Sudah menjadi hal yang lumrah dalam rumah tangga suami istri melakukan hubungan intim, bahkan itu merupakan hak dan kewajiban diantara keduanya. Disamping untuk menyalurkan syahwat, juga untuk mendapatkan keturunan yang menyemarakkan rumah tangga mereka, serta dalam rangka menjaga pandangan mata.
Kapankah waktu berhubungan intim yang utama sesuai ajaran islam?.
Pertama, ada keadaan dimana seorang
suami dianjurkan untuk mendatangi istrinya. Keadaan itu adalah ketika suami
tidak sengaja melihat wanita dan dia terpikat dengannya. Anjuran ini
berdasarkan hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الْمَرْأَةَ إِذَا أَقْبَلَتْ، أَقْبَلَتْ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا رَأَى
أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَعْجَبَتْهُ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ
الَّذِي مَعَهَا
Wanita itu, ketika dilihat seperti setan
(punya kekuatan menggoda). Karena itu, jika ada lelaki melihat wanita yang
membuatnya terpikat, hendaknya dia segera mendatangi istrinya. Karena apa yang
ada pada istrinya juga ada pada wanita itu. (HR. Turmudzi 1158, Ibnu Hibban 5572,
ad-Darimi dalam Sunannya 2261, dan yang lainnya. Sanad hadis ini dinilai shahih
oleh Syuaib al-Arnauth).
Dalam riwayat lain di shahih Muslim, dari
sahabat Jabir, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا
أَحَدُكُمْ أَعْجَبَتْهُ الْمَرْأَةُ، فَوَقَعَتْ فِي قَلْبِهِ، فَلْيَعْمِدْ
إِلَى امْرَأَتِهِ فَلْيُوَاقِعْهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
”Jika ada lelaki yang terpikat dengan
seorang wanita, hingga membuat dia jatuh cinta, hendaknya dia segera mendatangi
istrinya dan melakukan hubungan dengannya. Dengan ini akan menghilangkan
perasaan cinta dalam hatinya.” (HR. Muslim 1403).
An-Nawawi mengatakan,
ومعنى
الحديث أنه يستحب لمن رأى امرأة فتحركت شهوته أن يأتي امرأته أو جاريته إن كانت له
فليواقعها ليدفع شهوته وتسكن نفسه ويجمع قلبه على ما هو بصدده
Makna hadis, bahwa dianjurkan bagi
lelaki yang melihat wanita, kemudian syahwatnya naik, agar dia segera
mendatangi istrinya atau budaknya, jika dia punya budak, hingga dia melakukan
hubungan badan dengannya. Agar bisa menahan syahwatnya dan jiwanya menjadi
tenang, sehingga hatinya bisa kembali konsentrasi dengan tugasnya. (Syarh
Shahih Muslim an-Nawawi, 9/178)
Kedua, mengenai waktu khusus yang berisi
anjuran untuk melakukan hubungan badan, kami tidak menjumpai adanya dalil yang
menjelaskan hal ini. Namun terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bagaimana
kebiasaan orang soleh masa silam dalam memilih waktu untuk melakukan hubungan
badan.
Berikut diantaranya,
1. Tiga waktu aurat
Yang dimaksud tiga waktu aurat adalah
sebelum subuh, siang hari waktu dzuhur, dan setelah isya.
Allah berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ
صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ
صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ
جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum
balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari)
yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di waktu
dzuhur dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga waktu aurat bagi kamu. tidak ada
dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. (QS. An-Nur: 58).
Diriwayatkan dari Muqatil bin Hayan,
beliau menceritakan sebab turunnya ayat ini,
Ada pasangan suami istri di kalangan
anshar, yang dia sering membuatkan makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Suatu ketika budaknya masuk ke kamar menemui mereka tanpa izin di
waktu yang mereka tidak sukai untuk ditemui. Sang istripun melaporkan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يا رسول
الله، ما أقبح هذا! إنه ليدخل على المرأة وزوجها وهما في ثوب واحد
”Wahai Rasulullah, betapa buruknya sikap
orang ini. Dia menemui seorang wanita ketika dia sedang berduaan bersama
suaminya dalam satu selimut.” Kemudian Allah menurunkan ayat di atas. (Tafsir Ibn Katsir, 6/83).
Allah menurunkan syariat agar anak yang
belum baligh, atau budak yang tinggal bersama tuannya, untuk tidak masuk ke
kamar pribadi orang tuanya atau kamar tuannya pada tiga waktu khusus tanpa
izin. Tiga waktu itu Allah sebut sebagai waktu aurat, karena umumnya, mereka
sedang membuka aurat di tiga waktu itu.
Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari
as-Sudi,
كان أناس
من الصحابة، رضي الله عنهم، يحبون أن يُوَاقعوا نساءهم في هذه الساعات ليغتسلوا ثم
يخرجوا إلى الصلاة، فأمرهم الله أن يأمروا المملوكين والغلمان ألا يدخلوا عليهم في
تلك الساعات إلا بإذن
”Dulu para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
mereka terbiasa melakukan hubungan badan dengan istri mereka di tiga waktu
tersebut. Kemudian mereka mandi dan berangkat shalat. Kemudian Allah perintahkan
agar mereka mendidik para budak dan anak yang belum baligh, untuk tidak masuk
ke kamar pribadi mereka di tiga waktu tersebut, tanpa izin. (Tafsir Ibn Katsir,
6/83).
2. Setelah Tahajud
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memiliki kebiasaan tidur di awal malam, untuk bisa bangun di pertengahan atau
sepertiga malam terakhir, melakukan shalat tahajud. Aisyah menceritakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati istrinya setelah tahajud.
Dari al-Aswad bin Yazid, bahwa beliau pernah bertanya kepada A’isyah
radhiyallahu ‘anha tentang kebiasaan shalat malamnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Keterangan A’isyah radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ
يَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ ثُمَّ يَقُومُ، فَإِذَا كَانَ مِنَ السَّحَرِ أَوْتَرَ،
ثُمَّ أَتَى فِرَاشَهُ، فَإِذَا كَانَ لَهُ حَاجَةٌ أَلَمَّ بِأَهْلِهِ، فَإِذَا
سَمِعَ الْأَذَانَ وَثَبَ، فَإِنْ كَانَ جُنُبًا أَفَاضَ عَلَيْهِ مِنَ الْمَاءِ،
وَإِلَّا تَوَضَّأَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidur di awal malam, kemudian bangun tahajud. Jika sudah memasuki waktu
sahur, beliau shalat witir. Kemudian kembali ke tempat tidur. Jika beliau ada
keinginan, beliau mendatangi istrinya. Apabila beliau mendengar adzan, beliau
langsung bangun. Jika dalam kondisi junub, beliau mandi besar. Jika tidak
junub, beliau hanya berwudhu kemudian keluar menuju shalat jamaah. (HR. an-Nasai 1680 dan dishahihkan
al-Albani)
Berdasarkan keterangan A’isyah di atas,
sebagian ulama lebih menganjurkan agar hubungan badan dilakukan di akhir malam,
setelah tahajud, dengan pertimbangan,
Mendahulukan hak Allah, dengan beribadah
kepadanya dalam kondisi masih kuat.
Menghindari tidur ketika junub, karena
bisa langsung mandi untuk shalat subuh.
Di awal malam umumnya pikiran penuh, dan
di akhir malam umumnya pikiran dalam keadaan kosong.
Ketika menjelaskan hadis ini, Mula Ali
Qori mengutip keterangn Ibnu Hajar yang menjelaskan,
تأخير
الوطء إلى آخر الليل أولى؛ لأن أول الليل قد يكون ممتلئا ، والجماع على الامتلاء
مضر بالإجماع على أنه قد لا يتيسر له الغسل فينام على جنابة وهو مكروه
Mengakhirkan hubungan badan hingga akhir
malam itu lebih baik. Karena di awal malam terkadang pikiran orang itu penuh.
Dan melakukan jima di saat pikiran penuh, bisa jadi membahayakan dengan sepakat
para ahli, karena bisa jadi dia tidak bisa mandi, sehingga dia tidur dalam
kondisi junub, dan itu hukumnya makruh. (Mirqah al-Mashabih, 4/345).
Semua keterangan di atas hanya
menyebutkan kebiasaan mereka. Dan semata tradisi yang terkait adat atau
kebutuhan fisik seseorang, tidak bisa dijadikan acuan bahwa itu sunah atau
dianjurkan. Karena itu, pertimbangan yang disebutkan oleh Ibnu Hajar hanya
pertimbangan terkait dampak baik ketika hubungan badan diakhirkan hingga
mendekati sahur. Dengan demikian, kesimpulan yang bisa kita berikan, bahwa
dalam masalah ini tidak ada acuan baku, sehingga dikembalikan kepada kebutuhan
dan kebiasaan masyarakat.
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar