Apa saja amalan-amalan ketika turun hujan?
Segala puji bagi Allah, pada saat ini Allah telah
menganugerahkan kita suatu karunia dengan menurunkan hujan melalui kumpulan
awan. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68)
أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ (69)
”Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang
kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?”
(QS. Al Waqi’ah [56] : 68-69)
Begitu juga firman Allah Ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)
”Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak
tercurah.” (QS. An Naba’ [78] : 14)
Allah Ta’ala juga
berfirman,
فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ
”Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari
celah-celahnya.” (QS. An Nur [24] : 43) yaitu dari celah-celah awan.
Merupakan tanda kekuasaan Allah Ta’ala, kesendirian-Nya dalam menguasai dan mengatur
alam semesta, Allah menurunkan hujan pada tanah yang tandus yang tidak tumbuh
tanaman sehingga pada tanah tersebut tumbuhlah tanaman yang indah untuk
dipandang. Allah Ta’ala telah mengatakan yang
demikian dalam firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا
أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا
لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa
kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya,
niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya,
Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39).
Itulah hujan, yang Allah turunkan untuk menghidupkan
tanah yang mati. Sebagaimana pembaca dapat melihat pada daerah yang kering dan
jarang sekali dijumpai air seperti Gunung Kidul, tatkala hujan itu turun,
datanglah keberkahan dengan mekarnya kembali berbagai tanaman dan pohon jati
kembali hidup setelah sebelumnya kering tanpa daun. Sungguh ini adalah suatu
kenikmatan yang amat besar.
Sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat hujan yang
telah diberikan ini, sebaiknya kita mengilmui beberapa hal seputar musim hujan.
Untuk tulisan pertama, kami akan menjelaskan amalan-amalan yang semestinya
dilakukan seorang muslim ketika hujan turun. Setelah itu, kita akan memperjari
fenomena kilatan petir dan geledek. Dan terakhir kita akan mengkaji bersama
mengenai beberapa keringanan di musim penghujan. Semoga bermanfaat.
::
Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan ::
[1] Keadaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tatkala Mendung
Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir,
jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا رَأَى نَاشِئاً فِي أُفُقٍ مِنْ آفَاِق السَمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ- وَإِنْ
كَانَ فِي صَلَاةٍ- ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ؛ فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهَ،
وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ: “اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً”
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, pen) di salah satu ufuk langit,
beliau meninggalkan aktivitasnya –meskipun dalam shalat- kemudian beliau
kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, pen). Ketika awan tadi
telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan,
“Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah jadikanlah hujan
ini sebagi hujan yang bermanfaat].” [Adabul Mufrod no.
686]
’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى
مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ
وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ
عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَا أَدْرِى
لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ
أَوْدِيَتِهِمْ ) »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam apabila melihat mendung di langit, beliau beranjak ke
depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah
beliau. Apabila hujan turun, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mulai
menenangkan hatinya. ’Aisyah sudah memaklumi jika beliau melakukan seperti itu.
Lalu Nabishallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan, ”Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi
(pada Kaum ’Aad) sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), ”Maka tatkala
mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka.” (QS.
Al Ahqaf [46] : 24)” [HR. Bukhari no. 3206]
Ibnu Hajar mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan bahwa
seharusnya seseorang menjadi kusut pikirannya jika ia mengingat-ingat apa yang
terjadi pada umat di masa silam dan ini merupakan peringatan agar ia selalu
merasa takut akan adzab sebagaimana ditimpakan kepada mereka yaitu umat-umat
sebelumnya.” [Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al
’Asqolani Asy Syafi’i]
[2] Mensyukuri Nikmat Turunnya Hujan
Apabila Allah memberi nikmat hujan, dianjurkan bagi
seorang muslim dalam rangka bersyukur kepada-Nya untuk membaca do’a,
اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً
“Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].”
Itulah yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ucapkan
ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin,
’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى
الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika
melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya
Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”. [HR. Bukhari no. 1032,
Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523]
Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran
untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin
bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.”
Al Khottobi mengatakan, ”Air hujan yang mengalir adalah
suatu karunia.” [Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol].
[3] Turunnya Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan
Do’a
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan,
”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ :
عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
’Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan :
[1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat
hujan turun.”
Hadits diatas dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
Shohihul Jaami’ no. 1026.
Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallambersabda,
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ
تَحْتَ المَطَرِ
“Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a
ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.” [HR.
Al Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078.]
[4]
Ketika Terjadi Hujan Lebat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu
saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian ketika hujan turun begitu
lebatnya, beliau memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,
اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى
الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ
الشَّجَرِ
“Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal
aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari
[Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya
Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut
lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].” [ HR. Bukhari no. 1014.]
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Ketika hujan semakin lebat,
para sahabat meminta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam supaya berdo’a agar cuaca kembali menjadi cerah.
Akhirnya beliau membaca do’a di atas.” [Zaadul Ma’ad, Ibnu
Qayyim Al Jauziyah]
Syaikh Sholih As Sadlan mengatakan bahwa do’a di atas dibaca ketika hujan semakin lebat atau khawatir hujan akan membawa dampak
bahaya. [Lihat Dzikru wa Tadzkir, Sholih As Sadlan, hal. 28]
[5] Mengambil Berkah dari Air Hujan
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap
bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
“Karena hujan ini baru saja Allah
ciptakan.” [HR. Muslim no. 898.]
An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu
rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil
berkah) dari hujan tersebut.” [Syarh Muslim, Yahya
bin Syarf An Nawawi, 6/195]
An Nawawi selanjutnya mengatakan, ”Dalam hadits ini
terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah tentang dianjurkannya menyingkap sebagian
badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan
tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadits ini bahwa seseorang yang tidak
memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih berilmu melakukan sesuatu
yang ia tidak ketahui, hendaknya ia menanyakannya untuk diajari lalu dia
mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.” [Syarh
Muslim, 6/196.]
Dalam hal mencari berkah dengan air hujan dicontohkan
pula oleh sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata,
أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ، يَقُوْلُ: “يَا
جَارِيَّةُ ! أَخْرِجِي سَرْجِي، أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُوْلُ: وَنَزَّلْنَا
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكاً [ق: 9].
”Apabila turun hujan, beliau mengatakan, ”Wahai jariyah keluarkanlah pelanaku, juga bajuku”.” Lalu
beliau membacakan (ayat) [yang artinya], ”Dan Kami menurunkan dari langit
air yang penuh barokah (banyak manfaatnya).” (QS. Qaaf [50] :
9)” [Adabul Mufrod no. 1228. Syaikh Al Albani mengatakan sanad hadits ini
shohih dan hadits ini mauquf -perkataan
sahabat-].
[6]
Dianjurkan Berwudhu dengan Air Hujan
Ibnu Qudamah mengatakan, ”Dianjurkan untuk berwudhu
dengan air hujan apabila airnya mengalir deras.” [Al Mughni, 2/295.]
Dari Yazid bin Al Hadi, apabila air yang deras mengalir,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
اُخْرُجُوا بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ
طَهُورًا ، فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ وَنَحْمَدَ اللّهَ عَلَيْهِ
”Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini
yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci.” Kemudian
kami bersuci dengan air tersebut dan memuji Allah atas nikmat ini.” [HR Al
Baihaqi]
Namun, hadits di atas adalah hadits yang lemah
karena munqothi’ (terputus sanadnya) sebagaimana dikatakan
oleh Al Baihaqi. Syaikh Al Albani dalam Dho’if Al Jaami’ no.
4416 mengatakan bahwa hadits ini dho’if
Ada hadits yang serupa dengan hadits di atas dan shahih,
كَانَ يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا
إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ “
“Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan
oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci
dengannya.” [HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholil no. 679. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.]
[7]
Janganlah Mencela Hujan
Sungguh sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah
mengetahui bahwa hujan merupakan nikmat dari AllahTa’ala. Namun,
ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”.
Perlu diketahui bahwa setiap yang seseorang ucapkan, baik
yang bernilai dosa atau tidak bernilai dosa dan pahala, semua akan masuk dalam
catatan malaikat.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS.
Qaaf [50] : 18)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ
رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ،
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى
لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara
dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya
disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan
suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya
lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.” [HR. Bukhari no. 6478.]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menasehatkan kita agar jangan selalu menjadikan
makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika kita
mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita mencela
waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ
الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ، بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ
“Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu),
padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan
siang menjadi silih berganti.” [HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu
Hurairah.]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ تَسُبُّوا الرِّيحَ
”Janganlah kamu mencaci maki angin.” [HR.
Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih.]
Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa
(waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan
mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki
angin dan hujan adalah terlarang.
Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang
dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari kejelekan yang
terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang
menjadikan baik dan buruk. Ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain
Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan
makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka
seperti ini hukumnya haram, tidak sampai
derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti
mengatakan, “Hari ini hujan deras, sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid
untuk shalat”, tanpa ada tujuan mencela sama sekali maka seperti ini
tidaklah mengapa.
Intinya, mencela hujan tidak terlepas dari hal yang
terlarang karena itu sama saja orang yang mencela hujan mencela Pencipta hujan
yaitu Allah Ta’ala. Ini juga menunjukkan
ketidaksabaran pada diri orang yang mencela. Sudah seharusnya lisan ini selalu
dijaga. Jangan sampai kita mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat Allah
murka. Semestinya yang dilakukan ketika turun hujan adalah banyak bersyukur
kepada-Nya sebagaimana telah diterangkan dalam point-point sebelumnya.
[8] Berdo’a Setelah Turunnya Hujan
Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya.
Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, ”Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?”
Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih
mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
« أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ
قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ
بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ
كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ »
“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman
kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna
bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia
dan rahmat Allah), maka dialah yang beriman
kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan
karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman
pada bintang-bintang.” [HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71, dari Kholid Al
Juhaniy.]
Dari hadits ini terdapat dalil untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi
hujan karena karunia dan rahmat Allah) setelah turun hujan sebagai tanda syukur
atas nikmat hujan yang diberikan.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, ”Tidak boleh bagi
seseorang menyandarkan turunnya hujan karena sebab bintang-bintang. Hal ini
bisa termasuk kufur akbar yang menyebabkan
seseorang keluar dari Islam jika ia meyakini bahwa bintang tersebut adalah yang
menciptakan hujan. Namun kalau menganggap bintang tersebut hanya sebagai sebab,
maka seperti ini termasuk kufur ashgor (kufur
yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang
tidak memberikan pengaruh terjadinya hujan. Bintang hanya sekedar waktu
semata.” [Kutub wa Rosa’il Lil ‘Utsaimin] Demikian beberapa amalan yang bisa
diamalkan ketikan hujan turun.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar