Apa saja amalan shalih yang bisa dilakukan saat turun
hujan? Berikut penjelasan ulama.
Segala puji bagi Allah, pada saat ini
Allah telah menganugerahkan kita suatu karunia dengan menurunkan hujan melalui
kumpulan awan. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَرَأَيْتُمُ
الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ أَأَنْتُمْ
أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ
”Maka terangkanlah kepadaku tentang air
yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?” (QS. Al Waqi’ah [56] : 68-69)
Begitu juga firman Allah Ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا
مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا
”Dan Kami turunkan dari awan air yang
banyak tercurah.” (QS. An Naba’ [78] : 14)
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَتَرَى
الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ
”Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar
dari celah-celahnya.” (QS. An Nur [24] : 43) yaitu dari celah-celah awan.
Merupakan tanda kekuasaan Allah Ta’ala,
kesendirian-Nyadalam menguasai dan mengatur alam semesta, Allah menurunkan
hujan pada tanah yang tandus yang tidak tumbuh tanaman sehingga pada tanah
tersebut tumbuhlah tanaman yang indah untuk dipandang. Allah Ta’ala telah
mengatakan yang demikian dalam firman-Nya,
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ
اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah)
bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di
atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang
menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39). Itulah hujan, yang Allah turunkan untuk
menghidupkan tanah yang mati. Sebagaimana pembaca dapat melihat pada daerah
yang kering dan jarang sekali dijumpai air seperti Gunung Kidul, tatkala hujan
itu turun, datanglah keberkahan dengan mekarnya kembali berbagai tanaman dan
pohon jati kembali hidup setelah sebelumnya kering tanpa daun. Sungguh ini
adalah suatu kenikmatan yang amat besar.
Berikut beberapa amalan shalih saat
turun hujan:
[1] Keadaan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam Tatkala Mendung
Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam begitu khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan
kemurkaan Allah. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى نَاشِئاً فِي أُفُقٍ
مِنْ آفَاِق السَمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ- وَإِنْ كَانَ فِي صَلَاةٍ- ثُمَّ
أَقْبَلَ عَلَيْهِ؛ فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهَ، وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ:
“اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً”
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, pen) di salah satu
ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya –meskipun dalam shalat- kemudian
beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, pen). Ketika awan
tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau
mengucapkan, “Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah jadikanlah hujan
ini sebagi hujan yang bermanfaat].” [Adabul Mufrod no. 686]
’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ
وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ
السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ
– صلى الله عليه وسلم – « مَا أَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا
رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ ) »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
apabila melihat mendung di langit, beliau beranjak ke depan, ke belakang atau
beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah beliau. Apabila hujan
turun, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mulai menenangkan hatinya. ’Aisyah
sudah memaklumi jika beliau melakukan seperti itu. Lalu Nabi shallallahu
’alaihi wa sallammengatakan, ”Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah
yang terjadi (pada Kaum ’Aad) sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), ”Maka
tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah
mereka.” (QS. Al Ahqaf [46]
: 24)” [HR. Bukhari no. 3206]
Ibnu Hajar mengatakan, ”Hadits ini
menunjukkan bahwa seharusnya seseorang menjadi kusut pikirannya jika ia
mengingat-ingat apa yang terjadi pada umat di masa silam dan ini merupakan
peringatan agar ia selalu merasa takut akan adzab sebagaimana ditimpakan kepada
mereka yaitu umat-umat sebelumnya.” [Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari]
[2] Mensyukuri Nikmat
Turunnya Hujan
Apabila Allah memberi nikmat hujan,
dianjurkan bagi seorang muslim dalam rangka bersyukur kepada-Nya untuk membaca
do’a,
اللَّهُمَّ
صَيِّباً ناَفِعاً
“Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah,
turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].”
Itulah yang Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam ucapkan ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari
Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ
صَيِّباً نَافِعاً »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban
nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”. [HR. Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190,
dan An Nasai no. 1523]
Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini
berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan
semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.”
Al Khottobi mengatakan, ”Air hujan yang
mengalir adalah suatu karunia.”
[3] Turunnya Hujan,
Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan Do’a
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan,
”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا
اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ،
وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
’Carilah do’a yang mustajab pada tiga
keadaan : [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan
[3] Saat hujan turun.” [HR Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah]
Begitu juga terdapat hadits dari Sahl
bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda,
ثِنْتَانِ
مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ
“Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1]
do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.” [HR. Al Hakim dan Al Baihaqi]
[4] Ketika Terjadi Hujan
Lebat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu
saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian ketika hujan turun begitu
lebatnya, beliau memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,
اللَّهُمّ
حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ
وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Allahumma haawalaina wa laa ’alaina.
Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa
manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami.
Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut
lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].” [HR. Bukhari no. 1014]
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Ketika hujan
semakin lebat, para sahabat meminta pada Nabishallallahu ’alaihi wa sallam
supaya berdo’a agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau membaca do’a
di atas.” [Zaadul Ma’ad]
Syaikh Sholih As Sadlan mengatakan bahwa
do’a di atas dibaca ketika hujan semakin lebat atau khawatir hujan akan membawa
dampak bahaya.
[5] Mengambil Berkah dari Air
Hujan
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur
hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan
demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ
حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
“Karena hujan ini baru saja Allah
ciptakan.” [HR. Muslim no. 898]
An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini
adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah
Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambertabaruk
(mengambil berkah) dari hujan tersebut.” [Syarh Muslim, 6/195]
An Nawawi selanjutnya mengatakan, ”Dalam
hadits ini terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah tentang dianjurkannya
menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar
terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadits ini bahwa
seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih
berilmu melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui, hendaknya ia menanyakannya
untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.”
[Syarh Muslim, 6/196]
Dalam hal mencari berkah dengan air
hujan dicontohkan pula oleh sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata,
أَنَّهُ
كَانَ إِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ، يَقُوْلُ: “يَا جَارِيَّةُ ! أَخْرِجِي
سَرْجِي، أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُوْلُ: وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
مُبَارَكاً [ق: 9].
”Apabila turun hujan, beliau mengatakan,
”Wahai jariyah keluarkanlah pelanaku, juga bajuku”.” Lalu beliau membacakan
(ayat) [yang artinya], ”Dan Kami menurunkan dari langit air yang penuh barokah
(banyak manfaatnya).” (QS. Qaaf [50] : 9)” [Adabul Mufrod no. 1228]
[6] Dianjurkan Berwudhu
dengan Air Hujan
Ibnu Qudamah mengatakan, ”Dianjurkan
untuk berwudhu dengan air hujan apabila airnya mengalir deras.” [Al Mughni,
2/295]
Dari Yazid bin Al Hadi, apabila air yang
deras mengalir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
اُخْرُجُوا
بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا ، فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ
وَنَحْمَدَ اللّهَ عَلَيْهِ
”Keluarlah kalian bersama kami menuju
air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci.” Kemudian
kami bersuci dengan air tersebut dan memuji Allah atas nikmat ini.” [HR Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro
(3/359) dan Tuhfatul Muhtaj (1/567)]
Namun, hadits di atas adalah hadits yang
lemah karena munqothi’ (terputus sanadnya) sebagaimana dikatakan oleh Al
Baihaqi. Syaikh Al Albani dalam Dho’if Al Jaami’ no. 4416 mengatakan bahwa
hadits ini dho’if.
Ada hadits yang serupa dengan hadits di
atas dan shahih,
كَانَ
يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ
اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ “
“Apabila air mengalir di lembah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju
air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian
kami bersuci dengannya.” [HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholilno.
679]
[7] Janganlah Mencela Hujan
Sungguh sangat disayangkan sekali,
setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan nikmat dari Allah Ta’ala.
Namun, ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan,
“Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”.
Perlu diketahui bahwa setiap yang
seseorang ucapkan, baik yang bernilai dosa atau tidak bernilai dosa dan pahala,
semua akan masuk dalam catatan malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
مَا
يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
إِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا
بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى
جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya ada seorang hamba
berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat
derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara
dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan
bahayanya lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.” [HR. Bukhari no. 6478]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menasehatkan kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat
berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak
kita sukai. Seperti beliau melarang kita mencela waktu dan angin karena kedua
makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’alaberfirman,
قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ،
بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki
masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur
malam dan siang menjadi silih berganti.” [HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no.
2246]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
juga bersabda,
لاَ
تَسُبُّوا الرِّيحَ
”Janganlah kamu mencaci maki angin.” [HR. Tirmidzi no. 2252]
Dari dalil di atas terlihat bahwa
mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula
halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti
mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.
Larangan ini bisa termasuk syirik akbar
(syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut
sebagai pelaku dari kejelekan yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini
bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk. Ini sama saja dengan
menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan
adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai
sebab saja, maka seperti ini hukumnya haram, tidak sampai derajat syirik. Dan
apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan, “Hari
ini hujan deras, sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid untuk shalat”,
tanpa ada tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.
Intinya, mencela hujan tidak terlepas
dari hal yang terlarang karena itu sama saja orang yang mencela hujan mencela
Pencipta hujan yaitu Allah Ta’ala. Ini juga menunjukkan ketidaksabaran pada
diri orang yang mencela. Sudah seharusnya lisan ini selalu dijaga. Jangan
sampai kita mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat Allah murka. Semestinya
yang dilakukan ketika turun hujan adalah banyak bersyukur kepada-Nya
sebagaimana telah diterangkan dalam point-point sebelumnya.
[8] Berdo’a Setelah Turunnya
Hujan
Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di
Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau
menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, ”Apakah kalian mengetahui apa yang
dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang
lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَصْبَحَ
مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ
اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ
قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ
بِالْكَوْكَبِ »
“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada
yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi
fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah),
makadialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan
yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena
sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada
bintang-bintang.” [HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71]
Dari hadits ini terdapat dalil untuk
mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan
karena karunia dan rahmat Allah) setelah turun hujan sebagai tanda syukur atas
nikmat hujan yang diberikan.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
rahimahullah mengatakan, ”Tidak boleh bagi seseorang menyandarkan turunnya
hujan karena sebab bintang-bintang. Hal ini bisa termasuk kufur akbar
yangmenyebabkan seseorang keluar dari Islam jika ia meyakini bahwa bintang
tersebut adalah yang menciptakan hujan. Namun kalau menganggap bintang tersebut
hanya sebagai sebab, maka seperti ini termasuk kufur ashgor (kufur yang tidak
menyebabkan seseorang keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak memberikan
pengaruh terjadinya hujan. Bintang hanya sekedar waktu semata.”
Demikian beberapa amalan yang bisa
diamalkan ketikan hujan turun. Hanya Allah yang memberi taufik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar