Dari
Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bahwa beliau bersabda:
لَمْ يَبْقَ مِنْ النُّبُوَّةِ إِلَّا الْمُبَشِّرَاتُ
قَالُوا وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ
“Kenabian
tidak ada lagi selain berita-berita gembira.” Para sahabat bertanya, “Apa yang
di maksud dengan kabar-kabar gembira?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab, “Mimpi yang baik.” (HR.
Al-Bukhari no. 6990)
Dari
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa
beliau bersabda:
مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ
بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ وَلَنْ يَفْعَلَ وَمَنْ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ
وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنِهِ الْآنُكُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ
فِيهَا وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
“Barangsiapa
menyatakan sebuah mimpi yang dia tidak bermimpi dengannya maka dia akan
dibebani untuk membuat simpul dengan dua helai rambut padahal dia tak akan bisa
melakukannya. Barangsiapa yang mencuri dengar pembicaraan suatu kaum padahal
mereka tidak menyukai atau telah menyingkir untuk menghindarinya, maka
telinganya akan dialiri cairan tembaga pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang
menggambar maka dia akan disiksa dan dibebani untuk menghidupkannya padahal dia
tidak akan mampu.” (HR.
Al-Bukhari no. 7042)
Maksud
membuat simpul dengan dua helai rambut adalah: Pada hari kiamat dia akan
dibebani untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin agar siksaannya bertambah
lama karena dia tidak akan sanggup mengerjakannya.
Penjelasan
ringkas:
Mimpi
mempunyai kedudukan yang agung dalam Islam, bagaimana tidak padahal Nabi
shallallahu alaihi wasallam telah menjadikannya sebagai isyarat akan datangnya
kabar gembira. Bahkan dalam hadits yang lain beliau shallallahu alaihi wasallam
telah bersabda:
الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنْ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ
مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
“Mimpi
baik yang berasal dari seorang yang saleh adalah satu bagian dari 46 bagian
kenabian.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Menjelaskan
hadits yang semakna dengan di atas, Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin
rahimahullah berkata, ” Makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِيْنَ
جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
adalah
apa yang diimpikan seorang mukmin akan terjadi dengan benar, karena mimpi
tersebut merupakan permisalan yang dibuat bagi orang yang bermimpi. Terkadang
mimpi itu adalah berita tentang sesuatu yang sedang atau akan terjadi. Kemudian
sesuatu itu benar terjadi persis seperti yang diimpikan. Dengan demikian, dari
sisi ini mimpi diibaratkan seperti nubuwwah dalam kebenaran apa yang
ditunjukkannya, walaupun mimpi berbeda dengan nubuwwah. Karena itulah mimpi
dikatakan satu dari 46 bagian nubuwwah. Kenapa disebut 46 bagian, karena hal
ini termasuk perkara tauqifiyyah (yang ditetapkan hanya dengan wahyu). Tidak
ada yang mengetahui hikmahnya sebagaimana halnya bilangan-bilangan rakaat dalam
shalat.
Adapun
ciri orang yang benar mimpinya adalah seorang mukmin yang jujur, bila memang
mimpinya itu mimpi yang baik/bagus. Jika seseorang dikenal jujur ucapannya
ketika terjaga, ia memiliki iman dan takwa, maka secara umum mimpinya benar.
Karena itulah hadits ini pada sebagian riwayatnya datang dengan menyebutkan
adanya syarat, yaitu mimpi yang baik/bagus dari seorang yang shalih. Dalam
Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَصْدَقُهُمْ رُؤْيًا أَصْدَقُهُمْ حَدِيْثًا
“Orang
yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur ucapannya.”
Akan tetapi perlu diketahui di sini bahwa mimpi yang dilihat seseorang dalam tidurnya itu ada tiga macam:
Pertama: Mimpi
yang benar lagi baik. Inilah mimpi
yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu dari 46
bagian kenabian. Secara umum, mimpinya itu tidak terjadi di alam nyata. Namun
terkadang pula terjadi persis seperti yang dilihat dalam mimpi. Terkadang
terjadi di alam nyata sebagai penafsiran dari apa yang dilihat dalam mimpi.
Dalam mimpi ia melihat satu permisalan kemudian ta’bir dari mimpi itu terjadi
di alam nyata namun tidak mirip betul. Contohnya seperti mimpi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam beberapa waktu sebelum terjadi perang Uhud. Beliau mimpi di
pedang beliau ada rekahan/retak dan melihat seekor sapi betina disembelih.
Ternyata retak pada pedang beliau tersebut maksudnya adalah paman beliau Hamzah
radhiyallahu ‘anhu akan gugur sebagai syahid. Karena kabilah (kerabat/keluarga)
seseorang kedudukannya seperti pedangnya dalam pembelaan yang mereka berikan
berikut dukungan dan pertolongan mereka terhadap dirinya. Sementara sapi betina
yang disembelih maksudnya adalah beberapa sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum
akan gugur sebagai syuhada. Karena pada sapi betina ada kebaikan yang banyak,
demikian pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka adalah orang-orang yang
berilmu, memberi manfaat bagi para hamba dan memiliki amal-amal shalih.
Kedua: Mimpi
yang dilihat seseorang dalam tidurnya sebagai cermin dari keinginannya atau
dari apa yang terjadi pada dirinya dalam hidupnya. Karena kebanyakan manusia
mengimpikan dalam tidurnya apa yang menjadi bisikan hatinya atau apa yang
memenuhi pikirannya ketika masih terjaga (belum tidur) dan apa yang berlangsung
pada dirinya saat terjaga (tidak tidur). Mimpi yang seperti ini tidak ada
hukumnya3.
Ketiga: Gangguan
dari setan yang bermaksud menakut-nakuti seorang manusia, karena setan dapat
menggambarkan dalam tidur seseorang perkara yang menakutkannya, baik berkaitan
dengan dirinya, harta, keluarga, atau masyarakatnya. Hal ini dikarenakan
setan memang gemar membuat sedih kaum mukminin sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ
الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ
“Sesungguhnya
pembicaraan rahasia itu dari setan, dengan tujuan agar orang-orang beriman itu
bersedih hati, padahal pembicaraan itu tidaklah memberi mudarat sedikitpun
kepada mereka kecuali dengan izin Allah ….” (Al-Mujadilah:
10)
Setiap
perkara yang dapat menyusahkan seseorang dalam hidupnya dan mengacaukan
kebahagiaan hidupnya merupakan target yang dituju oleh setan. Ia sangat
bersemangat untuk mewujudkannya, baik orang yang hendak diganggunya itu tengah
terjaga atau sedang larut dalam mimpinya. Karena memang setan merupakan musuh
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا
“Sesungguhnya
setan itu merupakan musuh bagi kalian maka jadikanlah ia sebagai musuh.” (Fathir:
6)
Pembagian
mimpi yang Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin sebutkan di atas disebutkan
dalam riwayat Imam Muslim no. 4200 dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu
secara marfu':
إِذَا اقْتَرَبَ الزَّمَانُ لَمْ تَكَدْ رُؤْيَا
الْمُسْلِمِ تَكْذِبُ وَأَصْدَقُكُمْ رُؤْيَا أَصْدَقُكُمْ حَدِيثًا وَرُؤْيَا
الْمُسْلِمِ جُزْءٌ مِنْ خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
وَالرُّؤْيَا ثَلَاثَةٌ فَرُؤْيَا الصَّالِحَةِ بُشْرَى مِنْ اللَّهِ وَرُؤْيَا
تَحْزِينٌ مِنْ الشَّيْطَانِ وَرُؤْيَا مِمَّا يُحَدِّثُ الْمَرْءُ نَفْسَهُ
فَإِنْ رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ وَلَا يُحَدِّثْ
بِهَا النَّاسَ
“Apabila
hari kiamat telah dekat, maka jarang sekali mimpi seorang muslim yang tidak
benar. Dan orang yang paling benar mimpinya di antara kalian adalah yang paling
benar ucapannya. Mimpi seorang muslim adalah sebagian dari 45 macam nubuwwah
(wahyu). Mimpi itu ada tiga macam: (1) Mimpi yang baik sebagai kabar gembira
dari Allah. (2) mimpi yang menakutkan atau menyedihkan, datangnya dari syetan.
(3) dan mimpi yang timbul karena ilusi angan-angan, atau khayal seseorang.
Karena itu, jika kamu bermimpi yang tidak kamu senangi, bangunlah, kemudian
shalatlah, dan jangan menceritakannya kepada orang lain.”
Maka
dari penjelasan di atas kita bisa melihat bahwa mimpi sekalipun yang baik dan
berasal dari Allah maka itu hanya bersifat membawa kabar gembira kepada sang
pemilik mimpi atau orang yang berada di sekitarnya. Karenanya mimpi tidaklah
dapat dijadikan sebagai patokan syariat. Dalam artian dengan mimpi itu
seseorang tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal,
mengamalkan sebuah ibadah yang baru maupun meninggalkan suatu ibadah yang sudah
pasti pensyariatannya. Karena hal itu berarti menjadikan mimpinya sebagai
pembuat syariat, padahal syariat sudah baku dengan wafatnya Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam, tidak akan mungkin berubah dan tidak akan ada yang
diganti. Karenanya siapa saja yang mengadakan perubahan atau penambahan dalam
syariat Islam dengan beralasan dia menerima hal itu dalam mimpi ketika dia
bertemu Nabi shallallahu alaihi wasallam maka sungguh dia adalah orang yang
tertipu dengan setan dan apa yang dia lihat di dalam mimpinya pastilah bukan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Tanda-tanda
untuk Mengenal Sebuah Mimpi
Yang
pertama: Tanda-tanda Mimpi yang Benar
1.
Bersih
dari mimpi kosong, bayangan-bayangan yang menakutkan dan meresahkan.
2.
Dapat
dipahami ketika terjaga. Yang bermimpi tidak melihat dalam tidurnya sesuatu
yang bertolak belakang, seperti mimpi melihat orang berdiri dalam keadaan
duduk.
3.
Tidur
dalam keadaan pikirannya jernih, tidak disibukkan oleh satu persoalan pun.
Karena pada umumnya, mimpi orang yang seperti ini adalah karena bisikan jiwanya
(angan-angannya) sebelum tidur. Misalnya dia dalam keadaan haus lalu tertidur
dan dalam tidurnya dia mimpi sedang minum. Atau lapar lalu mimpi sedang makan
dan sebagainya.
4.
Mimpi
tersebut dapat dita’wil dan sesuai dengan yang ada di dalam Lauhul Mahfuzh.
Kalau mimpi itu kadang terlihat begini atau kadang begitu, maka itu tidaklah
dinamakan mimpi yang baik dan benar. Karena mimpi yang benar itu harus tersusun
rapi yang sesuah dan memungkinkan untuk dita’wilkan (ditafsirkan).
Yang
Kedua: Mimpi yang Diperbuat oleh Syaithan
Mimpi
ini sangat berbeda dengan yang telah kami paparkan. Sehingga kalau mimpi itu
meliputi berbagai perkara yang mendatangkan duka cita, keresahan, ketakutan dan
sebagainya, maka tidak perlu diperhatikan karena itu adalah buatan syaithan.
Al-’Allamah
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan:
“Perbedaan
antara ahlam (mimpi-mimpi yang tidak benar) yang merupakan mimpi-mimpi kosong
dan tidak bisa dita’wil, seperti orang yang bermimpi dalam keadaan dia sibuk
berpikir dan berangan-angan terhadap suatu persoalan. Maka kebanyakan yang
dilihatnya dalam tidurnya adalah sejenis dengan apa yang dipikirkannya ketika
dia dalam keadaan jaga. Jenis ini biasanya adalah mimpi kosong yang tidak ada
ta’wilnya.
Demikian
juga bentuk lain yang dilemparkan syaithan kepada ruh orang yang tidur, berupa
mimpi dusta dan makna-makna yang kacau. Ini juga mimpi yang tidak ada ta’wilnya.
Dan tidak perlu menyibukkan pikirannya dengan hal ini. Bahkan sebaiknya dia
membiarkannya begitu saja.
Adapun
mimpi yang benar, maka itu adalah ilham yang diberikan Allah kepada ruh ketika
dia lepas dari jasad pada waktu tidur. Atau tamsil (permisalan) yang dibuat
oleh malaikat bagi seorang manusia agar dia memahami apa yang sesuai dengan
tamsil itu. Yakni, kadang dia melihat sesuatu sesuai hakekatnya, dan ta’birnya
adalah apa yang dilihatnya dalam tidurnya.” [Al-Majmu’atul Kamilah li
Mu’allafat Ibnu Sa’di, (1/108)]
Pembagian
Golongan Manusia Menurut Mimpi
Telah
kami uraikan pembagian mimpi ini menurut mimpi itu sendiri. Sedangkan menurut
orang yang melihatnya (yang bermimpi), juga terbagi menjadi beberapa bagian.
Dan ini sesuai dengan jujur tidaknya orang yang bermimpi. Berdasarkan keadaan
orang yang bermimpi, ahli ilmu membagi keadaan manusia sehubungan dengan mimpi
ini menjadi lima bagian, yaitu:
- Para Nabi
- Shalihun (orang-orang shalih)
- Masturun (yang tidak diketahui keadaannya)
- Fasaqah (orang-orang fasik)
- Kuffar (orang-orang kafir)
Penjelasannya:
1.
Mimpi para nabi
Mereka
adalah manusia-manusia yang paling jujur (benar) mimpinya, dan ini tidak
diragukan lagi. Karena mereka adalah orang-orang yang paling benar (jujur)
ucapan dan perbuatannya. Sebab itulah mimpi Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wasallam bagaikan cahaya subuh (pagi) yang terang, karena mimpi beliau adalah
wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau.
2.
Mimpi orang-orang shalih
Mereka
berada pada urutan kedua setelah para nabi dan rasul Allah. Yang dominan pada
mimpi mereka adalah kebenaran. Namun di antaranya ada yang perlu dita’birkan
dan ada pula yang tidak perlu, (karena mimpi itu) sudah menunjukkan suatu
perkara yang sangat jelas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Yang
paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya.”
Dan beliau juga bersabda:
“Mimpi
yang baik dari orang yang shalih adalah satu dari 46 bagian kenabian
(nubuwwah).” (HR.
Bukhari dan Muslim)
3.
Mimpi para masturin (orang yang tidak dikenal keadaannya)
Yaitu
orang-orang yang tidak diketahui apakah dia melakukan shalat, berzakat, haji
dan ketaatan lainnya, mereka kurang dalam sebagian amalan dan mempunyai dosa
yang lebih rendah dari syirik. Mereka ini juga mempunyai mimpi, namun kadang
dari Allah dan kadang dari syaithan.
4.
Mimpi orang-orang fasik
Mimpi
mereka sangat sedikit benarnya, yang paling dominan adalah mimpi-mimpi kosong
yang merupakan permainan syaithan.
5.
Mimpi orang yang kafir
Mimpi
mereka sangat jarang benarnya. Hal ini karena kekejian dan kekafiran mereka
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan pada umumnya mimpi mereka adalah dari syaithan.
Akan tetapi kadang mereka melihat mimpi yang benar. Namun demikian
dipertanyakan, apakah mimpi tersebut berasal dari wahyu atau kita katakan satu
dari 46 bagian kenabian?
Al-Imam Al-Qurthubi menjawab hal ini, beliau mengatakan: “Jika dikatakan bahwa mimpi yang benar itu adalah satu bagian dari kenabian, bagaimana mungkin orang yang kafir dan pendusta serta kacau keadaannya memperoleh atau bisa mendapatkannya?
Al-Imam Al-Qurthubi menjawab hal ini, beliau mengatakan: “Jika dikatakan bahwa mimpi yang benar itu adalah satu bagian dari kenabian, bagaimana mungkin orang yang kafir dan pendusta serta kacau keadaannya memperoleh atau bisa mendapatkannya?
Jawabnya ialah bahwasanya orang yang kafir, fajir (jahat), fasik dan pendusta itu, meskipun suatu ketika mimpi mereka benar, itu bukanlah dari wahyu dan bahkan juga bukan dari nubuwwah. Karena tidaklah semua yang benar dalam berita tentang perkara ghaib, lantas beritanya merupakan nubuwwah. Dan sudah dijelaskan dalam surat Al-An’am bahwa seorang dukun atau yang lainnya (paranormal dan sejenisnya) kadang-kadang menyampaikan suatu berita dengan pernyataan yang benar (haq) lalu dibenarkan (dipercayai). Akan tetapi hal itu sangat jarang dan sedikit sekali. Demikian pula mimpi mereka ini.” [Tafsir Al-Qurthubi, (9/124)]
Larangan
Berdusta Tentang Mimpi
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Barangsiapa
yang mengaku telah bermimpi sesuatu padahal sebenarnya tidak maka ia akan
dipaksa untuk duduk di antara dua helai rambut dan ia pasti tidak akan mampu
melakukannya.” (HR.
Bukhori no. 7042)
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Kedustaan
yang paling besar ialah seorang laki-laki yang mengaku telah bermimpi melihat
sesuatu padahal ia tidak melihatnya.” (HR. Bukhori no. 7043)
Ada
beberapa hadits lain yang termasuk dalam bab ini, yaitu dari Ali, Abu Hurairah,
Abu Syuraih dan Watsilah radhiyallahu ‘anhum.
Dari hadits di atas bisa diambil pelajaran:
1.
Haram berdusta tentang mimpi dan perbuatan itu termasuk dosa besar yang
terbesar, karena ia telah berdusta terhadap Allah. Adapun dusta yang dilakukan
saat terjaga adalah dusta terhadap makhluk.
2.
Mimpi itu dari syaitan, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menamakan al-hulm bukan ru’ya. Dan hulm (mimpi) di sini adalah dusta dan itu
berarti dari syaitan.
Mimpi
yang Sama
Jika ada sekelompok orang melihat mimpi yang sama, ini dinamakan kesesuaian, meskipun ungkapannya berbeda-beda.
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata ketika menerangkan makna hadits Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada beberapa shahabat bermimpi malam lailatul qadar
pada 7 malam terakhir…
Kata
beliau: “Faedah dari hadits ini menunjukkan bahwa kesesuaian (kesamaan) mimpi
pada sekelompok orang, menegaskan tentang tepat dan benarnya mimpi itu.
Sebagaimana diambil faedah tentang kuatnya suatu berita yang bersumber dari
satu kelompok.” [Fathul Bari (12/380)]
Apakah
Mimpi Itu akan Terjadi Segera setelah Dita’birkan?
Sebagian
orang menunggu terjadinya ta’bir mimpi yang dilihatnya. Ini jelas tidak benar.
Karena tercapainya tujuan mimpi yang mungkin saja tertunda satu atau beberapa
tahun. Tidakkah anda lihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat
mimpi pembebasan kota Makkah sebelum ditaklukkan, satu tahun sebelumnya? Bahkan
Nabi Yusuf ‘alaihi salam tidak melihat bukti ta’bir mimpinya kecuali setelah
lebih dari 30 tahun. Maka terjadinya kejadian yang bersifat kodrati ini adalah
dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktuknya yang telah tertulis di
sisi-Nya di Lauhul Mahfuzh.
Terburu-buru
mengharapkan terjadinya, bukanlah tuntutan yang semestinya. Akan tetapi yang
perlu diperhatijan adalah kesiapan jiwa untuk menghadapi bukti mimpi tersebut,
kalau di dalamnya terdapat berita gembira (busyra) yang ditunggu, atau
peringatan.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar