Mengadopsi
anak adalah fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat kita, entah karena
orang tersebut tidak memiliki keturunan, atau karena ingin menolong orang lain,
ataupun karena sebab-sebab yang lain.
Akan tetapi, karena ketidaktahuan
banyak dari kaum muslimin tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan ‘anak
angkat’, maka masalah yang terjadi dalam hal ini cukup banyak dan
memprihatinkan.
Misalnya: menisbahkan anak angkat
tersebut kepada orang tua angkatnya, menyamakannya dengan anak kandung sehinga tidak
memperdulikan batas-batas mahram, menganggapnya berhak mendapatkan warisan
seperti anak kandung, dan pelanggaran-pelanggaran agama lainnya.
Padahal, syariat Islam yang agung
telah menjelaskan dengan lengkap dan gamblang hukum-hukum yang berkenaan dengan
masalah anak angkat ini, sehingga jika kaum muslimin mau mempelajari petunjuk
Allah Ta’ala dalam agama mereka maka mestinya
mereka tidak akan terjerumus dalam kesalahan-kesalahan tersebut di atas.
Tradisi sejak jaman Jahiliyah
Kebiasan mengadopsi anak adalah
tradisi yang sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan dibenarkan di awal kedatangan
Islam. [Lihat “Taisiirul
Kariimir Rahmaan” hal. 658 dan “Aisarut tafaasiir” 3/289] Bahkan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri
melakukannya, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadopsi Zaid bin Haritsahradhiyallahu ‘anhu sebelum beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam diutus
Allah Ta’ala sebagai nabi, kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang perbuatan
tersebut dalam firman-Nya,
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ
أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ
وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
“Dan Allah tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian
itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).
Imam Ibnu Katsir berkata,
“Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan Zaid bin Haritsah radhiyallahu
‘anhu, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum diangkat
sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak,
sampai-sampai dia dipanggil “Zaid bin Muhammad” (Zaid putranya Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam), maka Allah Ta’ala ingin
memutuskan pengangkatan anak ini dan penisbatannya (kepada selain ayah
kandungnya) dalam ayat ini, sebagaimana juga firman-Nya di pertengahan surah
al-Ahzaab,
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ
مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ
اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40)”. [Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” 3/615]
Status anak angkat dalam Islam
Firman Allah Ta’ala di atas menghapuskan kebolehan adopsi
anak yang dilakukan di jaman Jahiliyah dan awal Islam, maka status anak angkat
dalam Islam berbeda dengan anak kandung dalam semua ketentuan dan hukumnya.
Dalam ayat tersebut di atas Allah Ta’ala mengisyaratkan makna ini:
“Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu di mulutmu saja”, artinya: perbuatanmu mengangkat mereka sebagai
anak (hanyalah) ucapan kalian (semata-mata) dan (sama sekali) tidak mengandung
konsekwensi bahwa dia (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung), karena dia
diciptakan dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin
anak itu memiliki dua orang ayah. [Kitab
“Tafsir Ibnu Katsir” 3/615]
Adapun hukum-hukum yang ditetapkan
dalam syariat Islam sehubungan dengan anak angkat yang berbeda dengan kebiasaan
di jaman Jahiliyah adalah sebagai berikut:
1. Larangan
menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ
أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي
الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ
وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung)
mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah
padanya, tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 5).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat)
ini (berisi) perintah (Allah Ta’ala) yang menghapuskan perkara yang
diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang
bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan
untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang sebenarnya (ayah
kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”. [Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” 3/615]
2. Anak
angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, berbeda
dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak
kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal
dunia. [HR al-Bukhari no. 3778, lihat juga kitab “Tafsir
al-Qurthubi” 14/119].
3. Anak
angkat bukanlah mahram6, sehingga wajib bagi orang tua
angkatnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi
aurat di depan anak angkat tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang
lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa
Jahiliyah. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha bahwa Salim
maula (bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tinggal bersama Abu Hudzaifah dan
keluarganya di rumah mereka (sebagai anak angkat), maka (ketika turun ayat yang
menghapuskan kebolehan adopsi anak) datanglah Sahlah bintu Suhail radhiyallahu ‘anhu,
istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan
dia berkata: Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah
paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk
rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu
Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Susukanlah dia
agar engkau menjadi mahramnya
dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri Abu Hudzaifah”
[HR Muslim no. 1453]. Lihat
kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/615).
4. Diperbolehkannya
bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya, berbeda dengan
kebiasaan di jaman Jahiliyah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ
اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ
وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ
إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولا
“Dan (ingatlah),
ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya
dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan
bertaqwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang
Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya (menceraikannya). Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi” (QS al-Ahzaab: 37).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di
berkata: “Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala ingin
menetapkan ketentuan syriat yang umum bagi semua kaum mukminin, (yaitu) bahwa
anak-anak angkat hukumnya berbeda dengan anak-anak yang sebenarnya (kandung)
dari semua segi, dan bahwa (bekas) istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak
angkat mereka… Dan jika Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan
menjadikan suatu sebab bagi terjadinya hal tersebut, (yaitu kisah) Zaid bin
Haritsah yang dipanggil “Zaid bin Muhammad” (di jaman Jahiliyah), karena
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah
mengangkatnya sebagai anak, sehingga dia dinisbatkan kepada nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sampai turunnya firman Allah:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ
اللَّهِ
“Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung)
mereka” (QS al-Ahzaab: 5).
Maka setelah itu dia dipanggil “Zaid
bin Haritsah”.
Istri Zaid bin Haritsah adalah
Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha, putri bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Telah terlintas dalam hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika Zaid
menceraikannya maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menikahinya. Kemudian Allah
menakdirkan terjadinya sesuatu antara Zaid dengan istrinya tersebut yang
membuat Zaid mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta izin kepada beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk
menceraikan istrinya… (Kemudian setelah itu Allah Ta’ala menikahkan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan
Zainab bintu Jahsy radhiyallahu
‘anha sebagaimana
ayat tersebut di atas)”. [Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” hal. 665]
Memanggil ‘anak atau nak’ kepada orang lain untuk
memuliakan dan kasih sayang
Hal ini diperbolehkan dan sama
sekali tidak termasuk perkara yang dilarang dalam ayat di atas. Karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam sendiri
melakukannya, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih, di
antaranya:
– Dari Ibnu Abbas radhiayallahu
‘anhuma dia berkata:
Ketika malam (menginap) di Muzdalifah, kami anak-anak kecil keturunan Abdul
Muththalib datang kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (dengan
menunggangi) keledai, lalu beliau menepuk paha kami dan bersabda: “Wahai
anak-anak kecilku, janganlah kalian melempar/melontar Jamrah ‘aqabah (pada
hari tanggal 10 Dzulhijjah) sampai matahari terbit”. [HR Abu Dawud no. 1940, Ibnu Majah no. 3025
dan Ahmad 1/234, dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.]
– Dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu dia berkata:
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallampernah berkata kepada: “Wahai anakku”. [HR Muslim no.2151]. Lihat kitab “Tafsir Ibnu
Katsir” (3/615).
Oleh karena itu, imam an-Nawawi
dalam kitab “shahih Muslim” (3/1692) mencantumkan hadits ini dalam bab:
Bolehnya seseorang berkata kepada selain anaknya: “Wahai anakku”, dan
dianjurkannya hal tersebut untuk menunjukkan kasih sayang.
Penutup
Demikianlah penjelasan singkat
tentang hukum mengadopsi anak dalam Islam. Meskipun jelas ini bukan berarti
agama Islam melarang umatnya untuk berbuat baik dan menolong anak yatim dan
anak terlantar yang membutuhkan pertolongan dan kasih sayang.
Sama sekali tidak! Yang dilarang
dalam Islam adalah sikap berlebihan terhadap anak angkat seperti yang dilakukan
oleh orang-orang di jaman Jahiliyah, sebagaimana penjelasan di atas.
Agama Islam sangat menganjurkan
perbuatan menolong anak yatim dan anak terlantar yang tidak mampu, dengan
membiayai hidup, mengasuh dan mendidik mereka dengan pendidikan Islam yang
benar. Bahkan perbuatan ini termasuk amal shaleh yang bernilai pahala besar di
sisi Allah Ta’ala,
sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ
فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا ، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ
بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Aku dan orang yang menyantuni anak yatim (kedudukannya) di
surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya. [HR al-Bukhari no. 4998 dan 5659]
Artinya: orang yang menyantuni anak
yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan
kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Lihat kitab “’Aunul Ma’buud”
(14/41) dan “Tuhfatul ahwadzi” (6/39).]
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan
ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan
sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia melimpahkan taufik dan kemudahan
dari-Nya kepada kita untuk mencapai keridhaan-Nya dengan melaksanakan semua
kebaikan dalam agama-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan
doa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar