan wanita, seorang laki-laki tidak memilih wanita sebatas
pertimbangan jasad atau tubuh semata, walaupun di antara laki-laki ada yang
seperti itu, tetapi itu tidak umum di samping keliru, hukum umum berlaku bahwa
ada pertimbangan lain selain jasad yang membuat seorang laki-laki memutuskan
memilih sorang wanita, pertimbangan tersebut adalah kecerdikan dan kepintaran,
penulis yakin tidak sedikit kaum Adam lebih memilih wanita yang mungkin, dari
sisi kecantikan dalam penilaian umum, biasa-biasa saja, padahal penilaian ini
sering bersifat subyektif, tetapi dia memiliki nilai kepintaran dan kecerdikan
lebih dibanding dengan wanita yang mungkin cantik mempesona tetapi dongok
atau tulalit, akalnya pas-pasan, yang kalau diajak berbicara atau
berkomunikasi atau diminta mengerjakan sesuatu selalu ‘capek deh’.
Istri sebagai garda rumah
tangga memikul tugas dan tanggung jawab yang tidak sepele atau remeh, tugasnya
besar dan berat, tanggung jawabnya memerlukan akal dan kepandaian, kepandaian
mengatur rumah tangga secara umum yang meliputi keuangan, suami, anak-anak dan
lain-lainnya. Dalam perkara keuangan atau ekonomi misalnya, bisa jadi tiang
rumah tangga tidak begitu besar dan kokoh, tetapi dengan kecerdikannya istri
mampu mengolah tiang yang tidak seberapa besar ini sehingga ia mampu menopang
pasak, rumah tangga pun aman dari sisi finansial. Dalam perkara hubungan antara
dirinya sendiri dengan suami misalnya, terkadang atau bahkan sering terjadi
kesalapahaman dan ketidakselarasan yang memicu konflik dan percekcokan, istri
yang pandai bisa dan mampu keluar atau memberi solusi baik lagi bijak sehingga
konflik tersebut berakhir dengan happy ending. Dalam hubungannya dengan
anak-anak, sebagai sekolah pertama dan pendidik vital bagi mereka, ibu mutlak
harus memiliki ilmu alias kepandaian, orang-orang Arab berkata, faqidus
syai` la yu’thi, orang yang tidak memiliki tidak memberi, lha apa yang mau
dia berikan sementara dia sendiri tidak memiliki.
Jika wanita-wanita tumbuh
dalam kebodohan
Maka anak-anak menyusu
kebodohan dan kedunguan
Istri-istri Rasulullah saw
adalah wanita-wanita yang pandai lagi cerdik, Khadijah yang mendampingi beliau
di awal-awal perjuangan dakwah, dukungannya memberikan ketenangan bagi beliau,
kepandaiannya menghadirkan keteguhan bagi beliau, perkataannya yang cerdas
merupakan suntikan moral dan dukungan spiritual yang memantapkan langkah
beliau, ketika beliau berkeluh kesah kepadanya, “Aku takut terhadap diriku.”
Khadijah menjawab, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu, engkau
berbicara benar, menyambung ikatan rahim, menunaikan amanat, memuliakan tamu
dan membantu kesulitan dalam kebenaran.” Tidak heran manakala Khadijah wafat,
Rasulullah saw sangat kehilangan dan bersedih.
Setelah itu hadir Aisyah yang
kepandaian dan ilmunya tidak diragukan, dia sebagai rujukan dan tempat
bertannya orang-orang berilmu dari para sahabat dan tabiin pada masanya,
ilmunya dari Rasulullah saw telah dinikmati oleh umat dalam skala yang besar,
mustahil semua itu terwujud tanpa kecerdikan dan kecerdasan.
Hal sama pada istri-istri
Rasulullah saw lainnya kemudian para wanita sahabat, salah satu contohnya
adalah Asma` binti Umais, istri Ja’far bin Abu Thalib kemudian Abu Bakar
ash-Shiddiq kemudian Ali bin Abu Thalib, Asma` ini wanita cerdik, buktinya dia
bersuamikan tiga orang mulia dari umat ini, salah satu bukti kecerdikannya
adalah ketika Ali bin Abu Thalib menikahinya, kedua putranya Muhammad bin
Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar saling membanggakan diri. Masing-masing
berkata, “Aku lebih mulia darimu, bapakku lebih baik daripada bapakmu.” Ali
berkata kepada Asma’, “Wahai Asma’ kamu yang menjadi pengadil di antara mereka
berdua.” Asma’ berkata, “Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik daripada
Ja’far, dan aku tidak melihat orang tua yang lebih baik daripada Abu Bakar.”
Ali berkata, “Kamu tidak menyisakan sedikit pun bagi kami. Seandainya kamu
berkata lain niscaya aku akan memarahimu.” Asma’ berkata, “Sesungguhnya tiga
orang di mana kamu adalah yang paling muda adalah orang-orang terpilih.”
Jadi, diri Anda, wahai istri,
adalah perhiasan bagi suami, Anda akan lebih menawan baginya jika Anda didukung
dengan kepintaran dan kecerdikan.
2- Akhlak
mulia
Akhlak
mulia, perilaku baik dan perangai berbudi merupakan perhiasan bagi seseorang,
betapapun tampan atau cantiknya seseorang secara fisik, jika yang bersangkutan
tidak didukung dengan perkara yang satu ini, ketampanan atau kecantikannya
tidaklah berarti, orang-orang cenderung menghindari seseorang yang berakhlak
buruk meskipun dari sisi casing dia menawan dan menarik, mereka lebih
melihat kepada perilaku dan pembawaan daripada melihat kepada tongkrongan,
di samping itu pada saat ketampanan atau kecantikan ini sedikit demi sedikit
memudar seiring dengan bertambahnya umur dan pada akhirnya hanya bekas yang
tertinggal, pada saat itu kemuliaan akhlak dan keluhuran budi tetap eksis
menghiasi pemiliknya.
Dalam
konteks rumah tangga, berhiasnya anggota rumah tangga dengan perkara yang satu
ini merupakan harga mati, tidak perlu ditawar, nilai positif dan input
baiknya memberi dampak mulia dan berharga bagi rumah tangga, rumah menjadi
tenang dan tenteram, yang terdengar adalah kata-kata baik, yang terlihat adalah
sikap bijak, yang nampak adalah perlakuan luhur, semua ini membuat hubungan dan
interksi di antara anggota keluarga berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Sebaliknya Anda sebagai istri misalnya, silakan membayangkan jika suami berperilaku
buruk, berkata-kata tidak sopan, bertindak kasar kepada Anda atau kepada
anak-anak, intinya dari sisi akhlak suami buruk, bayangkan bagaimana rumah
tangga Anda? Atau sebaliknya sebagai suami, istri Anda demikian, Anda tidak
melihat darinya selain sikap dan perilaku yang buruk, Anda tidak mendengar
darinya selain kata-kata sampah, bagaimana interaksi Anda dengan dia? Bagaimana
suasana dan kondisi yang ada di dalam rumah Anda? Penulis yakin walaupun rumah
Anda lapang dan luas seluas lapangan bola atau bahkan lapangan golf, Anda pasti
akan merasa sumpek dan sempit, penyebabnya tidak lain adalah keburukan akhlak
penghuninya.
لِعَمْرِي مَا ضَاقَت البِلاَدُ بِأَهْلِهَا
وَلَكِنَّ
أَخْلاَقَ الرِّجَالِ تَضِيْقُ
Aku
bersumpah, suatu negeri tidak menjadi sempit oleh penghuninya
Akan tetapi
yang menjadi sempit itu adalah akhlak manusianya.
Jika
sebaik-baik orang beriman adalah orang dengan akhlak yang baik, maka orang yang
paling berhak memperoleh kebaikan akhlak dari seorang mukmin dan mukminah
adalah orang terdekatnya yaitu keluarganya.
أَكْمَلُ
المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ
لِنِسَائِهِمْ
“Orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya dan
sebaik-baik kalian adalah orang terbaik bagi keluarga mereka.” (HR.
at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan
shahih.”diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan sanad hasan seperti yang dikatakan
oleh Syaikh al-Arnauth dalam tahqiq Riyadhus Shalihin).
إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِ
“Sesungguhnya orang mukmin
yang terbaik akhlaknya dan terlembut bagi keluarganya termasuk ke dalam
golongan orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya.” (HR. at-Tirmidzi
dan Ahmad dari Aisyah).
3- Pakaian
Pakaian tidak sebatas menutup
apa yang tidak pantas untuk terlihat dari tubuh, tidak sebatas melindungi tubuh
dari panas dan dingin, tidak sebatas membedakan manusia dengan hewan, tidak
sebatas menunjukkan tingkat peradaban manusia, akan tetapi lebih dari itu
pakaian bisa menjadi hiasan bagi pemakainya sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid.” (Al-A’raf: 31). Allah menamakan pakaian dengan ziinah yang
berarti perhiasan, jadi berpakaian berarti berhias.
Dalam lingkup rumah tangga
berhiasnya seorang istri dengan pakaian yang baik, bersih dan harum bisa
menenangkan pandangan suami, membetahkan suami untuk selalu berada di dekat
istri, tetapi justru hal ini sering dilalaikan oleh kebanyakan istri, pada saat
suami pulang atau pada saat suami berada di rumah, bukannya istri memperhatikan
pakaian dan penampilannya, justru pakaian yang dipakainya tidak mengundang
selera suami untuk memandang atau menikmatinya, ini tidak pada tempatnya,
semestinya pada saat suami pulang atau pada saat dia berada di rumah, istri
berhias dan salah satunya adalah dengan berpakaian yang bisa menjadikannya
lebih menarik bagi suaminya.
Dari sisi syariat, pakaian
istri di depan suami lebih longgar daripada pakaiannya di depan umum, di depan
suami seorang istri bisa berpakaian semenarik mungkin dengan catatan tidak meniru
pakaian orang-orang kafir dan fasik, bahan pakaiannya pun lebih longgar
dibandingkan dengan laki-laki, pada saat laki-laki dilarang memakai sutera,
wanita diizinkan memakainya, ini merupakan peluang yang patut dimanfaatkan oleh
para istri demi membahagiakan dan menenangkan suami.
4- Bersih diri
Bersih diri merupakan sarana
berhias yang tidak kalah penting karena berhias identik dengan kebaikan dan
keindahan yang tidak akan terwujud tanpa bersih diri, bersih diri mutlak
dibutuhkan, sebaik dan seindah apapun sesuatu tidak akan menarik kalau ia
kotor, secantik apapun Anda sebagai istri tidak akan menarik suami jika Anda
tidak bersih diri.
Perhiasan
Perhiasan adalah
barang-barang yang biasa digunakan oleh para wanita pada tubuhnya untuk
menambah kecantikannya seperti emas, perak, batu-batu mulia,
aksesoris-aksesoris, pernak-pernik dan sebagainya.
Wanita boleh dengan
kesepakatan para ulama berhias dengan perhiasan walaupun ia bernilai mahal dari
perak, mutiara, permata yakut, marjan, batu akik, batu safir dan batu-batu
mulia lainnya. Adapun perhaisan dari emas untuk wanita maka masalah ini
diperdebatkan oleh para ulama, penjelasannya akan hadir insya Allah.
Allah swt menyebutkan
perhiasan dalam konteks menjelaskan nikmatNya. Allah berfirman, “Dan dari
masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat
mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya.” (Fathir: 12).
Ayat ini menetapkan
dibolehkannya berhias dengan mutiara dan batu marjan yang dikeluarkan oleh
Allah dari laut, ia adalah perhiasan untuk berhias, sebagaimana Allah
berfirman, “Katakanlah, ‘siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rizki yang baik?" (Al-A’raf: 32).
Hukum wanita memakai
perhiasan emas
Ada beberapa hadits yang
membolehkan wanita memakai emas, ada pula beberapa hadits yang mengharamkan
wanita memakai emas. Dari sini para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,
sebagian dari mereka cenderung kepada hadits-hadits yang membolehkan, sementara
yang lain cenderung kepada hadits-hadits yang melarang.
Hadits-hadits yang
membolehkan berhias dengan emas
1- Dari Ali bin Abu Thalib
berkata, Nabi saw mengambil sutera dan meletakkannya di tangan kanannya dan
beliau mengambil emas dan meletakkannya di tangan kirinya, kemudian beliau
bersabda, “Sesungguhnya dua barang ini haram atas laki-laki dari umatku dan
halal untuk wanitanya.” (HR. Muslim).
2- Dari Thawus dari Ibnu
Abbas ra berkata, “Aku menghadiri shalat Id bersama Nabi saw, beliau shalat
sebelum khutbah… Lalu beliau mendatangi kaum wanita, beliau memerintahkan
mereka bersedekah, maka mereka melemparkan cincin-cincin di kain Bilal, dalam
sebuah riwayat, maka seorang wanita dari mereka bersedekah dengan gelang dan
kalungnya, dalam riwayat yang lain, maka seorang wanita dari mereka melemparkan
anting-antingnya. (HR. al-Bukhari).
3- Aisyah ra memiliki
beberapa cincin emas, ini disebutkan oleh al-Bukhari secara muallaq dalam
shahihnya, diriwayatkan secara maushul oleh Ibnu Saad dari jalan Umar bin Amru
maula al-Mutthalib, dia berkata, aku bertanya kepada al-Qasim bin Muhammad, dia
berkata, “Sungguh, demi Allah aku telah melihat Aisyah memakai pakaian yang
dicelup dengan usfur dan memakai cincin emas.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar,
10/330)
Hadits-hadits yang
mengharamkan berhias dengan emas
1- Dari Abu Hurairah ra
berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa ingin memberi cincin kepada
kekasihnya dari api neraka, maka hendaknya dia memberinya cincin dari emas.
Barangsiapa ingin memberi kalung kepada kekasihnya dari api neraka, maka
hendaknya dia memberinya kalung dari emas. Barangsiapa ingin memberi gelang
kepada kekasihnya dari api neraka, maka hendaknya dia memberinya gelang dari
emas. Akan tetapi hendaknya kalian menggunakan perak, bermain-mainlah
dengannya, bermain-mainlah dengannya, bermain-mainlah dengannya.” (HR. Abu
Dawud, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib
no. 772/19).
2- Dari Tsauban ra berkata,
Binti Hubairah datang kepada Nabi saw, sementara di tangannya terdapat cincin
emas –yakni cincin-cincin berukuran besar- maka Nabi saw memukul tangannya
dengan tongkat yang beliau bawa sambil bersabda, “Apakah kamu berbahagia
kalau Allah kelak menggantikannya di tanganmu dengan cincin dari api neraka?”
Lalu dia datang kepada Fatimah mengadukan apa yang dilakukan Rasulullah saw
kepadanya. Tsauban berkata, lalu Nabi saw datang kepada Fatimah dan aku
menyertai beliau sementara Fatimah telah mengambil sebuah kalung emas dari
lehernya, Fatimah berkata, “Ini hadiah dari Abu al-Hasan kepadaku.” Maksudnya
adalah Ali suaminya- sambil menunjukkan kalung itu di tangannya. Maka Nabi saw
bersabda, “Wahai Fatimah, apakah kamu berbahagia kalau orang-orang berkata,
Fatimah binti Muhammad, di tangannya terdapat kalung dari api neraka?” Lalu
Rasulullah saw memintanya dengan sangat, beliau keluar tanpa duduk, maka
Fatimah menjual kalung itu dan membelikannya hamba sahaya dan memerdekakannya,
hal ini didengar oleh Nabi saw maka beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah
yang telah menyelamatkan Fatimah dari api neraka.” (HR. an-Nasa`i, sanadnya
dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no.
771/18).
Yang membolehkan wanita
berhias dengan emas adalah jumhur ulama, beberapa imam menukil ijma’ dalam
masalah ini, seperti Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari,
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
al-Fatawa dan lainnya. An-Nawawi berkata, “Kaum muslimin telah berijma’
bahwa wanita boleh memakai bermacam-macam perhiasan dari emas dan perak
semuanya, seperti kalung, gelang tangan, gelang kaki, gelang bahu, cincin, dan
semua yang dipakai di leher dan lainya serta semua yang biasa dipakai oleh
wanita, tidak ada perbedaan dalam sesuatu dari hal ini.”
Syaikh al-Albani mempunyai
pendapat dalam masalah ini, beliau membolehkan wanita berhias dengan emas
dengan syarat bukan melingkar akan tetapi terpotong, alasan beliau karena hal
itulah yang dipahami dari hadits Abu Hurairah dan Binti Hubairah di atas,
beliau berkata dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib 2/193, penerbit
Pustaka Shahifah Jakarta, “Hadits-hadits dalam masalah ini –yakni masalah
larangan berhias dengan emas bagi wanita- ada yang shahih dan ada yang tidak
shahih, dan yang shahih darinya khusus untuk emas yang melingkar sebagaimana
yang Anda lihat seperti kalung, gelang dan cincin.” Lanjut Syaikh, “Dari sini
bisa ditarik kesimpulan bahwa semua emas halal bagi wanita kecuali yang
melingkar, dengan ini semua dalil-dalil bisa diakomodasi.”
Kemudian Syaikh menghadirkan
hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa`i dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw
melarang memakai emas kecuali yang terpotong. Setalah itu Syaikh berkata, “Yang
benar adalah bahwa hadits Ibnu Umar ini merupakan dalil yang kuat dalam
membedakan antara emas yang melingkar dengan emas yang terpotong bagi wanita.”
Wallahu a'lam.
Hukum berhias dengan
penggalan emas dan perak yang tertulis di atasnya ayat al-Qur`an
Tidak ragu bahwa al-Qur`an
al-Karim termasuk ayat-ayatnya mengandung tasyri’, hukum-hukum dan adab-adab,
ayat-ayat ini berisi jalan kehidupan seorang muslim, kebahagiaannya dan dunia
dan akhirat, maka tidak pantas bagi seorang muslim memakainya atau mengizinkan
memakainya karena hal itu berarti menghina kalam Allah Ta’ala, walaupun maksudnya
mungkin mengagungkan, tetapi hukum tidak sekedar berpijak kepada maksud.
Sangat disayangkan ketika
kita melihat banyak akhawat muslimat menggantungkannya di leher anak-anak
mereka atau mereka sendiri memakai potongan-potongan emas atau perak yang
tertulis di atasnya ayat-ayat al-Qur`an, seperti ayat Kursi, al-Muawwidzatain
dan lainnya dengan keyakinan bahwa ia melindungi dari setan atau roh jahat, ini
termasuk tamimah yang diharamkan menurut pendapat yang shahih di kalangan para
ulama.
Ada respon positif dari
pemerintah Arab Saudi melalui kementrian perdagangan yang melarang
memperdagangkan potongan-potongan seperti ini, karena melarangnya berarti
melindungi ayat-ayat al-Qur`an al-Karim dari penghinaan. Wallahu a'lam.
Berhias dengan alat
kecantikan
Pada zaman ini telah beredar
berbagai macam alat-alat perlengkapan kecantikan di pasar-pasar, make up
dan kosmetika menjadi salah satu barang laris di berbagai kalangan, tentu saja
sasarannya adalah para wanita termasuk muslimah. Ada beberapa perkara yang perlu
diperhatikan dalam menggunakan alat-alat kecantikan ini:
Pertama: Memastikan bahwa
alat kecantikan ini terbuat dari bahan yang suci, karena tubuh seorang muslimah
tidak patut dihias dengan sesuatu yang najis.
Kedua: Memastikan aman dan
tidak berdampak negatif bagi kulit dan tubuh, baik cepat maupun lambat, apa pun
kalau ia membahayakan maka haram dilakukan karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan
janganlah kamu membunuh dirimu.” (An-Nisa`: 29). Dia juga berfirman, “Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah:
195). Kaidah fikih menetapkan, menolak dampak negatif didahulukan di atas
mendatangkan kemaslahatan.
Ketiga: Hendaknya bahan-bahan
ini tidak berasal dari bahan-bahan yang menghalangi air dari kulit pada waktu berwudhu
atau mandi junub atau haid atau nifas.
Keempat: Hendaknya tujuan
berhias bukan untuk menampakkannya kepada laki-laki asing, menonjolkan
kecantikan yang dapat menimbulkan fitnah dan menebarkan kerusakan di masyarakat
muslim, jadi seorang muslimah hanya berhias khusus bagi suaminya semata tidak
orang lain.
Syarat yang keempat ini
dilalaikan oleh banyak muslimah pada masa kini, maka kita melihat mereka justru
berdandan dan berhias habis jika keluar rumah, sebaliknya ketika di dalam rumah
sama sekali tidak berhias.
Kelima: Tidak
berlebih-lebihan sehingga menjadikannya nomor satu.
CARA BERHIAS YANG HARUS
DIHINDARI
Operasi kecantikan
Operasi kecantikan yang
dikenal pada zaman ini, yang diiklankan oleh budaya tubuh dan syahwat, misalnya
membesarkan pinggul, memancungkan hidung, memperbesar payudara dan sebagainya
adalah haram, karena pertama, perbuatan ini merubah ciptaan Allah tanpa alasan.
Kedua, perbuatan ini menunjukkan bahwa pelakunya mendewa-dewakan penampilan,
maka yang sering melakukannya adalah orang-orang yang menjual penampilan
tubuhnya. Dan ketiga, perbuatan ini termasuk tabdzir, membelanjakan
harta di jalan yang salah.
Hanya saja –wallahu a'lam-
penulis berpendapat, jika pada diri seseorang terdapat aib yang jelas atau
kelainan yang menarik perhatian seperti bibir sumbing, noda-noda karena
kebakaran atau kecelakaan, maka tidak mengapa ia dilakukan, selama tujuannya
sebatas mengangkat kesulitan karena Allah tidak menjadikan dalam agama sesuatu
yang menyulitkan
Menyambung rambut
Maksudnya adalah menyambung
rambut dengan selainnya agar dikira ia lebat atau bagus atau keduanya
sekaligus, perbuatan ini bisa dilakukan oleh wanita dengan cara menambahkan
rambut lain kepada rambutnya, baik rambut alami dari wanita lain atau rambut
buatan untuk tujuan ini.
Dalil-dalil yang mengharamkan
Al-Bukhari meriwayatkan dari
Abdurrahman bin Auf bahwa dia mendengar Muawiyah bin Abu Sufyan berkhutbah di
atas mimbar pada tahun haji sambil dia mengambil sejumput rambut yang ada di
tangan pengawalnya, Muawiyah berkata, “Di mana ulama kalian, aku mendengar
Rasulullah saw melarang perbuatan seperti ini, beliau bersabda, ‘Bani Israil
binasa manakala wanita-wanita mereka melakukan ini.”
Al-Bukhari meriwayatkan dari
Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, “Allah melaknat wanita yang menyambung
rambut dan wanita yang memintanya, wanita yang mentato dan wanita yang
memintanya…”
Mencabut bulu wajah atau
mengerik alis
Dari Alqamah dari Abdullah
bin Mas'ud berkata, “Allah melaknat wanita yang mentato dan wanita yang meminta
ditato, wanita yang mencabut bulu wajah dan wanita yang meminta mencabut bulu
wajah, wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan yang merubah ciptaan
Allah.” Hal ini sampai ke telinga seorang wanita dari Bani Asad bernama Ummu
Ya’qub, dia ini membaca al-Qur`an, dia mendatangi Ibnu Mas’ud dan berkata, “
Ucapan apa yang aku dengar darimu, aku mendengarmu melaknat wanita yang mentato
dan wanita yang meminta ditato, wanita yang mencabut bulu wajah dan wanita yang
meminta mencabut bulu wajah, wanita yang merenggangkan giginya yang merubah
ciptaan Allah.” Ibnu Mas’ud berkata, “Mengapa aku tidak melaknat orang yang
dilaknat oleh Rasulullah saw dan ia tercantum di dalam kitab Allah?” Dia
berkata, “Aku telah membaca di antara kedua sampulnya tetapi aku tidak
menemukannya.” Ibnu Mas’ud berkata, “Kalau kamu benar membacanya niscaya kamu
menemukannya, Allah Ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
(Al-Hasyr: 7).
Wanita itu berkata, “Aku
melihat sesuatu dari hal ini pada istrimu sekarang.” Ibnu Mas’ud berkata,
“Pergilah dan lihatlah.” Maka wanita ini datang kepada istri Abdullah dan dia
tidak melihat apa pun, dia datang lagi kepada Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Aku
tidak melihat apa pun.” Ibnu Mas’ud berkata. “Kalau kamu sampai melihat niscaya
kami tidak berkumpul dengannya.” Yakni tidak hidup dengannya. (Muttafaq
alaihi).
Illat (alasan) pengharaman
1- Penipuan dan kecurangan,
dua perkara ini haram dalam syariat Allah Ta’ala.
2- Merubah ciptaan Allah
Ta’ala, ini juga haram.
Menipiskan atau merenggangkan
gigi
Dalam hadits Ibnu Mas’ud di
atas,
لَعَنَ اللهُ ... وَالمُتَفَلِّجَاتِ للْحُسْنِ
المُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ
“Allah melaknat …wanita yang
merenggangkan giginya yang merubah ciptaan Allah.”
Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani
berkata, المتفلجة adalah wanita yang mencari atau
melakukan الفلج yaitu kerenggangan di antara gigi depan, dan التفلج merenggangkan di antara dua gigi yang berdampingan dengan kikir
dan sejenisnya, biasanya ia dilakukan khusus untuk gigi depan dan gigi seri, ia
dianggap baik untuk wanita, terkadang seorang wanita melakukannya terhadap
gigi-giginya yang berdempetan agar renggang, terkadang dilakukan oleh wanita
berumur agar dikira masih muda, karena biasanya gadis muda giginya baru dan
renggang, hal ini akan hilang pada saat tua. (Fathul Bari juz 10 kitab
al-Libas bab al-Mutanammishat).
Ini disebut pula dengan al-wasyru,
an-Nawawi berkata, الوشرdilakukan oleh wanita tua dan wanita paruh baya
untuk menampakkan kemudaan dan keindahan gigi, karena kerenggangan yang tipis
di antara gigi dimiliki oleh anak gadis, jika seorang wanita mencapai usia tua
maka ia mengeras, maka dia mengikirnya dengan kikir agar ia halus, indah
dipandang, agar dikira bahwa dia berumur muda. (Shahih Muslim Syarah
an-Nawawi 14/107).
Suami berhias
untuk istri
Allah Subhanahu Wa
Ta'ala berfirman : "Dan mereka
(para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara
yang ma'ruf." (Q.S Al Baqarah : 228)
Berkata Al-Hafidz
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini :
"Mereka (para
istri) mempunyai hak dari suaminya sama dengan hak yang diperoleh para suami
dari mereka. Maka hendaklah masing-masing dari keduanya menunaikan kewajiban
atau menunaikan hak pihak yang lain dengan cara yang ma'ruf."
Kemudian beliau
mengatakan, Berkata Waki' dari Basyir bin Sulaiman dari Ikrimah dari Ibnu
Abbas, dia berkata, "Aku suka berhias untuk istriku sebagaimana aku suka
istriku berhias untukku, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: Sesungguhnya
berhiasnya suami dihadapan istrinya akan membantu istri menundukkan
pandangannya dari melihat laki-laki selain suaminya dan mendukung dekatnya
hati.
Namun kenyataannya
ada diantara suami yang mendatangi istrinya dalam keadaan rambutnya kusut
masai, berdebu dan beraroma tidak sedap. Apabila dia mandi dan memakai
wangi-wangian, dia malah keluar menemui teman-temannya dan tidak kembali
kerumahnya (ke istri-istrinya) kecuali pada bentuk yang pertama, yang membuat
hati itu lari dan membuat jiwa itu bergidik.
Sebagaimana engkau
menuntut istrimu untuk tampil di depanmu dengan penampilan yang bagus dan aroma
yang sedap, bau yang wangi, maka demikian pula dia menuntut yang demikian
darimu, karena dia memiliki perasaan seperti perasaanmu dan dia memiliki indra
sebagaimana indramu.
Karena itu, hendaklah para suami bertakwa kepada Allah pada diri-diri mereka dan dalam urusan istri-istri mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar