Perjalanan jauh atau safar merupakan
peristiwa yang sering dialami manusia. Dari daerah yang satu menuju daerah yang
lainnya. Dari suatu negara ke negara yang lainnya. Di dalamnya mereka kerapkali
menemui berbagai hal yang tidak biasa mereka temui dan hal-hal tidak
menyenangkan hati, ditinjau dari sisi agama maupun dari sisi keduniaan.
Perkara-perkara itulah yang terkadang menjadi sebab perubahan yang ada dalam
dirinya. Bisa jadi bertambah baik, namun bisa juga justru bertambah jelek. Oleh
karena itu agama Islam yang sempurna dan elok ini telah menuntunkan kepada
umatnya melalui lisan dan teladan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai bekal apakah yang semestinya
dipersiapkan oleh seorang mukmin sebelum keberangkatannya dan apa yang
diucapkan di saat-saat menjelang perpisahan itu. Berikut ini salah satu Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kita menjumpai keadaan semacam
itu.
Perpisahan
dalam Naungan as-Sunnah
Imam Abu Dawud rahimahullah membuat sebuah
bab di dalam Sunannya dalam Kitab al-Jihad dengan judul Bab Fid Du’a ‘indal Wada’ (Doa ketika berpisah, yaitu sebelum
melakukan perjalanan/safar). Kemudian beliau membawakan hadits Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma:
عَنْ قَزَعَةَ قَالَ قَالَ لِى ابْنُ عُمَرَ هَلُمَّ
أُوَدِّعْكَ كَمَا وَدَّعَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَسْتَوْدِعُ
اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
Dari Qoza’ah, dia berkata: Ibnu Umar –radhiyallahu’anhuma-
berkata kepadaku, “Kemarilah, akan kulepas kepergianmu sebagaimana ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kepergianku (yaitu dengan
doa), ‘Astaudi’ullaha
diinaka wa amaanataka wa khawaatima ‘amalik‘ (Aku titipkan
kepada Allah pemeliharaan agamamu, amanatmu, dan akhir penutup amalmu).” (HR.
Abu Dawud, Syaikh al-Albani berkata: Hadits ini sahih dengan banyak jalannya,
sebagiannya disahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan
adz-Dzahabi. Lihat Shahih Sunan Abu
Dawud [7/353]
software Maktabah asy-Syamilah)
Bacaan
Doa Ketika Memberangkatkan Pasukan
Tuntunan doa seperti ini tidak khusus untuk
perorangan, bahkan berlaku pula untuk rombongan. Termasuk di dalamnya rombongan
pasukan perang. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الْخَطْمِىِّ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ
-صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْتَوْدِعَ الْجَيْشَ قَالَ
أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكُمْ وَأَمَانَتَكُمْ وَخَوَاتِيمَ أَعْمَالِكُمْ
.
Dari Abdullah al-Khathmi –radhiyallahu’anhu-,
dia berkata: “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam apabila
hendak melepas keberangkatan pasukan beliau maka beliau membaca doa, ‘Astaudi’ullaha
diinakum wa amaanatakum wa khawaatima a’maalikum‘ (Aku titipkan
kepada Allah pemeliharaan agama kalian, amanat yang kalian emban, dan akhir
penutup amal kalian).” (HR. Abu Dawud. Syaikh al-Albani mengatakan: Sanadnya
sahih sesuai dengan kriteria Muslim. Lihat Shahih Sunan Abu
Dawud [7/354]
software Maktabah asy-Syamilah)
Abu at-Thayyib rahimahullah menerangkan makna ‘pasukan’ dalam
hadits ini,
أي العسكر المتوجه إلى العدو
“Artinya adalah pasukan tentara yang akan
diberangkatkan untuk menyerang musuh.” (Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud [7/187] software Maktabah
asy-Syamilah)
Bekali
Dirimu dengan Takwa
Perjalanan tentunya membutuhkan perbekalan.
Dan sebaik-baik bekal adalah ketakwaan. Karena dengan ketakwaan itulah seorang
hamba akan mendapatkan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapinya,
dimudahkan urusannya, dan bahkan dia akan bisa mendapatkan rezeki dari arah
yang tidak dia sangka-sangka. Allah ta’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah takwa.” (Qs. al-Baqarah: 197)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِب
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Allah berikan baginya jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki
kepadanya dari arah yang tidak dia sangka-sangka.” (Qs. at-Thalaq: 2-3)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ
يُسْرًا
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Allah jadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Qs. at-Thalaq: 4)
Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan,
عن أنس قال : جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال
يا رسول الله إني أريد سفرا فزودني قال زودك الله التقوى قال زدني قال وغفر ذنبك
قال زدني بأبي أنت وأمي قال ويسر لك الخير حيثما كنت
Dari Anas –radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Ada seorang
lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam kemudian
berkata, “Wahai Rasulullah, saya hendak bepergian/safar maka berilah saya
bekal.” Maka beliau menjawab, “Zawwadakallahut
taqwa (semoga
Allah membekalimu takwa).” Lalu dia berkata, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.”
Beliau menjawab, “Wa
ghafara dzanbaka (semoga
Allah mengampuni dosamu).” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku,
ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu.” Beliau menjawab, “Wa yassara lakal khaira haitsuma kunta (semoga Allah mudahkan kebaikan
untukmu di mana pun kamu berada).” (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: hadits
hasan gharib. Syaikh al-Albani mengatakan: hasan sahih. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi [3/155] software Maktabah
asy-Syamilah)
Imam Ibnu as-Suni rahimahullah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi
doa yang sedikit berbeda,
عن أنس ، رضي الله عنه أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه
وسلم، فقال : يا رسول الله ، إني أريد سفرا، فزودني. قال : زودك الله التقوى . قال
: زدني. قال : وغفر لك ذنبك . قال : زدني. قال : ووجهك للخير حيثما توجهت
Dari Anas radhiyallahu’anhu bahwa ada seorang lelaki yang menemui
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Wahai Rasulullah,
saya hendak bepergian. Berilah saya bekal.” Maka beliau menjawab, “Semoga
Allah membekalimu dengan takwa.” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal-
untukku.” Beliau menjawab, “Dan semoga Allah mengampuni dosa-dosamu.” Dia
berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” Beliau menjawab, “Semoga Allah
mengarahkanmu kepada kebaikan ke arah mana pun kamu menempuh perjalanan.” (HR.
Ibnu as-Suni dalam ‘Amal al-Yaum wa
al-Lailah [2/461],
lihat juga Mir’at al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih karya Syaikh Abul Hasan Hisamuddin
ar-Rehmani al-Mubarakfuri rahimahullah [8/189] software Maktabah
asy-Syamilah)
at-Thibi rahimahullah menerangkan makna doa ‘zawwadakallahut
taqwa‘,
زادك أن تتقي محارمه وتجتنب معاصيه
“Semoga Allah membekalimu dengan ketakwaan
yang akan membuatmu menjaga diri dari perkara-perkara yang diharamkan-Nya dan
menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Dinukil dari Mir’at al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih [8/190] software Maktabah asy-Syamilah)
Allah
Tak Akan Menyia-nyiakan ‘Barang Titipan’
Imam Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan,
عن أبي هريرة قال ودعني رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال
أستودعك الله الذي لا تضيع ودائعه
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kepergianku dengan
mengucapkan, ‘Astaudi’ukallahalladzi
laa tadhii’u wadaa-i’uhu‘ (Kutitipkan kamu kepada Allah yang
tidak akan pernah tersia-siakan apa yang dititipkan kepada-Nya).” (HR. Ibnu
Majah. Disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [16 dan 2547] dan Takhrij al-Kalim at-Thayyib [167], lihat Shahih Ibnu Majah [2/133] software Maktabah
asy-Syamilah)
al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna bacaan ini,
أي الذي إذا استحفظ وديعة لا تضيع فإنه تعالى إذا استودع
شيئا حفظه
“Artinya: -Allah adalah- sosok yang apabila
diserahkan kepadanya suatu barang titipan maka barang itu tidak akan
tersia-siakan, karena Allah ta’ala apabila dititipi sesuatu maka Allah pasti
akan menjaganya…” (Faidh
al-Qadir [1/641]
software Maktabah asy-Syamilah)
Beliau juga menerangkan,
ويندب لكل من المتوادعين أن يقول للآخر ذلك وأن يزيد المقيم
زودك الله التقوى وغفر ذنبك ووجهك للخير حيثما كنت
“Dianjurkan bagi masing-masing orang di
antara kedua belah pihak yang berpisah untuk mengucapkan bacaan itu kepada
saudaranya yang lain dan hendaknya orang yang mukim menambahkan bacaan ‘zawwadakallahut
taqwa wa ghafara dzanbaka wa wajjahaka lil khairi haitsuma kunta‘.”
(Faidh al-Qadir [1/641] software Maktabah
asy-Syamilah)
Jagalah
-aturan- Allah, Allah ‘kan menjagamu!
Ketika menerangkan kandungan hadits ‘ihfazhillaha
yahfazhka‘ (jagalah Allah niscaya Allah menjagamu), al-Hafizh lbnu
Rajab al-Hanbali rahimahullah menerangkan,
فإن الله عز و جل يحفظ المؤمن الحافظ لحدود دينه ويحول بينه
وبين ما يفسد عليه دينه بأنواع من الحفظ وقد لا يشعر العبد ببعضها وقد يكون كارها
له كما قال في حق يوسف عليه السلام كذلك لنصرف عنه السوء والفحشاء إنه من عبادنا
المخلصين يوسف قال ابن عباس في قوله تعالى إن الله يحول بين المرء وقلبه قال يحول
بين المؤمن وبين المعصية التي تجره إلى النار
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla akan
menjaga seorang mukmin yang berusaha untuk senantiasa menjaga batasan/aturan
agama Allah dan Allah akan menghalangi dirinya dari perkara-perkara yang akan
merusak agamanya dengan berbagai macam bentuk penjagaan, yang terkadang hamba
tersebut tidak menyadari sebagiannya. Bahkan bisa jadi dia merasa tidak suka
atas perkara itu (bentuk penjagaan Allah, pent). Hal ini sebagaimana yang Allah
ceritakan mengenai keadaan -Nabi- Yusuf ‘alaihis salam (dalam ayat yang artinya), ‘Demikianlah Kami
palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia termasuk kalangan
hamba Kami yang ikhlas.’ (Qs. Yusuf). Ibnu Abbas –radhiyallahu’anhuma-
mengatakan ketika menafsirkan kandungan firman Allah ta’ala (yang artinya),
‘Sesungguhnya Allah akan menghalangi antara seseorang dengan hatinya’ maksudnya
adalah: Allah akan menghalangi antara diri seorang mukmin dengan kemaksiatan
yang akan menyeretnya ke dalam neraka…” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal 243)
Ibnu Rajab menukilkan sebuah atsar dari
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu,
beliau berkata:
إن العبد ليهم بالأمر من التجارة والإمارة حتى ييسر له
فينظر الله إليه فيقول للملائكة اصرفوه عنه فإنه إن يسرته له أدخلته النار فيصرفه
الله عنه فيظل يتطير بقوله سبني فلان وأهانني فلان وما هو إلا فضل الله عز جل
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang
bertekad untuk meraih ambisinya dalam hal perdagangan (baca: urusan bisnis) dan
urusan kepemimpinan sehingga diapun dimudahkan ke arah itu. Kemudian Allah
memperhatikan dirinya, lalu Allah katakan kepada para malaikat, ‘Palingkanlah
hal itu darinya. Sebab jika hal itu Aku mudahkan untuknya niscaya hal itu
justru akan menjerumuskan dirinya ke dalam neraka’. Maka Allah pun memalingkan
urusan itu darinya sampai-sampai dia merasa dirinya selalu bernasib sial seraya
mengatakan, ‘Si fulan mengolok-olokku’, ‘Si fulan menghinakanku’. Padahal
sebenarnya apa yang dialaminya itu tidak lain adalah karunia yang diberikan
Allah ‘azza wa jalla -kepadanya-…” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal 243)
Pelajaran
yang Bisa Dipetik
Keterangan-keterangan di atas memberikan
banyak pelajaran bagi kita, antara lain:
Semestinya orang yang hendak bepergian
mempersiapkan bekal (uang atau makanan, dsb), dan bekal yang terbaik adalah
ketakwaan.
Perintah untuk senantiasa mengingat Allah
dalam berbagai keadaan, sebab barangsiapa yang mengingat Allah maka Allah akan
mengingatnya.
Hendaknya seorang mukmin menyukai kebaikan
bagi saudaranya sebagaimana yang dia sukai untuk dirinya sendiri, dan salah
satu wujudnya adalah dengan mendoakan kebaikan untuknya.
Disyari’atkan untuk membaca doa ‘astaudi’ullaha
diinaka wa amaanatak wa khawaatima ‘amalik‘, atau ‘astaudi’ukallahalladzi
laa tadhii’u wadaa-i’uh‘ ketika akan berpisah. Bagi orang yang
mengantarkan bisa juga dengan doa ‘zawwadakallahut taqwa, wa ghafara dzanbaka, wa
yassarallahu lakal khaira haitsuma kunta‘ dan yang serupa
dengannya sebagaimana disebutkan dalam riwayat.
Sebab penjagaan Allah kepada diri seorang
hamba adalah keteguhan dirinya dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan
di mana pun dia berada. Perkara yang wajib jelas harus lebih diprioritaskan,
dan lebih bagus lagi jika ditambah dengan amalan sunnah sesuai dengan kondisi
yang sedang dihadapi.
Bentuk penjagaan yang Allah berikan kepada
seorang hamba tidak selamanya terasa menyenangkan bagi jiwa/perasaan manusia.
Bisa jadi secara lahir seseorang tertimpa musibah atau perkara lain yang tidak
disukainya -dalam urusan keduniaan- namun sebenarnya hal itu adalah bentuk
penjagaan Allah kepada dirinya, Maha suci Allah dari perlakuan aniaya kepada
hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sehingga pemberian suatu nikmat dunia kepada seseorang tidak secara otomatis
menunjukkan bahwa Allah meridhai hal itu bagi kita. Karena bisa jadi nikmat
yang Allah beri merupakan bentuk hukuman yang ditunda, sedangkan nikmat yang
dicabut dengan adanya musibah merupakan sarana penghapusan dosa baginya,
sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang lain (bagian akhir dari faedah ini
kami peroleh dari kitab al-Jadid fi Syarh
Kitab at-Tauhid).
Penjagaan yang Allah berikan kepada hamba
tergantung pada tingkat kesungguhannya dalam menjalankan petunjuk-Nya. Hal itu
sebagaimana ayat (yang artinya), “Orang-orang yang
bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada-Nya jalan-jalan
(menuju keridhaan) Kami.” (Qs.
al-Ankabut: 69). Dan juga ayat (yang artinya), “Orang-orang yang berjalan di atas petunjuk niscaya akan
Allah tambahkan hidayah kepada mereka dan Allah akan berikan kepada mereka
ketakwaan mereka.” (Qs.
Muhammad: 17)
Hal ini -pelajaran no-7- sekaligus
menunjukkan kepada kita kebenaran ucapan para ulama kita, ‘min tsawabil
hasanati al-hasanatu ba’daha‘ (salah satu balasan kebaikan adalah
munculnya kebaikan sesudahnya). Dalil ucapan ini adalah firman Allah (yang
artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan
berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11) (faedah ini kami
peroleh dari kitab al-Jadid fi Syarh
Kitab at-Tauhid)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa
ajaran Islam adalah ajaran yang sempurna dan mencakup berbagai sisi kehidupan
manusia. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan
sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam agama (baca: bid’ah).
Hadits-hadits di atas juga menunjukkan
bahwa hadits Nabi -yang sah- tidak akan pernah bertentangan dengan
ayat-al-Qur’an. Dan menunjukkan bahwa apa yang beliau ajarkan adalah
berlandaskan wahyu dari Allah ta’ala, bukan hasil rekayasa budaya manusia. Hal
ini sekaligus menjadi bantahan bagi kaum liberal dan pluralis yang menyatakan
bahwa al-Qur’an -begitu pula as-Sunnah, sebagai konsekuensi logis atasnya- yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada
umatnya adalah muntaj tsaqafi (produk budaya) dan bukan wahyu ilahi.
Maha Suci Allah dari kotornya ucapan mereka… Tidakkah mereka membaca firman
Allah yang sedemikian gamblang dan terang (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya.
Hanya saja yang dia ucapkan itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Qs. an-Najm: 3-4)? Ataukah barangkali
mata hati mereka telah membuta… Na’dzubillahi min
dzalik! Maka ambillah pelajaran wahai Ulil Abshar (orang-orang yang
memiliki mata hati)…
Demikianlah paparan singkat dan sangat
sederhana ini. Semoga kita termasuk orang yang menghidupkan Sunnah ketika banyak orang
telah melupakan dan melalaikannya. Semoga Allah memberikan keteguhan kepada
kita untuk bersabar di atas ketakwaan kepada-Nya hingga ajal tiba, wallahul muwaffiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar