Jangan
sampai ada yang mengurungkan niat melakukan hajatan cuma karena bertemu dengan
bulan suro. Keyakinan seperti adalah keyakinan jahiliyyah yang bertentangan
dengan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad.
Pemahaman
Jahiliyyah
Beranggapan
sial atau thiyaroh termasuk akidah jahiliyah. Bahkan sudah ada di masa sebelum
Islam. Lihatlah bagaimana Fir’aun beranggapan sial pada Musa ‘alaihis salam dan
pengikutnya. Ketika datang bencana mereka katakan itu gara-gara Musa. Namun
ketika datang berbagai kebaikan, mereka katakana itu karena usaha kami sendiri,
tanpa menyebut kenikmatan tersebut berasal dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ
قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ
مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا
يَعْلَمُونَ
“Kemudian
apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena
(usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab
kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah,
sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf:
131).
Kesialan
yang dianggap sesungguhnya tidaklah benar. Yang shahih, Musa dan orang beriman
sebagai pengikutnya adalah sebab datangnya kebaikan dan barokah. Karena para Rasul
‘alaihimush sholaatu was salaam membuat perbaikan di muka bumi dengan ketaatan
yang mereka perbuat, sehingga turunlah barokah. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” (QS. Al A’raf: 96).
Dan
sebenarnya sebab datangnya musibah adalah karena pembakangan ahli maksiat,
orang musyrik dan kafir, bukan dari orang beriman.
Kesialan
dan bencana sebenarnya karena kekurang ajaran orang kafir itu sendiri.
Islam
Melarang Thiyarah (Anggapan Sial)
Beranggapan
sial di sini masih ada pada sebagian orang yang menganggap bahwa kalau bertemu
dengan waktu sial, jangan sampai lakukan hajatan-hajatan besar seperti bulan
Suro menurut anggapan sebagian masyarakat kita yang masih awam.
Padahal,
keyakinan di atas telah diperingatkan dalam berbagai hadits.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ،
وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
“Tidak
dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan
Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan
nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan
Shafar” (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220).
Dalam
hadits ini disebutkan tidak bolehnya beranggapan sial secara umum, juga pada
tempat dan waktu tertentu seperti pada bulan Shafar. Di negeri kita yang
terkenal adalah beranggapan sial dengan bulan Suro, maka itu pun sama
terlarangnya.
Bahkan
hal itu termasuk syirik.
Dari
‘Abdullah bin Mas’ud, ia menyebutkan hadits secara marfu’ –sampai kepada Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ».
ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ ».
“Beranggapan
sial adalah kesyirikan, beranggapan sial adalah kesyirikan”.
Beliau menyebutnya sampai tiga kali. Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak
ada yang bisa menghilangkan sangkaan jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang
menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal.” (HR. Abu Daud no.
3910 dan Ibnu Majah no. 3538. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
***
Bulan
Suro –yang dalam Islam dikenal dengan bulan Muharram-
terkenal sakral dan penuh mistik di kalangan sebagian orang. Saking sakralnya
berbagai keyakinan keliru bermunculan pada bulan ini. Berbagai ritual yang
berbau syirik pun tak tertinggalan dihidupkan di bulan ini. Bulan Muharram
dalam Islam sungguh adalah bulan yang mulia. Namun kenapa mesti dinodai dengan
hal-hal semacam itu?
Bulan
Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam
agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro),
merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah
firman Allah Ta’ala berikut (yang artinya), ”Sesungguhnya bilangan bulan
pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Lalu
apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam bersabda, ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah
menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya
ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah,
Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak
antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” [HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no.
1679]
Lalu
kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah
mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan
tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini
demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan
haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan
tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan
ketaatan.” (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36,
3/173, Mawqi’ At Tafasir)
Bulan
Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri
tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa
yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan
Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib
adalah shalat malam.” [HR. Muslim no. 2812]
Al
Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan
Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah
milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan
Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama
dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah
atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada
Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram). Jelaslah bahwa bulan
Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Bulan
Suro, Bulan Penuh Bencana dan Musibah
Itulah
berbagai tanggapan sebagian orang mengenai bulan Suro atau bulan Muharram.
Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana,
musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti
pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau
kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain
ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri),
sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti
ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.
Karena
kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati
anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan,
nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”
Karena
bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah,
dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah,
acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb.
Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di
dalamnya.
Ketahuilah
saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela
waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa
mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh
kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian
agama Islam mengenai dua hal ini.
Mencela
Waktu atau Bulan
Perlu
kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik.
Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu.
Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan
mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,
kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa
(waktu)”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah: 24). Jadi,
mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan
orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu
juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Di
antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak
Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang
membolak-balikkan malam dan siang.” [HR. Muslim no. 6000]
Jelaslah
bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa
termasuk perbuatan syirik. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan
bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu
dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu
membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah
’Azza wa Jalla.
Merasa
Sial dengan Waktu Tertentu
Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Beranggapan sial termasuk
kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga
kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari
beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan
bertawakkal.” [HR. Abu Daud no. 3912]
Ini
berarti bahwa beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau
beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan
beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Jangan
Salahkan Bulan Suro!
Ingatlah
bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan
oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah
Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu
hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan
musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah
ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan
musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara
sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus
kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang
artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan
oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa: 30)
Syaikh
Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, ”Jadi, hendaklah seorang mukmin
bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang
menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya
digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut.
Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan
ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang
terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya
seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat
I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah)
Jadi,
waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun
yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita
sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka
kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan
perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ’azza wa jalla.
Lalu
pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu
saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang
mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar
saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan
dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah
tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih
hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan
tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu
kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat
bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.
Hati-Hati
Tidak Mendapatkan Keutamaan 70.000 Orang Berikut
Ada
70.000 orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Mereka disifati
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
هُمْ الَّذِينَ لَا يَتَطَيَّرُونَ
وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka
itu tidak melakukan thiyaroh (beranggapan sial), tidak meminta untuk diruqyah,
dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas), dan hanya kepada Rabb
merekalah, mereka bertawakkal.” (HR. Bukhari no.
5752).
Moga
Allah beri taufik dan hidayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar