Kita
tidak menyangsikan bahwa seorang ayah adalah mahram bagi putrinya dan
dibolehkan bagi si putri untuk tidak berhijab di hadapan ayahnya. Yang mungkin
jadi pertanyaan,
bolehkah seorang ayah mencium putrinya yang sudah baligh dan sebaliknya?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah perbuatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap putrinya, Fathimah radhiallahu ‘anha,
sebagaimana dikisahkan Aisyah radhiallahu
‘anha,
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ. قَالَتْ : وَكَانَ النَّبِيُّ إِذَارَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكاَنَ إِذَا أَتَاهَاالنَّبِيُّ رَحَّبَتْ بِهِ، ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ…
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih
mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan, berbicara maupun duduk daripada
Fathimah. Biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila melihat Fathimah datang, beliau
mengucapkan selamat datang (ucapan tarhib: Marhaban –pen.) padanya. Lalu beliau berdiri
menyambutnya dan menciumnya, kemudian menggamit lengannya dan membimbingnya
hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Demikian pula jika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam datang kepada Fathimah, Fathimah mengucapkan selamat datang
kepada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggamit lengannya lalu mencium
beliau.” (Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh
al-Albani rahimahullah dalam Shahih
al-Adabil Mufrad no. 725)
Asy-Syaikh Abdul Aziz
bin Baz rahimahullah memberi jawaban dari pertanyaan di
atas dengan fatwa beliau sebagai berikut, “Tidak ada dosa bagi seorang ayah
untuk mencium putrinya yang sudah besar ataupun yang masih kecil tanpa disertai
syahwat.
Namun ciuman itu
diarahkan ke pipi putrinya apabila putrinya telah dewasa sebagaimana hal ini
telah tsabit dari perbuatan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu,
beliau pernah mencium putrinya Aisyah radhiallahu
‘anha pada pipinya.
(Dan ciuman itu tidak boleh pada bibirnya) karena ciuman pada bibir terkadang
akan menggerakkan syahwat maka meninggalkannya lebih utama dan lebih hati-hati.
Demikian pula si putri,
boleh baginya mencium ayahnya pada hidung atau kepalanya tanpa disertai
syahwat. Adapun bila ciuman itu disertai syahwat
maka haram bagi semuanya (kecuali suami istri tentunya) dalam rangka menutup fitnah dan
menutup perantara yang mengantarkan pada perbuatan fahisyah (keji).”
(al- Fatawa–Kitab
ad-Da’wah 1/188, 189; Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah,
2/547)
Asy-Syaikh Abdullah bin
Humaid rahimahullah berkata, “Tidak sepantasnya seorang
lelaki mencium ibunya pada bibirnya. Demikian pula seorang ibu tidak pantas
mencium putranya pada bibirnya, sebagaimana tidak pantas seorang ayah mencium
putrinya pada bibirnya, atau seorang lelaki mencium saudara perempuannya, atau
bibinya atau salah seorang dari mahramnya pada bibirnya.
Ciuman pada bibir ini
khusus untuk suami/istri karena akan membangkitkan syahwat bagaimanapun
keadaannya. (Adapun selain bibir), tidak apa-apa seorang ibu mencium putranya
pada bagian kepala atau keningnya, demikian pula seorang anak laki-laki boleh
mencium kepala atau kening ibunya atau yang semisalnya.” (Siaran radio Nur ‘alad Darbseperti
dinukil dalam Fatawa
al-Mar’ah, 2/546—547)
Perbuatan Abu Bakar
ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu yang dimaksud asy-Syaikh Ibnu Baaz di
atas adalah sebagaimana dikisahkan al-Bara’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu,
فَدَخَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَالَ: كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّةُ؟
“Aku masuk bersama Abu Bakar menemui
keluarganya, ternyata Aisyah putrinya sedang berbaring karena diserang sakit
panas yang tinggi. Maka aku melihat ayahnya, Abu Bakar, mencium pipinya seraya
bertanya, “Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?” (HR. al-Bukhari no.
3918)
Catatan: Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Secara pasti, masuknya
al-Bara’ menemui keluarga Abu Bakar terjadi sebelum turunnya perintah berhijab
dan ketika itu al-Bara’ belum berusia baligh, demikian pula Aisyah.” (Fathul
Bari, 7/315)
Ibnu Abidin As-Dimasyqi rahimahullah berkata,
التقبيل
على خمسة أوجه: قبلة المودة للولد على الخد، وقبلة الرحمة لوالديه على الرأس،
وقبلة الشفقة لأخيه على الجبهة وقبلة الشهوة لامرأته وأمته على الفم وقبلة التحية
للمؤمنين على اليد وزاد بعضهم، قبلة الديانة للحجر الأسود جوهرة.
“Ciuman itu ada lima macam:
1. Ciuman cinta, yaitu ciuman kepada anak di pipinya.
2. Ciuman kasih sayang, yaitu ciuman kepada ibu dan bapak di kepalanya.
3. Ciuman sayang, yaitu ciuman kepada saudara di dahinya.
4. Ciuman birahi, yaitu ciuman kepada istri atau budak perempuan di
mulutnya.
5. Ciuman penghormatan, itulah ciuman di tangan untuk orang-orang yang
beriman.
Sebagian ulama menambahkan yaitu ciuman sebagai
ketaatan terhadap agama yaitu mencium batu hajar aswad.”
Namun hendaknya seorang muslim perhatikan
keadaan, jika memang di daerahnya atau di tempatnya belum terbiasa melihat
saudara laki-laki mencium pipi saudara perempuannya, atau bapak mencium pipi
anak perempuannya lebih-lebih saudari atau anak perempuannya sudah memiliki
suami. Sebaiknya tidak dilakukan karena hukumnya sekedar mubah. Sebagaimana
kaidah fiqhiyah.
درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak mafsadat didahulukan daripada
mendatangkan mashlahat”
Demikian pembahasan singkat ini semoga
bermanfaat.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar