“Jika lelaki boleh beristri lebih dari satu, mengapa
wanita tidak boleh bersuami lebih dari satu (poliandri)?”. Pertanyaan ini kadang terbesit dibenak kita atau bahkan
digembar-gemborkan oleh sebagian aktifis feminis yang mengklaim sedang
memperjuangkan kesetaraan gender. Mari kita simak jawabannya.
1. Ketentuan Dari Allah
Aturan bahwa wanita tidak boleh memiliki beberapa suami
dalam satu waktu adalah ketentuan Allah Ta’ala. Tidak ada pilihan lain
bagi seorang hamba yang beriman kepada Allah kecuali menaati dan menerima
dengan sepenuh hati setiap ketentuan-Nya. Karena orang yang beriman kepada
Allah-lah yang senantiasa taat dan tunduk kepada hukum agama. Allah berfirman,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ
الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ
أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka
diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum
diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar
hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51)
Tidaklah apa yang Allah tentukan untuk hamba-Nya melainkan
pasti memiliki hikmah yang besar bagi sang hamba. Namun sang hamba wajib pasrah
kepada ketentuan itu baik tahu akan hikmahnya, maupun tidak tahu hikmahnya.
Kaidah fiqhiyyah mengatakan:
الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ
خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً
اَوْ رَاجِحَةً
“Islam
tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya
lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100%
keburukan, atau keburukannya lebih dominan”
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,
“Kaidah ini meliputi seluruh ajaran Islam, tanpa terkecuali. Sama saja, baik
hal-hal ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), baik yang
berupa hubungan terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An Nahl: 90)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setiap keadilan,
kebaikan, silaturahim pasti diperintahkan oleh syariat. Setiap kekejian dan
kemungkaran terhadap Allah, setiap gangguan terhadap manusia baik berupa
gangguan terhadap jiwa, harta, kehormatan, pasti dilarang oleh syariat. Allah
juga senantiasa mengingatkan hamba-Nya tentang kebaikan perintah-perintah
syariat, manfaatnya dan memerintahkan menjalankannya. Allah juga senantiasa
mengingatkan tentang keburukan hal-hal dilarang agama, kejelekannya, bahayanya
dan melarang mereka terhadapnya” (Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, hal.27)
Adapun dalil tentang terlarangnya poliandri, diantaranya
firman Allah Ta’ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ
وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ
لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ
أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا *
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ
عَلَيْكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu” (QS. An Nisaa: 23-24)
Dalam Tafsir Ibni Katsir dijelaskan makna وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاء maksudnya:
‘Diharamkan bagimu menikahi para wanita ajnabiyah yang muhshanat yaitu
yang sudah menikah’. Ibnu Katsir juga membawakan riwayat yang menjelaskan
sebab turunnya ayat ini:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ قَالَ: أَصَبْنَا نِسَاءً مِنْ سَبْيِ أَوْطَاسَ، وَلَهُنَّ
أَزْوَاجٌ، فَكَرِهْنَا أَنْ نَقَعَ عَلَيْهِنَّ وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَسَأَلْنَا
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ هذه الآية: وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ [قَالَ] فَاسْتَحْلَلْنَا
فُرُوجَهُنَّ
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: “Kami mendapat
wanita dari suku Authas yang ditawan, para wanita itu memiliki suami lebih dari
satu. Kami enggan bersetubuh dengan mereka karena mereka memiliki suami.
Kamipun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, lalu
turunlah ayat (yang artinya) ‘Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki‘. Dengan
itu kami pun mengganggap mereka halal dicampuri” (Tafsir Ibni Katsir,
2/256)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أَنَّ النِّكَاحَ فِي
الجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ …. وَنِكَاحٌ آخَرُ: يَجْتَمِعُ
الرَّهْطُ مَا دُونَ العَشَرَةِ، فَيَدْخُلُونَ عَلَى المَرْأَةِ، كُلُّهُمْ
يُصِيبُهَا، فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ، وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ
تَضَعَ حَمْلَهَا، أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ
يَمْتَنِعَ، حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا، تَقُولُ لَهُمْ: قَدْ عَرَفْتُمُ
الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ، فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلاَنُ،
تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا، لاَ يَسْتَطِيعُ
أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ
“Pernikahan di masa Jahiliyah ada empat cara … (beliau lalu menyebutkannya)… jenis pernikahan yang
lain (jenis ketiga) yaitu sejumlah orang yang jumlahnya kurang dari 10
berkumpul lalu masuk menemui seorang wanita. Setiap mereka menyetubuhinya.
Setelah beberapa waktu sejak malam pengantin itu, jika ternyata ia hamil, ia
pun memanggil semua suaminya. Tidak ada seorang pun dari suaminya yang dapat
menghalangi, hingga semua suaminya berkumpul. Wanita itu berkata: ‘Wahai
suamiku, kalian sudah tahu apa yang kalian telah lakukan kepadaku dan itu
memang sudah hak kalian. Dan sekarang aku hamil. Dan anak ini adalah anakmu
wahai Fulan’. Wanita itu menyebut salah satu nama suaminya sesuka dia, lalu
menasabkan anaknya pada suaminya tersebut. Tidak ada seorang pun dari suaminya
yang dapat menghalangi” (HR. Bukhari no.5127)
Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam menyifati
poliandri sebagai perilaku jahiliyah. Sebagaimana dijelaskan para ulama :
كل ما نسب إلى الجاهلية فهو مذموم
“Setiap
perkara yang dinisbatkan pada Jahiliyyah adalah sesuatu yang tercela”
Jadi, mengapa poliandri tidak dibolehkan? Jawabannya,
karena Allah Ta’ala telah menentukan demikian. Satu jawaban ini
sejatinya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut bagi orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika masih ada yang penasaran lalu bertanya
lagi ‘kenapa sih koq bisa-bisanya Allah menentukan demikian?‘, jawablah dengan
firman Allah Ta’ala :
لَا يُسْأَلُ عَمَّا
يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Allah tidak ditanyai oleh hamba, namun merekalah yang
akan ditanyai oleh Allah” (QS. Al
Anbiya: 23)
2. Lelaki adalah pemimpin keluarga
Islam juga mengatur bahwa lelaki adalah pemimpin rumah
tangga. Allah Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا
أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ
بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka)” (QS. An Nisaa:
34)
Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam juga
bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ،
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab.
Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang
yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki
bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai
pertanggung-jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di
rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari 893, Muslim 1829)
Oleh karena itu, seorang istri wajib taat kepada suaminya
selama bukan dalam perkara maksiat. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ
خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا
قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu,
berpuasa bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, taat kepada suaminya akan
dikatakan padanya kelak: ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang
engkau inginkan’” (HR. Ahmad
1661, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ 1/660)
Nah, jika seorang wanita memiliki lebih dari satu suami,
apakah organisasi rumah tangga akan berjalan dengan banyak pemimpin? Suami mana
yang akan ditaati? Bagaimana jika para suami berselisih dan memberi perintah
berlainan?
3. Cobaan terbesar bagi lelaki adalah wanita,
namun tidak sebaliknya
Cobaan terbesar dan terdahsyat serta paling menjatuhkan
seorang lelaki pada titik terendahnya adalah wanita. Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam sering kali mewanti-wanti hal ini. Beliau bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي
فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan cobaan yang paling berbahaya
bagi kaum lelaki selain wanita” (HR. Bukhari 5096, Muslim 2740)
Beliau Shallallahu’alahi Wasallam juga
bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ
خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ،
فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي
إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya
Allah menyerahkannya kepada kalian untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat
bagaimana sikap kalian terhadapnya. Berhati-hatilah dari fitnah dunia dan
waspadalah terhadap wanita. Karena cobaan pertama yang melanda Bani Israil
adalah wanita” (HR. Muslim
2742)
Tentang godaan setan, Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ
كَانَ ضَعِيفًا
“Sesungguhnya tipu-daya setan itu lemah” (QS. An Nisaa: 76)
Namun tentang godaan wanita, Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya godaan wanita itu sangat dahsyat” (QS. Yusuf: 28)
Oleh karena itulah Allah Al Hakim, Yang Maha
Bijaksana, mensyariatkan poligami (baca: poligini) bagi laki-laki sebagai salah
satu jalan untuk meringankan cobaan dari godaan wanita. Namun sebaliknya, tidak
kita dapati dalil yang menunjukkan bahwa cobaan terbesar wanita adalah godaan
pria. Ini adalah salah satu hikmah mengapa poliandri tidak disyariatkan.
4. Menjaga kejelasan nasab
Dalam Islam, anak dinasabkan kepada ayahnya. Dan masalah
nasab ini sangat urgen dalam Islam. Sampai-sampai mencela nasab dan menasabkan
diri kepada selain ayah kandung dikategorikan oleh para ulama sebagai perbuatan
dosa besar. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda :
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ
أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barangsiapa menasabkan diri kepada selain ayah
kandungnya, padahal ia tahu ayah kandungnya, maka surga haram baginya” (HR. Bukhari 4326, Muslim 63)
Sebagaimana juga hadits marfu’ dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu:
خِلاَلٌ مِنْ خِلاَلِ
الجَاهِلِيَّةِ الطَّعْنُ فِي الأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ
“Diantara perbuatan orang Jahiliyyah adalah mencela nasab” (HR. Bukhari 3850)
Di antara sebabnya, nasab menentukan banyak urusan,
seperti dalam pernikahan, nafkah, pembagian harta warisan, dll.
Jika satu wanita disetubuhi oleh beberapa suami, maka
tidak jelas anak yang lahir dari rahimnya adalah hasil pembuahan dari suami
yang mana, sehingga tidak jelas akan dinasabkan kepada siapa.
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata:
“Pernyataan ‘laki-laki dibolehkan menikahi empat orang wanita, namun wanita
tidak dibolehkan menikahi lebih dari satu lelaki‘, ini adalah salah satu bentuk
kesempurnaan sifat hikmah dari Allah Ta’ala kepada mereka. Juga
bentuk ihsan dan perhatian yang tinggi terhadap kemaslahatan makhluk-Nya. Allah
Maha Tinggi dan Maha Suci dari kebalikan sifat tesebut. Syariat Islam pun
disucikan dari hal-hal yang berlawanan dengan hal itu. Andai wanita dibolehkan
menikahi dua orang lelaki atau lebih, maka dunia akan hancur. Nasab pun jadi
kacau. Para suami saling bertikai satu dengan yang lain, kehebohan muncul,
fitnah mendera, dan bendera peperangan akan dipancangkan” (I’laamul Muwaqqi’in,
2/65)
Beberapa Syubhat
1. Jika yang menjadi kekhawatiran adalah percampuran
nasab, bukankah sekarang sudah ada tes DNA?
Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab
pertanyaan ini: ”Poliandri dapat menjadi sebab terjangkitnya berbagai penyakit
berbahaya seperti AIDS atau yang lainnya. Selain itu, tidak adanya keteraturan
dalam rumah tangga karena tidak adanya patokan nasab dan anak-anak pun menjadi
kacau. Adapun pemeriksaan medis yang sebutkan itu (cek DNA), tidak bisa
dipastikan 100%. Sehingga tidak bisa menjadi sandaran secara syar’i dalam
penetapan nasab atau dalam mengingkarinya”. (Fatawa IslamWeb no.112109)
2. Kalau lelaki punya keinginan kepada banyak wanita
karena alasan syahwat, bukankah wanita juga punya syahwat?
Ibnul Qayyim berkata, “Jika ada yang berkata ‘Mengapa
hanya memperhatikan dan mengangkat sisi kaum lelaki saja, serta hanya memenuhi
kebutuhan syahwat lelaki saja sehingga mereka bisa berganti dari istri yang
satu kepada istri yang lain sesuai kebutuhan syahwatnya? Padahal wanita juga
memiliki panggilan syahwat‘. Kita jawab, wanita itu sebagaimana kebiasaan
mereka wajahnya terlindungi oleh cadar dan berada di rumah-rumah mereka,
gejolak mereka pun lebih dingin dibanding laki-laki, pergerakan lahir dan batin
mereka lebih sedikit dibanding laki-laki, oleh karena itulah lelaki yang diberi
kekuatan dan gejolak panas yang merupakan kunci penguasaan syahwat. Itu
diberikan kepada laki-laki dalam jumlah yang lebih besar. Bahkan kaum laki-laki
pun mendapat cobaan karena hal itu, sedangkan wanita tidak. Sehingga
dimutlakkan bagi laki-laki berupa banyaknya jumlah pernikahan yang bolehkan
(dalam satu waktu) sedangkan wanita tidak. Ini adalah hal yang dikhususkan dan
dilebihkan oleh Allah untuk kaum laki-laki. Sebagaimana juga Allah utamakan
mereka dalam hal pengembanan risalah, kenabian, khilafah, kerajaan,
kepemimpinan hukum, jihad dan hal lainnya.
Allah juga menjadikan lelaki pemimpin bagi wanita, yang
berkewajiban menjaga maslahah istrinya dan menjalani berbagai resiko dalam
mencari penghidupan istrinya. Mereka menunggang kuda, menjelajah gurun,
menghadapi berbagai bencana dan ujian demi kemaslahatan sang istri. Allah
Ta’ala itu Syakuur (Sebaik-baik Pemberi Ganjaran) dan Haliim (Maha
Pemurah). Sehingga Allah memberi balasan kepada kaum lelaki berupa kebolehan
berpoligami, dan mengganti segala kesusahan mereka itu dengan membolehkan
hal-hal yang tidak dibolehkan bagi wanita. Dan anda yang berkata, jika anda
membandingkan antara cobaan bagi lelaki berupa lelah-letih, kerja keras,
kesusahan yang dialami kaum lelaki demi masalahat istrinya dengan cobaan yang
dialami kaum wanita yang berupa kecemburuan, anda akan dapatkan bahwa apa yang
dialami kaum lelaki itu jauh lebih besar kadarnya. Inilah salah satu bentuk
sempurnanya keadilan, kebijaksanaa dan kasih sayang Allah Ta’ala. Segala puji
bagi Allah sebab memang Dialah yang memiliki segala pujian” (I’laamul
Muwaqqi’in, 2/65-66)
3. Syahwat wanita lebih besar dari syahwat lelaki
Karena syahwat wanita lebih besar dari lelaki, maka bagi
wanita tidak cukup hanya satu suami. Demikian bunyi salah satu syubhat. Ibnul
Qayyim membantah pernyataan ini: “Adapun perkataan seseorang bahwa syahwat
wanita lebih besar dari syahwat lelaki, ini tidak benar. Syahwat itu sumbernya
dari hawa panas. Hawa lelaki lebih panas dari wanita. Namun wanita, jika ia
sendiri, kesepian, dan ia tidak bisa menahan diri dari hal-hal yang berhubungan
dengan syahwat dan memuaskan dirinya, maka ia pun dapat ditenggelamkan oleh
syahwat sehingga syahwat menguasai dirinya. Ketika tidak ada hal yang dapat
menjadi pelampiasan, bahkan disertai perasaan kesepian, maka bisa terjadi apa
yang terjadi. Sehingga ketika itu disangkalah bahwa syahwat wanita lebih besar
dari laki-laki. Ini tidak benar. Telah dibuktikan bahwa lelaki bisa mencampuri
istrinya lalu mencampuri istrinya yang lain dalam satu waktu.
كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ فِي اللَّيْلَةِ
الْوَاحِدَةِ
‘Nabi Shallallahu’alaihi Wasalam biasa menggilir
istri-istrinya dalam satu malam‘
Bahkan Nabi Sulaiman menggilir 90 orang istrinya dalam
satu malam. Dan sudah kita ketahui bersama bahwa wanita biasanya hanya memiliki
satu kali klimaks. Jika seorang lelaki telah memuaskan seorang wanita, hingga
terpenuhi syahwatnya, dan hilang nafsunya, wanita tersebut tidak akan meminta
yang lain ketika itu. Maka, sifat demikian sesuai dengan hikmah dari takdir
Allah dan hikmah ketetapan syariat bagi hamba dan ummat” (I’laamul Muwaqqi’in,
2/66)
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar