A.
HAL-HAL YANG HARUS DIKERJAKAN OLEH ORANG YANG SAKIT
1. Rela terhadap qadha dan qadar Allah, sabar dan berprasangka baik kepadaNya.
2. Diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang mubah, dan tidak boleh berobat dengan sesuatu yang haram, atau berobat dengan sesuatu yang merusak aqidahnya; misalnya, seperti datang kepada dukun, tukang sihir atau ke tempat lainnya.
Dari Abu
Hurairah,dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللهُ
دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً”.أخرجه البخاري
Allah
tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya.
[HR Al Bukhari].
Dan
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ
الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ.
Sesungguhnya
Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian, dan jangan
berobat dengan sesuatu yang haram.
[Dikeluarkan Al Haitsami di dalam Majma’az Zawa’id].
3.
Apabila bertambah parah sakitnya, tidak boleh baginya untuk mengharapkan
kematian.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَتَمَنَّى
أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ إِنَّهُ
إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ انْقَطَعَ عَمَلُهُ وَإِنَّهُ لَا يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ
عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا
Janganlah
salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, dan janganlah meminta
kematian sebelum datang waktunya. Apabila seorang di antara kalian meninggal,
maka terputus amalnya. Dan umur seorang mukmin tidak akan menambah baginya
kecuali kebaikan. [HR Muslim].
4.
Hendaknya seorang muslim berada di antara khauf (rasa takut) dan raja’
(berhara).
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi seorang pemuda yang dalam keadaan sakaratul maut; kemudian Beliau bertanya: “Bagaimana engkau menjumpai dirimu?” Dia menjawab: “Wahai, Rasulullah! Demi Allah, aku hanya berharap kepada Allah, dan aku takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah bersabda:
لَا يَجْتَمِعَانِ
فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا
يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
Tidaklah
berkumpul dua hal ini ( yaitu khauf dan raja’) di dalam hati seseorang, dalam
kondisi seperti ini, kecuali pasti Allah akan berikan dari harapannya dan Allah
berikan rasa aman dari ketakutannya. [HR At
Tirmidzi].
5. Wajib
baginya untuk mengembalikan hak dan harta titipan orang lain, atau dia juga
meminta haknya dari orang lain. Kalau tidak memungkinkan, hendaknya memberikan
wasiat untuk dilunasi hutangnya, atau dibayarkan kafarah atau zakatnya.
6.
Hendaknya bersegera untuk berwasiat sebelum datang tanda-tanda kematian.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا حَقُّ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ
مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
Tidak
sepatutnya bagi seorang muslim yang masih memiliki sesuatu yang akan
diwasiatkan untuk tidur dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di dekatnya
[HR Al Bukhari].
Apabila
hendak berwasiat dari hartanya, maka tidak boleh berwasiat lebih banyak dari
sepertiga hartanya. Dan tidak boleh diwasiatkan kepada ahli waris. Tidak
diperbolehkan untuk merugikan orang lain dengan wasiatnya, dengan tujuan untuk
menghalangi bagian dari salah satu ahli waris, atau melebihkan bagian seorang
ahli waris daripada yang lain.
B.
HAL-HAL YANG DIKERJAKAN KETIKA SESEORANG SAKARATUL MAUT
1. Mentalqin (menuntun) dengan bacaan Laa ilaaha illallah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَقِّنُوْا
مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
Tuntunlah
orang yang akan mati di antara kalian dengan bacaan Laa ilaha illallah.
[HR Muslim].
Dari
Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ
كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa
yang akhir perkataannya Laa ilaha illallah, dia akan masuk surga.
[HR Al Bukhari].
Apabila
berbicara dengan ucapan yang lain setelah ditalqin, maka diulangi kembali,
supaya akhir dari ucapannya di dunia kalimat tauhid.
2.
Berdo’a untuknya dan tidak berkata kecuali yang baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَضَرْتُمْ
الْمَرِيضَ أَوْ الْمَيِّتَ فَقُولُوا خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ
يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Apabila
kalian mendatangi orang sakit atau orang mati, maka janganlah berkata kecuali
yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengamini yang kalian ucapkan.
[HR Muslim, Al Baihaqi dan yang lainnya].
Tanda-Tanda
Kematian:
Para ulama menyebutkan beberapa tanda, bahwa seseorang sudah bisa dikatakan mati. Di antaranya:
a. Terhentinya nafas.
b. Kedua
pelipisnya melemas.
c.
Hidung menjadi lunak.
d. Kulit
wajahnya menjadi lebih panjang.
e.
Terpisahnya kedua telapak tangan dari kedua lengannya.
f. Kedua
kakinya melemas dan terpisah dari kedua mata kaki.
g. Tubuh
menjadi dingin.
h. Tanda
yang sangat jelas, yaitu adanya perubahan bau pada tubuhnya. [Lihat Fiqhun
Nawazil, Syaikh Bakr Abu Zaid (1/227), Asy Syarhul Mumti’ (5/331)].
Tanda-tanda
di atas diketahui dengan tanpa menggunakan alat, dan ada tanda lain yang bisa
diketahui dengan alat-alat kedokteran.
3. Tidak
mengapa bagi seorang muslim untuk mendatangi seorang kafir yang dalam keadaan
sakaratul maut untuk menawarkan kepadanya agama Islam.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Dahulu ada seorang budak Yahudi yang melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dia sakit, maka Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْلِمْ فَنَظَرَ
إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ
النَّارِ
Masuklah
ke dalam agama Islam, maka dia melihat ke arah bapaknya yang berada di
sampingnya. Bapaknya berkata: “Taatilah Abul Qasim (ya’ni Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam).” Maka dia masuk Islam, kemudian Rasulullah keluar, dan
Beliau berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah menyelamatkan dia dari
neraka.” [HR Al Bukhari].
C.
HAL-HAL YANG DIKERJAKAN SETELAH SESEORANG MENINGGAL DUNIA
1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّوحَ
إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَلاَ تَقُوْلُوْا إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ
الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Sesungguhnya
ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah
kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena malaikat akan
mengamini dari apa yang kalian ucapkan. [HR
Muslim].
2.
Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari pakaiannya
yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah Radhiyallahu
a’nha, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ
حِبَرَةٍ
Dahulu
ketika Rasulullah meninggal dunia ditutup tubuhnya dengan burdah habirah
(pakaian selimut yang bergaris). [Muttafaqun
‘alaih].
Kecuali
bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan
wajahnya.
3.
Bersegera untuk mengurus jenazahnya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ
مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ
Tidak
pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan di antara keluarganya.
[HR Abu Dawud].
Karena
hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam tubuhnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Kehormatan seorang muslim adalah untuk
disegerakan jenazahnya.” Dan tidak mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya
yang dekat apabila tidak dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh mayit.
Hal ini
dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan menunggu terlebih
dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati suri). Terlebih pada
zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran belum maju seperti sekarang. Pengecualian
ini, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. [Lihat Asy Syarhul Mumti’
(5/330), Al Mughni (3/367)].
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika ada orang yang bertanya, bagaimana
kita menjawab dari apa yang dikerjakan oleh para sahabat, mereka mengubur Nabi
pada hari Rabu, padahal Beliau meninggal pada hari Senin? Maka jawabnya sebagai
berikut: Hal ini disebabkan untuk menunjuk Khalifah setelah Beliau. Karena Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin yang pertama telah
meninggal dunia, maka kita tidak mengubur Beliau hingga ada Khalifah
sesudahnya. Hal ini yang mendorong mereka untuk menentukan Khalifah. Dan ketika
Abu Bakar dibai’at, mereka bersegera mengurus dan mengubur jenazah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jika seorang Khalifah
(Pemimpin) meninggal dunia dan belum ditunjuk orang yang menggantikannya, maka
tidak mengapa untuk diakhirkan pengurusan jenazahnya hingga ada Khalifah
sesudahnya.” [Asy Syarhul Mumti’ 5/333].
4.
Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang lain tentang berita kematiannya.
Dengan tujuan untuk bersegera mengurusnya, menghadiri janazahnya dan untuk
menyalatkan serta mendo’akannya. Akan tetapi, apabila diumumkan untuk
menghitung dan menyebut-nyebut kebaikannya, maka ini termasuk na’yu
(pemberitaan) yang dilarang.
5.
Disunnahkan untuk segera menunaikan wasiatnya, karena untuk menyegerakan pahala
bagi mayit. Wasiat lebih didahulukan daripada hutang, karena Allah
mendahulukannya di dalam Al Qur’an.
6.
Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah
berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. Atau hutang kepada makhluk,
seperti mengembalikan amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ
مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa
seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi.
[HR Ahmad, At Tirmidzi, dan beliau menghasankannya].
Adapun
orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya,
sedangkan dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi hutang tersebut, maka
Allah yang akan melunasinya.
7.
Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu anha
berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ
وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ
Aku
melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Utsman bin Madh’un
Radhiyallahu ‘anhu , saat dia telah meninggal, hingga aku melihat Beliau
mengalirkan air mata. [HR Abu Dawud dan At
Tirmidzi].
Demikian
pula Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, beliau mencium Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallamn ketika beliau meninggal dunia.
D.
MEMANDIKAN MAYIT
1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi n tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ
وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ
Mandikanlah
dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya.
[Muttafaqun ‘alaih].
2. Orang
yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi wasiat
untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin
dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum
memandikan mayit.
Dahulu
Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu berwasiat supaya dimandikan oleh
isterinya, yaitu Asma’ binti Umais, kemudian dia (Asma’ binti Umais)
mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan Ibnu
Abi Syaibah.
Setelah
orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan ialah
bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat
lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang
paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.
3.
Diperbolehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
لَوْ مُتِّ
قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ
Seandainya
engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu.
[HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].
4. Bagi
seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh
tahun, baik laki-laki atau perempuan.
Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].
5.
Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir.
Allah berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلاَ تُصَلِّ
عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ
كَفَرُوْا بِالله
Janganlah
engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan
janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada
Allah. [At Taubah:84].
Yang
dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang
muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang
kafir ke dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena Rasulullah
memerintahkan untuk melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang
Badar ke dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar. [HR Al
Bukhari di dalam kitab Al Maghazi].
6.
Kaifiyat memandikan jenazah.
Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun. Kemudian dilakukan istinja’ terhadap mayit dan dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu’ seperti wudhu’ ketika akan shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air, lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya, kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian kanan.
Hendaknya
dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun bidara tersebut dipakai untuk
membersihkan rambut kepala dan janggutnya. Pada kali yang terakhir diberi kapur
(butir wewangian), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
demikian kepada para wanita yang memandikan putrinya. Beliau bersabda:
“Ambillah kapur pada kali yang terakhir, atau sesuatu dari kapur.” Kemudian
dikeringkan dan diletakkan di atas kain kafan. [70 Su’alan Fi Ahkamil Janaiz,
Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin, hlm. 6].
7. Tidak
diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang yang akan
memandikan dan orang yang membantunya.
8.
Ketika memandikan mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan, anggota wudhu’nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].
9.
Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan
tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di
tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka
mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan
kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.
10.
Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ
مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa
yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah,
maka hendaklah dia wudhu’. [HR Ahmad, Abu
Dawud dan beliau menghasankannya].
11.
Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan,
meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel
padanya.
Dalam
hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي
دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada’
Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan tidak
dishalatkan. [HR Al Bukhari].
Hukum
ini khusus bagi syahid ma’rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun
orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka
tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati
karena wabah tha’un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar.
Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/364).
12.
Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan,
maka dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu’:
وَ الطِّفْلُ (و في
رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
Seorang
anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan
dan dido’akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat.
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
Karena
setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadits
tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Mas’ud.
E.
MENGKAFANI MAYIT
1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu a’nhu :
إِذَا كَفَّنَ
أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ
Apabila
salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus
kafannya. [HR Muslim].
Ulama
berkata: “Yang dimaksud dengan memperbagus kafannya, yaitu yang bersih, tebal,
menutupi (tubuh jenazah) dan yang sederhana. Yang dimaksud bukanlah yang mewah,
mahal dan yang indah.” [Ahkamul Janaiz, 58].
2. Biaya
kain kafan diambilkan dari harta mayit, lebih didahulukan daripada untuk membayar
hutangnya. Rasulullah n bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan ihram:
….وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ
…
Kafanilah dia dengan dua bajunya.
[Muttafaqun ‘alaih]
Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dikafani dengan
pakaian ihram miliknya sendiri. Demikian pula kisah Mush’ab bin Umair yang
terbunuh pada perang Uhud, kemudian dikafani oleh Rasulullah n dengan
pakaiannya sendiri.
3.
Disunnahkan untuk dikafani dengan tiga helai kain putih.
Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.
Di beri
wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَمَّرْتُمُ
الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا
Apabila
kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali.
[HR Ahmad].
4.
Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka beberapa orang
boleh untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan orang yang paling banyak
hafalan Al Qur’annya, sebagaimana kisah para syuhada Uhud.
5. Kafan
seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.
F.
SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)
1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:
صَلُّوْا عَلَى
صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah
saudara kalian. [HR Muslim].
2.Tata
cara shalat jenazah.
a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى
عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ
Barangsiapa
yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni. [HR
At Tirmidzi]
b.
Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah ta’awwudz, tidak
membaca do’a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian takbir yang kedua, membaca
shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam
tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do’a untuk mayit. Sebaik-baik
do’a adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا
وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا
Wahai,
Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang mati, yang
hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan
wanita kami. [HR At Tirmidzi]
Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan beliau menambahkan:
اللَّهُمَّ مَنْ
أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيْمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا
فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا
تَفْتِنَّا بَعْدَهُ
Wahai,
Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dia di atas
keimanan. Dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia di
atas keimanan. Wahai, Allah! Janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya, dan
janganlah Engkau sesatkan kami sesudahnya.
[HR Abu Dawud].
اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ
مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ
الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ
دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا
مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ
عَذَابِ النَّارِ
Wahai,
Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah
ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia
dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau
bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih
baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, isteri
yang lebih baik dari isterinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga,
lindungilah dari adzab kubur dan adzab neraka.
[HR Muslim dari ‘Auf bin Malik]
Apabila
mayitnya seorang wanita, maka diganti dengan dhamir muannats….
(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا ….)
c.
Kemudian takbir yang keempat dan berhenti sejenak. Kemudian salam ke arah kanan
sekali salam.
Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: “Pendapat yang benar, ialah tidak masalah (jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/424)]
Di
antara dalil yang menunjukkan salam dua kali dalam shalat jenazah, yaitu hadits
Ibnu Mas’ud.
ثَلاَثُ خِلاَلٍ
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُنَّ تَرَكَهُنَّ
النَّاُس,إِحْدَاهُنَّ التَّسْلِيْمُ عَلَى الْجَنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيْمِ فِي
الصَّلاَةِ
“(Ada)
tiga kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , namun kebanyakan orang meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam
dalam shalat jenazah seperti salam di dalam shalat.”
(HR Al Baihaqi). Maksudnya, dua kali salam seperti yang telah kita ketahui.
Syaikh
Al Albani menyatakan, diperbolehkan hanya dengan satu kali salam yang pertama
saja, karena hadits Abu Hurairah:
أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىعَلَىالْجَنَازَةِ فَكَبَّرَ
عَلَيْهَا أَرْبَعًا وَسَلَّمَ تَسْلِيْمَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya
Rasulullah dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam satu
kali. (HR Ad Daraquthni dan Al Hakim). Al
Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul ‘Anbas dari bapaknya dari Abu
Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.
d. Disunnahkan
mengangkat tangan pada setiap kali takbir.
Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya beliau Radhiyallahu anhuma mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu’, karena hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil ijtihadnya.
Ibnu
Hajar berkata: “Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau
mengangkat tangannya pada seluruh takbir jenazah.” [Diriwayatkan oleh Sa’id, di
dalam At Talkhishul Habir (2/147)].
3.Tidak
diperbolehkan shalat jenazah pada tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan
shalat.Yaitu ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak, ketika
matahari sepenggalah hingga tergelincir dan ketika matahari condong ke barat
hingga terbenam. Ini disebutkan sebagaimana di dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir.
4. Bagi
kaum wanita, diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah dengan berjama’ah. Dan
tidak mengapa apabila shalat sendirian, karena dahulu Aisyah Radhiyallahu
anhuma menyalatkan jenazah Sa’ad bin Abi Waqqash.
5.
Apabila terkumpul lebih dari satu jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita,
maka boleh dishalatkan dengan bersama-sama. Jenazah lelaki meskipun anak kecil,
diletakkan paling dekat dengan imam. Dan jenazah wanita diletakkan ke arah
kiblatnya imam. Yang paling afdhal di antara mereka, diletakkan di dekat adalah
yang paling dekat dengan imam.
6. Dalam
menyalatkan mayit, disunnahkan dengan jumlah yang banyak dari kaum muslimin.
Semakin banyak jumlahnya, maka semakin baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَيِّتٍ
تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ
يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
Tidaklah
seorang yang mati, kemudian dishalatkan oleh kaum muslimin, jumlahnya mencapai
seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan
syafa’at untuknya. [HR Muslim].
مَا مِنْ رَجُلٍ
مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا
يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ
Tidaklah
seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalatkan oleh empatpuluh orang yang
tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan memberikan syafa’at kepada mereka
untuknya. [HR Muslim].
7.
Apabila seseorang masbuq setelah imam salam, maka dia meneruskan shalatnya
sesuai dengan sifatnya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Apabila dia salam dan tidak mengqadha’, tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,’Tidak mengqadha’. Dan dikarenakan shalat jenazah merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika berdiri’.” [Lihat Al Mughni (2/511)].
8. Apabila
tertinggal dari shalat jenazah secara berjama’ah, maka dia shalat sendirian
selama belum dikubur. Apabila sudah dikubur, maka dia shalat jenazah di
kuburnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu ketika setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu bulan. Beliau tidak memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma’ad (1/512)].
Jadi
diperbolehkan shalat jenazah di kuburan mayat tersebut dan tidak ada batas
waktu tertentu, dengan syarat bahwa ketika mayat tersebut mati, orang yang
menyalatkan sudah menjadi orang yang sah shalatnya.
9.
Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat yang belum di shalatkan di tempatnya
semula. Karena Nabi menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui berita kematiannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena dia mati di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya tersebut. Apabila sudah dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu ketika tidak menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya dalam keadaan yang berbeda. Wallahu a’lam. Dan ini, juga merupakan pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim rahimahullah.” [Lihat Zaadul Ma’ad (1/520)].
10.
Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh karena ditegakkan hukum
Islam atas diri si mayit. Sebagaimana di dalam hadits Muslim tentang kisah
wanita Juhainah yang berzina, kemudian bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkannya.
11.
Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan tokoh agama tidak menyalatkan
orang yang mencuri harta rampasan perang,atau orang yang mati bunuh diri.
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan seorang yang mencuri harta rampasan perang, akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا عَلَى
صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah
saudara kalian. [HR Abu Dawud].
Dan
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan orang yang mati
karena bunuh diri. Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu , berkata:
أُتِيَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ
يُصَلِّ عَلَيْهِ
Seseorang
yang membunuh dirinya dengan anak panah didatangkan kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau tidak mau menyalatkannya.
[HR Muslim].
Hal ini
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam (pemimpin), maka
Beliau tidak mau menyalatkan supaya menjadi pelajaran bagi orang yang
semisalnya. Akan tetapi, bagi kaum muslimin wajib untuk menyalatkannya.
12.
Demikian pula bagi orang yang mati sedangkan dia meninggalkan hutang, maka dia
juga dishalatkan.
13.
Shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha
, beliau berkata:
وَاللهِ مَا صَلَّى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ بْنِ بَيْضَاءَ
وَأَخِيْهِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ
Demi,
Allah! Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan jenazah Suhail
bin Baidha’ dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid.
[HR Muslim].
Akan
tetapi, yang afdhal, dikerjakan di luar masjid, di tempat khusus yang
disediakan untuk shalat jenazah, sebagaimana pada zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam . [Lihat Ahkamul Janaiz (106), Asy Syarhul Mumti’ (5/444)].
In sya Allah bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar