Apa hukumnya berkunjung ke tempat-tempat wisata yang
merupakan tempat ibadah orang kafir seperti Candi Borobudur dan semisalnya?
Ini adalah perbuatan yang di dalamnya terdapat
perkara-perkara yang bertentangan dengan syariat Islam, di antaranya:
1. Bertentangan dengan firman Allah ‘azza wa jalla:
وَمَن
يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ ٣٢
“Dan
barang siapa memuliakan syi’ar-syi’ar Allah, sesungguhnya itu termasuk
ketakwaan hati kepada Allah.” (al-Hajj: 32)
2. Bertentangan dengan firman Allah ‘azza wa jalla:
ذَٰلِكَۖ
وَمَن يُعَظِّمۡ حُرُمَٰتِ ٱللَّهِ فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥ عِندَ رَبِّهِۦۗ
“Dan
barang siapa memuliakan perkara-perkara yang memiliki kehormatan di sisi Allah
maka hal itu lebih baik baginya di sisi Rabb-nya.” (al-Hajj: 30)
Allah ‘azza wa jalla memerintahkan
dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Islam sebagai suatu bentuk ketakwaan kepada
Allah‘azza wa jalla, dan hal itu lebih baik bagi kita di
sisi Allah ‘azza wa jalla. Sedangkan
tempat-tempat itu merupakan syi’ar-syi’ar kekufuran dan kesyirikan yang
diagungkan serta dimuliakan oleh orang-orang kafir sebagai tandingan terhadap
syi’ar-syi’ar Islam. Maka apakah pantas bagi seorang muslim yang beriman dan
bertakwa untuk mengagumi dan mengunjunginya?
3. Bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang
siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, dihasankan Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar, dan
asy-Syaikh al-Albani sebagaimana dalam Jilbabul Mar’ah al-Muslimah,
hlm. 203—204, dan juga oleh Syaikhuna al-Wadi’i)
Karena tempat-tempat tersebut merupakan tempat perayaan atau ‘ied bagi kaum
musyrikin, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Bahwa setiap tempat yang dimaksudkan
sebagai tempat berkumpul, beribadah, ataupun selain ibadah, maka itu dinamakan
‘ied atau perayaan.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim,
hlm. 300)
Jadi mengunjungi tempat-tempat tersebut menyerupai perayaan atau ‘ied
mereka, apalagi bila waktu berkunjung tersebut bertepatan dengan waktu ‘ied
atau perayaan mereka.
4. Bertentangan dengan firman Allah ‘azza wa jalla:
وَٱلَّذِينَ
لَا يَشۡهَدُونَ ٱلزُّورَ
“Dan
mereka hamba-hamba Allah yang beriman tidak menyaksikan perkara yang mungkar.” (al-Furqan: 72)
Jadi menghadiri/menyaksikan perkara yang mungkar bukanlah merupakan sifat
orang-orang yang beriman. Sementara di tempat-tempat itu terdapat berbagai
macam kemungkaran. Kalaulah tidak ada kemungkaran lain selain bahwa itu adalah
tempat kesyirikan, maka itu sudah cukup untuk menghalangi hamba Allah ‘azza wa jalla yang beriman dan bertakwa untuk
mengunjungi tempat tersebut.
5. Bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang
memerintahkan untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.
Paling tidak dengan pengingkaran dalam hati. Adapun mengagumi dan
mengunjungi tempat-tempat tersebut merupakan satu bentuk keridhaan seseorang
terhadapnya serta semakin mengokohkan keberadaan tempat-tempat tersebut
sehingga menjatuhkan dia dalam perbuatan mudahanah, yaitu bermuka manis
terhadap kemungkaran, sedangkan Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَدُّواْ لَوۡ تُدۡهِنُ
فَيُدۡهِنُونَ ٩
“Mereka
kaum musyrikin berharap jika seandainya kamu (wahai Muhammad) bermudahanah
terhadap mereka, maka mereka pun akan melakukan hal yang sama.” (al-Qalam: 9)
Jadi Allah ‘azza wa jalla mengingatkan
khalil-Nya (kekasih-Nya) yang juga merupakan peringatan terhadap seluruh umat
ini untuk tidak bermuka manis terhadap kaum musyrikin. Asy-Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di rahimahullah berkata dalam Taisir al-Karimir
Rahman ketika menafsirkan ayat ini, “Kamu setuju dengan sebagian kemungkaran
yang ada pada mereka, baik dengan ucapan, perbuatan, maupun dengan cara diam
terhadap perkara yang semestinya diingkari.”
Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar