Allah Subhanahu
Wa Ta’ala telah menentukan bahwa setiap makhluk bernyawa pasti akan
mengalami kematian. Baik itu manusia, jin, atau binatang.
Dalam hal
meninggalnya seorang manusia, maka akan kita tahu bahwa mereka terbagi antara orang
yang muslim dan orang yang kafir (non muslim). Apabila yang meninggal adalah
saudara kita yang muslim, maka telah jelas petunjuk Rasulullah mengenai hal
itu. Sekarang, bagaimana apabila yang meninggal orang kafir (non muslim)?. Ini
menimbulkan beberapa pertanyaan, diantaranya :
1. Bolehkan kita takziyah ke orang kafir yang meninggal, baik itu saudara kita
atau bukan?
2. Apakah kita boleh mengucapkan istirja apabila mendengar orang kafir yang
meninggal?
Allah berfirman,
يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada
kaum yang dimurkai oleh Allah (orang-orang kafir)…” (QS. Al-Mumtahanah: 13)
Ada dua hal yang
perlu kita bedakan terkait interaksi dengan non muslim:
Pertama, berbuat baik dan
bersikap adil
Islam tidak
melarang umatnya untuk berbuat baik dan bermuamalah yang baik kepada
orang-orang kafir selama mereka tidak memerangi kita dan tidak mengusir kita
dari negeri kita.
Sikap semacam ini
diajarkan dan dianjurkan dalam Islam. Kaum muslimin, siapapun dia, disyariatkan
untuk berbuat baik, bersikap baik terhadap semuanya, bahkan kepada orang kafir
sekalipun. Sebagaimana yang Allah firmankan,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين
“Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
Al-Mumtahanah: 8)
Berkata Syeikh
Abdurrahman As-Sa’dy: “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik,
menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan, berbuat adil kepada orang-orang
musyrik, dari keluarga kalian dan yang lain selama mereka tidak memerangi
kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian,
maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin
hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak
ada kerusakan.” (Tafsir As-Sa’dy hal 856-857)
Namun disana
ada aturan-aturan yang harus kita perhatikan dalam bermuamalah dengan
orang-orang kafir. Diantaranya kita tidak diperbolehkan mengorbankan agama
untuk mencari ridha mereka.
Syeikh Sulaiman
Ar-Ruhaily dalam sebagian ceramah beliau menyebutkan bahwa untuk menjaga
keseimbangan supaya perbuatan baik kita tidak berujung kepada loyalitas kepada
mereka maka setiap kita berbuat baik kepada mereka (orang kafir), harus
senantiasa kita ingat bahwa mereka adalah orang-orang kafir, musuh-musuh Allah
ta’ala, yang kalau suatu saat mereka menguasai kita mereka akan berusaha
membinasakan kita (Kaset Al-Wala wal Bara, yang beliau sampaikan di
masjid Quba, Al-Madinah)
Kedua, memberikan
loyalitas
Sikap yang kedua
ini dilarang dalam Islam, bahkan Allah memberikan ancaman yang sangat keras
bagi kaum muslimin yang memberikan loyalitas kepada orang kafir. Allah
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai wali (kekasih); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian
yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).
Hukum takziyah
ke orang kafir yang meninggal :
Para ulama
telah berselisih pendapat tentang hukum ta’ziyah muslim terhadap orang kafir,
ada yang mengatakan boleh secara mutlak, dan ada yang mengatakan haram.
Para ulama yang
mengharamkannya, menggolongkan menghadiri jenazah orang kafir termasuk bentuk
memberikan loyalitas. Karena itulah mereka melarang kaum muslimin menghadiri
jenazah non muslim.
Ketika Abu Talib meninggal,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak megurusi
mayatnya sama sekali. Beliau hanya menyuruh Ali bin Abi Talib untuk menguburkannya.
Padahal kita tahu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
berharap agar Abu Tallib masuk Islam. Sampai ketika pamannya meninggal dalam
kondisi kafir, beliau sangat sedih dan ingin memohonkan ampun untuk Abu Talib.
Terkait peristiwa ini, Allah menurunkan firman-Nya:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya
engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu cintai, namun
Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Dan Dia
Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Qashas: 56).
Dari Ali bin Abi
Talib radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika bapaknya meninggal, dia
datang melapor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ
“Sesungguhnya
pamanmu, si tua yang sesat telah mati.”
Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menasihatkan,
اذْهَبْ فَوَارِ أَبَاكَ
“Segera
kuburkan bapakmu.” (HR. Abu Daud 3214 dan Nasai 2006).
Imam Malik rahimahullah mengatakan:
لا يغسل المسلم والده إذا مات الوالد كافرا , ولا يتبعه ،
ولا يدخله قبره ، إلا أن يخشى أن يضيع : فيواريه
“Seorang muslim
tidak boleh memandikan ayahnya, jika ayahnya mati kafir, tidak boleh mengiringi
mayatnya, dan tidak boleh pula memasukkannya ke kuburan. Kecuali jika dia
khawatir mayitnya tidak terurus, maka dia boleh menguburkannya.” (al-Mudawanah,
1:261).
Dalam Syarah
Muntaha al-Iradat dijelaskan maksud Imam Malik di atas,
ولا يغسّل مسلم كافرا للنهي عن موالاة الكفار ، ولأن
فيه تعظيما وتطهيرا له ، فلم يجز ؛ كالصلاة عليه
“Orang muslim
tidak boleh memandikan orang kafir”, karena adanya larangan untuk memberikan loyalitas
kepada orang kafir. Karena hal itu termasuk mengagungkan dan mensucikannya,
karena itu, perbuatan ini tidak dibolehkan. Sebagaimana tidak boleh menshalati
mayatnya.” (Syarh Muntaha al-Iradat, 1:347).
Dalam Kasyaful
Qana’ dinyatakan,
ويحرم أن يغسل مسلم كافرا ، ولو قريبا ، أو يكفنه ، أو يصلي
عليه ، أو يتبع جنازته ، أو يدفنه ) ؛ لقوله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا لا
تتولوا قوما غضب الله عليهم ) وغَسلُهم ونحوه : تولٍّ لهم ، ولأنه تعظيم لهم ،
وتطهير ؛ فأشبه الصلاة عليه … ( إلا أن لا يجد من يواريه غيره ، فيوارَى عند العدم
)
“Seorang
muslim diharamkan memandikan orang kafir, meskipun dia kerabat dekat.
Dilarang pula mengkafani, menshalati mayatnya, mengikuti jenazahnya atau
menguburkannya. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang
dimurkai oleh Allah”. Sementara memandikan mayit dan semacamnya, termasuk
memberikan loyalitas kepadanya. Karena mengandung unsur; mengagungkan dan
mensucikan mereka. Ststusnya seperti menshalati mereka.. kecuali jika tidak ada
orang lain yang menguburkannya maka keluarganya harus menguburkannya.” (Kasyaful
Qana’, 2:123).
Dan para ulama
yang membolehkan takziyah, dan pendapat ini adalah yang lebih kuat -wallahu
a’lamu- berkata: ta’ziyah ahlul kitab adalah boleh dengan syarat-syarat,
diantara syarat-syarat tersebut:
1.
Mereka (orang
kafir) tersebut tidak menganggap bahwa ta’ziyah yang kita lakukan adalah
penghormatan untuk mereka (Fatawa Syeikh Muhammad Al-utsaimin 2/304
)
2.
Di dalamnya ada
mashlahat, seperti mengharapkan keislaman keluarganya atau menghindari gangguan
mereka terhadap dirinya atau kaum muslimin (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 9/132)
3.
Tidak mengikuti
upacara keagamaan mereka atau mendengarkan ceramah mereka, karena Allah
berfirman:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا
فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا
يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ
الظَّالِمِينَ.
“Dan apabila
kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah
mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan
menjadikan kamu lupa (maka larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang.
orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Qs. 6:68)
Ucapan Kepada
Jenazah non Muslim:
Tidak ada dalil
khusus tentang apa yang kita ucapkan ketika berta’ziyah kepada orang kafir,
yang penting ucapan yang tidak ada larangan syar’i seperti mendoakan rahmat dan
ampunan untuk orang kafir.
Allah
berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ
يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ.
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka Jahannam.” (Qs. At Taubah:113)
Imam An-Nawawi berkata,
قال النووي رحمه الله : وأما الصلاة على الكافر والدعاء له
بالمغفرة فحرام بنص القرآن والإجماع
“Adapun menshalati orang kafir dan mendoakan agar diampuni
dosanya, maka hukumnya haram, berdasarkan nash Al–qur’an dan Ijma’. (al-Majmu’
5/120).
Sebagian ulama
menyebutkan bahwa diantara doa yang bisa kita ucapkan ketika berta’ziyah kepada
orang kafir adalah:
أخلف الله عليك ولا نقص عددك
“Semoga Allah
menggantinya untukmu dan tidak mengurangi jumlahmu (yaitu supaya tetap banyak
jizyahnya).” (Lihat Al-Majmu’, Imam An-Nawawy 5/275, dan Al-Mughny,
Ibnu Qudamah 2/487)
Adapun apakah boleh jika seorang non-muslim meninggal apakah boleh kita
ucapkan kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un)?
Jawabannya adalah boleh saja, karena inti dari kalimat istirja’
adalah kita semua milik Allah. Hanya saja tidak boleh kita doakan dengan
doa semacam: “semoga tenang di sisi-Nya”, “Semoga diampuni
dan mendapat tempat tertinggi”. Tidak boleh kita doakan dengan
doa semacam ini, yaitu doa diampuni, doa mendapat ketenangan dan sebagainya.
Berikut pertanyaan diajukan kepada syaikh bin Baz rahimahullah,
“Jika seorang laki-laki atau wanita kafir meninggal, apakah boleh kita ucapkan
“inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” atau tidak boleh? Apakah boleh kita
berkata “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan diridhai.”?
Beliau menjawab: “Seorang kafir jika meninggal, tidak mengapa kita ucapkan: inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un, alhamdulillah, semisal
keluargamu, ini tidak mengapa. Manusia kembali kepada Allah dan semuanya milik
Allah, tidak mengapa hal seperti ini.
Akan tetapi tidak didoakan, selama ia kafir maka tidak didoakan tidak juga
dikatakan: “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan
diridhai”. Karena jiwa orang kafir tidak tenang, jiwa yang fajirah,
perkataan ini dikatakan kepada orang mukmin saja.
Kesimpulannya, orang kafir jika meninggal tidak mengapa kita ucapkan: inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan tidak mengapa dikatakan
kepadamu: “addzamallahu ajraka fihi”, “Ahsana ‘aza-aka fihi”,
“maa fi ba’sin” (“semoga Allah memberikan pahala yang besar untukmu
dengan kematiannya dan memberikan hiburan pelipur lara untukmu sebagai
pengganti kematiannya”)
Karena bisa jadi memberikan mashalahat dalam hidupmu, bisa jadi dalam
hidupnya ia berbuat baik padamu, memberikan engkau manfaat, akan tetapi tidak
didoakan, tidak dimintakan ampun, tidak disedekahkan atas namanya, jika mati
dalam keadaan kafir”. [Sumber: http://www.binbaz.org.sa/noor/9289]
Demikian semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar