Dalam melaksanakan
puasa Sunnah, ada suatu aturan yang mesti diperhatikan oleh wanita muslimah.
Aturan yang dimaksud adalah ia harus meminta izin pada suaminya ketika ingin
menjalankan puasa sunnah. Keterangan selengkapnya silakan disimak dengan
seksama dalam risalah berikut.
Dalil Pendukung
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak
diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya. [Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9996, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21.]
Dalam hadits
yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ
وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan
suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya. [HR.
Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026.]
Dalam lafazh
lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ
إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain Ramadhan sedangkan
suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya”
[HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ (6/392) mengatakan, “Sanad
riwayat ini shahih sesuai dengan syarat
Bukhari dan Muslim.”]
Ulama Syafi’iyah
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. [Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21.]
An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di
atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan
waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di
atas adalah larangan haram.” [Al Minhaj
Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392,
7/115.]
Al Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan
puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan
Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan
waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami.
… Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami.
Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” [Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani,
Darul Ma’rifah, 1379, 9/295]
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang
wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman.
Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti
itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika
puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti
puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan
tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” [Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21]
Jadi, puasa yang mesti
dilakukan dengan izin suami ada dua macam:
(1) puasa sunnah yang
tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis),
(2) puasa wajib yang
masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah
qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.
[Ini berarti kalau puasanya adalah puasa Syawal, maka boleh tanpa izin suami
karena puasa Syawal adalah puasa yang memiliki batasan waktu tertentu hanya di
bulan Syawal]
Jika Suami Tidak di
Tempat
Berdasarkan
pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat,
maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa
sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suamisedang
bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa.
[Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9997, index “Shoum At Tathowwu’ “, point 21;
dan lihat Fathul Bari, 9/296] Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin
melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu
pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di
tempat.
Hikmah Dari Mengapa Harus
dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al
Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan
masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama
daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami
adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari
menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” [Fathul Bari, 9/296]
An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya
berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk
bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya.
Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau
melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
7/115]
Semoga
sajian singkat ini bermanfaat bagi wanita muslimah dan kaum muslimin pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar