Hal ini memang menjadi polemik dan memang merupakan permasalah fikih
kontemporer. Ada pro-kontra dalam permasalahan ini, baik dari segi kemanusiaan
dan tinjauan syariat. Berikut beberapa fatwa ulama mengenai hal ini.
Pemeriksaan keperawanan sebelum menikah
Terdapat fatwa yang melarang hal ini karena menimbang mashlahat dan
mafsadahnya. Salah satunya karena bisa menimbulkan kecurigaan dan mengawali
pernikahan dengan rasa setengah tidak percaya dengan calon pasangannya.
Sehingga bisa berdampak negatif dalam menjalani rumah tangga selanjutnya.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (semacam MUI di Saudi).
Pertanyaan:
Saya seorang pemudi muslimah di Prancis, saya ingin tahu hukum pergi ke
dokter wanita untuk memastikan bahwa saya masih perawan karena permintaan calon
suami saya, perlu diketahui bahwa dokter tersebut bukan dokter muslimah. Terima
kasih.
Jawaban:
لحمد
لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد:
فكشف
العورة بين غير الزوجين من المحرمات التي يجب على المسلم الحذر منها، لقول النبي
صلى الله عليه وسلم: احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك. رواه الترمذي
وغيره.
وعورة
المرأة مع المرأة ما بين السرة والركبة، ويشتد ذلك إذا كان في الفرج، لقول النبي
صلى الله عليه وسلم: ولا تنظر المرأة إلى عورة المرأة. رواه مسلم.
وقد
استثنى العلماء من هذا ما دعت إليه ضرورة كالعلاج، قال الكاساني: ولا يجوز لها أن
تنظر ما بين سرتها إلى الركبة إلا عند الضرورة بأن كانت قابلة فلا بأس لها أن تنظر
إلى الفرج عند الولادة. ا.هـ
وما
ذكرته السائلة لا يدخل ضمن الضرورة المبيحة للكشف، وبالتالي لا يجوز لها فعل ذلك
ولو كان بقصد الزواج
Membuka aurat selain suami-istri termasuk yang diharamkan, wajib bagi
setiap muslim memperhatikannya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
“jagalah auratmu kecuali dari istri dan budak-budak wanitamu” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Aurat wanita dengan wanita yang lain adalah antara pusar dan lutut,
apalagi jika itu adalah kemaluan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
“Janganlah seorang wanita melihat aurat wanita yang lainnya” (HR. Muslim)
Maka hal ini (pemeriksaan keperawanan) tidak boleh baginya.
Sebagian ulama mengecualikan (membuka aurat) jika ada kebutuhan darurat
seperti pengobatan, berkata Al-Kasani,
“Melihat antara pusat (wanita) dan lututnya kecuali ketika darurat, jika
ia seorang bidan maka tidak mengapa melihat kemaluannya ketika melahirkan”
Dan apa yang disebutkan oleh penanya bukanlah termasuk darurat yang
membolehkan dibukanya aurat. Tidak boleh baginya melakukan hal ini walaupun
dengan tujuan menikah. [Dinukil dari:
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=46607]
Kemudian dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang lain dijelaskan:
ثم
إنا ننبه إلى أن البكارة ليست من شروط الزواج، كما أنه يتعين على أبوي الفتاة
حماية دينها وعرضها ووقايتها من النار بتعليمها أمور دينها وحملها على العفة
والبعد عن جميع ما يخدش عفتها وعرضها، وأما الاتكال على فحص البكارة فإنه لا يجدي
شيئا؛ إذ قد تفقد الفتاة عذريتها بسبب عارض كوثبة، أو باغتصاب لا دخل لها فيه، أو
بتكرار اندفاع الحيض بشدة أو غير ذلك، وفي الحالة هذه لا يجوز للمجتمع ظلمها ولا
اتهامها بالسوء، ولا يجوز لزوجها أن يتهمها بالشر، ولا خيار له في فراقها بسبب
فقدان البكارة إن لم يكن اشترط عذريتها عند الزواج،
وبناء
عليه، فإن هذه الفحوص لا تحل المشكلة، وقد نص الفقهاء على أنه لا يجوز لأولياء
البنت أن يذكروا سوابق أخلاقها السيئة فقد نهى عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن ذلك.
Kemudian kami mengingatkan bahwa keperawanan bukanlah syarat
pernikahan. Sebagaimana wajib bagi kedua
orang tua gadis menjaga agama dan kehormatannya, menjaganya dari neraka dengan
mengajarkannya ilmu agama dan menjaga kehormatannya serta menjauhkan dari apa
bisa merusak kemuliaan dan kehormatan.
Adapun bersandar dengan pemeriksaan keperawanan tidak menjamin. Karena
seorang gadis kehilangan keperawanan dengan sebab tertentu seperti melompat
(kemudian jatuh), pemerkosaan atau berulang tertahannya haidh dengan keras atau
yang lainnya. Dalam keadaan ini tidak boleh bagi masyarakat mendzaliminya dengan
tuduhan yang jelek, tidak boleh bagi suaminya menuduh dengan tuduhan yang
jelek. Tidak ada pilihan (hak) baginya untuk berpisah (menceraikan) karena
sebab tidak perawan kecuali ia mempersyaratkan istri harus perawan ketika akan
menikah.
Berdasarkan hal ini maka pemeriksaan ini (pemeriksaan keperawanan) tidak
memecahkan masalah. Ulama telah menegaskan bahwa tidak boleh bagi wali wanita
menyebutkan kelakuan-kelakuan jelek wanita tersebut sebelumnya, Umar bin
Khattab telah melarang hal tersebut. [Diringkas dari:
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=58606]
Fatwa yang membolehkan ketika ada kebutuhan mendesak
Ada juga ulama yang membolehkan ketika ada kebutuhan mendesak, misalnya
suami yang tidak percaya kepada istrinya, sedangkan istri berkeyakinan ia masih
perawan. Dan mereka sudah menikah (bukan pemeriksaan sebelum menikah). Maka
untuk lebih melegakan hati suami dan mempertahankan rumah tangga, maka boleh
dilakukan pemeriksaan keperawanan.
Pertanyaan:
Bolehkah bagi kami melakukan pemeriksaan untuk memastikan keperawanan?
jawaban:
الجواب
: ( الحمد لله ، إذا كان المراد إجراء كشف طبي لإثبات البكارة فلا بأس به عند
الحاجة إليه بطلب الزوج ، لا سيما عند التهمة وقد يتعين ذلك إذا لم يكن وسيلة سواه
) ( الشيخ : عبد الكريم الخضير
Alhamdulillah, jika tujuan dari pemeriksaan kedokteran tersebut untuk
memastikan keperawanan, maka tidak mengapa jika ada kebutuhan misalnya
permintaan suami. Lebih-lebih jika terjadi tuduhan dan harus melakukan hal
tersebut jika tidak ada sarana pemeriksaan yang lain. (Syaikh Abdul Karim
Al-Khudhair) [Sumber: http://islamqa.info/ar/ref/26334]
Demikianlah mengenai hal ini, maka hukumnya dirinci, harus
mempertimbangankan mashlahat dan mafsadat serta memaparkan keadaan-keadaan yang
lain kepada ulama/ustadz yang berilmu sehingga bisa diambil kesimpulan hukum
yang mungkin berbeda dalam setiap kasus individu tertentu. Wallahu a’lam.
Operasi Mengembalikan Keperawanan (selaput dara)
Permasalahan ini adalah permasalahan fiqh kontemporer, di mana ada
beberapa pendapat mengenai permasalahan ini. Secara ringkas pendapat tersebut
sebagai berikut:
Pendapat pertama:
HARAM bagi mereka yang kehilangan keperawanan karena maksiat seperti berzina atau sudah
pernah berhubungan badan dengan pernikahan yang sah. Hampir semua fatwa ulama
jika kasusnya seperti ini
Syaikh Khalid Al-Muhslih menukilkan pendapat gurunya yaitu Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Ustaimin,
مَعَ
أننا نرى منعَ هذهِ العمليةِ مطلقًا؛ لأنها تفتحُ بابَ الشرِّ، فتكونُ كلُّ امرأةٍ
تشتهي أن تزنيَ زنتْ، وإذا زالتْ بكارتُها أجرتِ العملي
“Kami berpendapat tidak bolehnya operasi semacam ini secara mutlak karena
akan membuka pintu keburukan. Wanita akan mudah untuk dizinahi dan berzina,
apabila hilang keperawanannya maka ia akan melakukan operasi Caesar.” [Sumber: https://almosleh.com/ar/index-ar-show-49588.html]
Pendapat kedua:
BOLEH jika pecahnya selaput dara disebabkan bukan hal maksiat atau pernikahan
yang sah, seperti terjatuh atau atau kecelakaan untuk menghindari kecurigaan
suaminya kelak yang berujung bisa retaknya hubungan rumah tangga
Sebagaimana fatwa berikut,
فقد
سبق أن بينا أن ترقيع غشاء البكارة لا يجوز لما يترتب على ذلك من مفاسد شرعية ذكرنا
طرفا منها وذلك بالفتوى رقم: 5047.
فهذا
هو الأصل، ولكن قد تكون هنالك بعض الملابسات تستدعي القول بجواز مثل هذه العملية
دفعا للضرر كما هو الحال في البكر التي زالت بكارتها بوثبة أو ظفر ونحو ذلك وغلب
على ظنها أن يلحقها ضرر عظيم كالأذى الشديد أو القتل، وقد بينا ذلك بالتفصيل
بالفتوى رقم: 49021
Telah kami jelaskan sebelumnya bahwa operasi menutup selaput dara tidak
boleh karena akan menimbulkan kerusakan-kerusakan dalam syariat sebagaimana
yang kami sebutkan pada fatwa no. 5047
Inilah hukum asalnya (yaitu haram), akan tetapi terkadang ada beberapa
keadaan yang menuntut pendapat bolehnya operasi ini untuk mencegah bahaya
(masalah yang timbul) seperti keadaan seorang gadis yang kehilangan
keperawanannya akibat loncatan (yang keras) atau kuku (robek karena kuku) atau
yang lainnya. Menurut dugaan kuatnya ia akan mendapatkan bahaya (masalah) besar
misalnya gangguan yang besar atau pembunuhan, telah kami jelaskan rinciannya
dalam fatwa no. 49021. [Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=179743]
Pendapat ketiga:
HARAM secara MUTLAK
Dengan menimbang berbagai mafsadah dan mashlahat di saat ini dan di zaman
ini. Dan inilah pendapat yang terkuat, sebagaimana kaidah fiqhiyah.
درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak mafsadat didahulukan
daripada mendatangkan mashlahat”
Maka menolak mafsadah lebih didahulukan, di zaman ini di mana pergaulan
bebas sudah merasuki bahkan sampai ke pedesaan akibat majunya teknologi
internet dan komunikasi. Maka jika dibiarkan ada praktek terbuka operasi
mengembalikan keperawanan, maka bisa saja setiap orang akan mengaku bahwa ia
kehilangan keperawanan karena bukan sebab maksiat. Kemudian bisa terjadi krisis
kepercayaan para suami terhadap istri mereka.
Berikut penjelasan secara merinci pendapat ini, sekaligus jawaban-jawaban
terhadap fatwa yang membolehkan. Syaikh Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqiti
berkata,
Tarjih (pendapat terkuat):
Dan yang rajih –wal ‘ilmu ‘indallah- adalah pendapat tidak
dibolehkan operasi mengembalikan keperawanan secara mutlak dengan alasan
sebagai berikut:
Pertama: Benarnya apa yang disebutkan oleh ulama yang berpendapat tidak bolehnya
dalam pendalilan
Kedua: adapun pendalilan pendapat kedua (boleh pada keadaan khusus) maka dijawab (dibantah) sebagai berikut:
Jawaban pertama: Menutup aib yang dituntut adalah apa yang didukung oleh
nash-nash syariat dengan ‘itibar dan wasilah dan operasi mengembalikan
keperawanan tidak mewujudkan hal tersebut.
Jawaban kedua: Menutup prasangka buruk (suami) bisa
dilakukan dengan jalan memberitahukan sebelum menikah (misalnya selaput dara
pecah ketika kecelakaan, pent) . Jika ia ridha maka ia akan menikahi wanita
tersebut jika tidak maka Allah akan menggantikannya dengan yang lain.
Jawaban ketiga: Mafsadah yang disebutkan tidaklah hilang secara total
dengan operasi tersebut karena kemungkinan bisa diketahui (misalnya pernah
berzina, pent) walaupun dengan cara diberi tahu dari yang lain. Kemudian
mafsadah juga bisa terjadi dengan menikahkan wanita tanpa memberitahukan kepada
suaminya bahwa keperawanannya telah hilang, yang selayaknya diberitahu dan
suaminya tahu (misalnya keperawanan hilang saat jatuh). Jika ia lakukan, Maka
hilanglah mafsadah tersebut.
Jawaban keempat: Sebagaimana menyembunyikan (fakta tidak perawan)
memiliki mashlahat, maka ia juga menimbulkan mafsadat, di antaranya memudahkan
jalan timbulnya perbuatan keji zina dan menolak mafsadat lebih didahulukan
daripada mendatangkan mashlahat.
Jawaban kelima: Kita tidak bisa selamat dari tidak
menipu karena keperawanan buatan ini, karena bukan keperawanan yang asli.
Seandainya kita selamat dari penipuan suami pada keadaan hilangnya keperawanan dengan alami
karena loncatan (kemudian jatuh) akan tetapi kita tidak selamat dari penipuan
jika hilangnya karena pemerkosaan (sexual abuse).
Ketiga: Menutup jalan-jalan kerusakan sebagaimana pendapat pertama (haram secara
mutlak) adalah perkara yang sangat penting, khususnya jika jika dikembalikan
dalam masalah pelanggaran kehormatan kemaluan dan mafsadah yang ditimbulkan
pada pendapat yang membolehkan.
Keempat: Hukum asalnya adalah haram membuka aurat, menyentuh dan melihatnya dan
alasan-alasan (udzur-udzur) yang disampaikan oleh pendapat yang membolehkan
tidaklah kuat untuk sampai pada derajat dibolehkannya operasi ini. Maka wajib
“tetapnya hukum haram” pada operasi mengembalikan keperawanan ini.
Kelima: Mafsadah tuduhan (berzina jika suami tahu selaput daranya telah robek,
pent), maka tuduhan ini bisa di hilangkan dengan persaksian kedokteran setelah
kejadian (misalnya jatuh) dan terlepasnya tuduhan dari seorang wanita dengan
cara ini adalah cara yang paling ideal serta tidak membutuhkan cara operasi.
Dengan alasan ini seluruhnya maka
tidak boleh bagi seorang dokter maupun wanita melakukan operasi semacam ini.
Wallahu a’lam (lihat kitab Ahkamul Jarahati Thibbiyah Wal Aatsarul Mutarabbatu
‘Alaiha oleh syaikh Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqiti) [Sumber:
http://islamqa.info/ar/ref/844]
Fatwa Bisa berubah sesuai zaman dan keadaan
Untuk di zaman kita sekarang dan fatwa secara umum maka sebagaimana
pendapat terkuat adalah haram secara mutlak. Akan tetapi untuk kasus tertentu,
keadaan tertentu, tempat serta individu tertentu maka fatwa bisa menjadi boleh
dengan beberapa syarat yang telah di sampaikan. Tentunya setelah berdiskusi dan
bermusyawarah dengan ahli ilmu yang mumpuni. Oleh karena itu kita dapati
beberapa fatwa ulama yang membolehkan dengan syarat-syarat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid setelah merajihkan pendapat haram
secara mutlak, beliau berkata,
وقد
أفتى بعض أهل العلم المعاصرين بجواز إجراء عملية الرّتق للمغتصبة والتائبة وأمّا
غير التائبة فلا لأنّ في ذلك إعانة لها على الاستمرار في جريمتها ، وكذلك التي سبق
وطؤها لا يجوز إجراء العملية لها لما في ذلك من الإعانة على الغشّ والتدليس حيث
يظنّها من دخل بها بعد العملية بكرا وليست كذلك ، والله تعالى أعلم
Sebagian ulama di masa sekarang telah memberikan fatwa bolehnya melakukan
operasi mengembalikan keperawanan bagi wanita yang diperkosa atau wanita yang
telah bertaubat. Adapun wanita yang belum bertaubat maka tidak boleh karena hal
tersebut adalah menolong mereka untuk terus-menerus dalam kemaksiatan. Demikian
juga bagi wanita yang telah melakukan hubungan badan dengan pernikahan yang sah
maka tidak boleh melakukan operasi ini karena bisa meolong mereka dalam menipu
dan mengelabui di mana suami setelahnya akan mengira di adalah wanita perawan
padahal tidak demikian. Wallahu ‘alam [Sumber: http://islamqa.info/ar/ref/844]
Inilah yang dimaksud dengan kaidah fiqhiyah,
الفتوى
تتغير بتغير الزمان والمكان والعرف والحال
Fatwa (hukum) berubah dengan
perubahan zaman, tempat, kebiasaan dan keadaan
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar