Imam Bukhari
membawakan Bab “I’tikaf Wanita”. Hadits yang beliau bawakan adalah hadits
berikut ini.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَكُنْتُ
أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ ، فَاسْتَأْذَنَتْ
حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا ، فَضَرَبَتْ خِبَاءً
، فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ ، فَلَمَّا
أَصْبَحَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى الأَخْبِيَةَ فَقَالَ « مَا
هَذَا » . فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « آلْبِرُّ
تُرَوْنَ بِهِنَّ » . فَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ
عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Aku mendirikan tenda untuk beliau.
Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah
meminta izin pada ‘Aisyah untuk mendirikan tenda, ‘Aisyah pun mengizinkannya.
Ketika Zainab binti Jahsy melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf
dalam tenda, ia meminta untuk didirikan tenda, lalu didirikanlah tenda yang
lain. Ketika di Shubuh hari lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
banyak tenda, lantas beliau bertanya, “Apa ini?” Beliau
lantas diberitahu dan beliau bersabda, “Apakah kebaikan yang kalian
inginkan dari ini?” Beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan ini dan
beliau mengganti dengan beri’tikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.” (HR.
Bukhari no. 2033).
Ada hadits yang
disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam
kitab beliau Bulughul Maram, yaitu hadits no.
699 tentang permasalahan i’tikaf.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ
يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ,
ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah.
Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari no. 2026
dan Muslim no. 1172)
Apa
Hukum I’tikaf bagi Wanita?
1. Imam Syafi’i
memakruhkan secara mutlak i’tikaf wanita di masjid yang ada shalat jama’ah.
Beliau berdalil dengan hadits pertama yang di atas. Hadits tersebut menunjukkan
bahwa wanita dimakruhkan beri’tikaf kecuali di masjid rumahnya. Alasannya, jika
wanita i’tikaf di masjid umum, banyak nantinya yang melihat wanita tersebut.
Ibnu ‘Abdil
Barr berkata, “Seandainya Ibnu ‘Uyainah tidak menambah dalam hadits bab bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberikan
izin wanita untuk i’tikaf di masjid, tentu i’tikaf wanita di masjid yang ada
jama’ahnya menjadi tidak dibolehkan.”
2. Sedangkan
ulama Hanafiyah menyaratkan i’tikaf wanita di masjid rumahnya.
Ini adalah pendapat Abu
Hanifah, at-Tsauri, dan an-Nakha’i. Ibnu Rusyd mengatakan,
وإلا ما ذهب إليه أبو
حنيفة من أن المرأة إنما تعتكف في مسجد بيتها
Abu
Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh beritikaf di mushola rumahnya. (Bidayah
al-Mujtahid, hlm. 261).
3. Menurut
ulama Hanafiyah pula wanita masih boleh i’tikaf di masjid namun bersama
suaminya. Demikian ini juga pendapat dari Imam Ahmad. Lihat Fath Al-Bari, 4: 275.
Ibnul Mundzir
dan ulama lainnya menyatakan bahwa wanita tidak boleh beri’tikaf sampai meminta
izin pada suaminya. Jika wanita tersebut beri’tikaf tanpa meminta izin, maka
suaminya boleh menyuruhnya keluar dari i’tikaf. Namun jika telah diberi izin,
suami tetap masih boleh melarangnya setelah itu. Sedangkan menurut ulama
Hanafiyah (ahli ro’yi), jika awalnya suaminya mengizinkan kemudian
melarangnya, maka suami berdosa. Sedangkan Imam Malik tidak membolehkan seorang
suami melakukan seperti itu. Lihat Fath Al-Bari, 4:
277.
Dari sini kita
tahu bahwa masjid tetap syarat untuk i’tikaf. Karena wanita ketika i’tikaf saja
harus meminta izin pada suami untuk keluar.
Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Jika wanita ingin
melaksanakan i’tikaf di masjid, maka hendaklah menutupi diri (dari pandangan laki-laki,
pen.). Disyaratkan bagi wanita untuk berdiam di masjid selama tempat tersebut
tidaklah mengganggu (menyempitkan) orang-orang yang shalat.” (Fath Al-Bari, 4: 277)
Pendapat yang paling kuat, tempat itikaf bagi
wanita sama dengan laki-laki, yaitu di masjid. Tidak boleh itikaf di mushola
dalam rumah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Dan pendapat dengan
pertimbangan,
1. Allah kaitkan syariat
itikaf dengan masjid,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
”Janganlah kalian
menggauli mereka sementara kalian sedang itikaf di masjid.”
Dan tidak ada pengecualian untuk ayat ini. Artinya
berlaku umum, baik bagi lelaki maupun wanita.
2. Para istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan itikaf di masjid. (HR. Muslim
1172)
Kegiatan wanita beritikaf di masjid merupakan hal
yang biasa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau
menganjurkan agar wanita lebih memilih shalat di rumah dari pada di masjid.
Andaikan itikaf di rumah itu lebih baik, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan menyarankan mereka untuk itikaf di rumah.
Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar