Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang
berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si
pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama
lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim.
Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat
mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh
dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang
pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan
perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai
status pernikahan beda agama? Terutama yang nanti akan kami tinjau adalah
pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non muslim. Karena ini sebenarnya
yang jadi masalah besar. Semoga bahasan singkat ini bermanfaat.
Siapakah
ahlul kitab? …
Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.”
(QS. Ali Imron: 20)
Berikut penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai ayat di atas.
Ayat ini ditujukan pada Ahli Kitab di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal ajaran ahli
kitab yang hidup di zaman beliau sudah mengalami naskh wa tabdiil (penghapusan dan penggantian).
Maka ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menisbatkan dirinya pada Yahudi
dan Nashrani, merekalah ahli kitab. Ayat ini bukan khusus membicarakan ahli
kitab yang betul-betul berpegang teguh dengan Al Kitab (tanpa penghapusan dan
penggantian). Begitu pula tidak ada beda antara anak Yahudi dan Nashrani yang
hidup setelah adanya penggantian Injil-Taurat di sana-sini dan yang hidup
sebelumnya. Jika setelah adanya perubahan Injil-Taurat di sana-sini, anak
Yahudi dan Nashrani disebut ahli kitab, begitu pula ketika anak Yahudi dan
Nashrani tersebut hidup sebelum adanya perubahan Taurat-Injil, mereka juga
disebut Ahli Kitab dan mereka kafir jika tidak mengimani Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu,
Allah Ta’ala tetap mengatakan kepada orang Yahudi dan
Nashrani yang hidup di zaman beliau,
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.”
(QS. Ali Imron: 20)
Allah tentu saja mengatakan hal ini kepada orang yang hidup di zaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau
diperintahkan menyampaikan wahyu. Dan tidak mungkin ditujukan kepada Yahudi dan
Nashrani yang telah mati.
Demikian kutipan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Iman.
Jadi kesimpulannya, orang Yahudi dan Nashrani di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga yang hidup
di zaman ini termasuk ahlul kitab,
walaupun mereka sudah tidak lagi berpegang dengan kitab mereka yang asli dan
kitab mereka telah mengalami perubahan di sana-sini.
Pernikahan
Wanita Muslimah dan Pria Non Muslim
Tentang status pernikahan wanita muslimah dan pria non muslim disebutkan
dalam firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ
الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا
هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka
(wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita
mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka.” (QS. Al
Mumtahanah: 10)
Pendalilan dari ayat ini dapat kita lihat pada dua bagian. Bagian pertama
pada ayat,
فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ
“Janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada suami
mereka yang kafir”
Bagian kedua pada ayat,
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ
“Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu”
Dari dua sisi ini, sangat jelas bahwa tidak boleh wanita muslim menikah
dengan pria non muslim (agama apa pun itu). [Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/2521]
Ayat ini sungguh meruntuhkan argumen orang-orang liberal yang menghalalkan
pernikahan semacam itu. Firman Allah tentu saja kita mesti junjung tinggi
daripada mengikuti pemahaman mereka (kaum liberal) yang dangkal dan jauh dari
pemahaman Islam yang benar.
Penjelasan
Ulama Islam Tentang Pernikahan Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim
Para ulama telah menjelaskan tidak bolehnya wanita muslimah menikah dengan
pria non muslim berdasarkan pemahaman ayat di atas (surat Al Mumtahanah ayat
10), bahkan hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
وأجمعت الامة على أن المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه، لما في
ذلك من الغضاضة على الاسلام.
“Para ulama kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non
muslim) menikahi (menyetubuhi) wanita muslimah apa pun alasannya. Karena hal
ini sama saja merendahkan martabat Islam.” [Tafsir Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al Anshori Al
Qurthubi]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
هذه الآية هي التي حَرّمَت المسلمات على المشركين
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) menunjukkan haramnya wanita
muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (non muslim)”. [Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir]
Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab
tafsirnya mengatakan,
وفيه دليل على أن المؤمنة لا تحلّ لكافر ، وأن إسلام المرأة
يوجب فرقتها من زوجها لا مجرّد هجرتها
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) merupakan dalil bahwa wanita
muslimah tidaklah halal bagi orang kafir (non muslim). Keislaman wanita
tersebut mengharuskan ia untuk berpisah dari suaminya dan tidak hanya berpindah
tempat (hijrah)”. [Fathul Qodir,
Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan,
وكما أن المسلمة لا تحل للكافر، فكذلك الكافرة لا تحل
للمسلم أن يمسكها ما دامت على كفرها، غير أهل الكتاب،
“Sebagaimana wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, begitu pula
wanita kafir tidak halal bagi laki-laki muslim untuk menahannya dalam
kekafirannya, kecuali diizinkan wanita ahli kitab (dinikahkan dengan pria
muslim).” [Taisir Al
Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Orang kafir (non muslim) tidaklah halal menikahi wanita muslimah. Hal ini
berdasarkan nash (dalil tegas) dan ijma’ (kesepakatan ulama). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka
(wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita
mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka.” Wanita muslimah sama sekali tidak halal
bagi orang kafir (non muslim) sebagaimana disebutkan sebelumnya, meskipun
kafirnya adalah kafir tulen (bukan orang yang murtad dari Islam). Oleh karena
itu, jika ada wanita muslimah menikah dengan pria non muslim, maka nikahnya batil (tidak sah). (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibni ‘Utsaimin, 12/138-140)
Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim hafizhohullah dalam
Kitab Adhwaul Bayan (yang di mana beliau menyempurnakan
tulisan gurunya , Syaikh Asy Syinqithi), memberi alasan kenapa wanita muslimah
tidak dibolehkan menikahi pria non muslim, namun dibolehkan jika pria muslim
menikahi wanita ahli kitab. Di antara alasan yang beliau kemukakan: Islam itu
tinggi dan tidak mungkin ditundukkan agama yang lain. Sedangkan keluarga tentu
saja dipimpin oleh laki-laki. Sehingga suami pun bisa memberi pengaruh agama
kepada si istri. Begitu pula anak-anak kelak harus mengikuti ayahnya dalam hal
agama. (Adwaul Bayan
8/164-165) Dengan alasan inilah wanita muslimah tidak boleh menikah dengan
pria non muslim.
Pernikahan
Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
Di kalangan para ulama ada dua pendapat dalam masalah
ini.
Pendapat Pertama.
Seorang muslim halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah, ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah [Syarh Fath Al-Qadir III/228], Malikiyah [Al-Fawakih Ad-Diwani II/42], Syafi’iyah [Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/232], dan Hanabilah (Hanbali) [Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/589].
Ahli Dzimmah adalah orang-orang bukan Islam yang berada
di bawah perlindungan pemerintah Islam.
Ini adalah pendapat jumhur ulama, mereka berdalil dengan
dalil-dalil sebagai berikut.
1.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ
لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [al-Maidah/5: 5]
2. Perilaku para sahabat, karena mereka telah menikahi
wanita-wanita yang bersetatus sebagai Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya
Utsman Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah binti Al-Gharamidhah
Al-Kalbiyyah, padahal ia seorang wanita Nasrani, lalu masuk Islam dengan
perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu menikah dengan seorang wanita
Yahudi dari Al-Madain.
3. Jabir Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang hukum seorang
muslim menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Maka beliau menjawab : “Kami
telah menikahi mereka pada waktu penaklukan kota Kufah bersama Sa’ad bin Abi
Waqqash” [Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/232]
4.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
orang-orang Majusi.
سُنُّوا سُنَّةً أَهْلِ الْكِتَابِ غَيْرَ نَا كِحِي نِسَائِهِمْ وَلاَ
أَكْلِى ذَبَائِحِهِم
“Berbuatlah
kalian kepada mereka seperti yang berlaku bagi Ahli Kitab, selain menikahi
wanita-wanita mereka dan tidak makan daging sembelihan mereka” [Tanwir Al-Hawalik Syarh Al-Muwaththa Malik, kitab
Az-Zakaat I/263]
Pendapat Kedua.
Seorang muslim haram menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah ataupun yang menjaga kehormatannya.
Pendapat ini dinukil dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu
‘anhuma, dan ia menjadi pendapat Syi’ah Imamiyah [Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab
XVI/233].
Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.
1.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [al-Baqarah/2 : 221]
Sisi
pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mengharamkan nikah dengan wanita musyrik dalam ayat ini. Padahal wanita
Ahli Kitab adalah orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa wanita Ahli Kitab itu
adalah orang musyrik, mereka berdalil dengan sebuah riwayat yang shahih dari
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum menikah
dengan wanita-wanita Nashrani dan Yahudi. Maka beliau menjawab : “Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan bagi orang-orang yang beriman menikah dengan
wanita-wanita musyrik. Dan, saya tidak mengetahui ada kemusyrikan yang lebih
besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa. Padahal
beliau adalah salah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala” [Fathul
Baari Syarh Shahih Al-Bukhari] [HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya]
2.
Mereka juga berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60: 10]
Sisi
pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah melarang tetap berpegang teguh pada ikatan pernikahan dengan
perempuan-perempuan kafir. Padahal perempuan-perempuan Ahli Kitab termasuk
perempuan-perempuan kafir. Sementara larangan (An-Nahyu) dalam ayat tersebut
bermakna haram.
Pembahasan Seputar Dalil-Dalil Di Atas
Jumhur ulama telah mendiskusikan (mengkritisi) dalil-dalil pendapat kedua dengan penjelasan sebagai berikut.
a.
Pembahasan Dalil Pertama.
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [al-Baqarah/2 : 221]
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya ayat tersebut telah dimansukh
(dihapus) dengan ayat yang tertera di dalam surat Al-Maidah, yakni firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [al-Maidah/5: 5]
Demikian pula
bahwa dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah bersifat umum (‘amm), yang
mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini
adalah bersifat khusus (khas), yang menyatakan halal menikahi wanita Ahli
Kitab. Padahal dalil yang bersifat khusus itu wajib didahulukan. [Al-Mughni
oleh Ibnu Qudamah VI/590]
b.
Pembahasan Dalil Kedua.
Yaitu tentang pernyataan Ibnu Umar : “Saya tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa”. Maka dapat dijawab : “Bahwa ayat ini mengkhususkan wanita-wanita Ahli Kitab dari wanita-wanita musyrik secara umum. Maka dalil yang bersifat umum harus dibangun di atas dalil yang bersifat khusus” [Lihat Tafsir Fath Al-Qadir oleh Asy-Syaukani II/15]
c.
Pembahasan Dalil Ketiga
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُمْسِكُوا
بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60: 10]
Ibnu Qudamah
mejelaskan : “Lafadz musyrikin (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak
mencakup Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut.
لَمْ يَكُنِ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّىٰ
تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
“Orang-orang
kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak
akan meninggalkan (agamanya)…” [al-Bayyinah/98:
1]
Allah Subhanahu
wa Ta’ala juga berfirman.
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya
orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [al-Bayyinah/98 : 6]
Maka anda akan
mendapatkan bahwa Al-Qur’an sendiri membedakan antara kedua golongan tersebut.
Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa lafadz ‘musyrikin’ (orang-orang musyrik)
secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab.
Jadi firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60 : 10]
Adalah bersifat
umum (‘amm), yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami
bawakan ini adalah bersifat khusus (khash), yang menyatakan halal menikahi
wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang besifat khusus itu wajib didahulukan.
Setelah diskusi singkat ini, jelaslah bagi kita bahwa
semua dalil para ulama yang menyatakan haram menikahi wanita Ahli Kitab adalah
lemah, dan tidak ada satupun dalil yang shahih. Adapun yang lebih rajih
(unggul) adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan halal menikahi
wanita-wanita mereka (Ahli Kitab).
Tetapi di kalangan para ulama yang menyatakan halal
menikahi wanita-wanita Ahli Kitab sendiri, yaitu jumhur ulama, mereka masih
berbeda pendapat tentang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, apakah hukum halal
itu boleh secara muthlak ataukah boleh namun makruh hukumnya?
Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat, yaitu :
a. Pendapat
Pertama.
Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh namun makruh hukumnya. Ini adalah pendapat sebagian madzhab Hanafiyah [Tabyin Al-Haqa-iq Syarh Kanzu Ad-Daqa-iq II/109], pendapat madzhab Malikiyah [Al-Fawakih Ad-Diwani II/43], Syafi’iyah [Takmilah Al-Majmu 16/232], dan Hanabilah [Al-Furu oleh Ibnu muflih V/207].
b. Pendapat Kedua
Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh secara mutlak, tidak makruh sama sekali. Ini adalah pendapat sebagian madzhab Malikiah, di antara mereka ada Ibnu Al-Qasim dan Khalil, dan itu merupakan pendapat imam Malik [Al-Fawakih Ad-Diwani II/43].
c. Pendapat Ketiga
Az-Zarkasyi dari kalangan madzhab Syafi’iyah berkata : “Kadangkala hukumnya menikahi wanita Ahli Kitab bisa sunnah (istihbab), apabila wanita tersebut dapat diharapkan masuk Islam. Pasalnya, ada riwayat bahwa Utsman Radhiyallahu ‘anhu telah menikah seorang wanita Nashrani, kemudian wanita itu masuk Islam dan ke-islamannya pun baik” [Mughni Al-Muhtaj III/187]. Ini adalah pendapat yang marjuh (lemah) dari kalangan madzhab Syafi’iyah.
Sebagai kesimpulan akhir, diperbolehkan
pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita
tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak
agama si suami dan anak-anaknya.
Dan makna bahwa
seorang pria muslim dibolehkan menikahi wanita ahli kitab, adalah bukan wajib dan bukan sunnah, cuma dibolehkan saja.
Dan sebaik-baik wanita yang dinikahi oleh pria muslim tetaplah seorang wanita
muslimah. Wanita ahli kitab di sini yang dimaksud adalah wanita Yahudi dan
Nashrani. Agama Yahudi dan Nashrani dari dahulu dan sekarang dimaksudkan untuk
golongan yang sama dan sama sejak dahulu (di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu wahyu mereka
telah menyimpang.
Catatan penting di sini, jika memang laki-laki muslim boleh menikah dengan
wanita ahli kitab, maka pernikahan tentu saja bukan di gereja. Dan juga ketika
memiliki anak, anak bukanlah diberi kebebasan memilih agama. Anak harus
mengikuti agama ayahnya yaitu Islam.
Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) yang disebut
wanita musyrik, haram untuk dinikahi. Hal ini berdasarkan kesepakatan para
fuqoha. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221) (Lihat Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyah, 2/13333)
Menurut para ulama, laki-laki muslim sama sekali tidak boleh menikahi
wanita yang murtad meskipun ia masuk agama Nashrani atau Yahudi kecuali jika
wanita tersebut mau masuk kembali pada Islam. (Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 2/13334)
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar