Batasan Yatim Menurut Para Ulama Dan Anjuran Berbuat Ihsan Kepada Mereka
Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal
sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih
ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang
tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh
Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
كَافِلُ
الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ
وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia
(kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik
bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya”. [HR Muslim, no. 2.983]
Beliau hafizhahullah berkata, “Makna (لَهُ أوْ
لِغَيْرِهِ
) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk)
kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun
pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu a’lam.”
[Bahjatun Nazhirin I/350]
Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu
mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama,
atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan
seorang anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah
mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahju.
لاَ
يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ
“Tidak ada keyatiman setelah baligh ……” [Sunan Abu Dawud, no. 2.873] Lihat
Tafsir Ibni Katsir (II/ 215), tafsir ayat ke 6 dari surat An Nisa’.
Kerabat ataupun keluarga serta pihak-pihak yang memiliki hubungan
dengannya lebih berhak untuk berbuat baik kepada si yatim, memenuhi kebutuhannya,
mendidik serta mengarahkannya, mengasihi, mengayomi, menyayanginya serta
mengasuhnya hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik dan matang, serta siap
menghadapi hidup ketika ia telah dewasa. Meski demikian, syari’at Islam yang
sempurna, tidak hanya membatasi kewajiban berbuat ihsan kepada anak yatim hanya
pada kerabatnya saja, namun kewajiban ini juga berlaku umum bagi setiap kaum
muslimin sesuai dengan kadar kemampuan mereka.
Banyak nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim
dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di
antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَسْئَلُونَكَ
عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi
urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka
mereka adalah saudaramu”. [al Baqarah : 220].
Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
rahimahullah berkata: Ketika turun ayat
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim,
sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala”. [an Nisa’: 10].
Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat)
segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena khawatir akan
memakan harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa menggabungkan harta
mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam kepengasuhannya, Pen).
Mereka kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
hal itu, maka Allah memberi khabar kepada mereka, bahwa maksud (ayat tersebut)
adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, dengan cara menjaga harta
tersebut dan mengembangkannya dalam perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka
dengan harta anak yatim dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya
boleh, asalkan tidak merugikan sang yatim. Kerena mereka itu adalah saudara
kalian juga. Dan (sudah menjadi keumuman), jika saudara bergaul dan berbaur
dengan saudaranya sendiri. Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (sang
pengasuh yatim). Allah Maha mengetahui siapa yang berniat untuk berbuat baik
kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan harta
yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa ada maksud demikian, maka
ia tidak berdosa.
Allah Maha mengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan
harta tersebut, yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia memakannya. Demikian
inilah yang berdosa. Karena washilah (sarana) memiliki hukum yang sama dengan
maksud (tujuannya). [Taisir Karimir Rahman I/ 211]
Dalam satu haditsnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أنا
وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَ أشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ الوُسْطَى
وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا
“Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua
jari ) ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari
tengahnya dan memisahkan keduanya”. [HR Bukhari (9/ 439-Fathu Al Bari)]
Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat
gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di surga nanti
mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Metode Dan Sarana Tarbiyyah Bagi Anak Yatim
Anak-anak yatim memerlukan pendidikan dan tarbiyyah yang lebih spesifik
dibanding anak-anak lainnya. Hal ini mengingat kondisi mereka yang kehilangan
unsur-unsur esensial yang mereka butuhkan dalam hidup.
Diantaranya ialah kasih sayang orang tua. Oleh karena itu, hal pertama
yang mereka butuhkan ialah kepuasan terhadap rasa kasih sayang, terpenuhinya
perasaan aman, serta kehadiran sosok pengasuh pengganti orang tuanya yang mampu
memberikan pengarahan dan bimbingan untuknya, memenuhi segala kebutuhan jasmani
dan rohaninya. Mereka juga membutuhkan dorongan motivasi untuk ikut berkembang
dalam lingkungan masyarakat sebagaimana umumnya anak-anak yang lain. Para yatim
adalah anak-anak yang kehilangan unsur- unsur kekuatan hidup mereka. Mereka kehilangan
muara kasih sayang hakiki dengan meninggalnya orang tua.
Untuk itu, Islam mendorong setiap muslim untuk memenuhi kebutuhan
anak-anak yatim dan menjanjikan pahala yang agung bagi siapa saja yang berbuat
baik kepada mereka.
Kondisi anak-anak yatim pun berbeda antara satu dengan lainnya. Di antara
mereka ada yang kehilangan salah satu saja dari orang tuanya, yakni ibu atau
bapaknya. Dalam kondisi semacam ini, biasanya mereka lebih mudah diarahkan
dalam lingkungan yang baru, yaitu ketika orang tuanya (ibu atau bapaknya) yang
masih hidup telah menikah lagi, kemudian ia memiliki saudara-saudara baru yang
nantinya akan ikut berkembang bersama dengannya, dengan syarat orang tuanya
tersebut menikah dengan duda atau janda yang telah memiliki anak-anak juga. Dengan
mencurahkan segenap kesungguhan untuk memelihara mereka, insya Allah anak-anak
yatim tersebut akan tumbuh dan berkembang tanpa adanya permasalahan psikis yang
cukup serius. Tentunya, hal ini terkait juga dengan din kedua orang tuanya.
Artinya selama kedua orang tuanya itu konsisten dengan ajaran-ajaran Islam, dan
mereka meluruskan niat dalam mengasuh anak-anak mereka, niscaya anak-anak
mereka akan tumbuh normal sebagaimana layaknya anak-anak yang lain, dengan
taufik dari Allah. Jika tidak, tentunya usaha untuk mengarahkan anak yatim
tersebut menjadi anak yang baik akan menemui banyak kendala, karena din adalah
muara kebaikan bagi segala urusan hidup manusia.
Di antara mereka juga ada yang kehilangan ayahnya, sedangkan mereka
memiliki kakak laki-laki yang mampu mengasuh dan mendidik mereka. Dalam keadaan
seperti ini, sang kakak menggantikan posisi ayahnya, dengan syarat ia memiliki
kepribadian kuat serta teguh pendirian; karena mengasuh anak-anak yatim
bukanlah suatu pekerjaan ringan, dan tanggung jawabnya teramat besar. Bagi ibu
dari anak-anak yatim tersebut, semestinya memberikan penghormatan kepada sang
kakak, bahu-membahu bersamanya dalam mendidik anak-anaknya, serta mempercayakan
kepemimpinan keluarga kepada sang kakak secara kongkrit. Hal yang demikian ini,
memberikan efek kepada adik-adiknya yang yatim untuk tunduk terhadap perintah
sang kakak, dan secara bersamaan juga kepekaan dan tanggung jawab sang kakak
sebagai pengganti ayah akan tebentuk, sehingga ia terbiasa dan lebih memiliki
kepercayaan diri untuk mengasuh dan mendidik adik-adiknya. Seorang ibu,
meskipun ia memiliki kekuasaan untuk memerintah anak-anaknya, namun jika
anak-anaknya itu telah menginjak masa dewasa, mereka tetap membutuhkan sosok
pembimbing lain selain ibu, yakni sosok pemimpin laki-laki yang mampu
mengarahkan mereka yang tidak lain adalah kakaknya tadi.
Diantara mereka ada pula yatim yang kehilangan salah satu dari orang
tuanya karena perceraian, atau pun kepergian orang tua yang sangat lama, atau
karena orang tuanya sakit, kemudian sang ibu tidak menikah lagi dan memilih
tinggal bersama keluarganya sedangkan ia memiliki beberapa anak. Dalam kondisi
seperti ini, sang yatim membutuhkan sosok pendidik lain, yaitu semisal kakek
atau pamannya. Dan selayaknya, bagi ibu untuk memberikan kepercayaan kepada
kakek atau paman dalam perkara-perkara penting, jika anak-anaknya telah tumbuh
besar dan mereka tidak sepenuhnya lagi berada dalam kekuasaan sang ibu.
Pengarahan kakek atau paman sangat berpengaruh bagi mereka, karena laki-laki pada
umumnya lebih tegas dan berakal panjang dibandingkan wanita.
Berikut ini kami paparkan beberapa point yang memuat metode tarbiyyah bagi
anak yatim. Di antaranya ialah sebagai berikut :
1. Hendaknya sosok pendidik pengganti orang tua yang meninggal itu
memiliki kemampuan untuk mengarahkan anak yatim, mampu mengemban tanggung jawab
pendidikan mereka dan memahami dengan baik dan sempurna tentang problematika
anak yatim serta hukum-hukumnya. Juga mampu memenuhi kebutuhan mereka akan
kasih sayang dan cinta kasih, dan tidak membedakan anak-anak yatim itu antara
yang satu dengan lainnya.
2. Adanya tekad yang kuat dan niat yang lurus dari pemelihara yatim
tersebut untuk mendidik mereka, karena banyak pemelihara yatim yang meremehkan
masalah ini serta menzhalimi hak mereka. Sewajibnya bagi pemelihara anak yatim
untuk memperlakukan mereka sebagaimana layaknya mereka memperlakukan anak-anak
mereka sendiri.
3. Memberikan waktu luang dan kesempatan yang cukup bagi sang yatim untuk
bergaul dengan anak-anak lainnya. Sebisa mungkin dihindari hal-hal yang bisa
menimbulkan kegoncangan jiwa bagi mereka, serta menjauhi sikap memata-matai
mereka dalam setiap urusan, agar mereka merasa diberi kepercayaan untuk
mengurusi urusannya sendiri. Dengan demikian, akal dan dan fungsi sosialnya
akan berkembang. Sedangkan kewajiban ibu adalah memberikan pemahaman tentang
tanggung jawab hidup kepada anak ketika mereka menginjak usia dewasa, fahamkan
bahwa mereka adalah generasi harapan ibunya. Dengan cara ini, ibu turut
membantu anak untuk mencapai kematangan dan kedewasaan dalam bertindak, serta
kemapanan dalam berpikir untuk menghadapi hidup.
4. Dalam kondisi perceraian, hendaklah kedua orang tua bertindak dengan
penuh bijaksana dan sarat dengan kematangan jiwa, hingga anak dapat tumbuh
lurus tanpa adanya tekanan ataupun gangguan psikhis lainnya. Selayaknya mereka
saling memberikan dan menunjukkan pengormatan kepada mantan pasangan,
menghindari sejauh-jauhnya saling cela dan tuduh satu dengan lainnya serta
tidak membeberkan seluruh konflik yang terjadi di antara mereka berdua kepada
sang anak. Dengan cara seperti ini, kebutuhan anak akan kebahagiaan yang berhak
ia dapatkan dari kedua orang tuanya akan senantiasa tercukupi, serta hak kedua
orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak mereka tetap terjaga, karena sikap
mulia dan perwira dari kedua orang tuanya yang saling menghormati satu dengan
lainnya meski dalam kondisi perceraian, akan terekam kuat dalam memori sang
anak. Sang anak akan tetap menghormati kedua orang tuanya, karena hal itu ia
lihat dari sikap kedua orang tuanya dalam wujud nyata. Dan sebaliknya, jika
kedua orang tua saling cela dan menyalahkan satu sama lainya, saling
membeberkan kejelekan pasangannya di hadapan sang anak, hal ini akan merusak
kepercayaan dan penghormatan sang anak kepada kedua orang tuanya sekaligus,
sehingga ia tidak lagi mau menghormati kedua orang tuanya serta sulit untuk
menerima arahan dan bimbingan dari keduanya.
Ancaman Bagi Pemakan Harta Anak Yatim Dengan Zhalim
Para yatim adalah golongan dhu’afa (kaum lemah) yang sangat membutuhkan
tangan-tangan penuh kasih, yang mau mengayomi mereka, membimbing dan menjaga
mereka dari ketergelinciran yang akan mencelakakan hidup mereka. Maka selayaknya
bagi setiap wali dan pihak-pihak yang diberi amanah mengurusi mereka untuk
selalu mengontrol hati mereka, senantiasa meluruskan niat demi meraih keridhaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menjauhi sikap mengkhianati amanah,
berbuat zhalim dan semena-mena terhadap anak yatim.
Berbuat zhalim kepada mereka merupakan dosa besar yang diancam dengan
siksa neraka. Adzab memakan harta anak yatim secara zhalim terkadang langsung
Allah berikan di dunia. Mungkin para yatim yang lemah itu, tidak bisa membalas
kezhaliman yang mereka terima, tidak bisa menuntut haknya yang dirampas secara
semena-mena. Namun janganlah kita lupa, Allah-lah yang menjadi penolong mereka.
Hendaklah kita takut terhadap adzab Allah yang mungkin datang secara tiba-tiba
dan kita ditimpa su’ul khatimah disebabkan kezhaliman kita, wal’iyadzubillah.
Telah banyak nash-nash syar’i yang menjelaskan keharaman memakan harta
anak yatim secara zhalim. Seluruh nash-nash tersebut datang dengan shighat
tahrim (konteks pengharaman atau larangan) yang sangat tegas. Di antara
nash-nash tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An Nisa’
di atas:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim,
sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala”. [an Nisa’: 10]
Tentang tafsir ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
berkata, ”Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا
“Yaitu mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar. Batasan ini,
(yaitu secara zhalim) mengeluarkan masalah sebelumnya, yaitu bolehnya memakan
harta anak yatim bagi (pemelihara mereka ) yang faqir dengan cara yang ma’ruf,
serta bolehnya mencampurkan makanan mereka dengan makanan para yatim”.
Barangsiapa yang memakannya secara zhalim, maka (sebenarnya mereka menelan
api sepenuh perutnya), yaitu sesungguhnya yang mereka makan hakikatnya adalah
api neraka yang menyala-nyala di dalam perut mereka, dan mereka sendiri yang
memasukkan api tersebut ke dalam perutnya. وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرً
(dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala), yaitu api yang membakar
dan menyala-nyala. Ini merupakan ancaman yang sangat berat bagi dosa-dosa, yang
menunjukkan keburukan memakan harta anak yatim, dan ia menjadi penyebab masuk
neraka. Hal itu menunjukkan jika perbuatan itu termasuk salah satu dari
dosa-dosa besar. Kita memohon keselamatan kepada Allah.” [Taisir Karimir Rahman
I/384-385]
Kemudian firmanNya dalam surat Al Ma’un:
أَرَءَيْتَ
الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik
anak yatim” . [al Ma’un : 1-2]
Imam Al Mufassir Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Allah
Ta’ala berfirman: Apakah engkau tahu wahai Muhammad, (siapakah) yang mendustakan
din? (Din) adalah (hari) kembalinya manusia, balasan serta pahala, فَذَلِكَ
الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
(yaitu orang-orang yang menguasai anak yatim), menzhalimi haknya, tidak
memberinya makan dan tidak berbuat baik kepadanya” [Tafsir Al Qur’an Al Azhim
8/493]
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kepada kaum
mu’minin, berbuat zhalim kepada anak yatim merupakan sifat orang-orang yang
mendustakan agama. Mereka akan dibalas atas kezhaliman tersebut dengan siksa
yang amat keras. Wal’iyadzu billah.
Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
اجْتَنِبُوا
السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ
الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي
يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Para sahabat
bertanya, ”Wahai, Rasulullah! Apakah perkara-perkara itu?” Beliau
menjawab, ”Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim,
lari dari medan perang, serta menuduh wanita merdeka yang menjaga diri lagi
beriman dan tidak berbuat kekejian”. [HR Bukhari (5/393-Al Fath) dan Muslim 89]
Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dengan jelas
tersurat bahwa memakan harta anak yatim termasuk dari tujuh perkara yang
membinasakan. Konteks larangan tersebut datang dengan lafazh ( اجْتَنِبُوا ). Hal ini menunjukkan
keharaman yang lebih tegas daripada sekedar lafazh nahyi (larangan). Wallahu
a’lam.
Demikian sedikit pembahasan berkenaan dengan anak yatim. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hambaNya yang
menunaikan amanah. Wallahu waliyyu at taufiiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar