Siapakah yang tak ingin hidayah mengetuk
hati orang yang dicintai?
Orang tua, kerabat dekat, teman, tetangga,
dan bahkan orang-orang di luar Islam. Hidayah yang melembutkan hati yang keras,
menyabarkan hati tatkala ditimpa musibah, meredakan kemarahan, menjalin tali
yang lama terpisah, menyatukan prinsip syariat sehingga berjalan beriringan
dalam satu jalan yang haq menuju shiraathal mustaqiim.
Pasti banyak orang yang kita inginkan kebaikan terlimpah padanya. Kebaikan yang
senantiasa menghiasi diri sehingga melahirkan generasi Rabbani yang senantiasa
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman salafush shalih
sebagaimana yang diharapkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
sejak beratus abad yang lalu hingga sekarang, sampai nanti datang hari
penghisaban sedangkan amal tak lagi terhitung dan tergores tintanya dalam
catatan.
Siapa mengira, Al Fudhail bin Iyadh yang
kita kenal sebagai seorang hamba yang shalih dan tokoh teladan bagi umat,
dahulunya adalah seorang perampok jalanan yang banyak ditakuti orang. Lalu
beliau terketuk hatinya dan mendapat hidayah tatkala mendengar percakapan dua
saudagar yang tengah takut kepadanya.
Tak kenalkah dengan Salman Al Farisi?
Dahulunya beliau adalah seorang Majusi kemudian beliau mendapatkan hidayah
tatkala melihat orang muslim yang sedang shalat di gereja. Dan banyak dari kaum
muslimin di zaman Nabi yang berbondong-bondong masuk Islam tidak lain karena
mulianya dakwah beliau.
Oleh karena itu, mari kita lihat bagaimana
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta orang-orang
shalih dahulu mengajarkan kepada kita bagaimana adab tatkala memberikan nasehat
sehingga membuka pintu-pintu hidayah bagi seseorang.
Adab Memberi Nasehat
Ketika seseorang hendak memberikan nasehat
hendaklah memperhatikan adab-adabnya karena adab tersebut sangat menentukan
diterima atau tidaknya nasehat. Beberapa adab yang perlu diperhatikan adalah:
1. Mengharapkan ridha Allah Ta’ala
Seorang yang ingin menasehati hendaklah
meniatkan nasehatnya semata-semata untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Karena
hanya dengan maksud inilah dia berhak atas pahala dan ganjaran dari Allah
Ta’ala di samping berhak untuk diterima nasehatnya.
Rasulullaah shallallaahu alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya, “Sesungguhnya setiap amal itu
bergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu hanya akan mendapatkan
sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah
dan Rasul-Nya maka hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena
wanita yang hendak dinikahinya, maka (hakikat) hijrahnya itu hanyalah kepada
apa yang menjadi tujuan hijrahnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
2. Tidak dalam rangka mempermalukan orang
yang dinasehati
Seseorang yang hendak memberikan nasihat
harus berusaha untuk tidak mempermalukan orang yang hendak dinasehati. Ini
adalah musibah yang sering terjadi pada kebanyakan orang, saat dia memberikan
nasihat dengan nada yang kasar. Cara seperti ini bisa berbuah buruk atau
memperparah keadaan. Dan nasehatpun tak berbuah sebagaimana yang diharapkan.
3. Menasehati secara rahasia
Nasihat disampaikan dengan terang-terangan
ketika hendak menasehati orang banyak seperti ketika menyampaikan ceramah.
Namun kadangkala nasehat harus disampaikan secara rahasia kepada seseorang yang
membutuhkan penyempurnaan atas kesalahannya. Dan umumnya seseorang hanya bisa
menerimanya saat dia sendirian dan suasana hatinya baik. Itulah saat yang tepat
untuk menasehati secara rahasia, tidak di depan publik. Sebagus apapun nasehat
seseorang namun jika disampaikan di tempat yang tidak tepat dan dalam suasana
hati yang sedang marah maka nasehat tersebut hanya bagaikan asap yang mengepul
dan seketika menghilang tanpa bekas.
Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para
salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya
secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka
itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka
sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman
77)
Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh Zhahiri
menuturkan, “Jika kamu hendak memberi nasehat sampaikanlah secara rahasia bukan
terang-terangan dan dengan sindiran bukan terang-terangan. Terkecuali jika
bahasa sindiran tidak dipahami oleh orang yang kamu nasehati, maka berterus teranglah!”
(Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)
4. Menasehati dengan lembut, sopan, dan
penuh kasih
Seseorang yang hendak memberikan nasehat
haruslah bersikap lembut, sensitif, dan beradab di dalam menyampaikan nasehat.
Sesungguhnya menerima nasehat itu diperumpamakan seperti membuka pintu. Pintu
tak akan terbuka kecuali dibuka dengan kunci yang tepat. Seseorang yang hendak
dinasehati adalah seorang pemilik hati yang sedang terkunci dari suatu perkara,
jika perkara itu yang diperintahkan Allah maka dia tidak melaksanakannya atau
jika perkara itu termasuk larangan Allah maka ia melanggarnya.
Oleh karena itu, harus ditemukan kunci
untuk membuka hati yang tertutup. Tidak ada kunci yang lebih baik dan lebih
tepat kecuali nasehat yang disampaikan dengan lemah lembut, diutarakan dengan
beradab, dan dengan ucapan yang penuh dengan kasih sayang. Bagaimana tidak,
sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ
يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Setiap sikap kelembutan yang ada pada
sesuatu, pasti akan menghiasinya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, kecuali
akan memperburuknya. (HR. Muslim)
Fir’aun adalah sosok yang paling kejam dan
keras di masa Nabi Musa namun Allah tetap memerintahkan Nabi Musa dan Nabi
Harun agar menasehatinya dengan lemah lembut. AllahTa’ala berfirman,
فَقُولا لَهُ قَوْلا
لَيِّنًا
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
(Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut.” (QS. Ath Thaha: 44)
Saudariku… dan lihatlah tatkala nasehat
dilontarkan dengan keras dan kasar maka akan banyak pintu yang tertutup
karenanya. Banyak orang yang diberi nasehat justru tertutup dari pintu hidayah.
Banyak kerabat dan karib yang hatinya menjauh. Banyak pahala yang terbuang begitu
saja. Dan tentu banyak bantuan yang diberikan kepada setan untuk merusak
persaudaraan.
5. Tidak memaksakan kehendak
Salah satu kewajiban seorang mukmin adalah
menasehati saudaranya tatkala melakukan keburukan. Namun dia tidak berkewajiban
untuk memaksanya mengikuti nasehatnya. Sebab, itu bukanlah bagiannya. Seorang
pemberi nasehat hanyalah seseorang yang menunjukkan jalan, bukan seseorang yang
memerintahkan orang lain untuk mengerjakannya. Ibnu Hazm Azh Zhahiri
mengatakan: “Janganlah kamu memberi nasehat dengan mensyaratkan nasehatmu harus
diterima. Jika kamu melanggar batas ini, maka kamu adalah seorang yang zhalim…”
(Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)
6. Mencari waktu yang tepat
Tidak setiap saat orang yang hendak
dinasehati itu siap untuk menerima petuah. Adakalanya jiwanya sedang gundah,
marah, sedih, atau hal lain yang membuatnya menolak nasehat tersebut. Ibnu
Mas’ud pernah bertutur: “Sesungguhnya adakalanya hati bersemangat dan mudah
menerima, dan adakalanya hati lesu dan mudah menolak. Maka ajaklah hati saat
dia bersemangat dan mudah menerima dan tinggalkanlah saat dia malas dan mudah
menolak.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
Jika seseorang ternyata tak bisa menasehati
dengan baik maka dianjurkan untuk diam dan hal itu lebih baik karena akan lebih
menjaga dari perkataan-perkataan yang akan memperburuk keadaan dan dia bisa
meminta tolong temannya agar menasehati orang yang dimaksudkan. Sebagaimana
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari Akhir hendaklah berkata yang baik atau diam…”(HR. Bukhari dan
Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
dalam Syarhu Al Arba’in An Nawawi memberikan beberapa faedah
dari cuplikan hadits di atas yaitu wajibnya diam kecuali dalam kebaikan dan
anjuran untuk menjaga lisan.
Jangan pernah putus asa untuk memohon
pertolongan Allah karena pada hakekatnya Allah-lah Yang Maha Membolak-balikkan
hati seseorang. Meski sekeras apapun hati seseorang namun tidak ada yang
mustahil jika Allah berkehendak untuk melembutkan hatinya dan menunjukkan
kepada jalan-Nya. Wallaahu Musta’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar