A. Pengantar
Sunnah
Nabawiyyah sebagai penjelas kitab suci Al-Qur’an telah membahas secara gamblang
tentang masalah-masalah “ilmu ghaib” yang berada di luar alam kita seperti
Malaikat, Jin, Arsy, Kursi dan sebagainya. Sunnah juga membahas secara detail
tentang kejadian setelah kematian berupa nikmat dan siksa kubur, kebangkitan
hari kiamat, syafa’at, timbangan, shirat, surga, neraka dan sebagainya. Semua
ini telah dibahas tuntas dalam Sunnah Nabawiyyah Shahihah sehingga tiada
peluang bagi seseorang untuk ragu-ragu dalam masalah ini.
Sebagai seorang
muslim sejati, kita harus pasrah menerima hadits-hadits shahih tersebut dan
tidak mementahkannya hanya karena tidak diterima oleh logika kita atau
dimustahilkan oleh akal pikiran kita. Kita semua tahu bahwa manusia pada zaman
sekarang ini telah mampu membuat berbagai kecanggihan teknologi yang seandainya
saja diberitakan kepada salah seorang yang hidup dahulu kala, niscaya dia akan
memustahilkannya dan mungkin menvonis penceritanya sebagai orang gila. Kalau
demikian, lantas bagaimana dengan kemampuan Allah, Dzat Yang tidak ada
sesuatupun di langit dan di bumi yang dapat mengalahkannya?!!
Oleh karenanya
para ulama menegaskan bahwa agama mungkin saja datang dengan sesuatu yang
membuat bingung akal seorang, tetapi tidak mungkin dia datang dengan sesuatu
yang dimustahilkan akal. Dari sinilah maka tidak mungkin dalil bertentangan
dengan akal selama-lamanya. Apabila ada yang terkesan demikian, maka perlu
dikoreksi, kemungkinan dalilnya yang tidak shahih, atau dalil akalnya yang
tidak benar. (Lihat Kaifa Nata’amal Ma’a Sunnah Nabawiyyah Dr.
Yusuf al-Qardhawi hal. 173)
B. TAKHRIJ
HADITS
Ketahuilah
wahai saudaraku tercinta -semoga Allah selalu memberkahi anda- bahwa hadits
pembahasan kita ini derajatnya adalah SHAHIH tanpa sedikitpun keraguan
di dalamnya, diriwayatkan oleh para ulama terpercaya dari sahabat Abu Said
al-Khudri, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Anas bin Malik dan sebagainya.
Berikut keterangannya:
Riwayat
Abu Sa’id al-Khudri
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ كَهَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحٍ
فَيُنَادِي بِهِ مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَشْرَئِبُوْنَ وَيَنْظُرُوْنَ,
فَيَقًُوْلُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ,
وَكُلُّهُمْ قَدْ رَآهُ, ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَشْرَئِبُوْنَ
وَيَنْظُرُوْنَ, فَيَقُوْلُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ,
هَذَا الْمَوْتُ وَكُلُّهْمْ قَدْ رَآهُ فَيُذْبَحُ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ
يَقُوْلُ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ, وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُوْدٌ
فَلاَ مَوْتَ, ثُمَّ قَرَأَ (وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْحَسْرَةِ إِذْ قُضِيَ الأَمْرُ
وَهُمْ فِيْ غَفْلَةٍ وَهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ) وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى الدُّنْيَا
Dari Abu Sa’id
al-Khudri berkata: Rasulullah bersabda: “Kematian didatangkan pada bentuk
kambing berkulit hitam putih, lalu seorang penyeru memanggil: Wahai penduduk
surga! Mereka menengok dan melihat, penyeru itu berkata: Apakah kalian mengenal
ini? Mereka menjawab: Ya, ini adalah kematian, mereka semua telah melihatnya.
Kemudian penyeru memanggil: Wahai penduduk neraka! Mereka menengok dan melihat,
penyeru itu berkata: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, ini
adalah kematian, mereka semua telah melihatnya, lalu disembelih diantara surga
dan neraka, lalu berkata: Wahai penduduk surga, kekekalan tiada kematian
setelahnya, dan hai penduduk neraka, kekekalan dan tiada kematian setelahnya,
lalu beliau membaca (Dan berilah mereka peringatan tatkala ditetapkan perkara
sedangkan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak beriman). Dan beliau
mengisyaratkan dengan tangannya ke dunia.
SHAHIH. Diriwayatkan: Bukhari
4730, 6549, Muslim 2849, Ahmad 3/9, Tirmidzi 3156, Nasai dalam Sunan Kubra
11316, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 4366 dan Ma’alim Tanzil
1/232, al-Ajurri dalam asy-Syari’ah 944, Abu Nuaim dalam Hilyah
Auliya’ 8/184, ath-Thabari dalam Jamiul Bayan 16/87, al-Baihaqi
dalam al-Ba’tsu wa Nusyur 640, Abdu bin Humaid dalam al-Muntakhab 912.
Tirmidzi berkata:
“Hadits ini hasan shahih”
Al-Baghawi berkata:
“Hadits ini disepakati keshahihannya”.
Riwayat
Abdullah bin Umar
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم : إِذَا صَارَ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلَى الْجَنَّةِ وَأَهْلُ النَّارِ إِلَى النَّارِ
جِيْءَ بِالْمَوْتِ حَتَّى يُجْعَلَ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُذْبَحُ ثُمَّ
يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ لاَ مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ لاَ مَوْتَ
فَيَزْدَادُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَرَحًا إِلَى فَرَحِهِمْ وَيَزْدَادُ أَهْلُ النَّارِ
حُزْنًا إِلَى حُزْنِهِمْ
Dari Ibnu Umar
berkata: Rasulullah bersabda: “Apabila penduduk surga telah memasuki surga dan
penduduk neraka memasuki neraka, maka didatangkan kematian lalu diletakkan
diantara surga dan neraka kemudian disembelih kemudian diserukan oleh penyeru:
Wahai enduduk surga tiada kematian lagi dan wahai penduduk neraka tiada
kematian lagi. Penduduk surga semakin bertambah kegembiraan mereka dan penduduk
neraka semakin bertambah kesedihan mereka”.
SHAHIH. Diriwayatkan: Bukhari
6548, Muslim 2850, Ahmad 2/118, 120, 121, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam Kabir
13337, Abu Nuaim dalam Hilyah Auliya’ 8/183-184, al-Baghawi dalam Syarh
Sunnah 4367, Ibnu Adi dalam al-Kamil 5/1680, al-Baihaqi dalam al-Ba’ts
wa Nusyur 642
Al-Baghawi berkata:
“Hadits disepakati keshahihannya”.
Riwayat
Abu Hurairah
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُوْقَفُ عَلىَ
الصَّرَاطِ فَيُقَالُ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَطَلَّعُوْنَ خَائِفِيْنَ وَجِلِيْنَ
أَنْ يَخْرُجُوْا مِنْ مَكاَنِهِمْ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ, ثُمَّ يُقَالُ : يَا أَهْلَ
النَّارِ فَيَطَلَّعُوْنَ مُسْتَبْشِرِيْنَ فَرِحِيْنَ أَنْ يَخْرُجٌوْا مِنْ مَكَانِهِمْ
الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ, فَيُقَالُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ قَالُوْا : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ, قَالَ : فَيُؤْمَرُ بِهِ فَيُذْبَحُ
عَلَى الصِّرَاطِ ثُمَّ يُقَالُ لِلْفَرِيْقَيْنِ كِلاَهُمَا : خُلُوْدٌ فِيْمَا يَجِدُوْنَ
لاَ مَوْتَ فِيْهَا أَبَدًا
Dari Abu
Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: Kematian didatangkan pada hari kiamat
lalu diletakkan di atas shirat (jembatan) lalu diserukan: Wahai penduduk surga!
Mereka mengintip ketakutan untuk keluar dari tempat mereka. Kemudian dikatakan:
Wahai penduduk neraka! Mereka mengintip penuh gembira dengan harapan keluar
dari tempat mereka, lalu dikatakan: Apakah kalian mengenal ini? Mereka
menjawab: Ya, ini adalah kematian, kemudian diperintahkan untuk disembelih di
atas shirat dan dikatakan kepada kedua golongan tersebut: Kekekalan apa yang
kalian dapati, tiada kematian di dalamnya selama-lamnya.
HASAN SHAHIH. Diriwayatkan: Ahmad
2/261, Ibnu Majah 4327, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 7450, al-Hakim dalam al-Mustadrak
1/83, ad-Darimi 2814, al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah 941, Abu Ishaq bin
Harb dalam Musnad Abu Hurairah 6, Abdu bin Humaid dan Ibnu Mardawaih
sebagaimana dalam ad-Durr Mantsur 1/102 oleh as-Suyuthi.
Al-Hakim berkata:
“Hadits ini shahih, sesuai syarat Muslim”.
Al-Mundziri dalam at-Targhib
wa Tarhib 3/1394: “Riwayat Ibnu Majah dengan sanad jayyid (bagus)”.
Syaikh al-Albani berkata dalam Shahih
Ibnu Majah: “Hasan Shahih”.
Riwayat
Anas bin Malik
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله
عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ كَبْشٌ أَمْلَحٌ فَيُوْقَفُ
بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَقُوْلُوْنَ
: لَبَّيْكَ رَبَّنَا, قَالَ : فَيُقَالُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ
: نَعَمْ رَبَّنَا, هَذَا الْمَوْتُ, ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ النَّارِ
! فَيَقُوْلُوْنَ : لَبَّيْكَ رَبَّنَا, قَالَ
: فَيُقَالُ لَهُمْ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ رَبَّنَا, هَذَا الْمَوْتُ, فَيُذْبَحُ كَمَا تُذْبَحُ الشَّاةُ
فَيَأْمَنُ هَؤُلاَءِ وَيَنْقَطِعُ رَجَاءُ هَؤُلاَءِ
Dari Anas bin
Malik berkata: Rasulullah bersabda: Kematian didatangkan pada hari kiamat
seakan kambing berkulit hitam putih lalu diletakkan diantara surga dan neraka
dan diserukan oleh penyeru: Wahai penduduk surga! Mereka mengatakan: Kami
penuhi panggilanmu wahai Rabb kami, lalu dikatakan: Apakah kalian mengenal ini?
Mereka menjawab: Ya, wahai Rabb kami, ini adalah kematian. Kemudian diserukan
oleh penyeru: Wahai penduduk neraka! Mereka mengatakan: Kami penuhi panggilanmu
wahai Rabb kami, lalu dikatakan: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab:
Ya, wahai Rabb kami, ini adalah kematian, kemudian disembelih sebagaimana
kambing disembelih, maka mereka (penduduk surga) merasa aman dan mereka
(penduduk neraka) putus harapan mereka.
SHAHIH. Riwayat: Abu
Ya’la dalam Musnadnya 5/278, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Ausath 3672, al-Bazzar 3557 -Kasyful Astar-
Al-Haitsami berkata:
“Para perawinya perawi shahih kecuali Khalid ath-Thahi dan dia tsiqah
(terpercaya)”.
Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib
wa Tarhib 3/1394: “Riwayat Abu Ya’la, Thabrani, al-Bazzar dan sanad mereka
shahih”. Dan disetujui al-Albani dalam Shahih Targhibnya.
Walhasil,
sebagaimana yang kita lihat, hadits ini derajatnya shahih, diriwayatkan oleh
para ulama hadits terpercaya dalam kitab-kitab mereka.
C. MENYINGKAP
TIRAI SYUBHAT
Setelah
membawakan dua hadits di atas dari riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa’id al-Khudri,
penulis Kaifa Nata’amal Ma’a Sunnah Nabawiyyah hal. 160-161 membuat
suatu pertanyaan meragukan: “Tahukah anda bagaimana cara memahami hadits ini?
Bagaimana kematian disembelih? Ataukah kematian mengalami mati?
Al-Qadhi Abu
Bakar bin al-Arabi berkata: “Hadits ini dianggap rumit karena bertentangan
dengan logika karena kematian adalah sifat dan sifat tidak berubah menjadi
dzat, lantas bagaimana kok disembelih? Oleh karenanya sebagian kelompok
mementahkan keabsahan hadits ini dan menolaknya. Kelompok lainnya mentakwil
(menafsirkan tidak sesuai dhahirnya) seraya mengatakan: “Ini adalah majaz (kata
kiasan) bukan hakekat sebenarnya”. Lainnya lagi menimpali: “Yang benar adalah
disembelih seperti hakekatnya, tetapi yang disembelih adalah malaikat pencabut
nyawa, semua orang mengenalnya karena dialah yang mencabut nyawa mereka”.
Al-Hafizh mengatakan: “Pendapat ini disetujui oleh kalangan mutaakhirin
(belakangan)”.
Semua
penafsiran ini adalah untuk lolos dari menfafsirkan hadits secara hakekatnya
yang bertentangan dengan logika sebagaimana kata Ibnul Arabi.
Cara ini lebih
utama daripada menolak hadits, karena hadits ini telah shahih dari jalur-jalur
terpercaya dari banyak sahabat. Sungguh merupakan tindakan serampangan kalau
hadits ini ditolak padahal bisa kita tafsirkan seperti di atas…”.
Jawaban:
Sebelumnya
terlebih dahulu kita berterima kasih kepada penulis di atas, karena beliau
sedikit meringankan beban kita, lantaran beliau sepakat dengan kita tentang
keabsahan hadits ini, bahkan beliau menegaskan bahwa merupakan tindakan ngawur
kalau kita menolak keshahihan hadits ini. Sekali lagi kami berterima kasih
atas pengakuan ini, namun masih tersisa masalah lain yang masih mengundang
tanda tanya yang gatal di pikiran kita semua, yaitu apakah hadits ini secara
hakekatnya ataukan dia hanya sekedar majaz seperti yang dikuatkan oleh penulis
di atas?!! Inilah yang akan kita singkap dalam point-point berikut ini:
Pertama: Masalah
Keimanan
Kaidah yang
harus kita tanamkan bersama dalam masalah ini dan juga masalah-masalah
keyakinan terhadap masalah ghaib lainnya adalah iman terhadap khabar yang
datang dari Allah, sebagaimana firmanNya:
هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ . الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ
Petunjuk bagi
orang-orang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib. (QS.
Al-Baqarah: 3)
Oleh karena
para ulama dan imam seperti Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Ibnul Mubarak,
Ibnu Uyainah, Waki’ dan sebagainya mereka meriwayatkan hadits ini kemudian
mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan dan diimani tanpa ditanyakan: Bagaimana?
Inilah yang dipilih oleh ahli hadits, yaitu meriwayatkan hadits ini dan diimani
sebagaimana datangnya tanpa dikhayalkan atau ditanyakan: Bagaimana?.
Dari sini kita
tahu rahasia kenapa para ulama mencantumkan masalah ini dalam kitab-kitab
aqidah, semisal Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Al-Iqtishad fil I’tiqad
hal. 194, Ibnu Qudamah dalam Lum’ah I’tiqad hal.133 -Syarh Ibnu
Utsaimin- , Shiddiq Hasan Khan dalam Qathfu Tsamar hal. 125, bahkan
dalam kitabnya Juz’ fiihi Imtihan Sunni Minal Bid’i hal. 343, Abdul
Wahid asy-Syirazi menjadikan masalah ini sebagai pembeda antara ahli Sunnah
dengan ahli bid’ah, beliau mengatakan: “Kalau ada yang ditanya apakah maut akan
didatangkan dan disembelih ataukah tidak? Apabila dia menjawab: Disembelih
antara surga dan neraka, maka dia ahlus Sunnah. Namun apabila dia
mengingkarinya maka dia ahli bid’ah”.
Jadi, masalah
ini adalah masalah keyakinan dan keimanan yang di luar kapasitas akal seorang,
yang harus diterima oleh seorang muslim dengan penuh kepasrahan. Dalam al-Fatawa
al-Haditsiyyah hal. 234, Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan bahwa orang yang
mengingkari hadits ini hanyalah mereka yang berakal dangkal!!. Kita berdoa
kepada Allah agar menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang beriman.
Kedua: Hakekat
Atau Majaz?!
Ada kaidah
penting dan populer di kalangan ulama yang harus kita fahami juga dalam masalah
ini, yaitu sebuah kaidah yang berbunyi:
الأَصْلُ فِي الْكَلاَمِ الْحَقِيْقَةُ فَلاَ يُعْدَلُ بِهِ إِلَى الْمَجَازِ -إِنْ قُلْنَا بِهِ-
إِلاَّ إِذَا تَعَذَّرَتِ الْحَقِيْقَةُ
Kaidah asal
suatu ungkapan adalah hakekatnya, tidak boleh dibawa kepada majaz (kiasan)
–kalau kita berpendapat ada majaz- kecuali apabila tidak mungkin diartikan secara
hakekatnya.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata: “Kaidah asal suatu ungkapan adalah secara hakekatnya.
Hal ini telah disepakati oleh seluruh manusia dari berbagai bahasa, karena
tujuan bahasa tidak sempurna kecuali dengan hal itu”. (Tanbih Rajulil Aqil
2/487). Ibnu Badran juga berkata: “Kapan saja ada lafadz, maka harus dibawa
kepada hakekat dalam babnya, baik bahasa, syara’ maupun ‘urf (kebiasaan)”. (a-Madkhal
hal. 174)
Sebagai contoh
sederhana: Lafadz (الأَسَدُ), pada asalnya
dia bermakna singa, salah satu hewan buas. Apabila kita mendapati kata
tersebut, maka pada asalnya adalah bermakna binatang singa, kecuali kalau ada
indikasi yang menghalangi kita untuk mengartikan secara hakekatnya, seperti
dalam kalimat berikut:
رَأَيْتُ الأَسَدَ يَخْطُبُ الْجُمُعَةَ عَلَى الْمِنْبَرِ
Saya melihat
singa khutbah jumat di atas mimbar.
Dalam kalimat
ini, tidak mungkin “singa” bermakna hewan, tetapi maksudnya adalah seorang
pemberani, karena ada indikasi kuat yang mengahalangi kita untuk mengartikan
secara hakekatnya.
Bentuk
penerapan kaidah ini ke dalam hadits pembahasan adalah kata “maut” tetap kita
artikan secara zhahirnya yaitu kematian, sampai ada indikasi kuat yang
memalingkan dari makna aslinya. Wallahu A’lam.
Ketiga: Jangan
Ragukan Kemampuan Allah!!
Hal ini juga
harus kita yakini bersama bahwa Allah Maha mampu, tidak ada sesutupun yang
tidak mampu Dia lakukan. Oleh karenanya, janganlah kita ukur kemampuan Allah
dengan kemampuan makhluk, sebagaimana jangan kita ukur masalah akherat dengan
masalah dunia, karena hal itu di luar kapasitas akal kita. Berikut beberapa
dalil yang semoga bisa dijadikan sebagai gambaran bahwa perubahan dari sifat
kepeda benda bukanlah suatu yang mustahil bagi Allah. Allah telah mengkhabarkan
bahwa Dia akan menimbang amal perbuatan hambaNya:
ونضع الموازين القسط ليوم
القيامة فلا تظلم نفس شيئا
وإن كان مثقال حبة من خردل أتينا بها وكفى بنا حاسبين
Kami akan
memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seorang
barang sedikitpun. Dan jika (amalan) itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami
mendatangkan (pahala)nya dan cukup Kami sebagai pembuat perhitungan. (QS.
Al-Anbiya’: 47)
Hal ini harus
kita yakini bersama, sekalipun secara akal kita yang terbatas bahwa amal
perbuatan bukanlah benda yang bisa ditimbang.
اقْرَؤُوْا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُوْرَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ
Bacalah dua
bunga, surat Al-Baqarah dan surat Ali Imron, karena keduanya akan datang pada
hari kiamat seperti naungan. [HR. Muslim: 804]
Dan dalam
hadits tentang adzab dan nikmat kubur, diantaranya Nabi mengkhabarkan:
وَيَأْتِيْهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَيَقُوْلُ : أَبْشِرْ
بِالَّذِيْ يَسُرُّكَ, هَذَا يَوْمُكَ الَّذِيْ كُنْتَ تُوْعَدُ, فَيَقُوْلُ لَهُ
: مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِئُ
بِالْخَيْرِ؟ فَيَقُوْلُ : أَنَا عَمَلُكَ
الصَّالِحُ
Lalu datang
padanya seorang berwajah tampan, berbaju bagus, dan aromanya wangi seraya
mengatakan: Bergembiralah dengan hari yang menyenangkanmu, haru yang engkau
dijanjikan untuknya, si mayit mengatakan: Siapakah dirimu, wajahmu seperti
wajah orang yang datang dengan kebaikan, dia menjawab: Saya adalah amalmu yang
shalih. [Shahih. HR. Ahmad 4/287, Abu Dawud
2/281, al-Hakim 1/37 dll, dishahihkan Abu Nuaim, al-Hakim, adz-Dzahabi,
al-Baihaqi, Ibnu Qayyim, al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 202.]
Dan masih
banyak lagi dalil-dalil lainnya yang serupa. Nah, kalau demikian apakah
mustahil kalau Allah akan merubah kematian dalam bentuk kambing kemudian
disembelih antara surga dan neraka?!! Apakah hal itu sulit bagi Allah wahai
hamba Allah?!! Tidak, demi Allah, kecuali bagi orang-orang yang lemah imannya.
Keempat:
Komentar Ulama
Sebagaimana
biasanya kita akan menukil warisan peninggalan para ulama kita dalam
kitab-kitab mereka, dan tidak mengada-ngada atau membuat sesuatu yang baru
dalam agama. Berikut sedikit nukilan komentar mereka:
1. Al-Hafizh
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Kambing dan sembelihan dan persaksian
penduduk Surga dan Neraka adalah pada hakekatnya, bukan khayalan atau sekadar
kata kiasan, sebagaimana sebagian manusia terjatuh dalam kesalahan yang amat
fatal sekali dalam masalah ini seraya mengatakan: “mati adalah sifat dan sifat
tidak bisa menjadi benda apalagi disembelih”. Semua ini adalah tidak benar,
karena Allah menjadikan amalan bisa membentuk, merubah sifat menjadi benda,
atau merubah benda menjadi sifat. Semua ini adalah hal yang mungkin bagi Allah,
bukan sesuatu yang mustahil. Tidak perlu kita bersusah payah mengatakan: “Yang
disembelih adalah malaikat maut, karena semua ini adalah ralat yang rusak
kepada Allah dan rasulNya, serta penafsiran bathil yang tidak diterima oleh akal
maupun dalil. Faktor penyebabnya adalah dangkalnya pemamahan terhadap maksud
ucapan Nabi…”. (Hadii Arwah Ila Biladi Afrah hal. 486)
Beliau juga
memiliki ucapan yang bagus dalam kitabnya Al-Kafiyah asy-Syafiyah fil
Inthishar lil Firqah Najiyah 329-331 dengan judul “Pasal tentang
disembelihnya kematian antara surga dan neraka, serta bantahan terhada orang
yang mengartikan hal itu adalah Malaikat maut, atau itu hanyalah majaz bukan
hakekatnya”.
2. Al-Allamah
as-Saffarini berkata: “Al-Hakim at-Tirmidzi menukil bahwa madzhab salaf
tentang hadits ini adalah tidak memperbincangkan maknanya, kita beriman
dengannya dan kita serahkan ilmunya kepada Allah”. Setelah menukilkan
penafsiran-penafsiran tentang hadits ini, beliau berkomentar: “Pendapat yang
kami anut bahwa kematian adalah sesuatu yang ada dan merupakan dzat bukan
sifat, serta makhluk dalam bentuk kambing sebagaimana telah shahih
hadits-hadits tentangnya dari Nabi yang mulia dan dinukil oleh para imam serta
dihimpun oleh para penulis pilihan”. (Lawamiul Anwar 2/236.)
3. Syaikh
Muhammad Khalil Harras mengatakan: “Hal ini tidak mustahil dalam kemampuan
Allah, bisa saja suatu sifat dirubah menjadi benda, demikian juga sebaliknya.
Semua itu mungkin dan bisa terjadi. Telah banyak dalil yang menunjukkan tentang
berubahnya suatu sifat menjadi dzat”.
Lanjutnya:
“Kalau telah tetap bahwa beberapa amalan, bacaan dan selainnya dirubah oleh
Allah menjadi suatu benda yang ditimbang, datang dan berbicara, maka tidak ada
penghalang selama-lamanya kalau Allah merubah kematian menjadi bentuk kambing
yang dilihat oleh penduduk surga agar bertambah gembira dan penduduk neraka
agar bertambah sengsara. Kematian merupakan makhluk dengan ketegasan Al-Qur’an.
Allah berfirman:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
Dialah Allah
Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa diantara kamu yang
lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk: 2)
Dan tidak ragu
lagi bahwa makhluk bisa saja dirubah oleh Allah kepada bentuk lain, dari sifat
kepada dzat dan dari dzat kepada sifat. Semua ini adalah mungkin dalam
kemampuan Allah. Hanya saja orang-orang jahil itu tidak menghormati Allah
sepenuhnya sehingga mereka menganggap bahwa perubahan tersebut adalah mustahil,
lalu mereka perlu untuk mendatangkan penafsiran-penafsiran bathil. Diantara
mereka ada yang mendustakannya dan diantara mereka ada yang sibuk memalingkan
artinya, dan sebagian lagi kebingungan tidak mengerti harus ngomong apa karena
virus orang-orang jahil telah memenuhi telinganya sehingga dia buta dari
memahami Al-Qur’an yang mulia..”. (Syarh Qashidah
Nuniyah 2/431-433)
4. Al-Allamah
Ahmad Syakir setelah menukil ucapan Ibnul Arabi di atas, beliau berkomentar: “Semua ini
adalah bertele-tele dan bersusah payah terhadap masalah ghaib yang
disembunyikan ilmunya oleh Allah. Kewajiban kita hanyalah beriman dengan berita
yang datang sebagaimana adanya, kita tidak mengingkari atau menyelewengkan
artinya. Hadits ini shahih, maknanya juga shahih dari riwayat Abu Sa’id
al-Khudri dalam Bukhari, dan riwayat Abu Hurairah dalam Ibnu Majah dan Ibnu
Hibban. Alam ghaib yang berada di luar alam kita tidak bisa digambarkan oleh
akal kita dengan apa yang kita saksikan di muka bumi ini… benda dan sifat
hanyalah sebuah istilah untuk mempermudah pemahaman. Sebaiknya bagi seorang
adalah beriman dan beramal shalih kemudian menyerahkan masalah ghaib kepada
Dzat Yang mengetahui alam ghaib, dengan demikian niscaya dia akan selamat di
hari kiamat.
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ
تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ
مَدَدًا
Katakanlah:
“Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu”. (QS. Al-Kahfi: 109). (Musnad Imam Ahmad 8/240-241/no. 5993)
D. FIQIH HADITS
Hadits yang
mulia ini dijadikan dalil oleh para ulama tentang masalah keabadian surga dan
neraka dan bahwa keduanya tidak akan fana. Hal ini disamping telah ditunjukkan
oleh hadits di atas, juga telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan merupakan ijma’
ulama kaum muslimin.
Dalil
Al-Qur’an:
Sangat banyak
sekali dali-dalil Al-Qur’an yang menunjukkan hal ini, diantaranya:
(QS. An-Nisa’:
57)
(QS. An-Nisa’:
168-169)
Dalil Ijma’:
Masalah ini
juga merupakan kesepakatan ulama sunnah sebagaimana dinukil oleh banyak ulama,
diantaranya, Al-Qurthubi beliau berkata: “Hadits-hadits shahih ini merupakan
dalil yang tegas tentang kekalnya penduduk neraka selama-lamanya tanpa
kematian, kehidupan, ketenangan dan keselamatan… Barangsiapa mengatakan bahwa
mereka akan keluar darinya dan bahwa neraka akan kosong serta fana maka dia
telah keluar dari rel akal dan menyelisihi ajaran yang dibawa oleh Nabi serta
kesepakatan ahli sunnah.
وَمَنْ يُشَاقِقِ
الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيْرًا
Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. Dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang beriman, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Hanya saja
bagian atas Jahannam akan kosong yaitu tempat orang-orang bermaksiat dari
kalangan ahli tauhid”. (at-Tadzkirah li
Ahwal Akhirah 2/511-512)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah: “Para salaf umat ini, para imam dan seluruh ahli Sunnah wal Jama’ah telah
bersepakat bahwa sebagian makhluk ada yang tidak fana selama-lamanya seperti
surga, neraka, arsy dan sebagainya. Tidak ada yang mengatakan bahwa seluruh
makhluk itu fana kecuali kelompok ahli kalam, ahli bid’ah seperti Jahm bin
Shafwan dan sealiran dengannya dari kalangan Mu’tazilah. Pendapat ini bathil
dan menyelisihi kitabullah, sunnah Rasulullah dan kesepakatan salaf”. (Majmu Fatawa 18/307)
Sebagai
penutup, kita nukilkan bait al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi sebagai
berikut:
ثَمَانِيَةٌ حُكْمُ
الْبَقَاءِ يَعُمُّهَا
مِنَ الْخَلْقِ
وَالْبَاقُوْنَ فِيْ حَيِّزِ الْعَدَمْ
هِيَ الْعَرْشُ
وَالْكُرْسِيُّ وَنَارٌ وَجَنَّةٌ
وَعَجْبٌ وَأَرْوَاحٌ كَذَا
اللَّوْحُ وَالْقَلَمْ
Delapan perkara
yang telah ditetapkan kekekalannya
Dari Makhuk,
dan selainnya akan hancur binasa
Yaitu Arsy,
Kursi, Neraka, Surga
Ajb (tulang belakang),
Ruh, Lauh Mahfudh, dan Pena.
Demikianlah
pembahasan dalam bab ini.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar