Islam selalu mendatangan kemudahan. Inna
ad diina yusrun [HR. Bukhari no. 39],
sesungguhnya Islam itu mudah, demikian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Di antara kemudahan yang diberikan oleh Islam adalah memberikan
keringanan saat thoharoh (bersuci). Ketika seseorang mesti mengenakan khuf
(sejenis sepatu) dan sulit ia copot karena berada dalam perjalanan (misalnya),
maka Islam mengajarkan jika kondisi demikian sepatu tersebut tidak perlu
dilepas. Sepatu tersebut hanya perlu diusap asalkan sebelumnya dikenakan dalam
keadaan suci. Baik, bagaimanakah Islam menjelaskan hal ini? Alangkah bagusnya
kita menyimak ulasan sederhana berikut ini.
Apa itu Khuf dan Apa yang Dimaksud Mengusap?
Khuf adalah alas kaki dari kulit yang menutupi mata kaki.
[Subulus Salam, 1/233]
Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mash” yaitu tangan yang dalam
keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu. [Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob,
2/266]
Jadi yang dimaksud mengusap khuf adalah
membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian yang khusus, dan pada waktu
yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki saat berwudhu. [Ad Durul
Mukhtar, 1/281]
Dalil Pensyariatan Khuf
Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf
adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi
Tholib radhiyallahu ‘anhu,
لَوْ كَانَ الدِّينُ
بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
“Seandainya agama itu dengan logika
semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian
atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengusap bagian atas khufnya.” [HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]
Ada juga riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah
Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian
berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan padanya, “Betul
engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jarir. Saya pernah melihat
Rasulullahshallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau
berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui bahwa
Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
(QS. Al Maidah: 6) [Lihat HR. Ibnu
Majah no. 543. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah menjelaskan
bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya surat Al Maidah
di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah dihapus dengan ayat
Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jabir ternyata belakangan setelah turun
surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits mengusap khuf itu
masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki (bukan mengusap
khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang mengenakan khuf.
Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus bagi ayat di atas. Demikian
kata An Nawawi. [Tuhfatul Ahwadzi, 1/264]
Dalil yang menjelaskan disyari’atkannya
mengusap khuf diriwayatkan lebih dari 80 sahabatradhiyallahu ‘anhum, di
antara mereka adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga. [Ad
Durul Mukhtar, 1/286]
Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan,
“Tidak ada beda pendapat di kalangan sahabat akan bolehnya mengusap khuf.
Karena setiap riwayat yang menunjukkan kalau mereka mengingkari bolehnya hal
itu, dalam riwayat lainnya menunjukkan kebalikannya yaitu mereka membolehkan
mengusap khuf.” [Subulus Salam, 1/235]
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan,
“Aku tidak mengetahui riwayat dari salaf yang mengingkari bolehnya mengusap
khuf kecuali dari Malik. Namun riwayat shahih dari Imam Malik adalah beliau
membolehkan mengusap khuf.” [Subulus Salam, 1/235]
Hukum Mengusap Khuf
Hukum asal mengusap khuf adalah boleh.
Menurut mayoritas ulama,
mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf
adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam. Allah subhanahu wa
ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh (keringanan),
sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut ulama
Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang mengambil
rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu)
adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan. [Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/262]
Hikmah Mengusap Khuf
Hikmah mengusap khuf adalah untuk
mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang
dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki,
apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu
pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi
ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung. [Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/262]
Syarat Bolehnya Mengusap Khuf
Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan
mengusap khuf adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu
atau mandi -- Sebagaimana pendapat mayoritas ulama selain Syafi’iyah. Lihat Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/264) terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al
Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku
pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku
sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau membasuh wajahnya,
lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,
دَعْهُمَا ، فَإِنِّى
أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
“Biarkan keduanya (tetap kukenakan).
Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.” Lalu
beliau cukup mengusap khufnya saja. [HR. Ahmad 4/251, Bukhari no. 206 dan
Muslim no. 274] Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah
bersuci dengan sempurna adalah syarat yang disepakati oleh para ulama. [Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/264]
Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian
ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu),
harus kokoh dan kuat digunakan untuk berjalan, maka tentang hal ini telah
dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan
lemahnya pendapat tersebut. [Fiqih Sunnah, 1/47]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan diketahui bahwa cacat ringan
secara adat yang didapati pada khuf seperti adanya belahan, sobekan,
lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di
masa dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf
baru.” [Majmu’ Al Fatawa, 21/174] Pendapat
yang tepat adalah masih bolehnya mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan)
selama masih disebut khuf dan selama masih kuat untuk
digunakan berjalan. [Shahih Fiqh Sunnah, 1/154]
Bagian Mana yang Diusap?
Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh
khuf, atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau
kotoran. Yang diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap
adalah bagian punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi
lalu khuf diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ) yang sudah disebutkan di awal.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi
Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَ الدِّينُ
بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
“Seandainya agama itu dengan logika
semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian
atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengusap bagian atas khufnya.” [HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]
Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf
Keringanan mengusap khuf di sini bukan
selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim,
jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk
musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).
Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,
فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ
عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا
سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ
غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan
dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari
tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami
tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing).
Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.” [HR. Ahmad
4/239. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa penjelasan mengenai mengusap
khuf dalam hadits ini dinilai shahih lighoirihi (dilihat dari jalur lain).
Sedangkan sanad ini hasan dilihat dari jalur ‘Ashim]
Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku
pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf.
‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib,
tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ
وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam enjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi
musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” [HR. Muslim no. 276]
Kapan dihitung 1×24 jam (bagi mukim) atau
3×24 jam (bagi musafir)?
Hitungannya adalah dimulai dari mengusap
pertama kali setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An
Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini
menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah
ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari
hadits. Wallahu a’lam. [Shahih Fiqh Sunnah, 1/152]
Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai
safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil
(kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan shalat
Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi Ahmad. Jadi setelah
3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi Ahmad
usai.
Cara Mengusap Khuf
Setelah berwudhu secara sempurna lalu
mengenakan khuf, kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja
yang diusap sebagai ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini
diberikan bagi orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam.
Namun ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya
melepas sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits
Shafwan di atas. [Fiqih Sunnah, 1/48]
Pembatal Mengusap Khuf
- Berakhirnya waktu mengusap khuf.
- Terkena junub.
- Melepas sepatu. [Fiqh Sunnah, 1/ 48 dan Shahih Fiqh Sunnah, 1/155]
Jika khuf dilepas –dan masa mengusap khuf
belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan
mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan kakinya dalam
keadaan tidak suci.
Jika salah satu pembatal di atas ada, maka
tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats, ia berwudhu
lagi, lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat itu. Kemudian setelah itu,
ia boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya. [Shahih Fiqh Sunnah, 1/155]
Catatan penting: Jika salah satu pembatal
mengusap khuf di atas terwujud tidak berarti wudhunya batal jika memang masih
dalam keadaan suci. Demikian pendapat An Nakho’i, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’,
Ibnu Hazm, pilihan An Nawawi, Ibnul Mundzir dan Ibnu Taimiyah. [Shahih Fiqh
Sunnah, 1/156]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar