G.
MENGIRINGI JENAZAH
1. Hukum mengiringi jenazah adalah fardhu kifayah, karena termasuk hak seorang muslim.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ (وَفِي رِوَايَةٍ: يَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيْهِ) خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ
وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ
الْعَاطِسِ (رواه البخاري ومسلم)
Kewajiban
seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima, (yaitu): menjawab salam,
menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri undangannya dan
mendo’akan orang yang bersin. [HR
Bukhari dan Muslim].
2.
Keutamaan mengiringi jenazah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ
حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ
قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
(رواه مسلم)
Barangsiapa
yang menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka dia memperoleh satu qirath.
Dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga dikuburkan, maka dia memperoleh dua
qirath,”.kemudian Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau
menjawab, ”Seperti dua gunung yang besar.”
[HR Muslim].
3.
Disunnahkan untuk bersegera ketika berjalan mengangkat jenazah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ
فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَرَّبْتُمُوهَا إِلَى الْخَيْرِ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَلِكَ
كَانَ شَرًّا تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ (رواه مسلم)
Bersegaralah
kalian ketika membawa jenazah. Apabila dia orang shalih, maka kalian akan
segera mendekatkannya kepada kebaikan. Dan apabila bukan orang shalih, maka
kalian segera meletakkan kejelekan dari punggung-punggung kalian.
[HR Muslim].
Al
Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar ketika
mengangkat mayit adalah berjalan sedang-sedang saja (tidak terlalu cepat dan
tidak terlalu lambat, Red.). Hadits-hadits yang menjelaskan akan bersegera,
maksudnya tidak terlalu cepat ketika berjalan. Dan hadits-hadits yang
menjelaskan untuk sederhana dalam berjalan, maksudnya bukan berjalan sangat
lambat. Maka (makna) hadits-hadits tersebut digabungkan dengan mengambil
tengah-tengah, antara ifrath dan tafrith. [Lihat At Ta’liqat Ar Radhiyyah,
Syaikh Al Albani, hlm. 1/ 454].
4.
Dianjurkan untuk mengangkat jenazah dari seluruh sudut keranda dengan sifat
tarbi’, yakni mengangkat dari empat sudut keranda, berdasarkan perkataan Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu,
مَنْ اتَّبَعَ جِنَازَةً
فَلْيَحْمِلْ بِجَوَانِبِ السَّرِيرِ كُلِّهَا فَإِنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ ثُمَّ إِنْ
شَاءَ فَلْيَتَطَوَّعْ وَإِنْ شَاءَ فَلْيَدَعْ (رواه ابن ماجه)
Barangsiapa
yang mengikuti jenazah, maka hendaklah dia mengangkat dari seluruh sudut
keranda, karena hal itu merupakan Sunnah. Apabila dia mau, maka hendaknya
mengangkat hingga selesai. Dan kalau dia tidak mau, hendaknya dia tinggalkan.
[HR Ibnu Majah].
Sementara
itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Menurutku, yang rajih dalam
masalah ini adalah adanya keluasan dalam mengangkat jenazah. Maka hendaknya
dikerjakan mana yang lebih mudah dan tidak memberatkan dirinya. Terkadang sifat
tarbi’ sulit untuk dikerjakan ketika banyak sekali orang yang mengiringi
jenazah. Jadi akan menyulitkan orang yang mengangkat dan orang yang lain.”
[Lihat Asy Syarhul Mumti’, hlm. 447]
5.
Mengiringi dan mengangkat jenazah adalah khusus bagi kaum lelaki. Tidak boleh
bagi wanita untuk mengiringi jenazah, karena hadits Ummu Athiyah menyatakan:
نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ
الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا (رواه البخاري)
Kami
dilarang untuk mengiringi jenazah, akan tetapi tidak ditekankan kepada kami. [HR
Bukhari].
6.
Diperbolehkan berjalan di belakang jenazah atau di depannya.
Keduanya diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang afdhal berjalan di belakangnya, sebagaimana mafhum dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عُوْدُوْا الْمَرِيْضَ
وَاتَّبِعُوْا الْجَنَائِزَ (أخرجه الهيثمي)
Jenguklah
orang yang sakit dan ikutilah jenazah. [Dikeluarkan oleh Al Haitsami].
Dan hal
ini dikuatkan oleh perkataan Ali Radhiyallahu ‘anhu :
الْمَشْيُ خَلْفَهَا
أَفْضَلُ مِنْ الْمَشْيِ أَمَامَهَا كَفَضْلِ صَلاَةِ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ عَلَى
صَلاَتِهِ فَذًّا
(أخرجه
ابن أبي شيبة)
Berjalan
di belakang jenazah lebih afdhal daripada berjalan di belakangnya seperti
keutamaan seorang lelaki shalat berjamaah dibandingkan dengan shalat sendirian.
[Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah].
Sedangkan
orang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
الرَّاكِبُ يَسِيرُ
خَلْفَ الْجَنَازَةِ (رواه أبو داود)
Seorang
yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. [HR
Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
Yang
lebih utama adalah berjalan daripada naik kendaraan. Sebagaimana yang
diriwayatkan Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengiringi jenazah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi
kendaraan, namun Beliau tidak mau mengendarainya. Ketika pulang, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditawari kendaraan lagi, Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menerima dan mengendarainya. Kemudian Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang hal itu, Beliau menjawab:
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ
كَانَتْ تَمْشِي فَلَمْ أَكُنْ لِأَرْكَبَ وَهُمْ يَمْشُونَ فَلَمَّا ذَهَبُوا رَكِبْتُ
(رواه أبو داود)
Sesungguhnya
malaikat berjalan, maka aku tidak mau mengendarai sedangkan malaikat berjalan.
Kemudian ketika mereka pergi, aku mau mengendarainya.
[HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani]. Lihat pembahasan ini
dalam Ahkamul Janaiz, hlm. 73-75.
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyalatkan mayit, Beliau mengikutinya sampai kuburan, berjalan kaki di
depannya. Hal ini merupakan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Disunnahkan
bagi orang yang mengiringinya untuk berjalan di belakangnya. Apabila berjalan
kaki, maka hendaknya mendekat kepada jenazah, di belakangnya atau di depannya
atau di sebelah kanan dan kirinya. Dahulu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk bersegera ketika mengangkat jenazah, sehingga mereka dahulu
sungguh berjalan dengan cepat. Adapun perbuatan manusia pada zaman sekarang
dengan melangkah setapak demi setapak merupakan bid’ah yang dibenci lagi
menyelisihi syari’at, dan menyerupai Ahli Kitab dari Yahudi.” [Lihat Zaadul
Ma’ad (1/498)].
7. Tidak
diperbolehkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang menyelisihi Sunnah.
Misalnya seperti mengeraskan suara ketika menangis, berdzikir, mengucapkan tarahhum (berdo’a untuk mayit agar diberi rahmat).
Misalnya seperti mengeraskan suara ketika menangis, berdzikir, mengucapkan tarahhum (berdo’a untuk mayit agar diberi rahmat).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak dianjurkan untuk mengeraskan
suara ketika mengiringi jenazah, baik dengan bacaan atau dzikir atau yang lain.
Hal ini merupakan madzhab imam yang empat. Dan inilah yang kami ketahui dari
salaf, dari para sahabat dan tabi’in. Aku tidak mengetahui seorangpun yang
menyelisihinya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (24/293,294)].
8.
Diharamkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang mungkar, seperti memukul
kendang, alat musik yang mencerminkan kesedihan, meratap dan yang lainnya.
Demikian pula apabila wanita memukul rebana ketika jenazah diberangkatkan ke
kuburan.
9.
Apabila pada acara mengiringi jenazah terdapat kemungkaran, sedangkan dia tidak
mampu untuk menghilangkan seluruhnya, maka dia tetap mengikuti jenazah
tersebut, demikian menurut pendapat yang benar.
Pendapat
ini merupakan satu diantara dua riwayat dari Imam Ahmad. Dan dia mengingkari
kemungkaran sesuai dengan kemampuannya. [Lihat Al Akhbarul Ilmiyah Minal
Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, hlm. 132].
10. Tidak
mengapa mengiringi jenazah dengan naik mobil atau kendaraan yang lain apabila
kuburan letaknya jauh.
Dianjurkan bagi orang yang mengiringi jenazah untuk khusyu’ menghayati kematian dan memikirkan apa yang akan dialami oleh si mayit dan tidak membicarakan masalah duniawi.
11.
Disunnahkan untuk tidak duduk hingga jenazah diletakkan di tanah. Rasullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اتَّبَعْتُمْ
جَنَازَةً فَلَا تَجْلِسُوا حَتَّى تُوضَعَ (رواه البخاري ومسلم)
Apabila
kalian mengikuti jenazah, maka janganlah duduk hingga diletakkan.
[HR Bukhari dan Muslim].
12.
Disunnahkan bagi orang yang telah selesai mengangkat jenazah untuk wudhu’.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا
فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ (رواه أبو داود والترمذي)
Barangsiapa
yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang
mengangkatnya, maka hendaklah dia berwudhu’. [HR
Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menghasankannya)].
H.
MENGUBUR MAYAT
1. Mengangkat dan mengubur mayat merupakan suatu penghormatan kepadanya. Dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Allah berfirman:
أَلَمْ نَجْعَلِ
اْلأَرْضَ كِفَاتًا أَحْيَآءً وَأَمْوَاتًا
Bukankah
telah Kami jadikan tanah sebagai pelindung bagi kalian. Dalam keadaan hidup dan
mati. [Al Mursalat:25, 26]
ثُمَّ أَمَاتَهُ
فَأَقْبَرَهُ
Kemudian
Allah mematikan dan menguburkannya.
[‘Abasa:21]
2. Yang
menguburkan mayat adalah kaum lelaki, meskipun mayat tersebut wanita. Hal ini
karena beberapa hal:
– Bahwasanya hal ini dikerjakan oleh kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga pada zaman sekarang.
– Karena
kaum lelaki lebih kuat untuk mengerjakannya.
– Jika
hal ini dikerjakan oleh kaum wanita, maka akan menyebabkan terbukanya aurat
wanita di hadapan lelaki yang bukan mahramnya.
Dalam
masalah ini, wali dari mayit merupakan orang yang paling berhak menguburkannya,
berdasarkan keumuman firman Allah:
وَأُوْلُوا
اْلأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللهِ
Dan
orang yang memiliki hubungan kerabat sebagian diantara mereka lebih berhak
daripada yang lain. [Al Anfal:75].
3.
Disunnahkan untuk mengubur mayat di kuburan. Karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dahulu mengubur para sahabatnya di kuburan baqi’. Dan tidak
pernah dinukil dari seorang pun dari salaf bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengubur seseorang di selain kuburan, kecuali sesuatu yang telah
mutawatir bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikubur di kamarnya. Karena
hal ini merupakan kekhususan Beliau. Sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiyallahu
‘anha, beliau berkata:
لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ فَقَالَ أَبُو
بَكْرٍ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا
نَسِيتُهُ قَالَ مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَجِبُ
أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ فَدَفَنُوْهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ (رواه الترمذي)
Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, para sahabat
berselisih pendapat dalam masalah tempat untuk mengubur Beliau. Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Saya mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sesuatu yang aku belum lupa. Beliau bersabda,’Tidaklah Allah
mewafatkan seorang Nabi, kecuali di tempat tersebut wajib untuk dikubur’.”
Kemudian mereka mengubur Beliau di tempat tidurnya. [HR
At Tirmidzi].
Orang
yang mati syahid dikubur di tempat dia meninggal dunia. Karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengembalikan syuhada’ Uhud supaya
dikubur di tempat mereka terbunuh. Padahal sebagian syuhada’ sudah dibawa
pulang ke Madinah.
4.
Disunnahkan untuk memperluas dan mendalamkan kuburan.
Karena diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Dikeluhkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang mati terluka pada perang Uhud. Kemudian Beliau bersabda:
احْفِرُوا وَأَوْسِعُوا
وَأَحْسِنُوا … (رواه الترمذي)
Galilah
dan luaskanlah, dan baguskanlah kuburan mereka.
[HR At Tirmidzi].
Karena
yang demikian lebih tertutup bagi mayit dan lebih terjaga dari binatang buas,
dan baunya tidak akan mengganggu orang yang hidup.
5.
Diperbolehkan duduk di dekat kuburan ketika mayat sedang dikubur, untuk
mengingatkan orang yang hadir terhadap kematian.
6.
Diperbolehkan untuk mengubur mayat di setiap waktu, dan makruh hukumnya
mengubur mayat pada tiga waktu yang dilarang, sebagaimana telah dijelaskan
dalam shalat jenazah, kecuali jika karena adanya darurat.
Dan
diperbolehkan mengubur mayat pada malam hari. Karena hadits Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhu di dalam Al Bukhari dan Muslim. Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘anhu berkata, ”Telah mati seseorang yang dahulu Nabi menjenguknya. Mati
pada malam hari, kemudian para sahabat menguburnya pada malam itu juga. Ketika
pagi, Beliau bertanya, ’Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?’ Kemudian
Beliau mendatangi kuburnya, dan Beliau shalat jenazah di kuburan.” Dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari mereka mengubur pada malam
hari. [Lihat fatwa Lajnah Da’imah di dalam Fatawa Islamiyyah (2/34)].
7.Disunnahkan
bagi orang yang memasukkan mayat untuk berdo’a.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ
فِي قُبُوْرِهِمْ فَقُوْلُوْا بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلًّةِ رَسُوْلِ اللهِ (رواه الحاكم)
Apabila
kalian meletakkan jenazah di kuburnya, maka ucapkanlah:
بِسْمِ اللهِ
وَعَلَى مِلًّةِ رَسُوْل اللهِ
(dengan
nama Allah dan di atas agama Muhammad). [HR Al Hakim].
8.
Diletakkan mayat di kuburnya di atas bagian tubuhnya yang kanan, sedangkan
wajahnya menghadap ke arah kiblat. Hal ini yang dikerjakan oleh kaum muslimin
sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga sekarang, dan yang
dilakukan di seluruh kuburan. [Lihat Ahkamul Janaiz, 151].
9.
Disunnahkan bagi orang yang ada di kuburan untuk melempar tanah tiga kali
dengan kedua tangannya setelah selesai menutup lahad. Karena hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ ثُمَّ أَتَى قَبْرَ الْمَيِّتِ
فَحَثَى عَلَيْهِ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ ثَلَاثًا (رواه ابن ماجه)
Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menyalatkan jenazah, kemudian
Beliau melemparkan tanah dari arah kepalanya tiga kali.
[HR Ibnu Majah].
10.
Setelah mengubur mayit, disunnahkan beberapa hal:
– Untuk meninggikan kuburan sedikit dari tanah sekedar satu jengkal, dan tidak diratakan dengan tanah supaya berbeda dengan yang lain, sehingga bisa terjaga dan tidak dihinakan. Karena hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :
أن النبي صلى الله عليه
وسلم ألحد له لحدا ونصب عليه اللبن نصبا ورفع قبره من الأرض نحوا من شبر (رواه ابن
حبان والبيهقي)
Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggali liang lahad dan menancapkan batu
bata dan meninggikan kuburan sekadar satu jengkal.
[HR Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani].
–
Hendaknya kuburan dijadikan membulat bagian permukaannya (seperti punuk onta).
Karena di dalam hadits Sufyan At Tammar disebutkan:
رَأَيْتُ قَبْرَ النَّبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَقَبْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ) مَسَنَّمًا (رواه
البخاري)
Aku
melihat kubur Nabi (dan kubur Abu Bakar dan Umar) membulat.
[HR Bukhari].
– Agar
diberi suatu tanda dengan batu atau yang lainnya, supaya dikuburkan di dekatnya
orang yang mati dari keluarganya. Karena ketika Utsman bin Madh’un meninggal
dunia, beliau meminta untuk diambilkan sebuah batu, kemudian beliau
meletakkannya di dekat kepalanya. Dan beliau bersabda:
أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ
أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي (رواه أبو داود)
Supaya
aku mengetahui kuburan saudaraku dan aku akan mengubur di dekatnya orang yang
mati dari keluargaku. [HR Abu Dawud].
– Tidak
diperbolehkan mentalqin mayit setelah dikubur, sebagaimana talqin yang dikenal
pada zaman sekarang, yaitu dengan menuntun syahadat la ilah illallah. Akan
tetapi, hendaklah berdiri di dekat kubur kemudian berdo’a. Dan orang yang hadir
agar memintakan ampunan bagi mayit. Di dalam hadits Utsman bin Affan
Radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ
اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
(رواه أبو داود)
Dahulu,
apabila Nabi selesai dari mengubur mayit, Beliau berdiri di dekatnya dan
bersabda: “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mintakan supaya dia
diberikan keteguhan, karena sekarang ini dia sedang ditanya”.
[HR Abu Dawud].
Setiap
orang berdo’a sendiri-sendiri tanpa adanya komando (berjamaah). [Lihat Ahkamul
Janaiz (153-156), Ash Shalat, Dr. Abdullah Ath Thayyar, hlm. 289].
11.
Diperbolehkan untuk mengeluarkan (membongkar kembali) mayat dari dalam kuburnya
untuk tujuan yang benar, seperti kalau dia dikubur sebelum dimandikan dan
dikafani.
12. Bagi
seseorang tidak disunnahkan untuk menggali kuburnya sebelum dia mati. Karena
Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengerjakan perbuatan seperti ini. Dan
seseorang tidak mengetahui kapan dan dimana dia akan mati. Apabila maksudnya
untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kematian, maka hal ini dengan
mengamalkan amal shalih. [Lihat Al Akhbarul Ilmiyyah, hlm. 134].
13. Tidak
diperbolehkan menulis sesuatu di atas kuburan.
Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا وَأَنْ
يُبْنَى عَلَيْهَا وَأَنْ تُوطَأَ(رواه الترمذي)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang di atas kuburan diberi warna dan ditulis
sesuatu. Dan Beliau melarang di atasnya dibangun dan diinjak. [HR
At Tirmidzi].
14.
Tidak boleh mengubur orang kafir di kuburan kaum muslimin dan sebaliknya.
15.
Tidak boleh menambahkan sesuatu di atas kuburan, baik dengan tanah atau
bangunan. Karena hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu yang marfu’, beliau berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ…
(رواه النسائي)
Rasulullah
melarang mendirikan bangunan di atas kuburan atau ditambahkan kepadanya tanah.
[HR An Nasa-i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
16.
Dibenci berjalan di atas kuburan dengan mengenakan alas kaki tanpa ada udzur.
Namun apabila ada udzur, seperti tempatnya sangat panas atau terdapat banyak
duri, maka tidak mengapa berjalan dengan mengenakan sandal. Didalam hadits
Basyir bin Nahik (bekas budak Rasulullah), ia berkata:
بَيْنَمَا أَنَا أُمَاشِي
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي الْقُبُورِ
عَلَيْهِ نَعْلَانِ فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ
فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا (رواه أبو داود)
Ketika
aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba ada
seseorang yang berjalan di kuburan dengan mengenakan sandal. Kemudian Beliau
bersabda: “Wahai, orang yang mengenakan sandal! Celakalah engkau! Lepaskanlah
dua sandalmu!” Kemudian lelaki tersebut melihat sandalnya. ketika dia melihat
Rasulullah melepas sandalnya, maka dia melepas dan melempar kedua sandalnya. [HR
Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani].
17.
Diharamkan memasang lampu di kuburan.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا
الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ (رواه أبو داود و الترمذي)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang ziarah kubur dan
orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, dan orang yang memasang
lampu padanya. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
18.
Tidak diperbolehkan buang hajat di kuburan.
19.
Diharamkan mengubur satu mayat di atas kuburan orang lain, kecuali diperkirakan
kuburan yang pertama sudah menjadi tanah. Dalilnya, ialah apa yang dikerjakan
kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga zaman sekarang, bahwa seseorang di
kuburnya sendirian.
Syaikh
Ibnu Utsaimin berkata: “Tidak ada bedanya ketika mengubur dalam satu waktu,
yaitu dimasukkan dua kuburan secara bersamaan atau hari ini dikubur seseorang
kemudian besok dikubur orang lain,” kemudian beliau berkata: “Kecuali dalam
keadaan darurat, seperti banyaknya orang yang mati, kemudian orang yang
menguburnya sedikit. Dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa apabila dimasukkan
dua atau tiga orang dalam satu kuburan.” [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (5/461)].
20.
Disunnahkan untuk mengumpulkan kerabat yang mati di satu pekuburan, dan haram
hukumnya mengumpulkan beberapa mayat dalam satu liang lahad, kecuali ada hal
darurat.
21.
Diharamkan menyembelih dan makan dari sembelihan tersebut di kuburan.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: Haram hukumnya menyembelih dan berqurban di kuburan, meskipun si mayat telah bernadzar, atau dia telah memberikan syarat; maka syaratnya batil dan dianggap tidak sah. Karena hadits Anas, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah:
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: Haram hukumnya menyembelih dan berqurban di kuburan, meskipun si mayat telah bernadzar, atau dia telah memberikan syarat; maka syaratnya batil dan dianggap tidak sah. Karena hadits Anas, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah:
لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ
(رواه أبو داود)
Tidak
ada sembelihan untuk si mayat dalam agama Islam.
[HR Abu Dawud].
Dan
beliau berkata: “Mengeluarkan shadaqah ketika mengiringi jenazah merupakan
perbuatan yang dibenci, karena menyerupai menyembelih di kuburan.” [Lihat Al
Akhbarul Ilmiyyah, 135].
22.
Tidak boleh membaca Al Qur’an di kuburan. Karena tidak pernah diriwayatkan dari
Nabi dan para sahabatnya. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah.
23.
Tidak boleh meletakkan pelepah kurma atau yang lainnya di atas kuburan. Karena
hal ini termasuk bid’ah dan berprasangka yang jelek kepada mayit.
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan pelepah kurma di atas dua kuburan ketika Beliau mengetahui bahwa keduanya sedang disiksa. Adapun kita tidak mengetahui hal tersebut.
24.
Tidak boleh meletakkan kain hijau di atas keranda yang tertuliskan ayat kursi.
Karena hal ini termasuk meremehkan terhadap ayat-ayat Allah.
Hal ini tidak pernah ada di dalam Sunnah dan tidak pernah dikerjakan oleh seorang pun di antara para sahabat dan tabi’in. Seandainya perbuatan seperti ini baik, pasti mereka telah mendahului kita dalam mengamalkannya. Terlebih lagi apabila terdapat keyakinan yang salah bahwa perbuatan ini akan bermanfaat bagi si mayit. Padahal yang benar, tidak akan bermanfaat sama sekali bagi si mayit. [Lihat Ash Shalat, hlm. 293].
I.
TAKZIYAH KEPADA KELUARGA MAYIT
Harus kita ketahui, kematian adalah taqdir dan ketentuan dari Allah. Dia berfirman:
مَآأَصَابَ مِن
مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ
بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Tidak
ada suatu musibahpun yang menimpa seseorang, kecuali dengan ijin Allah; Dan
barangsiapa yang beriman kepadaNya, niscaya Allah akan memberi petunjuk
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [At
Taghabun:11].
Apabila
seseorang yakin ketika dia tertimpa musibah, kehilangan suami atau anak dan
kerabatnya, bahwa semua itu dengan ijin dari Allah, maka Allah akan memberikan
taufik kepada hatinya untuk rela terhadap taqdirNya.
Adapun
yang dimaksud dengan takziyah, yaitu menghibur keluarga mayit dengan
menganjurkan supaya mereka bersabar terhadap taqdir Allah dan mengharapkan
pahala dariNya. Waktu takziyah, dimulai ketika terjadinya kematian, baik
sebelum dan setelah mayat dikubur, sehingga hilang dan terlupakan kesedihan
mereka.
1.
Takziyah kepada keluarga mayit adalah Sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي
أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلَّا كَسَاهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه ابن ماجه)
Tidak
ada seorang mukmin yang memberikan takziyah kepada saudaranya dalam suatu
musibah, kecuali Allah akan memberikan kepadanya dari pakaian kehormatan pada
hari kiamat. [HR Ibnu Majah, dihasankan oleh
Syaikh Al Albani]
2.
Sebaik-baik ucapan takziyah adalah takziyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada putrinya Zainab, ketika Zainab mengirim utusan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa bayinya meninggal dunia.
Beliau bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ
وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
(رواه البخاري)
Sesungguhnya
milik Allah untuk mengambilnya dan milikNya untuk diberikan, dan segala sesuatu
disisiNya dengan ketentuan yang sudah ditetapkan waktunya. Maka, hendaknya
engkau sabar dan ihtisab. [HR Bukhari].
3.
Disunnahkan untuk membuat makanan bagi keluarga mayit, karena mereka sibuk
dengan musibah yang menimpanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal itu, ketika Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mati syahid. Beliau bersabda:
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ
طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ (رواه أبو داود)
Buatkanlah
makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang perkara yang menyibukkan
mereka. [HR Abu Dawud, dihasankan oleh
Syaikh Al Albani].
Keluarga
mayit tidak dibenarkan membuat makanan untuk orang yang datang, karena hal ini
akan menambah atas musibah mereka dan menyerupai perbuatan orang jahiliyah.
Yakni termasuk niyahah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dari
Jarir bin Abdullah Al Bajali, beliau berkata:
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ
إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)
Kami
dahulu menganggap berkumpul di tempat keluarga mayit, dan mereka membuatkan
makanan kepada orang yang datang termasuk niyahah.
[HR Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
4. Tidak
boleh sengaja berkumpul untuk takziyah di tempat manapun juga, baik di rumah
atau di tempat yang lain, dan tidak boleh juga mengumumkannya, karena tidak ada
dalilnya. Dan sebagian Salaf menganggap, bahwa hal ini termasuk niyahah
(meratap).
5. Tidak
diperbolehkan membaca Al Qur’an ketika takziyah, terlebih menyewa orang-orang
untuk membaca Al Qur’an dan berkumpul dengan suatu hidangan makanan sebagaimana
banyak terjadi di kalangan kaum muslimin.
6.
Ketika takziyah, tidak boleh mengkhususkan pakaian dengan satu warna tertentu,
seperti warna hitam. Karena hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Salaf.
7. Bagi
orang yang sedih, tidak boleh merobek bajunya atau menampar pipinya atau
berteriak dengan ucapan jahiliyah.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ
ضَرَبَ الْخُدُودَ أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ (رواه
مسلم)
Tidak
termasuk dari golongan kami orang yang memukul pipinya atau merobek bajunya
atau menyeru dengan seruan jahiliyah. (HR
Muslim).
Dari Abu
Musa Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata:
أَنَا بَرِيءٌ مِمَّنْ
بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنْ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ
(رواه البخاري)
Saya
berlepas diri dari orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas
diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berlepas diri dari orang yang mengangkat suaranya ketika tertimpa musibah dan
orang yang mencukur rambutnya dan orang yang merobek bajunya.
[HR Bukhari].
8.
Diperbolehkan menangisi mayit. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menangis ketika Ibrahim, putra Beliau meninggal dunia. Beliau bersabda:
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ
وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَكِنْ لَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ
يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ (رواه البخاري ومسلم)
Air mata
mengalir dan hati menjadi sedih, akan tetapi kita tidak mengucapkan kecuali apa
yang diridhai oleh Allah. Dan kami sungguh sedih berpisah denganmu, wahai
Ibrahim. [HR Bukhari dan Muslim].
Selama
tidak adanya nadab (yakni menyebut-nyebut kebaikan mayit dengan huruf nadab,
yaitu “ya”) dan niyahah (yakni meratapi mayit dengan mengeraskan suara dengan
satu alunan). [Lihat Asy Syarhul Mumti’ (489/493)].
9. Para
ulama telah sepakat haramnya niyahah, yaitu dengan menyebut-nyebut kebaikan
mayit dengan mengeraskan suaranya. Karena dalam hal ini terdapat perbuatan
jahiliyah, serta tidak menerima terhadap taqdir dan ketentuan Allah. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
النَّائِحَةُ إِذَا
لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ
قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ (رواه مسلم)
Orang
yang meratap apabila dia tidak bertaubat sebelum meninggal dunia, maka dia akan
dibangkitkan pada hari kiamat, sedangkan pada tubuhnya pakaian dari ter dan
baju besi dari kudis. [HR Muslim].
Dan dari
Umar Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau
bersabda:
الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ
فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ (رواه مسلم)
Seorang
mayit akan disiksa di kuburnya dengan sebab niyahah yang ditujukan kepadanya.
[HR Muslim].
Dari
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ حَفْصَةَ بَكَتْ
عَلَى عُمَرَ فَقَالَ مَهْلًا يَا بُنَيَّةُ أَلَمْ تَعْلَمِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ
عَلَيْهِ (رواه مسلم)
Sesungguhnya
Hafshah menangisi kematian Umar.” Beliau berkata,”Sabarlah, wahai saudariku.
Tidakkah engkau mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ’Sesungguhnya seorang mayit akan disiksa karena tangisan
keluarganya’.” [HR Muslim].
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Menurut pendapat yang benar, bahwa mayit akan
tersiksa karena tangisan yang ditujukan kepadanya sebagaimana disebutkan oleh
hadits-hadits yang shahih.” [Lihat Majmu’ Fatawa (24/369,370)].
10.
Tidak diperbolehkan mencela orang yang sudah meninggal dunia.
Dari ‘Aisyah, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ
فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا (رواه البخاري)
Janganlah
kalian mencela orang yang sudah mati, karena mereka mendapatkan dari apa yang
telah mereka kerjakan. [HR Bukhari].
11.
Disunnahkan untuk ziarah kubur dengan tujuan untuk mengambil pelajaran dan
mengingatkan kematian, meskipun ziarah kubur orang yang mati dalam keadaan
kafir.
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ
فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ
الْمَوْتَ (رواه مسلم)
Nabi
ziarah kubur ibunya. Beliau menangis dan membuat orang-orang yang di sampingnya
menangis. Beliau bersabda,”Aku telah minta ijin dari Rabb-ku untuk memohonkan
ampunan untuk ibuku, akan tetapi Allah tidak mengijinkanku. Kemudian aku minta
ijin untuk ziarah ke kuburannya, maka Allah mengijinkan kepadaku. Ziarahlah
kalian ke kuburan, karena akan mengingatkan kalian kepada kematian.
[HR Muslim].
12.
Disunnahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk mengucapkan do’a.
Diantara do’a yang masyru’, dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha :
السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ
الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ
مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ (رواه
مسلم)
Semoga
keselamatan bagi kalian yang tinggal di sini dari kaum mukminin dan muslimin.
Semoga Allah merahmati orang yang terdahulu dan orang yang kemudian. Dan kami,
insya Allah akan menyusul kalian. [HR
Muslim].
Dari
Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Dahulu Rasulullah Radhiyallahu ‘anhu,
mengajarkan kepada para sahabat, apabila mereka keluar ke kuburan, maka satu diantara
mereka berdo’a:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ(
بِكُمْ ) لَلَاحِقُونَ ( أَنْتُمْ لَنَا فَرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ ) أَسْأَلُ
اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ (رواه مسلم)
Semoga
keselamatan bagi kalian yang ada di sini dari kaum mukminin dan muslimin. Dan
kami, insya Allah, sungguh akan menyusul kalian. Kalian lebih dahulu daripada
kami dan kami mengikuti kalian. Saya minta kepada Allah kesejahteraan untuk
kami dan kalian. [HR Muslim].
13.
Tidak boleh bagi wanita untuk ihdad (berkabung) lebih dari tiga hari, kecuali
apabila ditinggal mati suaminya; maka dia ihdad selama empat bulan sepuluh
hari. Kecuali apabila dia hamil, maka selesai masa ihdadnya ketika dia
melahirkan kandungannya.
Syaikh
Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Telah menjadi kebiasaan di beberapa
negara Islam pada zaman sekarang adanya perintah untuk ihdad (berkabung) karena
meninggalnya seorang raja atau pemimpin selama tiga hari atau kurang atau lebih,
disertai dengan liburnya kantor-kantor pemerintahan dan pengibaran bendera.
Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini menyelisihi syari’at Islam dan tasyabbuh
dengan musuh-musuh Islam. Padahal telah datang hadits-hadits yang shahih yang
melarang dan memperingatkan tentang ihdad, kecuali bagi seorang istri, (dia)
diperbolehkan ihdad ketika ditinggal mati suaminya selama empat bulan sepuluh
hari. Sebagaimana boleh bagi wanita untuk ihdad tidak lebih dari tiga hari,
apabila ada kerabatnya yang mati. Adapun selain itu, maka dilarang. Dan tidak
ada tuntunannya di dalam syari’at yang sempurna ini dalil yang membolehkan
ihdad terhadap seorang raja atau pemimpin atau orang lain. Padahal telah
meninggal dunia pada zaman Nabi putra Beliau, (yaitu) Ibrahim dan tiga orang putrinya,
dan Beliau tidak pernah ihdad sama sekali. Dan pada waktu itu, terbunuh
panglima-panglima perang Mu’tah, Beliau pun tidak ihdad. Kemudian Beliau wafat,
sedangkan Beliau makhluk yang paling mulia. Kematian Beliau merupakan musibah
yang paling besar. Akan tetapi, tidak seorangpun diantara sahabat yang
melakukan ihdad….” [Lihat Majmu Al Fatawa (1/415)].
14. Ada
beberapa amalan orang hidup yang akan bermanfaat bagi mayit. Diantaranya:
– Do’a
seorang muslim untuknya.
–
Apabila walinya mengqadha’ puasa nadzarnya.
–
Apabila walinya atau orang lain melunasi hutangnya.
– Amal
yang dikerjakan oleh anaknya yang shalih, maka kedua orang tuanya akan
memperoleh pahala yang serupa.
– Amalan
shalih dan shadaqah jariyah
Demikianlah
beberapa hal yang dimudahkan Allah untuk kami kumpulkan. Semoga bermanfaat bagi
saya pribadi dan para penuntut ilmu, serta kaum muslimin pada umumnya. Wa
billahit taufiq.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar