Kita telah mengetahui bersama bahwa di antara syarat sah shalat diharuskan
untuk berwudhu terlebih dahulu atau bersuci secara umum. Untuk berwudhu tentu
saja memerlukan air. Lalu air seperti saja yang boleh digunakan untuk berwudhu
atau mandi besar? Itulah yang akan kami angkat dalam pembahasan kali ini.
Semoga bermanfaat.
Ada Dua
Macam Air
Perlu diketahui bahwa air itu ada dua macam yaitu air muthlaq dan air najis.
Pertama:
Air Muthlaq
Air muthlaq ini biasa disebut pula air thohur (suci
dan mensucikan). Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi
asalnya. Air ini adalah setiap air yang keluar dari dalam bumi maupun turun
dari langit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami
turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al Furqon:
48)
Yang juga termasuk air muthlaq adalah air sungai, air salju, embun, dan air
sumur kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama dibiarkan atau
karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air tersebut tidak disebut
lagi air muthlaq.
Begitu pula yang termasuk air muthlaq adalah air laut.
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ
اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيْلَ مِنَ الْمَاءِ
فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِهِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Dari Abu Hurairah berkata: Telah datang seorang laki-laki
kepada Rasulullah seraya bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
berlayar di lautan dan kami hanya membawa sedikit air, bila kami berwudhu
dengan air tersebut maka kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air
laut? Rasulullah n menjawab: Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya. [HR Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam
Irwa’ul Gholil no. ]
Air-air inilah yang boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi tanpa ada
perselisihan pendapat antara para ulama.
Bagaimana
jika air muthlaq tercampur benda lain yang suci?
Di sini ada dua rincian, yaitu:
1. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci dan jumlahnya sedikit,
sehingga air tersebut tidak berubah apa-apa dan masih tetap disebut air (air
muthlaq), maka ia boleh digunakan untuk berwudhu. Misalnya, air dalam bak yang
berukuran 300 liter kemasukan sabun yang hanya seukuran 2 mm, maka tentu saja air
tersebut tidak berubah dan boleh digunakan untuk berwudhu.
عَنْ أُمِّ
عَطِيَّةَ الأَنْصَارِيَّةِ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ
تُوُفِّيَتْ اِبْنَتُهُ فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ
مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِيْ
الآخِِرَةِ كَافُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ
Dari Ummu ‘Athiyyah Al-‘Anshoriyyah berkata: Rasulullah pernah
masuk pada kami ketika putrinya meninggal dunia seraya bersabda: Bersihkanlah
tiga kali atau lima kali atau lebih bila kalian memandang perlu dengan air dan
daun bidara. Dan campurlah basuhan terakhir dengan kafur (minyak wangi). (HR. Bukhori no.1258 dan
Muslim no.939).
عَنْ أُمَّ
هَانِئٍ قَالَتْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ اغْتَسَلَ هُوَ وَمَيْمُوْنَةُ
مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِيْ قَصْعَةٍ فِيْهَا أَثَرُ الْعَجِيْنِ
Dari Ummu Hani’ berkata: “Saya melihat rasululloh pernah
mandi bersama Maimunah dari satu bejana yang tercampur tepung. (HR. Ibnu Khuzaimah 240,
Nasa’i 240, Ibnu Majah 378).
2. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci sehingga air tersebut
tidak lagi disebut air (air muthlaq), namun ada “embel-embel”
(seperti jika tercampur sabun, disebut air sabun atau
tercampur teh, disebut air teh), maka air
seperti ini tidak disebut dengan air muthlaq sehingga tidak boleh digunakan
untuk bersuci (berwudhu atau mandi).
Kedua: Air
Najis
Air najis adalah air yang tercampur najis dan berubah salah satu dari tiga
sifat yaitu bau, rasa atau warnanya. Air bisa berubah dari hukum asal (yaitu
suci) apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu berubah warna, rasa atau
baunya.
Dari Abu Umamah Al Bahiliy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَاءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ
عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
“Sesungguhnya
air tidaklah dinajiskan oleh sesuatu pun selain yang mempengaruhi bau, rasa,
dan warnanya.”
Tambahan “selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya” adalah tambahan yang dho’if.
Namun, An Nawawi mengatakan, “Para ulama telah sepakat untuk berhukum
dengan tambahan ini.” Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa
air yang sedikit maupun banyak jika terkena najis dan berubah rasa, warna dan
baunya, maka itu adalah air yang najis.” Ibnul Mulaqqin mengatakan, “Tiga
pengecualian dalam hadits Abu Umamah di atas tambahan yang dho’if (lemah). Yang
menjadi hujah (argumen) pada saat ini adalah ijma’ (kesepakatan kaum muslimin)
sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafi’i, Al Baihaqi, dll.” Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka
itu pasti terdapat nashnya (dalil tegasnya). Kami tidak mengetahui terdapat
satu masalah yang telah mereka sepakati, namun tidak ada nashnya.” [Dinukil
dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom]
Intinya, air jenis kedua ini (air najis) tidak boleh digunakan untuk
berwudhu.
Bolehkah
Air Musta’mal Digunakan untuk Bersuci?
Yang dimaksud air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota wudhu orang
yang berwudhu. Atau gampangnya kita sebut air musta’mal dengan air bekas wudhu.
Para ulama berselisih pendapat apakah air ini masih disebut air yang bisa
mensucikan (muthohhir) ataukah tidak.
Namun pendapat yang lebih kuat, air musta’mal termasuk air muthohhir (mensucikan, berarti bisa digunakan
untuk berwudhu dan mandi) selama ia tidak keluar dari nama air muthlaq atau
tidak menjadi najis disebabkan tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga
merubah bau, rasa atau warnanya. Inilah pendapat yang dianut oleh ‘Ali bin Abi
Tholib, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, sekelompok ulama salaf, pendapat yang masyhur
dari Malikiyah, merupakan salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan Imam
Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [Shahih Fiqh Sunnah, 1/104]
Dalil-dalil yang menguatkan pendapat bahwa air musta’mal masih termasuk air
yang suci:
Pertama: Dari Abu
Hudzaifah, beliau berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ
مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk
berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun
menggunakannya untuk mengusap.” [HR. Bukhari no. 187]
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa air
bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah
dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta’mal adalah air yang suci.” [Fathul Bari 1/295]
Kedua: Dari Miswar,
ia mengatakan,
وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –
كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu,
mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan)
bekas wudhu beliau.” [HR. Bukhari no. 189]
Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas digunakan kembali untuk
bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air musta’mal itu najis, lantas kenapa
digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits-hadits ini adalah
bantahan kepada orang-orang yang menganggap bahwa air musta’mal itu najis.
Bagaimana mungkin air najis digunakan untuk diambil berkahnya?” [Fathul Bari, 1/296]
Ketiga: Dari Ar
Rubayyi’, ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ
مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.” [HR. Abu
Daud no. 130]
Keempat: Dari Jabir,
beliau mengatakan,
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى ،
وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ،
فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu
dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.” [HR. Bukhari
no. 194]
Kelima: Dari
‘Abdullah bin ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ
رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki
dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama
lain.” [HR. Bukhari no. 193]
Keenam: Dari Ibnu
‘Abbas, ia menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ
يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya
Maimunah.” [HR. Muslim no. 323]
Ibnul Mundzir mengatakan, “Berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, air
yang tersisa pada anggota badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi
atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci. Oleh karenanya, hal ini
menunjukkan bahwa air musta’mal adalah air yang suci. Jika air tersebut adalah
air yang suci, maka tidak ada alasan untuk melarang menggunakan air tersebut
untuk berwudhu tanpa ada alasan yang menyelisihinya.” [Al Awsath, Ibnul Mundzir, 1/254, Mawqi’ Jaami’ Al
Hadits]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Begitu pula air musta’mal yang
digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.” [Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20/519]
Sedangkan sebagian ulama semacam Imam Asy Syafi’i dalam salah satu
pendapatnya, Imam Malik, Al Auza’i dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya
berpendapat tidak bolehnya berwudhu dengan air musta’mal. [Shahih Fiqh Sunnah, 1/106] Namun pendapat yang
mereka gunakan kurang tepat karena bertentangan dengan dalil-dalil yang cukup
tegas sebagaimana yang kami kemukakan di atas. Wallahu
a’lam.
Catatan: Ada beberapa
hadits yang melarang menggunakan air bekas bersucinya wanita semisal hadits
dari Al Hakam bin ‘Amr. Beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ
يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang berwudhu
dari air bekar bersucinya wanita.” [HR. Abu Daud no. 82]
Agar hadits ini tidak bertentangan dengan hadits, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas
mandinya Maimunah” atau hadits, “Dulu di masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah
menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain”, maka kita bisa
melalui jalan kompromi.
Kita katakan bahwa larangan dalam hadits Al Hakam bin ‘Amr yang dimaksud
adalah larangan tanzih (makruh) dan tidak sampai diharamkan. Jadi menggunakan
air bekas bersucinya wanita dihukumi makruh dan bukan haram. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar