Dibawah ini
adalah permasalahan-permasalahan berkaitan hubungan intim yang sering
ditanyakan.
1.
Bolehkah menyetubuhi wanita yang sudah selesai haidh tapi belum mandi?
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Hadats haidh yang terdapat pada wanita haidh menyebabkan
ia tidak boleh disetubuhi. Hadats haidh tersebut barulah hilang jika mandi
(setelah darah berhenti). Hal ini berbeda dengan hadats pada orang yang junub.
Orang yang junub tidaklah dilarang bersetubuh. Larangan tersebut sama sekali
tidak ada pada orang yang junub.” (Badai’ul
Fawaidh, dinukil dari Al
Furuq Al Fiqhiyyah, 1: 425).
Apa dalilnya kenapa wanita haidh baru boleh disetubuhi
setelah mandi?
Allah Ta’ala
berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
” (QS. Al Baqarah: 222). “Apabila mereka telah suci” yang dimaksud adalah
setelah mereka mandi. Demikianlah yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas.
Kesimpulannya, tidak boleh menyetubuhi wanita yang telah
suci dari haidh sampai ia mandi.
2.
Apa hukum
melakukan hubungan intim di kamar mandi?
Sebagian
pasangan ternyata ada yang nekad melakukan seperti itu di kamar mandi karena
alasan darurat atau tidak bisa menahan hasrat.
Yang jelas
hubungan intim (jima’ atau hubungan seks) di kamar mandi akan membuat sulit
membaca doa ketika hubungan intim seperti yang diajarkan berikut ini.
Dari Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami)
ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a: [Bismillah
Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa],
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan
dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian
jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan
tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari
no. 6388 dan Muslim no. 1434).
Di kamar mandi
terlarang (baca: makruh) untuk berdzikir.
Dalam hadits Zaid bin Arqam r.a. dan selainnya yang
diriwayatkan oleh Ahmad (4/373), Ibnu Majah (296), Ibnu Hibban ( 1406), Al
Hakim (1/187) dan selainnya bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, bersabda : “Sesungguhnya tempat-tempat buang
hajat ini dihadiri (oleh para setan), maka jika salah seorang dari kalian
hendak masuk kamar mandi (WC), ucapkanlah “Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan.”
Demikian
banyak orang yang terkena gangguan jin adalah di tempat-tempat buang hajat.
Dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata,
أَنَّ رَجُلاً مَرَّ
وَرَسُولُ اللَّهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ
“Ada seseorang yang melewati Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang
tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak membalasnya.” (HR.
Muslim no. 370).
Hadits di atas
menunjukkan -kata Imam Nawawi rahimahullah- bahwa dimakruhkan bagi yang sedang
buang hajat untuk membaca dzikir apa pun itu. Ia tidak boleh mengucapkan
subhanallah, laa ilaha illallah, tidak menjawab salam dan tidak pula menjawab
doa orang yang bersin. Begitu pula yang berada di kamar mandi tidak mengucapkan
alhamdulillah ketika bersin. Ia pun tidak menjawab kumandang azan.
Perlu dicatat:
Makruh adalah istilah ulama jaman dahulu untuk menyebut hal yang dibenci atau
haram tetapi tidak ada dalil yang jelas tentang keharamannya. Bukan seperti
orang sekarang dimaknai dengan perbuatan yang
dilakukan boleh, ditinggalkan lebih baik.
Imam Nawawi
juga menegaskan bahwa membaca dzikir-dzikir semacam di atas (subhanallah, laa
ilaha illallah, dll) tidak dibolehkan juga ketika jima (hubungan intim). Jika
ada yang bersin dalam kondisi berada di kamar mandi atau saat berjima’, maka
hendaklah ia menyebut alhamdulillah di batinnya, tanpa menggerakkan lisannya.
Inilah yang dimakruhkan saat kencing dan jima’. Namun hukumnya adalah makruh
(makruh tanzih), bukan haram. Jika dilakukan, tidaklah berdosa. Lihat Syarh
Shahih Muslim, 4: 61.
Alasan
lainnya, hubungan intim dikamar mandi baiknya tidak dilakukan karena akan
semakin mudah terlihat aurat apalagi kamar mandi seringkali dipakai banyak
orang dan banyak yang lalu lalang, ditambah bisa jadi pintu kamar mandi tidak
tertutup rapat. Padahal aurat itu wajib ditutupi sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ
مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali pada istri
atau budak yang engkau miliki.” (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi
no. 2794. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Juga anak-anak
bisa jadi akan melihat tingkah laku orang tuanya di kamar mandi dan
bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan. Ini akan membuat hubungan intim yang
sebenarnya privasi, menjadi bukan rahasia lagi.
Dari Abu Sa’id
Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ
عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِى إِلَى
امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sesungguhnya termasuk manusia paling jelek
kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang menggauli
istrinya kemudian dia sebarkan rahasia ranjangnya.” (HR. Muslim no.
1437). Intinya, hubungan intim adalah hubungan rahasia, jangan sampai menjadi
bukan rahasia kala anggota keluarga dan anak-anak menjadi tahu.
Dalam Fatwa
Islamweb disebutkan
mengenai hukum hubungan intim di kamar mandi, “Adapun jima’ (hubungan intim) di
kamar mandi tidaklah terlarang. Jika ada yang melakukannya juga tidak ada
kafarah yang mesti ditunaikan. Namun seperti itu menyelisihi adab (kesopanan).
Masalah lainnya, ketika hubungan intim tidak bisa membaca sebelumnya dzikir
yang masyru’ (doa hubungan intim).”
Kesimpulan, semua
sepakat bahwa hubungan intim di ranjang dan di kamar sendiri lebih
menyenangkan. Adapun di kamar mandi asalnya masih boleh, namun kurang menjaga
adab dan meninggalkan ajaran-ajaran yang disunnahkan. Terutama bagi pengantin
baru biasanya melakukan hal-hal nekad seperti ini, semoga Allah memberikan
mereka kesabaran.
Hanya Allah
yang memberi taufik.
3.
Mencumbu
Kemaluan Istri (Oral Seks)
Ini adalah pertanyaan yang umum dilontarkan
dari banyak kalangan yaitu menanyakan apakah hukum oral seks ? Hal itu bermakna
: Menggunakan mulutnya untuk (mencumbui) organ pribadi (farji) dari istrinya,
atau sebaliknya.
Diperbolehkan bagi masing-masing suami-istri
untuk menikmati keindahan tubuh pasangannya. Allah berfirman,
هن
لباس لكم وأنتم لباس لهن
“Para istri kalian adalah pakaian bagi
kalian, dan kalian adalah pakaian bagi istri kalian.” (Q.S. Al-Baqarah:187)
Allah juga berfirman,
نساؤكم حرث لكم فأتوا
حرثكم أنى شئتم
“Para istri kalian adalah ladang bagi
kalian. Karena itu, datangilah ladang kalian, dengan cara yang kalian sukai.”
(Q.S. Al-Baqarah:223)
Hanya saja, ada dua hal yang perlu
diperhatikan: Menjauhi cara yang dilarang dalam syariat, di antaranya: (1)
Menggauli istri di duburnya; (2) Melakukan hubungan badan ketika sang istri
sedang “datang bulan”. Kedua perbuatan ini termasuk dosa besar. Dan hendaknya
dalam koridor menjaga adab-adab Islam dan tidak menyimpang dari fitrah yang
lurus.
Tentang mencium atau menjilati kemaluan
pasangan, tidak terdapat dalil tegas yang melarangnya. Hanya saja,
perbuatan ini bertentangan dengan fitrah yang lurus dan adab Islam. Betapa
tidak, kemaluan, yang menjadi tempat keluarnya benda najis, bagaimana mungkin
akan ditempelkan di lidah, yang merupakan bagian anggota badan yang mulia, yang
digunakan untuk berzikir dan membaca Alquran?
Oleh karena itu, selayaknya tindakan
tersebut ditinggalkan, dalam rangka:
·
Menjaga kelurusan fitrah yang suci dan adab yang mulia.
·
Menjaga agar tidak ada cairan najis yang masuk ke tubuh kita, seperti:
madzi.
Ini semua merupakan bagian dari usaha
menjaga kebersihan dan kesucian jiwa. Allah berfirman,
إن الله يحب التوابين ويحب
المتطهرين
“Sesungguhnya, Allah mencintai orang
yang bertobat dan mencintai orang yang menjaga kebersihan.” (Q.S.
Al-Baqarah:222)
Maksud ayat adalah Allah mencintai orang
menjaga diri dari segala sesuatu yang kotor dan mengganggu. Termasuk sesuatu
yang kotor adalah benda najis, seperti: madzi. Sementara, kita sadar bahwa,
dalam kondisi semacam ini, tidak mungkin jika madzi tidak keluar. Padahal,
benda-benda semacam ini tidak selayaknya disentuhkan ke bibir atau ke
lidah. Allahu a’lam. (Disarikan
dari Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah
Al-Faqih)
Disisi lain Asy-Syaikh
Masyhur bin Hasan Alu Salmaan hafidhahullah
menjelaskan:
Pertama-tama
aku tidak mengetahui bukti/keterangan adanya larangan mengenai perbuatan itu,
walaupun perbuatan itu seperti perbuatan seekor anjing. Seekor anjing jantan
melakukannya dengan anjing betina saat menginginkannya; dan dasar bagi seorang
hamba (Allah) adalah memuliakan dirinya atas hal-hal seperti itu.
Allah
telah mengkaruniakan nafsu kepada makhluk dalam rangka untuk menjaga
kelestarian/keberlangsungan jenisnya. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits : “Segala macam hiburan adalah baathil kecuali tiga macam : seorang
laki-laki yang bermain dan bersendau-gurau dengan istrinya, melatih kudanya,
dan berlatih memanah”.
Nabi
telah mengatakan bahwa segala jenis hiburan adalah baathil kecuali tiga jenis ini dimana merupakan hal-hal penting
yang dipertimbangkan (untuk dilakukan). Jadi, ketika seorang laki-laki
bermain-main/mencumbui istrinya untuk menghasilkan anak yang shalih serta
berlatih menunggang kuda dan memanah untuk memperkuat badannya atau
mempersiapkan diri untuk berjihad di jalan Allah (maka ini tidak mengapa).
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
bahwa segala jenis hiburan itu bathil kecuali hal-hal yang memang membawa
faedah. Dan seorang laki-laki dalam hal ini hanya dapat memenuhi kebutuhan
nafsunya dari istrinya melalui jalan jima’.
Oleh karena itu, kita mengetahui dari hal tersebut ada satu faedah fiqhiyyah
yang mengatakan : Jika perbuatan jima’
diperbolehkan, maka segala hal yang (tingkatnya) lebih rendah dari perbuatan
tersebut adalah diperbolehkan. Dari sini didapatkan satu keterangan bahwa
oral seks diperbolehkan.
Terdapat
pula keterangan dari Al-Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya bahwa jika perbuatan jima’
diperbolehkan, maka segala sesuatu yang (tingkatnya) lebih rendah dari itu
juga diperbolehkan, dan kemudian ia menyebutkan permasalahan ini (oral seks).
Permasalahan ini beliau sebutkan dalam tafsir Surat Al-Ahzaab[1] dengan
menyebutkan perkataan dari Al-Ashbagh, salah satu shahabat dari Al-Imam Malik.,
mengenai seorang laki-laki yang menjilat farji (vagina) istrinya. Ashbagh
berkata : “Aku tidak memandang terdapat satu masalah mengenai hal itu”.
Perkataan ini dapat ditemukan dalam Tafsir
Al-Imam Al-Qurthubi.
[1] Yang benar adalah QS. Al-An-Nuur
ayat 31. Al-Qurthubi menyebutkan :
قال ابن العربي. وقد قال أصبغ من علمائنا:
يجوز له أن يلحسه بلسانه
“Telah berkata Ibnul-‘Arabiy : Berkata Ashbagh dari
kalangan ulama kita (Malikiyyah) : ‘Diperbolehkan untuk menjilatnya
(farji/vagina) dengan lidahnya” [Tafsir
Al-Qurthubiy, 12/232]
Al-Imam
Al-Qurthubi juga menyebutkan satu pertanyaan : ‘Apakah berbicara hal-hal yang porno
dengan istri diperbolehkan?’. Al-Qurthubi menyatakan bahwa jika perbuatan jima’ diperbolehkan, maka hal yang lebih
rendah dari itu juga diperbolehkan.[2] Wallaahu
a’lam.
[2] ‘Alaudiin Al-Mardawiy Al-Hanbaliy rahimahullah dalam kitab Al-Inshaaf
mengatakan :
قال القاضي في
الجامع : يجوز تقبيل فرج المرأة قبل الجماع، ويكره بعده.
“Telah berkata Al-Qaadliy dalam Al-Jaami’ : ‘Diperbolehkan untuk mencium
farji (vagina) istri sebelum melakukan jima’,
namun dibenci jika melakukannya setelah jima’
[Al-Inshaaf, 8/33].
Adapun di antara ulama kontemporer yang membolehkan
adalah Asy-Syaikh Asy-Syinqithiy rahimahullah.
Beliau menyatakan hukumnya mubah secara mutlak, karena asal dari segala cara
dalam hubungan seks adalah halal.
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan bahwa perilaku tersebut kurang bagus, namun hukumnya boleh-boleh
saja. Adapun Asy-Syaikh As-Saami Ash-Shuqair (murid utama Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin) menjelaskan bila sampai menjilat najis, yaitu madzi, maka hukumnya
haram. Tetapi bila tidak, maka hukumnya boleh [lihat selengkapnya penjelasan
Al-Ustadz Abu ‘Umar Basyiir dalam buku Sutra Ungu hal. 143-148; Penerbit Rumah
Dzikir]
4.
Bolehkah? Muslimah Merintih Saat 'Jima'
Dalam beberapa kitab klasik seperti ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq
al-Zaujain, berbicara atau bersuara pada saat jima’ adalah hal yang
dilarang. Sebagian muslim dan muslimah juga berpegang pada pandangan ini
sehingga tidak berani bersuara, termasuk mengeluarkan rintihan, saat bercinta.
Benarkah demikian?
Salim A. Fillah dalam bukunya Barakallahu Laka... Bahagianya Merayakan
Cinta -tanpa mengurangi penghargaan terhadap Syaikh Muhammad Umar An Nawawi
Al Bantani yang telah menulis kitab tersebut- memaparkan bahwa larangan
bersuara pada saat jima’ ternyata bertentangan dengan riwayat shahih yang
menjelaskan praktik generasi sahabat.
Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Mundzir sebagaimana dikutip Imam As
Suyuthi dalam Ad Durrul Mantsur bahwa sahabat sekaligus penulis wahyu
yang mulia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pernah suatu kali menjima’ istrinya.
Tiba-tiba sang istri mengeluarkan desahan napas dan rintihan yang penuh gairah
sehingga ia sendiri pun menjadi malu pada suaminya. Tetapi Muawiyah bin Abi
Sufyan berkata, “Tidak apa-apa, tidak jadi masalah. Sungguh demi Allah, yang
paling menarik pada diri kalian adalah desahan napas dan rintihan kalian.”
Senada dengan riwayat tersebut, faqihnya sahabat, Abdullah bin Abbas
radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang hukum rintihan dan desahan saat
berjima’. Beliau menjawab, “Apabila kamu menjima’ istrimu, berbuatlah
sesukamu.”
Demikianlah praktek dan fatwa sahabat. Ternyata mereka membolehkan rintihan
dan desahan saat bercinta. Meski demikian, suami istri perlu memastikan agar
suara mereka saat bercinta itu tidak sampai terdengar orang lain, termasuk
anak-anaknya.
Wallahu
a’lam bish showwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar