Permasalahan ini adalah permasalahan yang sering
dibingungkan oleh sebagian orang. Dan kebanyakan kaum muslimin menganggap bahwa
menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu. Inilah yang dianut oleh mayoritas
kaum muslimin di negeri ini karena kebanyakan mereka menganut madzhab Syafi’i
yang berpendapat seperti ini.
Lalu manakah yang tepat? Tentu saja kita mesti
mengembalikan hal ini pada pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan As
Sunnah.
Perlu diketahui, dalam masalah apakah menyentuh wanita
membatalkan wudhu ataukah tidak, para ulama ada tiga macam pendapat.
Pendapat pertama: menyentuh wanita membatalkan wudhu
secara mutlak. Pendapat ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ibnu Hazm, juga pendapat
dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
Pendapat kedua: menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak.
Pendapat ini dipilih oleh madzhab Abu Hanifah, Muhammad bin Al Hasan Asy
Syaibani, Ibnu ‘Abbas, Thowus, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, dan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.
Pendapat ketiga: menyentuh wanita membatalkan wudhu jika dengan syahwat.
Pendapat ini adalah pendapat Imam Malik dan pendapat Imam Ahmad yang
masyhur.
Untuk melihat manakah pendapat yang lebih kuat, mari kita
lihat beberapa yang digunakan untuk masing-masing pendapat.
Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita Melalui Dalil Al
Qur’an?
Sebagian ulama yang menyatakan batal wudhu karena
menyentuh wanita, berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); ...” (QS. Al Ma-idah: 6) Mereka menafsirkan kalimat “lamastumun nisaa’” dengan menyentuh perempuan.
Landasannya adalah perkataan Ibnu Mas’ud ,
اللَّمْسُ،
مَا دُوْنَ الجِمَاعِ.
“Al lams (lamastum) bermakna selain jima’”.
[Tafsir Ath Thobari] Perkataan yang serupa juga dikatakan oleh Ibnu ‘Umar.
[Tafsir Ath Thobari] Jadi, menurut keduanya lamastumun nisaa’ bermakna
selain berhubungan badan seperti menyentuh.
Akan tetapi, tafsiran dua ulama sahabat ini bertentangan
dengan perkataan sahabat -yang lebih pakar dalam masalah tafsir- yaitu Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-.
Beliau mengatakan,
إن”المس”
و”اللمس”، و”المباشرة”، الجماع، ولكن الله يكني ما شاء بما شاء
“Namanya al mass, al lams dan al mubasyaroih bermakna
jima’ (berhubungan badan). Akan tetapi Allah menyebutkan sesuai dengan yang ia
suka.”
Dalam perkataan lainnya disebutkan,
أو لامستم
النساء”، قال: هو الجماع.
“Makna ayat: lamastumun nisaa’ adalah jima’
(berhubungan badan).” [Tafsir Ath Thobari (8/389). Sanad riwayat ini shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abu Malik
dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/139]
Manakah dua tafsiran di atas yang lebih tepat?
Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini:
Pertama: Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari bahwa makna “lamastmun nisaa‘” dalam ayat tersebut adalah jima’ (berhubungan badan) dan bukan dimaknakan
dengan makna lain dari kata al lams. Alasannya,
terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau pernah mencium sebagian istrinya, lalu beliau shalat dan tidak berwudhu
lagi.
Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium
sebagian istrinya, lalu ia pergi shalat dan tidak berwudhu. Seorang perowi
(‘Urwah) berkata pada ‘Aisyah, “Bukankah yang dicium itu
engkau?” Setelah itu ‘Aisyah pun tertawa. [Diriwayatkan oleh Ath
Thobari 8/396] Juga terdapat riwayat Ibrahim At Taimiy, dari ‘Aisyah.
Riwayat ini dishahihkan oleh Al Albani. [HR. An Nasa-i no. 170]
Kedua: Tafsiran Ibnu ‘Abbas lebih didahulukan dari tafsiran Ibnu
Mas’ud dan Ibnu ‘Umar karena beliau lebih pakar dalam hal ini. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/139)
Ketiga: Kita pun bisa melihat pada konteks ayat surat Al Maidah
ayat 6,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah”: Dalam ayat ini disebutkan
mengenai thoharoh (bersuci) dengan air dari hadats kecil.
وَإِنْ
كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“dan jika kamu junub maka mandilah”:
Sedangkan ayat ini untuk bersuci dari hadats besar.
Lalu setelah itu, Allah menyebut:
وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau lamastumun nisaa’, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah.”
Dalam firman Allah: “maka bertayamumlah”.
Ini menunjukkan bahwa tayamum adalah pengganti untuk dua thoharoh sekaligus
jika tidak memungkinkan menggunakan air.
أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“atau kembali dari tempat buang air (kakus)”: ini adalah untuk hadats kecil.
Jadi tayamum bisa sebagai pengganti wudhu.
أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“atau lamastumun nisaa’”: ini adalah untuk hadats besar.
Jadi tayamum bisa mengganti mandi junub. Sehingga dari sini, lamastumun nisaa’ termasuk hadats besar. Jadi
maknanya bukan hanya sekedar mencium atau menyentuh.
Lafal-lafal "menyentuh" didalam
Al-Qur'an sering digunakan sebagai kinayah untuk jimak.
Contohnya firman Allah
قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ
لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ
Maryam berkata: "Ya Tuhanku,
betapa mungkin aku mempunyai anak, Padahal aku belum pernah disentuh oleh
seorang laki-lakipun." (QS Ali
'Imron : 47)
قَالَتْ أَنَّى يَكُونُ لِي
غُلامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا
Maryam berkata: "Bagaimana
akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun
menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!" (QS Maryam : 20)
لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
menyentuh (yaitu bercampur-pen) dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. (QS
Al-Baqoroh : 236)
Ibnu Abdil Barr berkata :
وقد
أجمعوا على أن رجلا لو تزوج امرأة فمسها بيده أو قبلها في فمها أو جسدها ولم يخل
بها ولم يجامعها أنه لا يجب عليه إلا نصف الصداق كمن لم يصنع شيئا من ذلك وأن المس
والمسيس عني به ههنا الجماع
"Para ulama telah ijmak jika
ada seseorang menikah dengan seorang wanita lalu lelaki tersebut menyentuh
wanita tersebut dengan tangannya atau mencium mulutnya atau mencium tubuhnya
dan tidak berduaan dengannya dan tidak bersenggama dengannya maka tidak wajib
bagi dia kecuali hanya membayar setengah nilai mahar, sebagaimana seperti
seseorang yang belum melakukan apa-apa, dan bahwasanya yang dimaksud dengan
al-mass "sentuhan" dalam ayat ini adalah jimak/senggama" (At-Tamhiid 21/173)
Catatan: Memang kata al lams bisa
bermakna menyentuh (meraba) dengan tangan sebagaimana disebutkan dalam ayat
berikut,
وَلَوْ
نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di
atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri”
(QS. Al An’am: 7)
Begitu pula dapat dilihat dalam hadits,
وَالْيَدُ
زِنَاهَا اللَّمْسُ
“Zinanya tangan adalah dengan meraba.”
[HR. Ahmad 2/349]
Namun sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari,
makna “lamastmun nisaa‘” dalam ayat tersebut adalah jima‘ (berhubungan badan) dan bukan dimaknakan dengan
makna lain dari kata al lams.
Dalil Lain Bahwa Menyentuh Wanita Tidak Membatalkan Wudhu
Pertama: Ketika seseorang berwudhu, maka
hukum wudhunya itu hukum asalnya suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang
mengeluarkan dari hukum asalnya. Dalam hal ini, pembatal itu tidak ada,
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
:
وَأَيْضًا
فَمِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّ مَسَّ النَّاسِ نِسَاءَهُمْ مِمَّا تَعُمُّ بِهِ
الْبَلْوَى وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَمَسُّ امْرَأَتَهُ ؛ فَلَوْ كَانَ هَذَا
مِمَّا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ لَكَانَ النَّبِيُّ بَيَّنَهُ لِأُمَّتِهِ ؛ وَلَكَانَ
مَشْهُورًا بَيْنَ الصَّحَابَةِ وَلَمْ يَنْقُلْ أَحَدٌ أَنَّ أَحَدًا مِنْ
الصَّحَابَةِ كَانَ يَتَوَضَّأُ بِمُجَرَّدِ مُلَاقَاةِ يَدِهِ لِامْرَأَتِهِ أَوْ
غَيْرِهَا وَلَا نَقَلَ أَحَدٌ فِي ذَلِكَ حَدِيثًا عَنْ النَّبِيِّ : فَعُلِمَ
أَنَّ ذَلِكَ قَوْلٌ بَاطِلٌ
Padahal kita ketahui bersama bahwa
menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu
membatalkan wudhu, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada
seorang pun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh
istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyyah 21:235).
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
فَقَدْتُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ
فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ
“Suatu malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ternyata pergi
dari tempat tidurnya dan ketika itu aku menyentuhnya. Lalu aku menyingkirkan
tanganku dari telapak kakinya (bagian dalam), sedangkan ketika itu beliau
sedang (shalat) di masjid …” [HR. Muslim no. 486]
Ketiga: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كُنْتُ
أَنَامُ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَرِجْلاَىَ فِى
قِبْلَتِهِ ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِى ، فَقَبَضْتُ رِجْلَىَّ ، فَإِذَا قَامَ
بَسَطْتُهُمَا . قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku di arah kiblat beliau. Ketika ia
hendak sujud, ia meraba kakiku. Lalu aku memegang kaki tadi. Jika bediri,
beliau membentangkan kakiku lagi.” ‘Aisyah mengatakan, “Rumah Nabi ketika itu tidak ada penerangan.” [HR.
Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512]
Keempat: Sudah diketahui bahwa para sahabat pasti selalu menyentuh
isti-istrinya. Namun tidak diketahui kalau ada satu perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berwudhu dan
tidak ada satu riwayat yang menyebutkan bahwa ketika itu para sahabat berwudhu.
Padahal seperti ini sudah sering terjadi ketika itu. Bahkan yang diketahui
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium
sebagian istrinya dann tanpa berwudhu lagi.
عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي
ثَابِتٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ، ثُمَّ خَرَجَ
إِلَى الصَّلَاةِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ " قَالَ عُرْوَةُ: قُلْتُ لَهَا: مَنْ
هِيَ إِلَّا أَنْتِ ؟ قَالَ: فَضَحِكَتْ
Dari Urwah bin Az-Zubair (dan
beliau adalah keponakan Aisyah) dari Aisyah -semoga Allah meridhoinya- "Bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium seorang istrinya
kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi".
Saya (Urwah) berkata kepada Aisyah:
Tidaklah istri Nabi tersebut kecuali Anda kan? Lalu Aisyah tertawa. [HR
Ahmad : 25766 Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 179, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan
dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah: 323, demikian juga para pentahqiq
Musnad Al-Imam Ahmad.]
Walaupun memang hadits ini diperselisihkan oleh para
ulama mengenai keshahihannya. Namun tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa
beliau berwudhu karena sebab bersentuhan dengan wanita. [Majmu’ Al Fatawa,
35/358 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah]
Kelima: Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sedangkan saya tidur
terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau ingin melakukan
witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya”.
(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai
berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi
dalam al-Majmu’ 2:35).
Hadis ini menunjukkan bahwa
menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan
lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadis ini
dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam ayat adalah jima’ (berhubungan)
karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa
wudhu lagi)”
Sedangkan perkataan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh
wanita dengan syahwat saja yang membatalkan wudhu, maka ini adalah pendapat
yang tidak berdalil. Namun jika sekedar menganjurkan untuk berwudhu sebagaimana
orang yang marah dianjurkan untuk berwudhu, maka ini baik. Akan tetapi, hal ini
bukanlah wajib. Wallahu Ta’ala a’lam.
Perhatian: Hukum Menyentuh Wanita Yang Bukan Mahrom
Jika sudah jelas penjelasan menyentuh wanita di atas
berkaitan dengan masalah wudhu. Lalu bagaimana dengan hukum menyentuh wanita
yang bukan mahrom, berdosa ataukah tidak? Ada hadits yang bisa kita perhatikan,
yaitu dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ
عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ
وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ
زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ
وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian
untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua
mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan
adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh).
Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan
berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari
yang demikian.” [HR. Muslim no. 6925]
Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang
bukan mahrom dan di sini disebut dengan zina sehingga ini menunjukkan haramnya.
Karena ada kaedah: “Apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram,
maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.” [Taysir Ilmi Ushul
Fiqh]
Semoga kita bisa memperhatikan hal ini.
Kesimpulan: Menyentuh wanita tidak membatalkan menurut pendapat
yang lebih kuat. Namun jika menyentuh wanita bukan mahrom, ada konsekuensi
berdosa berdasarkan penjelasan terakhir di atas. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar