1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia
Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلَيْهِ الأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ
“Jika
salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya,
maka tanahlah yang nanti akan menyucikannya.”[ HR. Abu Daud no. 385]
Al adza (kotoran)
adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri,
dsb. Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis,
termasuk pula kotoran manusia. [‘Aunul
Ma’bud, 2/34] Selain
dalil di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang
menunjukkan najisnya kotoran manusia. [Shahih
Fiqh Sunnah, 1/71]
Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,
أَنَّ
أَعْرَابِيًّا بَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دَعُوهُ وَلاَ تُزْرِمُوهُ ». قَالَ
فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ.
“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu
sebagian orang (yakni sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya)”. Setelah orang
badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.” [HR. Muslim no. 284]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan,
“Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi mengenai kenajisannya,
lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.” [Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22]
Mengenai kencing bayi
laki-laki dan perempuan untuk pensuciannya ternyata dibedakan dalam syari’at
Islam. Ini berlaku untuk bayi yang
menjadikan Air Susu Ibu (ASI) sebagai kebutuhannya, belum menjadikan makanan
sebagai konsumsi pokok. Kencing bayi laki-laki cukup diperciki sedangkan bayi
perempuan harus dicuci sebagaimana kencing lainnya.
Dari Abu As Samh radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ
الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Kencing bayi perempuan itu dicuci, sedangkan
bayi laki-laki diperciki.” (HR. Abu Daud no. 376 dan An Nasai no.
305
Dalam hadits lain dari Ummu Qois,
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ
مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ ، لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – فِى حِجْرِهِ ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ
وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Dari Ummu Qois binti Mihshon,
bahwasanya ia datang dengan anak laki-lakinya yang masih kecil dan anaknya
tersebut belum mengkonsumsi makanan. Ia membawa anak tersebut ke hadapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
lantas mendudukkan anak tersebut di pangkuannya. Anak tersebut akhirnya kencing
di pakaian beliau. Beliau lantas meminta diambilkan air dan memercikkan bekas
kencing tersebut tanpa mencucinya. (HR. Bukhari no. 223 dan Muslim no. 287).
3,4 – Madzi dan Wadi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya,
berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi
tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis,
lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’
(bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan
lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat.
Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi. [Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Al
‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262,
Mawqi’ Al Ifta’.]
Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan
kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً
وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ
ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ
ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ ».
“Aku termasuk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal
ini kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di
sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia
berwudhu”.” [HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303]
Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma mengatakan,
الْمَنِىُّ
وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ،
وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ
وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ.
“Mengenai
mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi
dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah
sebagaimana wudhumu untuk shalat.” [HR. Al Baihaqi no. 771]
5 – Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan
Contohnya adalah kotoran keledai
jinak,
Keledai jinak termasuk hewan yang
diharamkan untuk dimakan. Inilah pendapat mayoritas ulama. Di antara dalilnya
adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ
وَأَذِنَ فِى لُحُومِ الْخَيْلِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pada perang Khoibar memakan daging
keledai jinak, dan beliau mengizinkan memakan daging kuda.” (HR.
Bukhari no. 4219 dan Muslim no. 1941)
kotoran anjing,
Anjing termasuk hewan yang haram
dimakan karena ia termasuk hewan buas (yang dapat menyerang manusia) dan
bertaring. Padahal Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ
السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap
hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no.
1933, dari Abu Hurairah).
dan kotoran babi.
Babi termasuk hewan yang haram
dimakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Qs. Al An’am ayat 145.
Abdullah bin Mas’udradhiyallahu
‘anhu berkata,
أَرَادَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ يَتَبَرَّزَ فَقَالَ :
إِئْتِنِي بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ لَهُ حَجْرَيْنِ وَرَوْثَةِ حِمَارٍ
فَأمْسَكَ الحَجْرَيْنَ وَطَرَحَ الرَّوْثَةَ وَقَالَ : هِيَ رِجْسٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci
setelah buang hajat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah
batu untukku.” Kemudian aku mendapatkan dua batu dan kotoran
keledai. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan
membuang kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk
najis”.” [HR. Ibnu Khuzaimah no.
70]
Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya
semacam kotoran keledai jinak adalah najis.
6 – Darah haidh
Dalil yang menunjukkan hal ini, dari
Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,
إِحْدَانَا
يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa
yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تَحُتُّهُ
ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ
“Gosok
dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah
dengannya.” [HR.
Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan,
“Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan
kenajisannya.” [ Ar Roudhotun Nadiyah,
hal. 30]
7 – Jilatan anjing
Dari Abu Hurairah, beliau berkata
bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ
إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara
menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci
sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” [HR. Muslim no. 279]
Yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang termasuk najis adalah jilatannya saja.
Sedangkan bulu dan anggota tubuh lainnya tetap dianggap suci sebagaimana hukum
asalnya. [Majmu’ Al Fatawa]
8 – Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati
begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i. [Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/73] Najisnya bangkai adalah berdasarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
Abdullah bin ‘Abbas,
إِذَا
دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Apabila
kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”
Bangkai yang dikecualikan adalah :
a – Bangkai ikan dan belalang
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أُحِلَّتْ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ
وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Kami
dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan
belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” [HR. Ibnu Majah no. 3314]
b – Bangkai hewan yang
darahnya tidak mengalir
Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ ، فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ، ثُمَّ
لْيَطْرَحْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِى الآخَرِ دَاءً
“Apabila
seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah
lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat
ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya.”
[HR. Bukhari no. 5782]
c – Tulang, tanduk, kuku,
rambut dan bulu dari bangkai
Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan
kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci. Mengenai hal ini telah
diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa
sanad), beliaurahimahullah berkata,
وَقَالَ
حَمَّادٌ لاَ بَأْسَ بِرِيشِ الْمَيْتَةِ . وَقَالَ الزُّهْرِىُّ فِى عِظَامِ
الْمَوْتَى نَحْوَ الْفِيلِ وَغَيْرِهِ أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ سَلَفِ
الْعُلَمَاءِ يَمْتَشِطُونَ بِهَا ، وَيَدَّهِنُونَ فِيهَا ، لاَ يَرَوْنَ بِهِ
بَأْسًا
“Hammad
mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri
mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan semacamnya, ‘Aku menemukan
beberapa ulama salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang
tersebut. Mereka tidaklah menganggapnya najis hal ini’.” [HR. Bukhari pada
Bab ‘Benda
najis yang jatuh pada minyak dan air’]
Tersisa
pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat
ulama yang lebih kuat- yaitu mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr.
Wallahua'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar