Seseorang belumlah dikatakan mengenal hakekat Syi’ah
Rafidhah dengan sebenar-benarnya bila belum mengetahui hakekat taqiyyah disisi
mereka. Padahal dengan taqiyyah inilah, mereka berhasil mengelabui sekian
banyak kaum muslimin.
Maka janganlah kita tercengang kalau mendengar atau
membaca sedemikian ragam tanggapan positif sebagian kaum muslimin terhadap
mereka seperti: "Para penganut Syi’ah Rafidhah merupakan bagian dari kaum
muslimin, Negara Iran yang resmi berasaskan aqidah Syi’ah Ja’fariyah (bagian
dari sekte Syi’ah Rafidhah) adalah negara Islam, Khomeini merupakan tokoh revolusi
Islam Iran, gagasan untuk diadakan taqrib (persatuan pandangan) antara Syi’ah
dan Sunni (Ahlus Sunnah), anggapan bahwa aqidah Syi’ah Rafidhah yang menyatakan
bahwa para sahabat Nabi telah kafir, Al Qur’an telah mengalami perubahan
hanyalah sekedar tuduhan Ahlus Sunnah semata".
Definisi Taqiyyah
Taqiyyah menurut etimologi bahasa Arab bermakna:
Menyembunyikan dan menjaga. (Lisanul Arab 15/401)
Sedangkan secara terminologi syariat, taqiyyah memiliki
arti: Menyembunyikan keimanan karena tidak mampu menampakkannya ditengah-tengah
orang kafir dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan dan hartanya dari kejahatan
mereka. (Disarikan dari Atsarut Tasyayyu’ hal 33 - 34)
Taqiyyah Menurut Tinjauan Syariat Islam
Islam sebagai agama yang sempurna dan penuh rahmat telah
mengatur hubungan penganutnya dengan orang-orang kafir yang zhalim dan
menguasai kehidupan keagamaan kaum muslimin. Pada saat yang sama, Islam juga
sangat memperhatikan kelangsungan hidup para pemeluknya.
Dalam rangka mencapai dua keadaan itu, Islam memberikan
salah satu solusi kepada umatnya berupa taqiyyah berdasarkan bimbingan
dalil-dalil syar’i. Di dalam dalil–dalil tersebut terdapat kriteria-kriteria
yang membolehkan seorang muslim melakukan taqiyyah. Kriteria-kriteria tersebut
adalah:
1.
Dia tidak mampu melakukan hijrah syar’i dari negeri orang kafir yang dia
tinggal di dalamnya, karena alasan (udzur) yang syar’i pula. (An Nisaa’: 97-98)
2.
Taqiyyah dilakukan dihadapan orang-orang kafir. (Ali Imran: 28)
3.
Taqiyyah ditempuh karena dia benar-benar dalam keadaan dipaksa untuk
mengucapkan atau mengerjakan kekufuran. (An Nahl: 106)
4.
Bersamaan itu, dia benar-benar merasa ketakutan dari kejahatan orang-orang
kafir. (Ali Imran: 28)
5.
Walaupun demikian, hatinya tetap tenang dan kokoh diatas keimanan. (An
Nahl: 106)
Taqiyyah Menurut Tinjauan Syi’ah Rafidhah
Atas dasar riwayat-riwayat batil yang ada pada mereka,
maka dapat dipastikan bahwa mereka telah berbuat 3 kesalahan fatal:
A.
Definisi Taqiyyah Yang Bertentangan Dengan Definisi Taqiyyah Secara Syar’i
Di dalam Al Kasykul 1/202 karya Yusuf Al Bahrani
mengatakan: “ Yang dimaksud dengan taqiyyah adalah menampakkan kesamaan
dengan keyakinan agama orang-orang yang menyelisihi mereka karena adanya rasa
takut.”
Al Kulaini meriwayatkan -dengan dusta- dari Abu Ja’far,
beliau berkata: “Berkumpullah dengan mereka (orang-orang yang menyelisihi
Syi’ah Rafidhah -red) secara dhahir namun selisihilah mereka secara batin”.
Al Khomeini di dalam Kasyful Asrar hal. 147
mendefinisikan makna taqiyyah: “Seseorang yang mengucapkan atau mengamalkan
sesuatu, berbeda dengan kenyataan (hatinya) yang membatalkan
timbangan-timbangan syariat …”.
Tampak dari ucapan-ucapan mereka bahwa definisi taqiyyah
menurut Syi’ah Rafidhah:
1.
Tidak membedakan apakah taqiyyah mereka amalkan dihadapan kaum muslimin
atau orang-orang kafir. Lalu apa bedanya mereka dengan orang-orang munafik di
jaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam ?!.
2.
Apa yang mereka sembunyikan bukanlah keimanan namun justru kekufuran
tatkala berkumpul dengan kaum muslimin.
3.
Taqiyyah mereka tidak memperhatikan timbangan-timbangan atau
kriteria-kriteria syar’i.
B.
Kedudukan dan Keutamaan Taqiyyah yang Berlebihan Menurut Syi’ah Rafidhah
1.
Taqiyyah adalah pokok agama mereka.
Al
Kulaini di dalam Al Kafi 2/174 menukilkan –dengan dusta- ucapan Abu Ja’far: “Taqiyyah
merupakan agamaku dan agama para pendahuluku. Tidak ada keimanan bagi seseorang
yang tidak bertaqiyyah”. Dalam riwayat lain -dengan dusta- dari Abu
Abdillah: “Tidak ada agama bagi seorang yang tidak bertaqiyyah”.
2.
Taqiyyah adalah kemuliaan agama seseorang.
Al
Kulaini di dalam Al Kafi 2/176 meriwayatkan –dengan dusta- ucapan Abu Abdillah
kepada Sulaiman bin Khalid: “Wahai Sulaiman, sesungguhnya engkau diatas
agama yang apabila seseorang menyembunyikannya (bertaqiyyah), maka Allah akan
muliakan dia. Barangsiapa menampakkannya maka Allah akan hinakan dia”.
3.
Taqiyyah merupakan sebuah ibadah yang paling dicintai Allah
Abu
Abdillah mengatakan di dalam Al Kafi 2/219 karya Al Kulaini –dengan dusta- : “Tidaklah
Allah diibadahi dengan suatu amalan yang lebih Dia cintai daripada Al Khab’u.
Aku (periwayat) bertanya: “Apa itu Al Khab’u ? Beliau menjawab: “Taqiyyah”.
4.
Taqiyyah merupakan seutama-utama amalan hamba.
Di
dalam Tafsirul Askari hal. 163 dinukilkan -dengan dusta- bahwa Ali bin Abi
Thalib pernah berkata: “Taqiyyah merupakan salah satu amalan mukmin yang
paling utama. Dia menjaga diri dan saudaranya dengan taqiyyah dari orang-orang
jahat (kaum muslimin -red).
5.
Taqiyyah merupakan semulia-mulia akhlak.
Dari
Al Baqir, dia berkata: “Semulia-mulia akhlak para imam dan orang-orang mulia
dari kelompok kami adalah taqiyyah”. (Al Ushul Ashliyah hal. 320 karya
Abdullah Syabbar)
6.
Hukum taqiyyah setingkat tauhid dan shalat wajib
Al
Qummi di dalam Al I’tiqadaat mengatakan: “Taqiyyah hukumnya wajib.
Barangsiapa meninggalkannya maka kedudukannya seperti meninggalkan shalat
wajib.”
Dia meriwayatkan didalam kitab tersebut dari Ali bin Hasan –dengan dusta– beliau berkata: “Allah mengampuni seluruh dosa seorang mukmin dan mensucikannya di dunia dan akhirat kecuali 2 dosa: meninggalkan taqiyyah dan meninggalkan hak-hak saudaranya (saudara sesama Syi’ah Rafidhah –red).”
7.
Mereka membatasi kewajiban bertaqiyyah sampai munculnya
Imam Mahdi
Al Qummi di dalam Al I’tiqadaat juga mengatakan: “Taqiyyah hukumnya wajib. Tidak boleh menghapus kewajiban itu sampai muculnya Imam Mahdi...”.
C.
Munculnya Amalan-Amalan Kemungkaran Sebagai Realisasi
Pandangan Sesat Mereka Terhadap Taqiyyah
1.
Pengkafiran kaum muslimin yang tidak melakukan taqiyyah ala Syi’ah
Rafidhah.
Al
Qummi di dalam Al I’tiqadaat ketika menyebutkan tentang kewajiban taqiyyah,
mengatakan: “... Barangsiapa meninggalkan (taqiyyah) sebelum munculnya Imam
Mahdi maka dia telah keluar dari agama Allah, agama Imamiyyah dan menyelisihi
Allah, Rasul serta para imam mereka.”
2.
Pembolehan untuk melakukan taqiyyah didalam segala keadaan walaupun dalam
keadaan tidak terpaksa
Ath
Thusi meriwayatkan –dengan dusta– di dalam Al Amaali hal. 229 dari Ash Shadiq,
beliau berkata: “Bukanlah dari golongan kami, seseorang yang tidak
menjadikan taqiyyah sebagai syiar dan bajunya walaupun ditengah orang-orang
yang dia percayai. Hal itu tetap dia lakukan agar selalu menjadi tabiatnya
ketika ditengah orang-orang yang mengancamnya.”
3.
Ibadah yang diiringi dengan taqiyyah memiliki keutamaan besar
Ash
Shaduq di dalam Man Laa Yahdhuruhul Faqih 1/266 meriwayatkan –dengan dusta–
dari Abu Abdillah, berkata: “Tidaklah salah seorang diantara kalian
menunaikan shalat wajib sesuai waktunya lalu shalat lagi dengan taqiyyah
bersama mereka (kaum muslimin) dalam keadaan berwudlu’ kecuali Allah tulis
(keutamaan) baginya sebesar 25 derajat. Oleh karena itu berharaplah kalian
untuk mendapatkannya.”
4.
Riwayat-riwayat para Imam mereka yang bertolak belakang dengan aqidah
mereka dianggap sebagai taqiyyah (diringkas dari Firaqusy Syi’ah hal. 85-87
karya An Naubakhti)
5.
Penafsiran yang batil terhadap ayat-ayat Allah Ta'ala
Surat
Fushshilat 34 : artinya:
“Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejelekan. Balaslah (kejelekan itu)
dengan cara yang lebih baik.”
Abu
Abdillah berkata: “Kebaikan itu adalah taqiyyah, sedangkan kejelekan itu adalah
terang-terangan di dalam beragama.” (Al Kafi 2/173 karya Al Kulaini)
Sedangkan
‘cara yang lebih baik’ itu adalah taqiyyah. (Al Kafi hal. 482 karya Al Kulaini)
Surat
Al Hujurat 13 :
artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah
adalah yang paling taqwa.”
Ash
Shadiq - seorang syi'i - berkata: “Yaitu orang-orang yang paling mengetahui
tentang taqiyyah.” (Al I’tiqadaat karya Al Qummi)
Aqidah Taqiyyah Merupakan Ciri Khas Syi’ah Rafidhah
Di dalam Al I’tiqadaat karya Al Qummi diriwayatkan –dengan dusta– dari Ali bin Husain, beliau berkata: “Kalau seandainya tidak ada taqiyyah maka wali-wali kami tidak akan dikenal diantara musuh-musuh kami.”
Hakekat Taqiyyah Syi’ah Rafidhah Sama Dengan Kemunafikan
Sangat tepat untuk dinyatakan bahwa hakekat taqiyyah mereka tidaklah beda dengan kemunafikan di masa kenabian Rasul Shallallahu 'alaihi wassallam. Padahal Allah Ta'ala banyak memperingatkan sifat-sifat mereka (kaum munafik) di dalam kitab-Nya, diantaranya:
وَإِذَا لَقُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ قَالُواْ آمَنَّا
وَإِذَا خَلَوْاْ إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ
مُسْتَهْزِئُونَ
“Dan
jika mereka (kaum munafik) bertemu dengan orang-orang beriman mereka berkata:
‘Kami beriman.’ Namun bila mereka bertemu dengan para syaithan, mereka berkata:
‘Sesungguhnya kami bersama kalian. Kami hanyalah mengejek mereka (kaum
muslimin).” (Al Baqarah: 14)
Allah juga berfirman :
يَقُولُونَ
بِأَلْسِنَتِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ
“Mereka (orang-orang munafik) mengatakan sesuatu yang
berbeda dengan apa yang ada di hatinya.” (Al Fath: 11)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam mengingatkan tentang keadaan mereka:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَجِدُ مِنْ شَرِّ
النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي
هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ
“Dan kalian akan dapati sejelek-jelek manusia adalah yang
bermuka dua, yaitu dia mendatangi suatu kaum dengan satu wajah dan mendatangi
kaum yang lain dengan wajah yang lain pula.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ahli Bait Berlepas Diri Dari Taqiyyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam Minhajus Sunnah 2/46 menyebutkan bahwa Allah membersihkan kaum mukminin dari kalangan Ahli Bait dari perbuatan taqiyyah. Bahkan mereka merupakan manusia paling jujur dalam keimanan. Agama mereka adalah ketaqwaan dan bukan taqiyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar