Ini
adalah dalil / hujjah tentang larangan bagi setiap muslim untuk pergi atau
bertanya atau percaya kepada tukang ramal, siapapun dia dan apapun profesinya
di tengah masyarakat.
عَنْ صَفِيَّةَ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ
-صلى الله عليه وسلم- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ أَتَى عَرَّافًا
فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ».
“Shafiyyah
meriwayatkan dari beberapa istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang telah mendatangi ‘ARRAF, lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu maka
tidak diterima darinya sebuah shalatpun selama 40 hari”. [HR. Muslim.]
Perkataan para ulama tentang pengertian ‘Arraf:
Berkata
Al Baghawi rahimahullah:
أما العراف: فهو يدعي معرفة الأمور بمقدمات أسباب يستدل
بها علي مواقعها ، كالمسروق من الذي سرقه ، ومعرفة مكان الضالة ، وعندما تتهم المرأة
بالزنا فيقول من صاحبها ، ونحو ذلك من الأمور.
Artinya:
“Adapun ‘Arraf adalah orang yang mengaku mengetahui sebab perkara-perkara
yang telah lalu, yang dengannya diketahui tempat-tempat perkara,seperti barang
yang dicuri siapa yang mencurinya, mengetahui tempat barang yang hilang serta
ketika dituduh seorang wanita berzina, maka ‘arraf ini akan mengatakan dengan
siapa dia berzina dan perkara-perkara yang semisal dengan hal tersebut”. (Lihat
Kitab Syarah As Sunnah).
Berkata
Al Munawi rahimahullah:
عراف ( من يخبر بالامور الماضية أو بما خف).
Artinya:
“Dialah yang memberitahukan tentang perkara-perkara yang telah lalu atau
yang tersembunyi”. (Lihat kitab At Taisir bi Syarh Al Jami’ Ash Shaghir).
Berkata
An Nawawi rahimahullah:
قال الخطابى وغيره العراف هو الذى يتعاطى معرفة مكان
المسروق ومكان الضالة ونحوهما.
Artinya:
“Al Khaththabi dan ulama lainnya berkata: “‘Arraf adalah orang yang mengaku
mengetahui tempat barang yang dicuri dan tempat barang yang hilang serta
semisalnya”. (Lihat Kitab Al Minhaj Syarah Shahih Muslim).
maksud dari “tidak diterima darinya sebuah shalatpun selama 40
hari”.
Berkata
An Nawawi rahimahullah:
وأما عدم قبول صلاته فمعناه أنه لاثواب له فيها وان
كانت مجزئة فى سقوط الفرض عنه ولايحتاج معها إلى اعادة….
Artinya:
“Adapun maksud tidak diterima shalatnya adalah tidak ada pahala baginya di
dalam shalatnya, meskipun mencukupi akan gugurnya kewajiban atasnya dan tidak
butuh pengulangan (shalatnya)…”. (Lihat Al Minhaj Syarah Shahih Muslim).
Berkata
Al Munawi rahimahullah:
بمعنى أنه لا يثاب عليها لكنها تصح ولا تلازم بين القبول
والصحة.
Artinya:
“Maksud (tidak diterima darinya sebuah shalatpun selama 40 hari) adalah tidak
ada pahala atasnya akan tetapi sah shalatnya, dan tidak ada sebuah kelaziman
antara diterima dengan sahnya (shalat)”. (Lihat At Taisir bi Syarh Al Jami’
Ash Shaghir).
عَن أَبِى هُرَيْرَةَ وَالْحَسَنِ عَنِ النَّبِىِّ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا
يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ».
“Abu
Hurairah dan Al Hasan radhiyallahu ‘anhum meriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang
telah mendatangi Kahin atau ‘Arraf, lalu dia mempercayainya, maka sungguh dia
telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad (shallallahu
‘alaihi wasallam)”. [HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Shahih At
Targhib wa Tarhib, no. 3047.]
Perkataan ulama tentang pengertian “Kahin”:
Berkata
Al Baghawi rahimahullah:
فالكاهن: هو الذي يخبر عن الكوائن في مستقبل الزمان
ويدعي معرفة الأسرار ومطالعة علم الغيب، وكان في العرب كهنة يدعون معرفة الأمور، فمنهم
من كان يزعم أن له رئيساً من الجن وتابعة تلقي إليه الأخبار، ومنهم من يدعي أنه يستدرك
الأمور بفهم أعطيه .
Artinya:
“Kahin adalah orang yang memberitahukan tentang kejadian-kejadian di zaman
yang akan datang dan mengaku mengetahui rahasia-rahasia dan penglihatan
terhadap ilmu gaib. Dulu, di Arab para kahin mengaku mengetahui perkara-perkara
(gaib), dari mereka ada yang mengaku bahwa dia memiliki pemimpin dari jin yang
mengikutinya dan membisikkan kepadanya berita-berita, dari mereka ada yang
mengaku mengetahui perkara-perkara (gaib) dengan pemahaman yang diberikan
kepadanya”. (Lihat kitab Syarh As Sunnah).
Setelah
ini semua, mungkin ada yang bertanya:
“Kenapa
sih praktek ramal meramal;
• memberitahukan
hari baik atau buruk ketika ditanya,
• memberitahukan
tentang nasib dikemudian hari ketika ditanya,
• membaca
telapak tangan,
• memberitahukan
tentang keserasian pasangan untuk menikah dengan mencocokkan tanggal lahir,
nama, tempat atau daerah,
• memberitahukan
rezekinya di tempat tertentu,
• memberitahukan
barang atau orang hilang, barang dicuri atau orang diculik,
• dan
lain-lain (yang jenis prakteknya terus berkamuflase, terutama di zaman
sekarang).
Kenapa
sih ini semua dilarang dalam agama Islam?”.
Jawaban:
“Karena di dalam praktek-praktek di atas, terjadi seorang makhluk menyamakan
dirinya dengan Allah Ta’ala di dalam perkara-perkara yang khusus milik Allah
Ta’ala semata. Yaitu pengetahuan akan hal gaib.
Dan
perbuatan ini adalah sebuah kesyirikan dan Agama Islam sangat mengharamkan
sebuah bentuk kesyirikan.
Tidak
ada yang mengetahui akan hal gaib kecuali Allah Ta’ala semata, mari perhatikan
ayat-ayat suci berikut:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا
هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا
يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا
فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan
tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Al Mahfuz)”. (QS. Al An’am: 59.)
وَيَقُولُونَ لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَقُلْ إِنَّمَا الْغَيْبُ لِلَّهِ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ
“Dan
mereka berkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu keterangan
(mukjizat) dari Tuhannya?”, Maka katakanlah: ”Sesungguhnya yang gaib itu
kepunyaan Allah; sebab itu tunggu (sajalah) olehmu, sesungguhnya aku
bersama kamu termasuk orang-orang yang menunggu”. (QS.
Yunus: 20.)
قلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah:
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang
gaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan
dibangkitkan“. (QS. An Naml: 65.)
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ
الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dia-lah
Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang
gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (QS.
Al Hasyr: 22)
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ
رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dia
adalah) Yang Maha Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorang pun tentang yang gaib itu”. “Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya,
maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di
belakangnya”. (QS. Al Jinn: 26-27).
bahkan
sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui hal gaib,
kecuali yang diberitahukan oelh Allah Ta’ala kepada beliau.
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ
وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا
مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
“Katakanlah
(wahai Muhammad): “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah
ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula)
aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali
apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?”
Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)?”. (QS. Al An’am: 50.)
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا
إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ
وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah:
“Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui
yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan
pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (QS.
Al A’raf: 188.)
Kalau
sudah dipahami ini, maka mohon perhatiannya:
Siapapun (apakah dia seorang habib, kyai, mbah yai, ki ageng,
ustadz, guru agama, tuan guru, orang alim, orang pinter, tabib, ahli
supranatural, pembaca masa depan atau profesi lainnya), yang melakukan praktek
ramal-meramal dengan segala macam jenisnya, maka dia termasuk Kahin atau
‘Arraf, apapun profesi, jabatan, status, tingkatannya di tengah masyarakat.
Kalau
kahin atau ‘arraf tetap saja kahin atau ‘arraf, kalau tukang ramal tetap saja
tukang ramal, apapun profesi atau status di tengah masyarakat.
Pelajaran
menarik dari Al Albani rahimahullah, beliau berkata setelah menyebutkan
pengertian dari ‘Arraf dan Kahin:
فإذا عرفت هذا؛ فمن (الكهانة) ما كان يعرف ب(التنويم
المغناطيسي)، ثم بـ (استحضار الأرواح)، وما عليه اليوم كثير من الناس- وفيهم بعض المسلمين
الطيبين- ممن اتخذوا ذلك مهنة يعتاشون منها، ألا وهو القراءة على الممسوس من الجني،
ومكالمتهم إياه، وأنه يحدثهم عن سبب تلبسه بالإنسي؛ حبّاً به أو بغضاً! وقد يزعمون
أنهم يسألونه عن دينه، فإذا أخبرهم بأنه مسلم؛ صدقوه في كل ما ينبئهم به! وذلك منتهى
الغفلة والضلال؛ أن يصدقه وهو لا يعرفه ولا يراه، فكن حذراً منهم أيها الأخ المسلم!
ولا تأتهم ولا تصدقهم ” وإلا صدق فيك هذا الحديث الصحيح وما في معناه.
Artinya:
“Jika Anda telah mengetahui ini, maka termasuk praktek kahin adalah apa yang
disebut dengan “menidurkan dengan spontan”, atau yang disebut dengan
“menghadirkan ruh” serta apapun yang terjadi pada kebanyakan manusia zaman
sekarang (yang semisal dengan ini).
(Bahkan)
Diantara mereka ada sebagian kaum muslim yang baik-baik, yang menjadikan hal
tersebut sebagai profesi untuk mencari nafkah darinya, yaitu menjampi-jampi
terhadap orang yang dirasuki jin, mereka berbicara dengan jin dan jin itu
berdialog dengan mereka tentang sebab (kenapa) jin merasuki, baik karena cinta
kepadanya atau karena membencinya!.
Dan
kadang mereka mengaku bahwa mereka telah bertanya kepada jin tersebut tentang
agamanya, jika jin memberitahu mereka bahwa dia adalah seorang (jin) muslim,
maka mereka percaya di setiap apa yang diberitahukan oleh jin tersebut kepada
mereka! Yang demikian itu adalah sikap kebodohan dan kesesatan yang paling
tinggi, yaitu mempercayai (jin)nya padahal dia tidak mengenal dan tidak melihat
(jin)nya, maka berhati-hatilah dari mereka wahai saudara muslim! Janganlah
datang dan percaya kepada mereka, kalau tidak, maka hadits shahih ini dan apa
yang semakna dengannya akan mengenaimu”. (Lihat Kitab Silsilah Al Ahadits Ash
Shahihah).
Adapun
mengenai jalan yang ditempuh oleh para pendusta ini -sehingga bisa memberitakan
sebagian perkara ghaib- yaitu sebagai berikut :
1.
Sebagian mereka mempunyai hubungan dengan jin. Jin-jin ini menyampaikan kepada
si dukun sebagian berita benar yang dicuri oleh sang jin. Kemudian sang dukun
ini membuat seratus kedustaan. Sebagaimana dalam sebuah hadits,
قَالَتْ عَائِشَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أُنَاسٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنِ الْكُهَّانِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيْسُوا بِشَيْءٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ أَحْيَانًا
بِالشَّيْءِ يَكُونُ حَقًّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيُقِرُّهَا فِي أُذُنِ
وَلِيِّهِ فَيَخْلِطُونَ فِيهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ
Aisyah
istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ada sekelompok orang
yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masalah
tukang dukun,” Beliau menjawab, “Mereka tidak ada apa-apanya.” Orang-orang itu
berkata, “Wahai Rasulullah, terkadang mereka membicarakan sesuatu yang benar.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Itulah sebuah
kalimat kebenaran yang dicuri oleh jin, lalu disampaikan kepada telinga
walinya, lalu wali-wali jin ini mencampurinya dengan seratus kedustaan. [HR
Bukhari]
2.
Sebagian orang terkadang memiliki firasat atau kemampuan untuk membaca apa yang
sedang bergejolak dalam hati seseorang yang sedang berada di depannya. Lalu, ia
memberitahukan sebagian saja sehingga ia menjadi kagum dan mengira, bahwa si
penebak tadi seorang wali. Padahal kemampuan seperti ini bisa didapatkan dan
dimiliki oleh orang-orang kafir di negeri-negeri mereka. Bisa juga dimiliki
oleh sebagian psikolog atau selain mereka.
3.
Sebagian dukun itu juga meminta bantuan kepada pembantu-pembantunya yang
menyelinap di tengah masyarakat. Sehingga bisa mengetahui nama seseorang atau
sedikit tentang riwayat hidupnya, atau sesuatu yang ingin diketahuinya.
Jika
sudah tahu, ia lalu menyampaikan berita tersebut kepada ‘sang dajjal’ (dalam
hal ini dukun). Dengan modal berita, sang dukun menghadapi orang-orang yang
tidak tahu, sehingga dianggapnya mengetahui semua perkara yang telah lewat.
Karena itu, semua ucapannya tentang apa-apa yang akan datang dan masalah
ghaibiyah menjadi bisa di terima.
Sebagai
penutup. Saya ingatkan kepada kaum muslimin, agar jangan merusak agamanya,
akidahnya, dunianya dan akhiratnya dengan mendatangi dukun atau paranormal,
meminta pendapat mereka maupun mempercayai mereka. Semua itu merupakan
kekufuran.
Mereka
yang sudah terlanjur tergelincir dalam perbuatan seperti itu wajib bertaubat
kepada Allah dari perbuatan tersebut.
Mereka
wajib mengoreksi kembali akidahnya. Mengetahui hal-hal yang bisa memperbaiki
dan hal yang bisa merusak. Ini merupakan kewajiban yang paling mendasar.
Wallahu min wara’ al qhasd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar