Benarkah syarat menasihati orang lain atau syarat amar
makruf nahi mungkar adalah harus bersih dari dosa alias maksum?
Ibnu Rajab Al-Hambali berkata,
فلا بد للإنسان من الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر و الوعظ و التذكير و لو
لم يعظ إلا معصوم من الزلل لم يعظ الناس بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم أحد
لأنه لا عصمة لأحد بعده
“Tetap bagi setiap orang untuk mengajak yang lain pada
kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Tetap ada saling menasihati dan saling
mengingatkan. Seandainya yang mengingatkan hanyalah orang yang maksum (yang
bersih dari dosa, pen.), tentu tidak ada lagi yang bisa memberi nasihat
sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
ada lagi yang maksum.”
Dalam bait sya’ir disebutkan,
لئن لم يعظ العاصين من هو مذنب … فمن يعظ العاصين بعد محمد
“Jika orang yang berbuat dosa tidak boleh memberi nasihat
pada yang berbuat maksiat, maka siapa tah lagi yang boleh memberikan nasihat
setelah (Nabi) Muhammad (wafat)?”
Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanad yang dha’if, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مروا بالمعروف و إن لم تعملوا به كله و انهوا عن المنكر و إن لم تتناهوا عنه
كله
“Perintahkanlah pada yang makruf (kebaikan), walau engkau
tidak mengamalkan semuanya. Laranglah dari kemungkaran walau engkau tidak bisa
jauhi semua larangan yang ada.”
Ada yang berkata pada Al-Hasan Al-Bashri,
إن فلانا لا يعظ و يقول : أخاف أن أقول مالا أفعل فقال الحسن : و أينا يفعل ما
يقول ود الشيطان أنه ظفر بهذا فلم يأمر أحد بمعروف و لم ينه عن منكر
“Sesungguhnya ada seseorang yang enggan memberi nasihat
dan ia mengatakan, “Aku takut berkata sedangkan aku tidak mengamalkannya.”
Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Apa ada yang mengamalkan setiap yang ia ucapkan?”
Sesungguhnya setan itu suka manusia jadi seperti itu. Akhirnya, mereka enggan
mengajak yang lain dalam perkara yang makruf (kebaikan) dan melarang dari
kemungkaran.
Malik berkata dari Rabi’ah bahwasanya Sa’id bin Jubair
berkata,
لو كان المرء لا يأمر بالمعروف و لا ينهى عن المنكر حتى لا يكون فيه شيء ما
أمر أحد بمعروف و لا نهى عن منكر قال مالك : و صدق و من ذا الذي ليس فيه شيء
“Seandainya seseorang tidak boleh beramar makruf nahi
mungkar (saling mengingatkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, pen.)
kecuali setelah bersih dari dosa, tentu ada yang pantas untuk amar makruf nahi
mungkar.” Malik lantas berkata, “Iya betul. Siapa yang mengaku bersih dari
dosa?”
Dalam bait sya’ir disebutkan,
من ذا الذي ما ساء قط … و من له الحسنى فقط
“Siapa yang berani mengaku telah bersih dari dosa sama
sekali. Siapa yang mengaku dalam dirinya terdapat kebaikan saja (tanpa ada
dosa, pen.)?”
‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkhutbah pada suatu hari. Ia menasihati,
إني لأقول هذه المقالة و ما أعلم عند أحد من الذنوب أكثر مما أعلم عندي
فاستغفر الله و أتوب إليه
“Sungguh aku berkata dan aku lebih tahu bahwa tidak ada
seorang pun yang memiliki dosa lebih banyak dari yang aku tahu ada pada diriku.
Karenanya aku memohon ampun pada Allah dan bertaubat pada-Nya.”
‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz juga pernah menuliskan surat berisi nasihat pada beberapa
wakilnya yang ada di berbagai kota:
“Aku beri nasihat seperti ini. Padahal aku sendiri telah
melampaui batas terhadap diriku dan pernah berbuat salah. Seandainya seseorang
tidak boleh menasihati saudaranya sampai dirinya bersih dari kesalahan, maka
tentu semua akan merasa dirinya telah baik (karena tak ada yang menasihati,
pen.). Jika disyaratkan harus bersih dari kesalahan, berarti hilanglah amar
makruf nahi mungkar. Jadinya, yang haram dihalalkan. Sehingga berkuranglah
orang yang memberi nasihat di muka bumi. Setan pun akhirnya senang jika tidak ada
yang beramar makruf nahi mungkar sama sekali. Sebaliknya jika ada yang saling
menasihati dalam kebaikan dan melarang dari kemungkaran, setan akan
menyalahkannya. Setan menggodanya dengan berkata, kenapa engkau memberi nasihat
pada orang lain, padahal dirimu sendiri belum baik.”
Demikian penjelasan menarik dari Ibnu Rajab dalam Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 42-43.
Penjelasan di atas bukan berarti kita boleh tetap terus
dalam maksiat. Maksiat tetaplah ditinggalkan. Pemaparan Ibnu Rajab hanya ingin
menekankan bahwa jangan sampai patah semangat dalam menasihati orang lain walau
diri kita belum baik atau belum sempurna. Yang penting kita mau terus
memperbaiki diri.
Tetap saja yang lebih baik adalah ilmu itu diamalkan,
baru didakwahi. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2)
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-
Shaff: 2-3).
Pokoknya jangan sampai melupakan diri sendiri. Ingatlah
kembali ayat,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ
تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan)
kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca
Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah:
44).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar