Najis
adalah setiap benda yang dianggap kotor oleh syar’i.
SYARAT NAJIS
Sesuatu
itu dihukum najis bila memenuhi tiga syarat:
Pertama: merupakan sebuah benda
Sesuatu
yang tidak ada wujudnya tidak mungkin dianggap sebagai najis. Oleh karena itu,
angin kentut tidak najis meskipun keluar dari dubur sebab ia tanpa wujud.
Kedua: kotor atau menjijikan
Pada
dasarnya, sesuatu yang najis adalah sesuatu yang kotor atau menjijikan. Namun
demikan, tidak semua yang dianggap kotor dipastikan najis, hal ini dikarenakan
cara pandang manusia terhadap benda tertentu kotor atau bukan bias berbeda.
Ketiga: yang menganggap kotor adalah syar’i
Yang
dijadikan patokan untuk menganggap kotornya sebuah benda adalah syar’i. Tidak
semua yang kotor dalam pandangan manusia mesti menjadi sesuatu yang najis.
Contoh:
kotoran keringat, debu, atau lumpur sawah yang menempel di baju atau badan
dianggap sesuatu yang kotor. Namun, itu semua
bukanlah sesuatu yang najis.
Oleh
karena itu, tidak boleh menganggap najis sebuah benda meskipun kotor melainkan
terdapat dalil yang shahih dari al Qur’an maupun as Sunnah yang menajiskannya.
Karena, pada asalnya segala sesuatu itu suci sampai ada dalil yang
menajiskannya.
MACAM NAJIS
Benda
najis ada dua macam, yaitu:
Pertama: Zatnya memang najis, seperti: daging
babi, air kencing, berak manusia, dan yang semisalnya. Najis jenis ini tidak
bias disucikan dengan cara apa pun. Seandainya ada seorang yang berusaha
mencuci daging babi dengan cara apa pun maka tidak mungkin bias menjadikannya
suci. Kecuali, dengan satu cara yang juga masih diperselisihkan para ulama
yaitu istihlah (perubahan wujud menjadi benda lainnya). Dan insya Allah aka
kita bahas dalam kaidah lainnya.
Kedua : Zatnya suci namun terkena benda najis
sehingga menjadi najis.
Najis
kedua inilah yang menjadi letak pembahsan kaidah ini.
MAKNA KAIDAH
Jadi,
makna kaidah ini adalah:
Setiap
benda yang najis apabila telah hilang unsur kenajisannya dengan hilangnya bau,
rasa dan warnanya, maka hilang pula hukum kenajisannya secara mutlak, baik itu
menggunakan cara apa pun, dan dibersihkan berapa kali pun.
PERINCIAAN
Perinciannya
adalah sebagai berikut:
Pertama: Jika ada sebuah benda najis yang
dibersihkan menggunakan air sehingga hilang unsur kenajisannya, maka benda
tersebut menjadi suci. Mencucinya bias dengan cara apa pun baik dikucek dengan
tangan atau pun menggunakan mesin cuci. Mencucinya berap kali pun baik satu
kali, dua kali, maupun tiga kali; ataupun lebih dari itu.
Tidak
dikecualikan satu pun dari masalah ini kecuali anjing yang harus dicuci
sebanyak tujuh kali, yang pertama menggunakan tanah.
Dari
Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda,”Apabila
ada anjing yang menjilat bejana satu dari kalian maka cucilah tujuh kali yang
pertama dengan tanah.”(HR. Bukhari-Muslim)
Air
adalah alat untuk bersuci baik dari najis maupun hadats. Bayak dalil dari al
Qur’an dan as Sunnah yag menjelaskannya. Diantaranya adalah firman Allah:
Dan Kami menurunkan air hujan dari langit suci dan menyucikan. (Qs. Al furqan : 48)
Juga
FirmanNya:
Dan Allah menurunkan air dari langit untuk menyucikan kalian dengannya. (Qs. Al Anfal : 11)
Dan
Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Air itu suci menyucikan,
tidak yang menajiskannya.” (HR. Abu Dawud, lihat al Irwa’ 14)
Kedua: sebuah benda najis khusus yang
dibersihkan menggunakan selain air, dan itu disebutkan oleh sebua dalil khusus
mengenainya, maka ia pun suci meskipun tidak menggunakan air.
Contoh:
Membersihkan
ujung bagian bawah pakaian wanita yang terkena najis, bias disucikan hanya
dengan dibuat berjalan ditempat yang suci. Sebagaimana hadits:
Dari
Ummu Walad Ibrahim bin Abdirrahman bin Auf bahwsanya dia bertanya kepada Ummu
Salamah Isteri Nabi, Dia berkata, ”Saya seorang wanita yang memanjangkan
ujung bawah pakaian saya dan saya gunakan berjalan di tempat yang kotor (najis).”
Maka Ummu Salamah berkata, ”Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Bisa
disucikan oleh yang setelahnya”. (Shahih. HR. Ahmad)
Membersihkan bagian bawah sandal atau sepatu yang terkena
najis, maka cukup menggosokkannya dengan tanah, sebagaimana hadits:
Dari
Abu sa’id Al Khudri bahwasanya Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam melepas
kedua sandalnya, maka para sahabat melepas sandal mereka. Maka saat selesai
shalat beliau berkata, ”Kenapa kalian melepas sandal kalian?” Para sahabat
menjawab, ”Ya Rasulullah, kami meihat Anda melepas sandal, maka kami pun
melepas sandal kami.” Maka Rasulullah shallahu’alahi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya
jibril dating kepadaku dan memberitahukan kepadaku bahwa sandalku ada najisnya.
Karena itu, apabila salah satu dari kalian dating ke masjid maka hendaknya dia
balik sandalnya dan lihatlah, apabila ada benda najis maka usaplah dengan tanah
dan silahkan gunakan unutk shalat,” (HR. Ahmad di takhrij dalam al Irwa’)
Semua
ini, dan yang semisalnya, meskipun tidak menggunakan air, ada dalil khusus yang
menerangkan bahwa cara tersebut bias digunakan untuk menyucikan benda najis,
maka itu sudah cukup. Meskipun demikian, jika dicuci dengan air maka itu pun
juga bias menyucikan najis tersebut bahkan lebih bersih.
Ketiga: Menyucikan benda najis dengan selain
air, dan tidak ada dalil khusus yang menunjukkan akan hal tersebut, tetatpi
dengan cara menyucikan semacam itu bias menghilangkan unsure kenajisannya baik
bau, rasa, maupun warnanya.
Contoh:
Baju terkena kencing orang dewasa, lalu dibersihkan menggunakan bensin sehingga
unsur najisnya hilang. Apakah hal ini bisa dianggap telah suci ataukah belum?
Terdapat
perselisihan di kalangan para ulama mengenai hal ini:
Sebagian
ulama mengatakan bahwa selain yang disebutkan secara khusus oleh dalil shahih,
maka menyucikan sesuatu yang najis menggunakan air. Selainnya tidak bias
menyucikan. Maka Inilah madzhab Imam Malik, Ahmad, dan salah satu riwayat dari
Imam Syafi’I dan dikuatkan oleh Imam Syaukani. Mereka berhujjah dengan
dalil-dalil di atas yang mana Allah menyebutkan bahwa air adalah alat untuk
menyucikan, dan praktik Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam yang menyucikan
sesuatu dengan menggunakan air.
Imam
Syaukani berkata,”Hukum asalnya menyucikan benda najis harus menggunakan air,
karena Allah dan RasulNya menyebutnya sebagai benda yang suci dan menyucikan.
Maka tidak boleh berpindah pada yang lainnya kecuali yang telah shahih dari
syar’I, jika tidak ada dalil khusus maka tidak boleh, karena itu berarti
berpindah dari sesuatu yang diketahui sebagai sesuatu yang menyucikan kepada
yang tidak diketahui, dan itu berarti keluar dari cara-cara syar’i.” (lihat As
Sailul Jarrar 1/49)
Namun
sebagian ulama lainnya, diantaranya Imam Abu Hanifah, salah satu riwayat Imam
Malik dan Ahmad, dan madzhab qadim dari Imam Syafi’i. ini juga pendapat yang
dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu
Utsaimin, dan lain-lainnya. Mereka berpendapat bahwa dengan cara apa pun baik
menggunakan air ataukah bukan, baik dicuci atau bukan, yang penting bias
menghilangkan unsur kenajisannya maka dianggap telah suci. Dan insya Allah
pendapat ini yang lebih shahih dan lebih kuat, serta inilah yang ditunjukkan
oleh kaidah di atas berdasarkan beberapa dalil berikut ini:
1.Bahwasanya
syari’at islam membolehkan membersihkan benda najis dengan selain air,
terkadang dengan batu waktu istinja’, kadang dengan tanah seperti najis pada
sandal, terkadang disamak seperti pada kulit bangkai binatang, dan lainnya.
Semua ini menunujukkan bahwa yang
diinginkan syari’at bukan alat pembersihnya, melainkan kesucian benda itu sendiri
meski menggunakan alat apa pun.
2.Menghilangkan
najis itu bukan menjalankan perintah, melainkan untuk menghindarkan dari
perkara yang terlarang. Oleh karena itu, niat tidak dibutuhkan. Demikian juga,
tidak ditentukan alat khusus untuk menyucikannya.
3.Meskipun
air adalah alat yang disebutkan syari’at sebagai alat pembersih, bukan berarti
syari’at mengkhususkan air saja. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hanya
air saja yang bias digunakan sebagai alat pembersih. Bahkan fakta di lapangan
menunjukkan bahwa beberapa benda kimiawi modern terkadang bias membersihkan
benda kotor atau najis lebih bersih dibanding dengan air.
Wallahu’alam.
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Berdasarkan
pada pendapat yang rajih di atas dan yang sesuai dengan kaidah, banyak hal yang
menjadi penerapannya. Di antaranya:
1.Tanah
yang terkena air kencing lalu dibiarkan sampai kering dan hilang unsur
kenajisan, maka tanah itu menjadi suci. Namun demikian, jika berkeinginan untuk
mempercepat kesuciannya maka biaa diguyur menggunakan air sebagaimana perbuatan
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam terhadap kencing seorang arab baduwi di
pojok masjid.
2.Mencuci
dengan dry clean yang hampir tidak menggunakan air karena air yang dipakai
sangat sedikit, maka itu pun dianggap telah suci, karena unsur kenajisannya
telah hilang.
(Lihat
Syarhul Mumti 1/423-426 oleh syaikh Ibnu Utsaimin)
Disalin
dari majalah al Furqon edisi 7 tahun 8 penulisnya al Ustadz Ahmad
Sabiq-hafidzallah-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar