Sebagian ulama memiliki pendapat bahwa jika air kurang dari dua qullah dan
kemasukan najis sedikit ataupun banyak, baik airnya berubah atau tidak, maka
air tersebut menjadi najis. Misalnya airnya adalah 5 liter, kemasukan satu
tetes kencing walaupun tidak merubah bau, rasa dan warnanya, maka air tersebut
tetap najis karena air lima liter masih kurang dari dua qullah.
Air dua qullah adalah air seukuran 500 rothl ‘Iraqi yang seukuran 90
mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah sama dengan 93,75
sho’. Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg.
Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5
kg; berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran
air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air
yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1 m x 0,2 m.
Alangkah bagusnya jika kita dapat melihat pembahasan berikut ini.
Hadits Air
Dua Qullah
Adapun hadits mengenai air dua qullah adalah sebagai berikut.
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ
يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi
kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)
Dalam riwayat lain disebutkan,
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ
يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang
menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah dan Ad Darimi)
Dan riwayat yang paling lengkap adalah dari Abdullah bin
Abdullah bin Umar dari bapaknya yaitu Abdullah bin Umar, beliau berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَنِ الْمَاءِ وَمَا يَنُوْبُهُ مِنَ الدَّوَابِّ وَالسِّبَاعِ؟ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَ الْمَاءُقُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya
tentang air yang silih berganti binatang dan binatang buas berdatangan
meminumnya? Jawab beliau: “Apabila air itu sebanyak dua
qullah dia tidak najis.”
Para ulama berselisih mengenai keshahihan hadits air dua qullah. Sebagian
ulama menilai bahwa hadits tersebut mudhthorib (termasuk
dalam golongan hadits dho’if/lemah) baik secara sanad maupun matan (isi
hadits).
Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Ath Thohawiy, Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy dengan sanad yang shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath Thohawiy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An Nawawiy dan Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mayoritas pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan berhujah dengan hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada orang yang mencela (melemahkan) hadits ini.” (Disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/116)
Jika Air
Lebih Dari Dua Qullah
Dari hadits dua qullah ini, secara mantuq (tekstual),
apabila air telah mencapai dua qullah maka ia sulit dipengaruhi oleh najis.
Namun, jika air tersebut berubah rasa, bau atau warnanya karena najis, maka dia
menjadi najis berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).
Misalnya: air bak kamar mandi (jumlahnya kira-kira 300 liter –berarti lebih
dari dua qullah-) kena percikan air kencing, maka air bak tersebut tetap
dikatakan suci karena air dua qullah sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika
kencingnya itu banyak sehingga merubah warna air atau baunya, maka pada saat
ini air tersebut najis.
Inilah mantuq (makna tekstual) dari
hadits di atas. Namun secara mafhum dari hadits ini (makna inplisit yaitu
bagaimana jika air tersebut kurang dari dua qullah lalu kemasukan najis), para
ulama berselisih pendapat. Perhatikan penjelasan selanjutnya.
Jika Air
Kurang Dari Dua Qullah
Sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad dan pengikut mereka
menyatakan bahwa jika air kurang dari dua qullah, air tersebut menjadi najis
dengan hanya sekedar kemasukan najis walaupun tidak berubah rasa, warna atau
baunya.
Jadi menurut pendapat ini, jika air lima liter (ini relatif sedikit)
kemasukan najis (misalnya percikan air kencing), walaupun tidak berubah rasa,
bau atau warnanya; air tersebut tetap dinilai najis. Alasan mereka adalah
berdasarkan mafhum (makna inplisit) dari
hadits dua qullah ini yaitu jika air telah mencapai dua qullah tidak
dipengaruhi najis maka kebalikannya jika air tersebut kurang dari dua qullah,
jadilah najis.
Namun ulama lainnya seperti Imam Malik, ulama Zhohiriyah, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb dan ulama Najd
menyatakan bahwa air tidaklah menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan
najis. Air tersebut bisa menjadi najis apabila berubah salah satu dari tiga
sifat yaitu rasa, warna atau baunya.
Alasan pendapat pertama tadi kurang tepat. Karena ada sebuah hadits yang
menyebutkan,
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
“Sesungguhnya
air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.” [HR. Tirmidzi,
Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani
dalam Misykatul Mashobih no. 478]
Hadits ini secara mantuq (makna
tekstual), air asalnya adalah suci sampai berubah rasa, bau atau warnanya.
Sedangkan pendapat pertama di atas berargumen dengan mafhum (makna inplisit). Padahal para ulama telah
menggariskan suatu kaedah, “Makna mantuq lebih didahulukan
daripada mafhum.” Maksudnya, makna yang dapat kita simpulkan secara
tekstual (mantuq) lebih utama untuk diamalkan daripada makna yang
kita simpulkan secara inplisit (mafhum). Inilah
kaedah yang biasa digunakan oleh para ulama.
Alasan lainnya, hukum itu ada selama terdapat ‘illah (sebab).
Jadi kalau ditemukan sesuatu benda suci berubah rasa, warna dan baunya karena
benda najis, barulah benda suci tersebut menjadi najis. Jika tidak berubah
salah satu dari tiga sifat ini, maka benda suci tersebut tidaklah menjadi
najis. Oleh karena itu, dengan alasan inilah pendapat kedua lebih layak untuk
dipilih dengan kita tetap menghormati pendapat ulama lainnya. Wallahu a’lam bish showab.
Tarjih:
Pertama: Bahwa nabi shallallahu alaihi wasallam
menggantungkan hukum dalam hadits tersebut kepada “membawa najis”. Berarti
apabila air tersebut selama tidak membawa najis tetap di atas kesuciannya.
Kedua: beralasan dengan jumlah dua qullah dalam
hadits tersebut masih diperselisihkan oleh para ulama ushul fiqih, apakah
mafhum jumlah itu bisa dijadikan hujjah atau tidak.
Ketiga: pendapat yang mengatakan bahwa dibawah dua
kullah berarti air akan membawa najis. Ini namanya mafhum mukholafah
(memahami kebalikannya). Dan mafhum mukholafah tidak mempunyai makna umum.
Terlebih bila mafhum bertabrakan dengan mantuq maka mantuq lebih
dikedepankan dari mafhum. Dan mafhum tersebut
bertabrakan dengan mantuq hadits: “air itu thahur tidak
dinajiskan oleh apapun” (HR Abu Dawud).
Keempat: hadits tentang dua qullah itu nabi ucapkan
karena sebab menjawab pertanyaan. Ada orang bertanya bagaimana hukum air yang
berada di padang pasir dan menjadi tempat minum binatang buas. Maka beliau
bersabda: “apabila air mencapai dua qullah…dst“. Sehingga ucapan
Nabi ini tidak bisa dijadikan pengkhususan. Karena para ulama bersepakat bahwa
apabila pengkhususan itu bukan karena sebab pengkhususan hukum maka bukan hujjah.
Maka dapat diambil kesimpulan :
1. Najis atau tidaknya air bukanlah dilihat dari ukuran (sudah mencapai dua
qullah ataukah belum).
2. Jika air lebih dari dua qullah kemasukan najis, lalu berubah salah satu
dari tiga sifat tadi, maka air tersebut dihukumi najis.
3. Begitu pula jika air kurang dari dua qullah. Jika salah satu dari tiga
sifat tadi berubah, maka air tersebut dihukumi najis. Jika tidak demikian, maka
tetap dihukumi sebagaimana asalnya yaitu suci.
Imam Asy Syaukani mengatakan, “Tidak perlu kita perhatikan air
tersebut banyak atau sedikit, dua qullah atau kurang.” –Demikian
perkataan beliau dalam matan Ad Durorul Bahiyah-. Sehingga yang jadi patokan
ketika air kemasukan najis adalah air tersebut berubah bau, rasa, warnanya atau
tidak. Jika berubah karena kemasukan najis, maka air tersebut menjadi najis.
Begitulah ringkasnya.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar