Sesungguhnya
Islam menempatkan wanita pada posisi yang tinggi dan sejajar dengan pria. Namun
dalam beberapa hal ada yang harus berbeda, karena pria dan wanita hakikatnya
adalah makhluk yang berbeda.
Kesalahan
dalam memahami ajaran yang benar inilah yang menjadikan Islam kerap dituding
sebagai agama yang menempatkan wanita sebagai “warga kelas dua.”
Benarkah? Simak kupasannya!
Suatu
hal yang tidak kita sangsikan bahwa Islam demikian memuliakan wanita, dari
semula makhluk yang tiada berharga di hadapan “peradaban manusia”,
diinjak-injak kehormatan dan harga dirinya, kemudian diangkat oleh Islam
ditempatkan pada tempat yang semestinya dijaga, dihargai, dan dimuliakan.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan banyak
kebaikan kepada hamba-hamba-Nya.
Keterangan ringkas yang akan dibawakan, sedikitnya akan memberikan gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum wanita, sejak mereka dilahirkan ke muka bumi, dibesarkan di tengah keluarganya sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami.
1. Pada Masa Kanak-kanak
Di
masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khususnya, kebiasaan menguburkan
anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka memelihara anak perempuan.
Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia untuk
berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaganya dengan baik. Ganjaran yang
besar pun dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan anjuran dalam sabda-Nya:
مَنْ
عَالَ جَارِيَتَيْنِ
حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ
“Siapa
yang memelihara dua anak perempuan hingga keduanya mencapai usia baligh maka
orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia1 seperti
dua jari ini.” Beliau menggabungkan jari-jemarinya.
(HR. Muslim no. 6638 dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)
Aisyah
radhiyallahu 'anha berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta
beserta dua putrinya. Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat kusedekahkan
kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma
pemberianku lalu dibaginya untuk kedua putrinya, sementara ia sendiri tidak
memakannya. Kemudian wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. Tak berapa
lama masuklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kuceritakan hal
tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:
مَنِ
ابْتُلِيَ مِنْ
هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Siapa
yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu ia berbuat baik
kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup baginya dari api
neraka.” (HR. ِAl-Bukhari
no. 1418 dan Muslim no. 6636)
Kata
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam penjelasan atas hadits di atas:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan ujian (ibtila`),
karena manusia biasanya tidak menyukai anak perempuan (lebih memilih anak
lelaki), sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kebiasaan
orang-orang jahiliah:
وَإِذَا
بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ
مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ
بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ ساَءَ مَا
يَحْكُمُوْنَ
“Apabila
salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan,
menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah?
Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
(An-Nahl: 58-59)
Hadits-hadits
yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan,
memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka. (Al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim, 16/395)
Islam
mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuannya, memberi nafkah
kepadanya sampai ia menikah dan memberikan kepadanya bagian dari harta warisan.
2.
Dalam masalah pernikahan
Wanita
diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan diperkenankan menolak calon
suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya bila tidak menyukainya. Beberapa
hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ
حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا
رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak
boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah (dimintai
pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.”
Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya seorang gadis?”
“Izinnya adalah dengan ia diam”, jawab Rasulullah.
(HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu)
‘Aisyah
radhiyallahu 'anha berkata:
يَا
رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْبِكْرَ
تَسْتَحِي. قاَلَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا
“Wahai
Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai
izinnya dalam masalah pernikahan).” Beliau menjelaskan, “Tanda ridhanya gadis
itu (untuk dinikahkan) adalah diamnya.” (HR. Al-Bukhari
no. 5137)
Khansa`
bintu Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu 'anha mengabarkan, ayahnya
menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak
pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, hingga akhirnya beliau membatalkan pernikahannya. (HR. Al-Bukhari no.
5138)
Hadits
di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab
Shahih-nya: Bab Apabila seseorang menikahkan putrinya sementara putrinya tidak
suka maka pernikahan itu tertolak.
Al-Qasim
bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan, salah seorang putri Ja’far2
merasa khawatir walinya akan menikahkannya secara paksa. Maka ia mengutus orang
untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar,
‘Abdurrahman dan Majma’, keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya
berkata, “Janganlah kalian khawatir, karena ketika Khansa` bintu Khidam
dinikahkan ayahnya dalam keadaan ia tidak suka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menolak pernikahan tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6969)
Buraidah
ibnul Hushaib radhiyallahu 'anhu mengabarkan:
جَاءَتْ فَتَاةٌ
إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي
ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ: فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا،
فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ
النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ
“Pernah
datang seorang wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam rangka mengadu, ‘Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk
menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut’, ujarnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan keputusan padanya (apakah
meneruskan pernikahan tersebut atau membatalkannya). Si wanita berkata, ‘Aku
membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu
bahwa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara
seperti ini’.” (HR. Ibnu Majah no. 1874, kata Syaikh
Muqbil bin Hadi rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih (3/64), “Hadits ini
shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”)
Islam
memberikan hak seperti ini kepada wanita karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan wanita sebagai penenang bagi suaminya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. Maka
bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis diambil
secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka? Lalu bila
demikian keadaannya, sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dengan tenang
dan tenteram?
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: “Tidak boleh seorang pun
menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izinnya sebagaimana
hal ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila si
wanita tidak suka, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Dikecualikan
dalam hal ini, bila si wanita masih kecil, karena boleh bagi ayahnya menikahkan
gadis kecilnya tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yang telah berstatus janda
dan sudah baligh maka tidak boleh menikahkannya tanpa izinnya, sama saja baik
yang menikahkannya itu ayahnya atau yang lainnya. Demikian menurut kesepakatan
kaum muslimin.”
Ibnu
Taimiyyah rahimahullahu melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis
yang akan dinikahkan, apakah izinnya itu wajib hukumnya atau mustahab (sunnah).
Yang benar dalam hal ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si
wanita untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memilih lelaki yang
akan ia nikahkan dengan si wanita, dan hendaknya si wali melihat apakah calon
suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk
kemaslahatan si wanita, bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali.” (Majmu’
Fatawa, 32/39-40)
Islam
menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar
memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nantinya adalah hak
si wanita, tidak boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ
عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
“Berikanlah
mahar kepada para wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dengan senang hati
sebagian dari mahar tersebut, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)
Al-Imam
Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta’ala berkata, “Ayat ini menunjukkan wajibnya
pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa
ada perbedaan pendapat, kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak
yang menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki-lakinya dengan budak
wanitanya maka tidak wajib adanya mahar. Namun pendapat ini tidak dianggap.”
(Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/17)
3.
Sebagai Seorang Ibu
Islam
memuliakan wanita semasa kecilnya, ketika remajanya dan saat ia menjadi seorang
ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada
kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala titahkan hal ini
dalam Tanzil-Nya setelah mewajibkan ibadah hanya kepada-Nya:
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ
كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً
كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا
“Rabbmu
telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya dan
hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah seorang
dari keduanya atau kedua-duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan
membentak keduanya namun ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang,
ucapkanlah doa, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah
memelihara dan mendidikku sewaktu kecil.” (Al-Isra`: 23-24)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَوَصَّيْنَا
اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ
كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا
“Dan
Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah
payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan…”
(Al-Ahqaf: 15)
Ketika
shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَيُّ
الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا.
قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ...
“Amal
apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?” tanya
‘Abdullah lagi. Kata beliau, “Kemudian birrul walidain (berbuat baik kepada
kedua orang tua)….” (HR. Al-Bukhari no. 504
dan Muslim no. 248)
Kata
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu -seorang shahabat Rasul yang sangat berbakti
kepada ibundanya-, “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
يَا
رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ:
أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ:
ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ
“Wahai
Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat
baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi.
“Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.”
“Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah.
(HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Hadits
di atas menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah
dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah
yang merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibulah yang
bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut, kemudian nanti
dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian
dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz
rahimahullahu. (Fathul Bari, 10/493)
Islam
mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibunya sebagaimana ditegaskan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
إِنَّ
اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ...
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu…”
(HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)
Al-Hafizh
rahimahullahu menerangkan, “Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadits ini
karena perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan
durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk
memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan
kelembutan, kasih sayang dan semisalnya lebih didahulukan daripada kepada
ayah.” (Fathul Bari, 5/86)
Sampai
pun seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir, tetap diwajibkan seorang anak
berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Asma` bintu Abi Bakr
radhiyallahu 'anha. Ia berkisah: “Ibuku yang masih musyrik datang
mengunjungiku bertepatan saat terjalinnya perjanjian antara Quraisy dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk
berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau
menjawab, “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 5979)
4.
Sebagai Istri
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seorang suami agar bergaul dengan istrinya
dengan cara yang baik.
وَعَاشِرُوْهُنَّ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan
bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.”
(An-Nisa`: 19)
Asy-Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata, “Ayat Allah Subhanahu
wa Ta’ala وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena
itu, sepantasnya seorang suami mempergauli istrinya dengan cara yang ma’ruf,
menemani, dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan
terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan
dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian, dan semisalnya.
Dan tentunya pemenuhannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan.”
(Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para suami:
لاَ
تَضْرِبُوا إِمَاءَ
اللهِ
“Janganlah
kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”
‘Umar
ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu datang mengadu, “Wahai Rasulullah, para
istri berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.” Mendengar hal itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan untuk memukul istri
bila berbuat durhaka. Selang beberapa waktu datanglah para wanita dalam jumlah
yang banyak menemui istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengadukan perbuatan suami mereka. Mendengar pengaduan tersebut, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ
أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Mereka
itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” (HR.
Abu Dawud no. 2145, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih
Abi Dawud)
Beliau
juga pernah bersabda:
أَكْمَلُ
المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
“Mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara
mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap
istri-istrinya.” (HR. Ahmad 2/527,
At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam
Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)
Banyak
hak yang diberikan Islam kepada istri, seperti suami dituntut untuk bergaul
dengan baik terhadap istrinya, ia berhak memperoleh nafkah, pengajaran,
penjagaan dan perlindungan, yang ini semua tidak didapatkan oleh para istri di
luar agama Islam.
Bila sudah demikian penjagaan Islam terhadap hak wanita dan pemuliaan Islam terhadap kaum wanita; lalu apa lagi yang ingin diteriakkan oleh kalangan feminis yang katanya memperjuangkan hak wanita, padahal sebenarnya ingin mencampakkan wanita kembali ke lembah kehinaan, terpuruk dan terinjak-injak?
Wallahul
musta’an.
Penulis
: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar